"Bisa Saya bicara denganmu? Berdua saja.”
Dokter Indra datang ke restoran saat Kanaya sedang bekerja.
Kanaya tidak menyangka jika dokter klinik kesuburan itu datang mencarinya.
Apa yang ia inginkan? Bukankah urusan mereka sudah selesai?
Beberapa hari yang lalu Kanaya diketahui mempunyai alergi pada salah satu zat yang ada di hormon kesuburan yang disuntikkan padanya.
Untung saja Dokter Indra datang tepat waktu untuk menyelamatkan Kanaya kala itu.
Namun yang membuat Kanaya heran, alergi itu tidak terdeteksi sebelumnya.
Menurut Dokter Indra, zat itu sebenarnya tidak berbahaya. Akan tetapi, kekebalan tubuh Kanaya mengidentifikasi zat itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi tubuhnya. Itu sebabnya tidak ada yang menyangka jika Kanaya memiliki reaksi alergi pada obat itu.
Dan nahasnya lagi, zat itu terdapat pada semua jenis obat hormon kesuburan yang ada yang sangat penting dalam memastikan kualitas sel telur yang akan digunakan sebagai donor.
Jika dipaksakan, akan berefek pada kesuburan Kanaya dikemudian hari. Oleh sebab itu, kesepakatan mereka tidak bisa dilanjutkan.
Hati Kanaya begitu sedih saat mendengar kabar itu. Harapan untuk memperoleh uang untuk biaya transplantasi jantung ibunya pun pupus sudah.
Namun Kanaya tidak memaksakan diri. Ia menganggap jika semua itu belum menjadi rejekinya. Ia yakin akan ada pintu rejeki lain yang akan mengetuknya jika ia terus berdoa dan berusaha.
"Ada apa Dokter menemui saya?”
Mereka berbicara di dalam mobil Dokter Indra untuk menjaga kerahasiaan.
"Kamu masih ingin mendapatkan uang?" tanya Dokter Indra sambil menatap Kanaya.
Kanaya mengerutkan keningnya dengan curiga. "Maksud Dokter?"
Bukan sekali dua kali pria hidung belang mencoba merayunya dengan iming-iming uang, tetapi Kanaya selalu menolaknya. Meski ia butuh uang, Ia lebih memeilih bekerja di dua tempat sekaligus dari pada bekerja melayani para pria hidung belang.
"Kanaya, klien Saya masih menginginkan kamu menjadi donor dan ibu pengganti untuk anaknya." Penjelasan Dokter Indra menepis pikiran buruk yang sempat berseliweran di benak Kanaya.
"Bukankah dokter mengatakan kalau Saya tidak bisa lagi menjadi donor?" Kanaya bingung, kenapa tiba-tiba dokter itu menawarinya lagi?
"Begini," ucap Dokter Indra seakan tengah mencari kata-kata yang tepat. "Kamu bukan tidak bisa menjadi donor. Tetapi lebih tepatnya kamu tidak bisa menjadi donor bayi tabung."
Kanaya mencerna kalimat Dokter itu, tetapi ia masih tidak yakin dengan pemahamannya. Apakah yang ia pikirkan sama dengan yang dokter itu maksudkan?
"Kanaya, Saya menawarkan kamu untuk menjadi ibu pengganti sekaligus donor melalui pembuahan alami." Meski terlihat tenang, Kanaya bisa merasakan kecanggungan dari sikap Dokter di hadapannya.
Pembuahan alami, apa maksudnya...?
Kanaya menatap Dokter Indra dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Pembuahan alami yang Dokter maksud, maaf-- Saya harus berhubungan badan dengan-- klien dokter?"
Apa itu yang Dokter Indra maksudkan? Kanaya berharap ia salah.
"Ya. Itulah yang Saya coba katakan," Dokter Indra mengakui dengan canggung, ada sedikit rasa tidak enak hati dari tatapan matanya.
Ekspresi wajah Kanaya berubah. Meski Dokter tidak mengatakannya dengan seronok, namun tetap saja hal itu membuatnya merasa malu.
"Kanaya, ini bukan tentang berhubungan badan untuk memuaskan hawa nafsu. Tetapi ini murni untuk tujuan pembuahan sel telur se-alami mungkin agar kamu bisa hamil anak mereka tanpa resiko menjadi mandul ataupun sakit," Dokter Indra cepat-cepat menjelaskan bahwa apa yang ia tawarkan bukanlah sebuah transaksi jual diri untuk pemuasan nafsu belaka, namun sebuah proses pembuahan calon bayi di dalam rahimnya.
Kanaya masih termangu dengan kening berkerut. "Kenapa harus Saya? Kenapa mereka tidak tidak mencari ibu pengganti yang lain?”
Mereka bisa saja melakukan program bayi tabung dengan wanita lain bukan? Kenapa mereka bersikeras ingin dirinya yang menjadi ibu pengganti anak mereka bahkan melalui pembuahan alami?
"Klien saya sangat mencintai istrinya. Dan dia pun sebenarnya tidak mau melakukan hal ini. Akan tetapi karena kamu memiliki kriteria yang mereka inginkan secara genetik, mereka tetap memilih kamu, Kanaya.” Dokter Indra menekankan kata genetik.
Ucapan Dokter Indra jauh dari kata seronok. Ia tampak sangat profesional bahkan dalam menyampaikan sesuatu yang sangat sensitif.
“Kriteria genetik apa?” Kanaya ingin mengetahuinya.
“Ada banyak faktor. Salah satunya adalah kamu memiliki golongan darah yang paling tepat untuk menjadi ibu biologis anak itu.”
Kanaya mulai paham dengan alasan mereka memilihnya. Ia memiliki golongan darah AB- yang termasuk dalam golongan darah yang langka yang hanya dimiliki oleh kurang dari 1% penghuni dunia.
Ia mengerti mengapa mereka bersikukuh ingin menjadikan dirinya ibu biologis anak mereka. Namun begitu, Kanaya punya pertimbangan lain.
"Maaf Dokter, dengan menyesal, Saya tidak bisa," jawab Kanaya setelah berpikir selama beberapa saat.
Dokter Indra menghela nafas. "Kanaya, Saya tahu kamu membutuhkan uang untuk ibumu. Dan klien Saya ini rela mengeluarkan uang lebih."
"Tidak hanya dia akan memberimu uang kompensasi sejumlah ratusan juta, namun juga membiayai semua perawatan ibumu termasuk 20 miliar yang kamu minta untuk biaya transplantasi jantung."
Uang itu benar-benar sangat dibutuhkannya, tetapi…
"Kamu seorang yang baik Kanaya. Dengan melakukan ini kamu tidak hanya akan menolong ibumu, tetapi juga menolong orang lain yang sangat membutuhkan bantuanmu," tambah Indra lagi, kali ini mengedepankan alasan kebaikan, motif yang bisa mendorong seseorang untuk mau melakukan suatu hal yang bermanfaat.
Kanaya terdiam. Ia mengalami pertentangan batin.
Kanaya bukan tidak ingin membantu atau tidak membutuhkan uang itu, tetapi jika harus berhubungan badan dengan pria asing, ia tidak bisa melakukannya.
Kanaya tidak ingin berbuat dosa dengan berzina.
Ya, berzina. Bukankah pembuahan alami dengan pria yang bukan suaminya adalah berzina?
Almarhum Ayahnya selalu berpesan agar ia selalu menjaga kesuciannya karena dia seorang perempuan.
Seorang perempuan harus menjaga marwah dirinya, karena hanya dengan harga diri, seseorang bisa memiliki nilai tidak hanya di mata Tuhan-nya, namun juga orang lain.
Mematuhi ucapan ayahnya, Kanaya tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan intim dengan lawan jenis, terkecuali...
"Saya punya satu syarat lagi dokter. Jika mereka tidak keberatan, maka akan saya lakukan," ucap Kanaya akhirnya memberanikan diri membuat persyaratan tambahan.
"Katakanlah, biar saya sampaikan kepada mereka. Apa yang kamu inginkan?"
Raut wajah Dokter itu berubah menjadi kurang enak dilihat. Namun dia masih tersenyum.
Kanaya menelan ludahnya sebelum berkata, "Saya ingin dinikahi." Lalu cepat-cepat mengoreksi, "Secara agama saja."
Dokter Indra menatap Kanaya dengan tertegun.
Kanaya tahu persisi apa yang ada dalam pikiran dokter itu. Ia pun menjelaskan.
"Dokter, Saya memang membutuhkan uang itu. Tetapi Saya takut berdosa jika berzina."
"Lagipula, Saya tidak ingin anak yang lahir nantinya menjadi anak haram dimata agama. Bagaimana Saya bisa mempertanggungjawabkannya kelak?"
Kanaya tidak ingin mereka salah paham dengan permintaannya.
Dokter Indra masih saja tertegun menatap Kanaya, seakan ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kanaya.
"Klien Dokter bisa menalak Saya setelah anak itu lahir. Saya tidak keberatan. Niat Saya hanya ingin menyembuhkan ibu Saya, bukan untuk mengejar hal lain.” Kanaya meyakinkan dokter itu jika ia tidak punya motif terselubung dengan meminta dinikahi.
Untuk beberapa lama Dokter Indra terdiam sebelum merespon, "Baiklah, permintaanmu akan aku sampaikan. Ada hal lain?"
Kanaya menggeleng. Semua yang dijanjikan kepadanya sudah lebih dari cukup. Ia hanya ingin ibunya sembuh.
Dokter Indra mengangguk mengerti dan berjanji akan memberitahu keputusannya nanti.
Kanaya duduk termangu di sebuah kamar dalam balutan kebaya putih sederhana.Beberapa hari yang lalu, Dokter Indra memberitahukannya jika kliennya setuju menikahinya secara agama. Dan hari ini, pernikahan itu akan diselenggarakan di sebuah rumah di jalan Sunset Summit.Rumah satu lantai itu terletak di sebuah kawasan elit. Di kawasan seperti ini, orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak saling berinteraksi. Mereka sangat individual dan tidak pernah bertegur sapa satu sama lainnya.Tidak ada tetangga yang tahu apa yang sedang terjadi di rumah itu. Dan mereka tidak usil mencari tahu. Menjaga privasi adalah hal yang lumrah.Dokter Indra baru saja datang mengatakan jika kliennya akan datang menemuinya. Dan jantung Kanaya berdebar kencang ingin tahu siapa orang yang 'menyewa' rahimnya dan 'membeli' sel telurnya. Orang yang akan menikahinya dan menjadi ayah biologis anaknya kelak.Siapa mereka? Apa ia pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?Kanaya berdiri saat pintu kamarnya terbuka dan m
Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.Akan tetapi, hari ini berbeda. Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.Kanaya bukan berasal dari keluar
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
"Non, habiskan ya buahnya," Sifa menaruh sepiring buah-buahan segar yang telah dikupas dan di potong ke atas meja di teras belakang. Kanaya yang sakit sejak beberapa hari yang lalu sedang duduk di tepi kolam ikan koi di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan tangannya ke dalam kolam dan menyentuh punggung ikan-ikan yang cantik itu. Bermain dengan ikan-ikan itu membuatnya tersenyum dan menghilangkan kebosanan yang ia rasakan. Selama tiga hari ia tidak keluar dari kamar karena Dokter Indra menyuruhnya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Setelah malam 'pembuahan' itu, bagian kewanitaannya terasa perih karena terluka. Ia bahkan sulit untuk berjalan. Akibatnya ia hanya beristirahat saja di atas ranjang. Baru pagi ini ia berani keluar kamar. Tubuhnya sudah terasa lebih baik, meski terkadang masih ada sedikit rasa nyeri. Kanaya sengaja ingin berjalan di taman, menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi untuk mengusir rasa jenuhnya. "Oke Bi, terima kasi
Kanaya termangu menatap Bastian, berpikir apakah Bastian berbicara kepadanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jika ada orang lain yang diajak bicara oleh pria dingin itu. Pintu penumpang depan terbuka dan seorang pria yang kerap berada di dekat Bastian menghampirinya. Kanaya tidak tahu siapa pria itu, namun ia ingat pria itu ada saat pernikahan mereka, dan dia juga ada di dalam rumah sakit bersama Bastian. Kanaya menduga dia adalah orang kepercayaan Bastian, mungkin asisten, sekertaris atau mungkin juga bodyguard? "Bu Kanaya, silahkan masuk, Bapak sudah menunggu," Ezra dengan sopan membukakan pintu untuk Kanaya, membuat Kanaya semakin merasa canggung disebut 'Ibu'. "Mm... Tidak apa, Saya sudah pesan taksi, saya--" "Masuk!" Bastian memotong ucapan Kanaya dengan tidak sabar. Mendengar suara keras dan tegas itu, Kanaya pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa berpikir panjang. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia bertemu Bastian. Sebuah dinding i
“Saya mengerti mengapa Bapak ingin melegalkan pernikahan Bapak dan Ibu Kanaya. Hal ini tidak terlepas dari terbebasnya Bapak dari rasa tanggung jawab dan janji kepada Ibu Elsie…” Aliya menyimpulkan. Diluar dugaan, Bastian menggeleng. “Anda salah paham. Itu bukan alasan mengapa saya berniat melegalkan pernikahan saya dengan Kanaya. Tetapi hal itu adalah alasan mengapa saya menceraikan Elsie.” Aliya terdiam mencerna ucapan Bastian. “Saya pernah mengatakan bahwa perceraian saya dan Elsie tidak ada hubungannya dengan Kanaya ataupun perihal keturunan. Sekarang kalian mengetahui bahwa kebohongan Elsie dan tipu muslihatnya adalah alasan sebenarnya perceraian kami.” Sampai di sini Aliya mengangguk mengerti. “Akan tetapi kalau Anda menanyakan mengapa saya ingin melegalkan pernikahan saya bersama Kanaya,” ucap Bastian sambil menoleh dan tersenyum pada Kanaya. Ia lalu mengangkat tangan Kanaya dan mengecup punggung tangan istrinya itu. “Alasan sebenarnya sangat mudah dan masuk akal
“Benar. Penculikan itu hanyalah sebuah sandiwara agar Bastian dan keluarga Dwipangga berhutang budi. Dan saya harus bersedia menanggung hukumannya.” “Berhutang budi pada siapa?” “Pada orang yang merencanakan penculikan itu.” “Maksud anda Ravioli?” “Ravioli adalah sekutu mereka. Ada orang lain yang mendalangi dan merencanakan penculikan itu.” “Bisa anda sebutkan siapa orangnya?” “Felix Gunawan dan putrinya, Elsiana.” “Anda yakin? Anda bisa mempertanggungjawabkan ucapan anda?” “Saya bertemu langsung dengan mereka berdua. Dan merekalah yang menyuruh Ravioli untuk mencari orang untuk mengerjakan pekerjaan itu.” “Elsiena baru berusia 18 tahun saat itu. Anda yakin dia ikut merencanakan dan bukan hanya ikut-ikutan saja?” Terdengar sosok itu terkekeh. “Dia yang merencanakan setiap detil penculikan bahkan sampai kepada bagaimana dia akan menyelamatkan Bastian.” Bastian menatap tak berkedip pada rekaman wawancara itu. Memang itulah yang diakui Andre padanya saat ia menemukan pria itu
Wawancara Ekslusif yang dilakukan oleh reporter Aliya dari LiveTV sedang berlangsung dan ditonton oleh jutaan orang yang ada di Emerald City dan bahkan Eastasia. Press conference adalah satu hal, tetapi wawancara ekskkusif adalah hal lain yang juga dinanti. Karena dalam wawancara itu, mereka akan menemukan banyak hal lain yang tidak diceritakan dalam press conference yang bersifat lebih pribadi. “Bagaimana perasaan Bapak dengan dikabulkannya gugatan cerai?” Wawancara itu dilakukan tidak lama setelah keluarnya putusan pengadilan mengenai gugatan cerai Bastian dikabulkan oleh Pengadilan Agama, hanya berselang dua hari saja dari waktu press conference itu dilaksanakan. “Seperti sudah saya katakan sebelumnya, Saya dan Elsie memiliki tujuan yang berbeda dalam hidup. Kami berdua tidak mungkin lagi untuk terus berada dalam ikatan rumah tangga yang sama. Dan kalian melihat sendiri apa yang terjadi dalam sidang di Pengadilan Agama. Tentu dengan adanya putusan pengadilan ini, saya hanya bi
“Apa yang kamu lakukan di situ? Kenapa diam saja?” tanya Miranda sambil berjalan ke arahnya. “Aku… Ibu Miranda… aku—” Ucapan gugup Kanaya itu terhenti oleh pelukan hangat di tubuhnya. “Kanaya, aku senang sekali saat mendengar berita pernikahan kalian!” seru Miranda dengan sangat antusias setelah ia melepaskan pelukannya. Dipeganginya kedua lengan Kanaya. “Maafkan kami, Kanaya. Bukan kami tidak ingin menemuimu, tetapi anak tidak tahu diri ini—” Miranda menoleh pada Bastian—yang tersenyum dengan canggung, “—melarang kami untuk menemuimu dan Kenzo!” Miranda kemudian kembali menatap Kanaya. Senyum diwajahnya terlihat jelas. “Ini mungkin terdengar aneh. Tetapi saat kali pertama kita bertemu, aku sempat berpikir—seandainya aku bertemu denganmu sejak dulu, sudah pasti aku bisa menjodohkanmu dengan Bastian.” Kedua pipi Kanaya menghangat oleh pengakuan Miranda itu yang terdengar sebagai pujian ditelinganya. “Dan ternyata jodoh itu tidak ke mana. Bukan begitu Kanaya?” tanya Miranda dengan
“Kamu sangat cantik, Sayang.” Kanaya sedang mematut dirinya di depan cermin saat ia mendengar suara Bastian memujinya. Ia pun menoleh dan mendapati suaminya itu tengah berdiri di depan pintu sambil menatap ke arahnya. Senyum terkembang di bibir Kanaya. “Benarkah?” Dengan tersenyum Bastian berjalan mendekat. Ia memeluk Kanaya dari belakang, dan meletakkan dagunya di pundak Kanaya. “Kapan aku pernah berbohong padamu?” tanyanya sambil menatap Kanaya melalui pantulan kaca cermin di hadapan mereka. “Bagiku kamu wanita paling cantik yang pernah kukenal.” Rona merah tidak bisa ditutupi dari wajah Kanaya, terlebih saat ia tersenyum tersipu malu. “Dress ini cantik sekali dipakai olehmu,” puji Bastian lagi sembari memperhatikan Kanaya yang mengenakan baju terusan lengan panjang berwarna soft lavender itu. Warna dress itu membuat penampilan Kanaya sangat manis dan membuat kulitnya terlihat lebih glowing dan segar. “Menurutmu, tidak apa kalau aku memakai ini?” Sejak tadi ia merasa tidak
Sementara itu, di rumah tahanan pria, Ravioli sedang bertemu Jono, anak buahnya. Brak! “Bagaimana mungkin rekaman itu bisa bocor?” tanya Ravioli dengan menggebrak meja sampai Jono terkejut. “Saya tidak tahu siapa yang membocorkannya, Bos,” jawab Jono yang duduk dihadapan Ravioli sambil menundukkan wajahnya. Ravioli bertambah kesal. Ia menarik kerah baju Jono dengan kedua tanganya dengan kasar. “Apa kamu bekerja terlalu santai?! Mencari tahu siapa yang melakukan itu saja kamu tidak becus!” hardik Ravioli dengan tatapan bengis di depan wajah Jono. Jono menggeleng. “Tidak Bos, maaf,” ucapnya dengan menunduk. Ravioli mendengus kasar. “Cari tahu siapa orang yang berani mencuri rekaman itu dan mengedarkannya! Aku mau dia dihabisi, tanpa ampun!” perintahnya dengan geram di depan wajah tangan kanannya itu. “Baik Bos…” jawab Jono sambil menunduk. Ravioli menghempaskan Jono dengan kasar sebelum ia menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya dan kembali duduk bersandar di kursi. “Cari
“Aaaarrrgghhh! KELUAR! SEMUA KELUAR!” teriak Elsie sambil membanting semua barang yang ada di dekatnya ke arah petugas medis yang ada di ruangan itu. “Jangan dekat-dekat!” Bahkan Agni yang ada di sana tampak sangat ketakutan melihat Elsie mengamuk seperti itu. Otomatis semua yang ada di sana terpaksa mundur , dan hanya bisa memperhatikan keadaan Elsie dari depan pintu kamar. Elsie dibawa ke rumah sakit itu setelah ia tidak sadarkan diri dalam sidang yang telah berkangsung. Barulah ia tersadar dari pingsannya, ia langsung teringat apa yang terjadi hari itu. Dan Elsie merasakan amarah yang besar bergejolak dalam dirinya. Ia marah pada Rico, saksi kunci di pihaknya yang ternyata justru bersaksi melawannya! Lancang sekali Rico berbuat itu setelah apa yang telah ia lakukan untuknya! Ia juga marah pada press conference yang digelar Bastian hari itu yang telah membicarakan mengenai perbuatan yang telah ia lakukan dan alasan Bastian menuntutnya secara hukum! Bastian pasti sengaja mel
Merasa Bastian sedang menatapnya, Kanaya mendongak, menatao balik Bastian. “Mengenai video itu…” ucap Kanaya menerangkan maksud ucapannya sambil menatap penuh arti. Bastian mengangkat alisnya dan bertanya dengan serius. “Kamu melihatnya? Mencari berita itu?” Kanaya menggeleng sembari mengangkat kepalanya dari dada Bastian. “Aku juga mendapat kiriman video itu. Tapi saat aku mau membukanya, video itu sudah terblokir,” jawab Kanaya dengan jujur. Raut wajah Bastian melembut. “Kenapa kamu ingin melihatnya?” tanya Bastian dengan terkekeh pelan dan menjentik ujung hidung Kanaya. Wajah Kanaya memerah seketika. “Aku—aku bukan ingin melihatnya. Maksudku— aku cuma ingin tahu apakah benar itu video yang mereka bicarakan, karena mereka mengatakan video itu disebar melalui pesan singkat!” Kanaya mencoba menerangkan pada Bastian bahwa ia tidak bermaksud menonton video asusila tersebut dan hanya ingin mengeceknya saja. Bastian terkekeh melihat Kanaya berusaha menerangkan dirinya. “Kamu ti
Kanaya masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintu. Ia lalu menscroll telepon genggam miliknya, mencari sesuatu. Setelah Ezra dan Jay menghentikan ia dan Bastian siang tadi, Bastian dan kedua anak buahnya itu pergi ke ruangan lain untuk membicarakan sesuatu. Kanaya sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Ia menunggu Bastian sambil duduk di ruangan khusus di samping ruangan konferensi, menyusui Kenzo yang mulai kehausan. Dan saat Bastian kembali, ia tampak biasa saja. ***Flashback*** Walau Bastian nampak biasa saja, tetapi Kanaya penasaran dengan sikap Ezra dan Jay yang terlihat syok, sehingga ia pun bertanya, “Yang, ada apa? Apa semua baik-baik saja?” Bastian duduk di samping Kanaya. “Tidak ada hal yang penting,” jawab Bastian sambil menyodorkan jari telunjuknya ke tangan Kenzo yang tengah asik menyusu. Senyum terkembang di bibir Bastian saat tangan mungil Kenzo menggenggam jari telunjuknya itu. Kanaya merasa heran dengan jawaban Bastian. Tidak ada yang penting? Lalu