"Bisa Saya bicara denganmu? Berdua saja.”
Dokter Indra datang ke restoran saat Kanaya sedang bekerja.
Kanaya tidak menyangka jika dokter klinik kesuburan itu datang mencarinya.
Apa yang ia inginkan? Bukankah urusan mereka sudah selesai?
Beberapa hari yang lalu Kanaya diketahui mempunyai alergi pada salah satu zat yang ada di hormon kesuburan yang disuntikkan padanya.
Untung saja Dokter Indra datang tepat waktu untuk menyelamatkan Kanaya kala itu.
Namun yang membuat Kanaya heran, alergi itu tidak terdeteksi sebelumnya.
Menurut Dokter Indra, zat itu sebenarnya tidak berbahaya. Akan tetapi, kekebalan tubuh Kanaya mengidentifikasi zat itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi tubuhnya. Itu sebabnya tidak ada yang menyangka jika Kanaya memiliki reaksi alergi pada obat itu.
Dan nahasnya lagi, zat itu terdapat pada semua jenis obat hormon kesuburan yang ada yang sangat penting dalam memastikan kualitas sel telur yang akan digunakan sebagai donor.
Jika dipaksakan, akan berefek pada kesuburan Kanaya dikemudian hari. Oleh sebab itu, kesepakatan mereka tidak bisa dilanjutkan.
Hati Kanaya begitu sedih saat mendengar kabar itu. Harapan untuk memperoleh uang untuk biaya transplantasi jantung ibunya pun pupus sudah.
Namun Kanaya tidak memaksakan diri. Ia menganggap jika semua itu belum menjadi rejekinya. Ia yakin akan ada pintu rejeki lain yang akan mengetuknya jika ia terus berdoa dan berusaha.
"Ada apa Dokter menemui saya?”
Mereka berbicara di dalam mobil Dokter Indra untuk menjaga kerahasiaan.
"Kamu masih ingin mendapatkan uang?" tanya Dokter Indra sambil menatap Kanaya.
Kanaya mengerutkan keningnya dengan curiga. "Maksud Dokter?"
Bukan sekali dua kali pria hidung belang mencoba merayunya dengan iming-iming uang, tetapi Kanaya selalu menolaknya. Meski ia butuh uang, Ia lebih memeilih bekerja di dua tempat sekaligus dari pada bekerja melayani para pria hidung belang.
"Kanaya, klien Saya masih menginginkan kamu menjadi donor dan ibu pengganti untuk anaknya." Penjelasan Dokter Indra menepis pikiran buruk yang sempat berseliweran di benak Kanaya.
"Bukankah dokter mengatakan kalau Saya tidak bisa lagi menjadi donor?" Kanaya bingung, kenapa tiba-tiba dokter itu menawarinya lagi?
"Begini," ucap Dokter Indra seakan tengah mencari kata-kata yang tepat. "Kamu bukan tidak bisa menjadi donor. Tetapi lebih tepatnya kamu tidak bisa menjadi donor bayi tabung."
Kanaya mencerna kalimat Dokter itu, tetapi ia masih tidak yakin dengan pemahamannya. Apakah yang ia pikirkan sama dengan yang dokter itu maksudkan?
"Kanaya, Saya menawarkan kamu untuk menjadi ibu pengganti sekaligus donor melalui pembuahan alami." Meski terlihat tenang, Kanaya bisa merasakan kecanggungan dari sikap Dokter di hadapannya.
Pembuahan alami, apa maksudnya...?
Kanaya menatap Dokter Indra dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Pembuahan alami yang Dokter maksud, maaf-- Saya harus berhubungan badan dengan-- klien dokter?"
Apa itu yang Dokter Indra maksudkan? Kanaya berharap ia salah.
"Ya. Itulah yang Saya coba katakan," Dokter Indra mengakui dengan canggung, ada sedikit rasa tidak enak hati dari tatapan matanya.
Ekspresi wajah Kanaya berubah. Meski Dokter tidak mengatakannya dengan seronok, namun tetap saja hal itu membuatnya merasa malu.
"Kanaya, ini bukan tentang berhubungan badan untuk memuaskan hawa nafsu. Tetapi ini murni untuk tujuan pembuahan sel telur se-alami mungkin agar kamu bisa hamil anak mereka tanpa resiko menjadi mandul ataupun sakit," Dokter Indra cepat-cepat menjelaskan bahwa apa yang ia tawarkan bukanlah sebuah transaksi jual diri untuk pemuasan nafsu belaka, namun sebuah proses pembuahan calon bayi di dalam rahimnya.
Kanaya masih termangu dengan kening berkerut. "Kenapa harus Saya? Kenapa mereka tidak tidak mencari ibu pengganti yang lain?”
Mereka bisa saja melakukan program bayi tabung dengan wanita lain bukan? Kenapa mereka bersikeras ingin dirinya yang menjadi ibu pengganti anak mereka bahkan melalui pembuahan alami?
"Klien saya sangat mencintai istrinya. Dan dia pun sebenarnya tidak mau melakukan hal ini. Akan tetapi karena kamu memiliki kriteria yang mereka inginkan secara genetik, mereka tetap memilih kamu, Kanaya.” Dokter Indra menekankan kata genetik.
Ucapan Dokter Indra jauh dari kata seronok. Ia tampak sangat profesional bahkan dalam menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif.
“Kriteria genetik apa?” Kanaya ingin mengetahuinya.
“Ada banyak faktor. Salah satunya adalah kamu memiliki golongan darah yang paling tepat untuk menjadi ibu biologis anak itu.”
Kanaya mulai paham dengan alasan mereka memilihnya. Ia memiliki golongan darah AB- yang termasuk dalam golongan darah yang langka yang hanya dimiliki oleh kurang dari 1% penghuni dunia.
Ia mengerti mengapa mereka bersikukuh ingin menjadikan dirinya ibu biologis anak mereka. Namun begitu, Kanaya punya pertimbangan lain.
"Maaf Dokter, dengan menyesal, Saya tidak bisa," jawab Kanaya setelah berpikir selama beberapa saat.
Dokter Indra menghela nafas. "Kanaya, Saya tahu kamu membutuhkan uang untuk ibumu. Dan klien Saya ini rela mengeluarkan uang lebih."
"Tidak hanya dia akan memberimu uang kompensasi sejumlah ratusan juta, namun juga membiayai semua perawatan ibumu termasuk 20 miliar yang kamu minta untuk biaya transplantasi jantung."
Uang itu benar-benar sangat dibutuhkannya, tetapi…
"Kamu seorang yang baik Kanaya. Dengan melakukan ini kamu tidak hanya akan menolong ibumu, tetapi juga menolong orang lain yang sangat membutuhkan bantuanmu," tambah Indra lagi, kali ini mengedepankan alasan kebaikan, motif yang bisa mendorong seseorang untuk mau melakukan suatu hal yang bermanfaat.
Kanaya terdiam. Ia mengalami pertentangan batin.
Kanaya bukan tidak ingin membantu atau tidak membutuhkan uang itu, tetapi jika harus berhubungan badan dengan pria asing, ia tidak bisa melakukannya.
Kanaya tidak ingin berbuat dosa dengan berzina.
Ya, berzina. Bukankah pembuahan alami dengan pria yang bukan suaminya adalah berzina?
Almarhum Ayahnya selalu berpesan agar ia selalu menjaga kesuciannya karena dia seorang perempuan.
Seorang perempuan harus menjaga marwah dirinya, karena hanya dengan harga diri, seseorang bisa memiliki nilai tidak hanya di mata Tuhan-nya, namun juga orang lain.
Mematuhi ucapan ayahnya, Kanaya tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan intim dengan lawan jenis, terkecuali...
"Saya punya satu syarat lagi dokter. Jika mereka tidak keberatan, maka akan saya lakukan," ucap Kanaya akhirnya memberanikan diri membuat persyaratan tambahan.
"Katakanlah, biar saya sampaikan kepada mereka. Apa yang kamu inginkan?"
Raut wajah Dokter itu berubah menjadi kurang enak dilihat. Namun dia masih tersenyum.
Kanaya menelan ludahnya sebelum berkata, "Saya ingin dinikahi." Lalu cepat-cepat mengoreksi, "Secara agama saja."
Dokter Indra menatap Kanaya dengan tertegun.
Kanaya tahu persisi apa yang ada dalam pikiran dokter itu. Ia pun menjelaskan.
"Dokter, Saya memang membutuhkan uang itu. Tetapi Saya takut berdosa jika berzina."
"Lagipula, Saya tidak ingin anak yang lahir nantinya menjadi anak haram dimata agama. Bagaimana Saya bisa mempertanggungjawabkannya kelak?"
Kanaya tidak ingin mereka salah paham dengan permintaannya.
Dokter Indra masih saja tertegun menatap Kanaya, seakan ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kanaya.
"Klien Dokter bisa menalak Saya setelah anak itu lahir. Saya tidak keberatan. Niat Saya hanya ingin menyembuhkan ibu Saya, bukan untuk mengejar hal lain.” Kanaya meyakinkan dokter itu jika ia tidak punya motif terselubung dengan meminta dinikahi.
Untuk beberapa lama Dokter Indra terdiam sebelum merespon, "Baiklah, permintaanmu akan aku sampaikan. Ada hal lain?"
Kanaya menggeleng. Semua yang dijanjikan kepadanya sudah lebih dari cukup. Ia hanya ingin ibunya sembuh.
Dokter Indra mengangguk mengerti dan berjanji akan memberitahu keputusannya nanti.
Kanaya duduk termangu di sebuah kamar dalam balutan kebaya putih sederhana.Beberapa hari yang lalu, Dokter Indra memberitahukannya jika kliennya setuju menikahinya secara agama. Dan hari ini, pernikahan itu akan diselenggarakan di sebuah rumah di jalan Sunset Summit.Rumah satu lantai itu terletak di sebuah kawasan elit. Di kawasan seperti ini, orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak saling berinteraksi. Mereka sangat individual dan tidak pernah bertegur sapa satu sama lainnya.Tidak ada tetangga yang tahu apa yang sedang terjadi di rumah itu. Dan mereka tidak usil mencari tahu. Menjaga privasi adalah hal yang lumrah.Dokter Indra baru saja datang mengatakan jika kliennya akan datang menemuinya. Dan jantung Kanaya berdebar kencang ingin tahu siapa orang yang 'menyewa' rahimnya dan 'membeli' sel telurnya. Orang yang akan menikahinya dan menjadi ayah biologis anaknya kelak.Siapa mereka? Apa ia pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?Kanaya berdiri saat pintu kamarnya terbuka dan m
Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.Akan tetapi, hari ini berbeda. Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.Kanaya bukan berasal dari keluar
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
"Non, habiskan ya buahnya," Sifa menaruh sepiring buah-buahan segar yang telah dikupas dan di potong ke atas meja di teras belakang. Kanaya yang sakit sejak beberapa hari yang lalu sedang duduk di tepi kolam ikan koi di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan tangannya ke dalam kolam dan menyentuh punggung ikan-ikan yang cantik itu. Bermain dengan ikan-ikan itu membuatnya tersenyum dan menghilangkan kebosanan yang ia rasakan. Selama tiga hari ia tidak keluar dari kamar karena Dokter Indra menyuruhnya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Setelah malam 'pembuahan' itu, bagian kewanitaannya terasa perih karena terluka. Ia bahkan sulit untuk berjalan. Akibatnya ia hanya beristirahat saja di atas ranjang. Baru pagi ini ia berani keluar kamar. Tubuhnya sudah terasa lebih baik, meski terkadang masih ada sedikit rasa nyeri. Kanaya sengaja ingin berjalan di taman, menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi untuk mengusir rasa jenuhnya. "Oke Bi, terima kasi
Kanaya termangu menatap Bastian, berpikir apakah Bastian berbicara kepadanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jika ada orang lain yang diajak bicara oleh pria dingin itu. Pintu penumpang depan terbuka dan seorang pria yang kerap berada di dekat Bastian menghampirinya. Kanaya tidak tahu siapa pria itu, namun ia ingat pria itu ada saat pernikahan mereka, dan dia juga ada di dalam rumah sakit bersama Bastian. Kanaya menduga dia adalah orang kepercayaan Bastian, mungkin asisten, sekertaris atau mungkin juga bodyguard? "Bu Kanaya, silahkan masuk, Bapak sudah menunggu," Ezra dengan sopan membukakan pintu untuk Kanaya, membuat Kanaya semakin merasa canggung disebut 'Ibu'. "Mm... Tidak apa, Saya sudah pesan taksi, saya--" "Masuk!" Bastian memotong ucapan Kanaya dengan tidak sabar. Mendengar suara keras dan tegas itu, Kanaya pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa berpikir panjang. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia bertemu Bastian. Sebuah dinding i
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat
Mobil Rolls Royce limited edition itu, memasuki halaman rumah besar dan luas bernama Alpine Nest, dan berhenti tidak jauh dari pintu utama rumah itu.Kanaya dan Bastian turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang kali pertama Kanaya datangi belum memiliki furnitur yang lengkap, saat ini telah berubah menjadi sebuah rumah yang indah dengan berbagai kelengkapan yang memberi kesan tersendiri.Kanaya sengaja memilih furnitur, korden, wallpaper serta berbagai aksesoris rumah lainnya dengan warna dan model yang memberi kesan homy, sebuah tempat tinggal yang hangat dan nyaman untuk ditinggali keluarga mereka.Saat memasuki rumah itu, tidak terasa suasana kaku ataupun asing. Ruangan demi ruangan seakan membuat siapa pun merasa di nyaman berada di sana. Dari mulai ruang tamu, ruang keluarga, dapur, hingga setiap kamar tidur di rumah itu, memberi kesan hangat. “Kenzo mana Bi?” Kanaya bertanya saat ia bertemu Sifa di ruang keluarga.Perempuan yang menjadi pengasuhnya saat menga
“Maaf… maaf, aku tidak sengaja…” ucap orang itu dengan segera. Ia kemudian tampak terkejut ketika melihat Bastianlah yang ia tabrak.“Lain kali jalanlah dengan hati-hati.” tegur Bastian sambil mengingatkan dengan nada dingin.Untung saja dia tidak menabrak Kanaya! Jika sampai itu terjadi, ia akan sangat marah.“Tentu, lain kali saya akan jalan dengan hati-hati.” Mahasiswi yang menabrak Bastian itu tampak tersipu malu. Ia melirik Bastian dengan tatapan menggoda sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.Bastian bersikap acuh tak acuh pada perempuan itu dan sibuk merapikan kemeja yang dikenakannya.Lain halnya dengan Bastian, Kanaya justru menangkap gestur perempuan yang dengan sengaja menggoda Bastian. Dan ini membuat Kanaya kesal.Jelas, bukan hanya dirinya saja yang menyadari betapa menariknya Bastian.Selama ia menjadi istri Bastian, tidak sedikit wanita lain yang mengagumi Bastian, bahkan ada yang dengan berani dan terang-terangan berusaha mendekati suaminya itu.Mahasis
“Kulit lebih bersinar, atau di sebut dengan pregnancy glowing…” Bastian membaca sebuah artikel melalui telepon genggamnya. Ia tampak berpikir sebelum bergumam, “Sepertinya benar.”Ia membayangkan kulit istrinya itu memang terlihat lebih glowing di kehamilan kedua. Jadi, apakah semua mitos itu benar?Bastian kembali membaca lanjutan artikel itu.“Payudara sebelah kiri lebih besar dari yang kanan…” Bastian mengerutkan keningnya. Ah, ada-ada saja. Apa iya perbedaan kehamilan bayi perempuan dan laki-laki bisa dilihat dari besarnya payudara kanan dan kiri?Ujung-ujungnya, Bastian geleng-geleng kepala dan lanjut membaca. “Sifat lebih moody, sensitif dan cerewet…” Bastian terkekeh pelan. Mungkin untuk yang satu ini ada benarnya. Sejak kehamilan kedua, Kanaya menjadi sangat perasa dan sensitif, bahkan sebelum mereka mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya.Walau begitu, Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi ia memang tidak keberatan direpotkan oleh istrinya itu.“Ehem…
“Kamu tahu Ren, ada orang yang pernah bilang padaku. Melepaskan seseorang pergi bisa berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dalam hidup kita,” ucap Dinda tanpa menoleh pada Reno. Reno terkekeh pelan. “Apa yang kamu katakan hampir sama dengan yang Kanaya katakan padaku, tetapi dengan kalimat yang berbeda. Apa semua perempuan selalu berkata seperti itu pada lelaki single seperti aku?” “Tidak juga. Tergantung siapa laki-lakinya,” ucap Dinda sambil melirik Reno. Untuk sesaat keduanya saling menatap satu sama lain, seakan waktu berhenti. Sampai… Ardyan tiba-tiba datang dan menyapa Dinda. “Eh, Din, datang juga? Papamu mana?” Dinda menoleh dan tidak tampak terkejut. “Nggak bisa datang, lagi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi, aku yang gantikan.” Reno merasa heran melihat Ardyan tampak akrab dengan Dinda. Keduanya memang berprofesi sebagai dokter, tetapi apa setiap dokter seakrab itu dengan dokter lainnya? Apalagi mereka berbeda spesialisasi. Yang satu dokter bedah sya
Tidak hanya Kanaya yang terkesima dengan apa yang Bastian ucapkan, namun tamu yang hadir malam itu pun terharu dengan gestur yang disampaikan Bastian. Dan hal itu membuat mata mereka berkaca-kaca. Terlebih, kisah Bastian dan Kanaya sudah tersebar luas di media karena persidangan yang telah mereka lewati. “Naya, aku tahu ini terlambat, jauh terlambat. Akan tetapi, aku mencari saat yang tepat untuk memberikan ini.” Bastian mengambil sebuah kotak dari dalam kantong celananya, dan membukanya dihadapan Kanaya. Sepasang cincin yang tampak berkilau ada di depan mereka. Dua buah cincin yang memiliki model yang sama-sama memiliki sebuah batu berkilau di bagian atasnya. Namun terdapat perbedaan pada ukuran. Satu cincin berukuran lebih besar dan lebih lebar dari cincin lainnya. Kanaya terkejut melihat Bastian menyodorkan kotak berisi cincin itu padanya. Apakah ini cincin pernikahan? Suara riuh mengagumi cincin itu pun terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan tamu undangan yang seda
Acara resepsi pernikahan di Hotel Emerald itu sangat meriah dan dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai gubernur, pejabat pemerintahan, pengusaha, relasi, kerabat, teman dan keluarga serta artis dan publik figur. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana, hiasan dan dekorasi megah dan mewah mewarnai ruangan demi ruangan tempat acara itu. Hiburan pesta itu pun sangat meriah, diisi oleh beberapa penyanyi, grup band, host dan komedian papan atas yang ikut meramaikan. Semua orang tampak sangat senang dan menikmati jalannya acara. Acara itu sendiri digadang-gadang menjadi pesta termeriah di Emerald City dan bahkan Eastasia. Bahkan Azhar, kakek tua berusia 79 tahun itu tampak begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Haidar dan Miranda pun juga sama, raut wajah mereka berdua tampak begitu cerah dan senyum tidak menghilang dari wajah mereka. Ayunda dan Laila pun tidak ketinggalan. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan kenal
Pada hari yang di nanti, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa.Hotel Emerald, sebuah hotel baru di tepi pantai tempat berlangsungnya acara telah dibooking sepenuhnya oleh keluarga Dwipangga.Seluruh kamar hotel telah dipesan untuk tamu-tamu undangan yang datang dari luar kota. Ruangan grand ballroom beserta ruangan lainnya telah dibooking. Selama 2 hari, di hotel itu tidak ada tamu atau kegiatan lain selain tamu dan acara resepsi pernikahan Kanaya dan Bastian.Penjagaan pun dibuat sangat ketat oleh Jay dan anak buahnya, bekerjasama dengan pihak terkait.Di kamar presidensial suite hotel itu, Kanaya baru saja selesai mengenakan baju pengantinnya.“Naya…”Kanaya menoleh dan melihat ibunya memasuki kamar utama suite itu.“Ibu…” Ia langsung menghampiri dan mengajak ibunya itu duduk di tepi ranjang besar kamar itu.“Putri ibu cantik sekali,” ucap Ayunda sambil memperhatikan wajah Kanaya.Putrinya itu memang memiliki paras yang cantik alami. Akan tetapi hari ini kecantikannya tam
Setelah puas melihat pemandangan dari jendela kamar, Bastian lalu mengajaknya melihat bagian lain kamar mereka. “Ini closet kita, kamu bisa menaruh semua pakaian, tas, sepatu dan semua aksesoris milikmu di sini.” “Ini kamar mandi.” Bastian membuka sebuah pintu. “Shower, jacuzzi, dan lihat ini sayang…” Bastian mengajak Kanaya mendekat ke dinding kaca. Dari dinding kaca itu, mereka bisa melihat langsung ke arah hutan pinus. “Bas, tapi kaca ini…” “Jangan kuatir. Dari luar, mereka tidak bisa melihat ke dalam.” Tentu saja Bastian sudah memikirkan semua jal itu. Lalu mereka melihat ke kamar bayi, lalu kamar-kamar lainnya. Bahkan Bastian juga sudah menyiapkan ruangankamar untuk Kenzo saat bayi mungil itu sudah mulai bisa berjalan. “Ini kamarmu nanti, jagoan Papa… cepat besar ya, jadi kamu bisa menempatinya nanti…” ucap Bastian pada Kenzo yang ada di dalam gendongannya. Ia bahkan memperlihatkan pada Kenzo jendela kamarnya yang menghadap ke arah danau di belakang rumah. Kanaya tersenyu