"Bisa Saya bicara denganmu? Berdua saja.”
Dokter Indra datang ke restoran saat Kanaya sedang bekerja.
Kanaya tidak menyangka jika dokter klinik kesuburan itu datang mencarinya.
Apa yang ia inginkan? Bukankah urusan mereka sudah selesai?
Beberapa hari yang lalu Kanaya diketahui mempunyai alergi pada salah satu zat yang ada di hormon kesuburan yang disuntikkan padanya.
Untung saja Dokter Indra datang tepat waktu untuk menyelamatkan Kanaya kala itu.
Namun yang membuat Kanaya heran, alergi itu tidak terdeteksi sebelumnya.
Menurut Dokter Indra, zat itu sebenarnya tidak berbahaya. Akan tetapi, kekebalan tubuh Kanaya mengidentifikasi zat itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi tubuhnya. Itu sebabnya tidak ada yang menyangka jika Kanaya memiliki reaksi alergi pada obat itu.
Dan nahasnya lagi, zat itu terdapat pada semua jenis obat hormon kesuburan yang ada yang sangat penting dalam memastikan kualitas sel telur yang akan digunakan sebagai donor.
Jika dipaksakan, akan berefek pada kesuburan Kanaya dikemudian hari. Oleh sebab itu, kesepakatan mereka tidak bisa dilanjutkan.
Hati Kanaya begitu sedih saat mendengar kabar itu. Harapan untuk memperoleh uang untuk biaya transplantasi jantung ibunya pun pupus sudah.
Namun Kanaya tidak memaksakan diri. Ia menganggap jika semua itu belum menjadi rejekinya. Ia yakin akan ada pintu rejeki lain yang akan mengetuknya jika ia terus berdoa dan berusaha.
"Ada apa Dokter menemui saya?”
Mereka berbicara di dalam mobil Dokter Indra untuk menjaga kerahasiaan.
"Kamu masih ingin mendapatkan uang?" tanya Dokter Indra sambil menatap Kanaya.
Kanaya mengerutkan keningnya dengan curiga. "Maksud Dokter?"
Bukan sekali dua kali pria hidung belang mencoba merayunya dengan iming-iming uang, tetapi Kanaya selalu menolaknya. Meski ia butuh uang, Ia lebih memeilih bekerja di dua tempat sekaligus dari pada bekerja melayani para pria hidung belang.
"Kanaya, klien Saya masih menginginkan kamu menjadi donor dan ibu pengganti untuk anaknya." Penjelasan Dokter Indra menepis pikiran buruk yang sempat berseliweran di benak Kanaya.
"Bukankah dokter mengatakan kalau Saya tidak bisa lagi menjadi donor?" Kanaya bingung, kenapa tiba-tiba dokter itu menawarinya lagi?
"Begini," ucap Dokter Indra seakan tengah mencari kata-kata yang tepat. "Kamu bukan tidak bisa menjadi donor. Tetapi lebih tepatnya kamu tidak bisa menjadi donor bayi tabung."
Kanaya mencerna kalimat Dokter itu, tetapi ia masih tidak yakin dengan pemahamannya. Apakah yang ia pikirkan sama dengan yang dokter itu maksudkan?
"Kanaya, Saya menawarkan kamu untuk menjadi ibu pengganti sekaligus donor melalui pembuahan alami." Meski terlihat tenang, Kanaya bisa merasakan kecanggungan dari sikap Dokter di hadapannya.
Pembuahan alami, apa maksudnya...?
Kanaya menatap Dokter Indra dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Pembuahan alami yang Dokter maksud, maaf-- Saya harus berhubungan badan dengan-- klien dokter?"
Apa itu yang Dokter Indra maksudkan? Kanaya berharap ia salah.
"Ya. Itulah yang Saya coba katakan," Dokter Indra mengakui dengan canggung, ada sedikit rasa tidak enak hati dari tatapan matanya.
Ekspresi wajah Kanaya berubah. Meski Dokter tidak mengatakannya dengan seronok, namun tetap saja hal itu membuatnya merasa malu.
"Kanaya, ini bukan tentang berhubungan badan untuk memuaskan hawa nafsu. Tetapi ini murni untuk tujuan pembuahan sel telur se-alami mungkin agar kamu bisa hamil anak mereka tanpa resiko menjadi mandul ataupun sakit," Dokter Indra cepat-cepat menjelaskan bahwa apa yang ia tawarkan bukanlah sebuah transaksi jual diri untuk pemuasan nafsu belaka, namun sebuah proses pembuahan calon bayi di dalam rahimnya.
Kanaya masih termangu dengan kening berkerut. "Kenapa harus Saya? Kenapa mereka tidak tidak mencari ibu pengganti yang lain?”
Mereka bisa saja melakukan program bayi tabung dengan wanita lain bukan? Kenapa mereka bersikeras ingin dirinya yang menjadi ibu pengganti anak mereka bahkan melalui pembuahan alami?
"Klien saya sangat mencintai istrinya. Dan dia pun sebenarnya tidak mau melakukan hal ini. Akan tetapi karena kamu memiliki kriteria yang mereka inginkan secara genetik, mereka tetap memilih kamu, Kanaya.” Dokter Indra menekankan kata genetik.
Ucapan Dokter Indra jauh dari kata seronok. Ia tampak sangat profesional bahkan dalam menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif.
“Kriteria genetik apa?” Kanaya ingin mengetahuinya.
“Ada banyak faktor. Salah satunya adalah kamu memiliki golongan darah yang paling tepat untuk menjadi ibu biologis anak itu.”
Kanaya mulai paham dengan alasan mereka memilihnya. Ia memiliki golongan darah AB- yang termasuk dalam golongan darah yang langka yang hanya dimiliki oleh kurang dari 1% penghuni dunia.
Ia mengerti mengapa mereka bersikukuh ingin menjadikan dirinya ibu biologis anak mereka. Namun begitu, Kanaya punya pertimbangan lain.
"Maaf Dokter, dengan menyesal, Saya tidak bisa," jawab Kanaya setelah berpikir selama beberapa saat.
Dokter Indra menghela nafas. "Kanaya, Saya tahu kamu membutuhkan uang untuk ibumu. Dan klien Saya ini rela mengeluarkan uang lebih."
"Tidak hanya dia akan memberimu uang kompensasi sejumlah ratusan juta, namun juga membiayai semua perawatan ibumu termasuk 20 miliar yang kamu minta untuk biaya transplantasi jantung."
Uang itu benar-benar sangat dibutuhkannya, tetapi…
"Kamu seorang yang baik Kanaya. Dengan melakukan ini kamu tidak hanya akan menolong ibumu, tetapi juga menolong orang lain yang sangat membutuhkan bantuanmu," tambah Indra lagi, kali ini mengedepankan alasan kebaikan, motif yang bisa mendorong seseorang untuk mau melakukan suatu hal yang bermanfaat.
Kanaya terdiam. Ia mengalami pertentangan batin.
Kanaya bukan tidak ingin membantu atau tidak membutuhkan uang itu, tetapi jika harus berhubungan badan dengan pria asing, ia tidak bisa melakukannya.
Kanaya tidak ingin berbuat dosa dengan berzina.
Ya, berzina. Bukankah pembuahan alami dengan pria yang bukan suaminya adalah berzina?
Almarhum Ayahnya selalu berpesan agar ia selalu menjaga kesuciannya karena dia seorang perempuan.
Seorang perempuan harus menjaga marwah dirinya, karena hanya dengan harga diri, seseorang bisa memiliki nilai tidak hanya di mata Tuhan-nya, namun juga orang lain.
Mematuhi ucapan ayahnya, Kanaya tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan intim dengan lawan jenis, terkecuali...
"Saya punya satu syarat lagi dokter. Jika mereka tidak keberatan, maka akan saya lakukan," ucap Kanaya akhirnya memberanikan diri membuat persyaratan tambahan.
"Katakanlah, biar saya sampaikan kepada mereka. Apa yang kamu inginkan?"
Raut wajah Dokter itu berubah menjadi kurang enak dilihat. Namun dia masih tersenyum.
Kanaya menelan ludahnya sebelum berkata, "Saya ingin dinikahi." Lalu cepat-cepat mengoreksi, "Secara agama saja."
Dokter Indra menatap Kanaya dengan tertegun.
Kanaya tahu persisi apa yang ada dalam pikiran dokter itu. Ia pun menjelaskan.
"Dokter, Saya memang membutuhkan uang itu. Tetapi Saya takut berdosa jika berzina."
"Lagipula, Saya tidak ingin anak yang lahir nantinya menjadi anak haram dimata agama. Bagaimana Saya bisa mempertanggungjawabkannya kelak?"
Kanaya tidak ingin mereka salah paham dengan permintaannya.
Dokter Indra masih saja tertegun menatap Kanaya, seakan ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kanaya.
"Klien Dokter bisa menalak Saya setelah anak itu lahir. Saya tidak keberatan. Niat Saya hanya ingin menyembuhkan ibu Saya, bukan untuk mengejar hal lain.” Kanaya meyakinkan dokter itu jika ia tidak punya motif terselubung dengan meminta dinikahi.
Untuk beberapa lama Dokter Indra terdiam sebelum merespon, "Baiklah, permintaanmu akan aku sampaikan. Ada hal lain?"
Kanaya menggeleng. Semua yang dijanjikan kepadanya sudah lebih dari cukup. Ia hanya ingin ibunya sembuh.
Dokter Indra mengangguk mengerti dan berjanji akan memberitahu keputusannya nanti.
Kanaya duduk termangu di sebuah kamar dalam balutan kebaya putih sederhana.Beberapa hari yang lalu, Dokter Indra memberitahukannya jika kliennya setuju menikahinya secara agama. Dan hari ini, pernikahan itu akan diselenggarakan di sebuah rumah di jalan Sunset Summit.Rumah satu lantai itu terletak di sebuah kawasan elit. Di kawasan seperti ini, orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak saling berinteraksi. Mereka sangat individual dan tidak pernah bertegur sapa satu sama lainnya.Tidak ada tetangga yang tahu apa yang sedang terjadi di rumah itu. Dan mereka tidak usil mencari tahu. Menjaga privasi adalah hal yang lumrah.Dokter Indra baru saja datang mengatakan jika kliennya akan datang menemuinya. Dan jantung Kanaya berdebar kencang ingin tahu siapa orang yang 'menyewa' rahimnya dan 'membeli' sel telurnya. Orang yang akan menikahinya dan menjadi ayah biologis anaknya kelak.Siapa mereka? Apa ia pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?Kanaya berdiri saat pintu kamarnya terbuka dan m
Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.Akan tetapi, hari ini berbeda. Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.Kanaya bukan berasal dari keluar
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
"Non, habiskan ya buahnya," Sifa menaruh sepiring buah-buahan segar yang telah dikupas dan di potong ke atas meja di teras belakang. Kanaya yang sakit sejak beberapa hari yang lalu sedang duduk di tepi kolam ikan koi di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan tangannya ke dalam kolam dan menyentuh punggung ikan-ikan yang cantik itu. Bermain dengan ikan-ikan itu membuatnya tersenyum dan menghilangkan kebosanan yang ia rasakan. Selama tiga hari ia tidak keluar dari kamar karena Dokter Indra menyuruhnya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Setelah malam 'pembuahan' itu, bagian kewanitaannya terasa perih karena terluka. Ia bahkan sulit untuk berjalan. Akibatnya ia hanya beristirahat saja di atas ranjang. Baru pagi ini ia berani keluar kamar. Tubuhnya sudah terasa lebih baik, meski terkadang masih ada sedikit rasa nyeri. Kanaya sengaja ingin berjalan di taman, menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi untuk mengusir rasa jenuhnya. "Oke Bi, terima kasi
Kanaya termangu menatap Bastian, berpikir apakah Bastian berbicara kepadanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jika ada orang lain yang diajak bicara oleh pria dingin itu. Pintu penumpang depan terbuka dan seorang pria yang kerap berada di dekat Bastian menghampirinya. Kanaya tidak tahu siapa pria itu, namun ia ingat pria itu ada saat pernikahan mereka, dan dia juga ada di dalam rumah sakit bersama Bastian. Kanaya menduga dia adalah orang kepercayaan Bastian, mungkin asisten, sekertaris atau mungkin juga bodyguard? "Bu Kanaya, silahkan masuk, Bapak sudah menunggu," Ezra dengan sopan membukakan pintu untuk Kanaya, membuat Kanaya semakin merasa canggung disebut 'Ibu'. "Mm... Tidak apa, Saya sudah pesan taksi, saya--" "Masuk!" Bastian memotong ucapan Kanaya dengan tidak sabar. Mendengar suara keras dan tegas itu, Kanaya pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa berpikir panjang. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia bertemu Bastian. Sebuah dinding i
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob
Kanaya terduduk diam di dalam mobil yang membawanya kembali ke rumah Reno. Sesekali airmatanya menetes tanpa bisa dicegah. “Kanaya, aku tahu apa yang kamu rasakan. Tidak apa untuk menangis…” ucap Reno pelan dari tempatnya duduk. Walaupun ia merasa senang segala sesuatu terjadi sesuai dengan keinginannya, akan tetapi melihat raut wajah Kanaya yang begitu sedih, hatinya pun ikut merasa sedih. Saat di hotel tadi, Reno sengaja membiarkan Kanaya sendiri untuk waktu yang lama sambil ia memperhatikan apa yang terjadi dan menunggu saat yang tepat untuk ia keluar menjadi pahlawannya. Awalnya Reno tidak menyangka jika Kanaya akan bertemu dengan Miranda, atau bahkan Azhar. Akan tetapi semua itu hanya membuat keadaan semakin menguntungkan baginya. Terbukti Kanaya merasa “sangat nyaman” saat ia datang “menyelamatkannya”. Reno yakin, sedikit demi sedikit ia akan bisa mengambil hati Kanaya, dan membuatnya melupakan Bastian. Kanaya tidak menimpali ucapan Reno dan hanya memejamkan matanya. Ia h
Kanaya dengan cepat menoleh, menatap Reno. Ia sangat terkejut dengan pernyataan pria itu. Bagaimana mungkin dia mengatakan mereka berdua bertunangan?! Reno balas menatapnya dengan penuh arti. Jari tangan Reno dipinggang Kanaya membuat penekanan, mengirim kode pada Kanaya. “Kenapa sayang? Sudah waktunya kita memberitahu mereka bukan?” Kanaya ingin mengatakan tidak. Ujung lidahnya sudah ingin bicara. Namun, bisikan Reno menghentikannya. “Ikuti saja apa yang aku lakukan. Bukankah kamu ingin tahu reaksi Bastian?” Kanaya belum sempat merespon saat Reno sudah kembali berbicara. Kali ini ditujukan kepada Azhar. “Kakek benar. Sekarang sudah waktunya aku memikirkan masa depan dan tidak lagi bermain-main. Aku akan menikah… dengan Kanaya.” Semua yang ada di sana terkejut mendengarnya. Elsie dan Kanaya langsung menoleh ke arah Bastian. Bahkan Reno ikut melirik ke arah Bastian dan tersenyum padanya. Akan tetapi Bastian tampak sangat santai meresponnya. Ekspresi wajahnya tampak datar saja. Ti
Bastian? Apakah itu suara Bastian? Kanaya yang sudah mengangkat tangannya untuk menahan tangan Elsie, segera menurunkannya, dan dengan cepat menoleh. Begitu pula dengan Elsie. Tangan kanan Elsie berhenti di tengah udara, terlebih saat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang sangat familiar. Ia dengan segera menurunkan tangannya dan berbalik badan dengan gugup. Jantung Kanaya berdebar sangat kencang saat ia melihat pria yang sangat di rindukannya berjalan ke arah mereka. Bastian… Batin Kanaya menyebut namanya dalam hati sambil menatap pria yang sudah lama tidak ditemuinya itu. Bastian terlihat sangat tampan dengan baju batik yang dikenakannya. Ia berjalan tegap ke arah mereka. Nafas Kanaya serasa berhenti saat pandangan mata Bastian beralih dari Elsie kepadanya, dan kedua mata mereka terkunci, saling menatap satu sama lain. Saat itu, dunia seakan berhenti berputar, dan waktu berjalan dengan sangat lambat. Yang ada dalam pandangan mata Kanaya hanyalah Bastian seorang. Piki
“Kanaya, beraninya kamu datang ke sini! Apa kamu tidak takut mati?!” seru Elsie dengan geram. Ia sudah menahan diri untuk memaki-maki Kanaya sejak tadi.Dan begitu Miranda pergi, ini lah kesempatan yang ia sudah tunggu sejak tadi!“Kenapa aku tidak boleh datang ke sini? Dan kenapa aku harus takut padamu? Atau.. justru kamu takut aku akan membocorkan semua perbuatan jahatmu?” balas Kanaya sekaligus menggertak Elsie.Kanaya menatap Elsie dengan sama tajamnya. Ia tidak boleh takut pada Elsie, sebab jika ia menunjukkan kelemahannya, Elsie akan semakin berbuat semena-mena. Toh Elsie tidak bisa melakukan apa-apa padanya di tempat itu. Jika Elsie berbuat sesuatu padanya, mustahil tidak ada yang melihat perbuatannya. Dan lagi, orang seperti Elsie tidak mungkin menghancurkan nama baiknya sendiri dengan berbuat sesuatu yang tidak patut di muka umum.Elsie terkejut mendengar Kanaya berani menjawabnya dengan lantang. Kanaya yang ia kenal sebelumnya adalah seorang yang tidak akan melawannya. Kan