"Selamat Kanaya, kamu dinyatakan lolos seleksi Ibu pengganti."
Dokter Indra Wibisono, seorang Dokter endokrin dan fertilitas menjabat tangan Kanaya dengan senyum lebar di wajahnya.
"Terima kasih Dokter!"
Sejak dua minggu yang lalu, Kanaya telah menjalani serangkaian tes untuk menjadi ibu pengganti. Dan mendengar hasil tes itu, Kanaya merasa sangat senang.
Berita itu bagaikan embun yang turun di padang pasir, memberinya semangat dan harapan baru untuk kesembuhan ibunya.
"Sama-sama, Kanaya. Kami senang kamu mendaftar ke klinik kami. Sudah lama kami mencari seseorang dengan kriteria sepertimu," balas Dokter Indra dengan menghembuskan nafas lega.
"Namun ada satu hal yang saya ingin sampaikan terkait program bayi tabung ini, dan saya mengharapkan persetujuan darimu, Kanaya." Dokter Indra berkata dengan nada serius.
Persetujuan? Kanaya merasa ada hal lain yang ingin disampaikan oleh dokter itu.
"Apa ada masalah? Apa ini ada kaitannya dengan uang kompensasi yang saya minta?" Kanaya merasa was-was.
Apakah orang itu keberatan dengan uang dua puluh miliar yang ia minta?
"Begini Kanaya. Ada sedikit perubahan dalam kesepakatan kita." Dokter Indra menatap Kanaya dengan perhatian penuh.
Perubahan dalam kesepakatan? Perubahan apa?
"Untuk proses bayi tabung ini, bayi yang akan kamu kandung nanti bukan berasal dari sel telur orang lain.”
“Maksud Dokter, dari sel telur saya sendiri?” Kanaya membelalakkan matanya dengan terkejut.
Dokter Indra mengangguk. “Benar, Kanaya.”
“Tapi, kenapa?” Kanaya merasa heran.
Jika menggunakan sel telur miliknya, bukankah secara biologis anak itu adalah anak kandungnya dan bukan anak biologis orang yang membayarnya?
"Memang biasanya sel telur yang digunakan adalah milik orang yang menitipkan. Tetapi kali ini, hal itu tidak dimungkinkan. Yah, katakanlah sel telur orang tersebut tidak cukup kuat untuk melalui serangkaian proses ini.”
“Itu sebabnya, saya meminta persetujuan kamu, Kanaya. Jika kamu setuju, kita akan langsung memproses segala sesuatunya," papar Dokter Indra dengan cara yang lugas.
Kanaya menggigit bibirnya memikirkan perubahan kesepakatan itu.
Anak yang harus ia berikan kepada orang lain adalah anak kandungnya sendiri?
Dokter itu menarik nafas panjang sebelum berkata, "Mengenai kompensasi yang kamu minta,” ia menjeda.
“Mereka tidak keberatan. Asalkan, kamu setuju dengan kesepakatan ini,” sambungnya dengan tatapan penuh arti.
Kanaya balas menatap Dokter itu dengan bimbang dan ragu.
Mengapa ia merasa sangat berat memutuskan hal itu? Bukankah seharusnya ia merasa senang tujuannya bisa tercapai?
“Saya tahu apa yang kamu pikirkan dan kenapa kamu merasa berat menyetujuinya,” Dokter itu berkata setelah memberi Kanaya waktu untuk berpikir.
“Menyetujui hal ini, bukan berarti kamu menukar anakmu dengan uang. Sama sekali bukan,” Dokter Indra memberi tatapan dalam, meminta Kanaya untuk mencerna ucapannya.
“Cobalah berpikir dengan cara ini. Bahwa dengan melakukan ini kamu tidak hanya menolong ibumu, namun kamu juga menolong orang lain yang sangat mendambakan keturunan.”
Kanaya masih menatap dokter itu, ia masih membutuhkan sesuatu untuk meyakinkannya. Bagaimana dengan anak itu?
Seakan mengerti keresahan Kanaya, Dokter itu menjelaskan.
“Saya bisa memastikan. Anak itu akan hidup serba berkecukupan. Dia tidak akan kekurangan apa pun bahkan kasih sayang dari orang tua.”
Tatapan Dokter itu begitu meyakinkan seakan dia tahu persis bagaimana kedua orang suami istri itu akan membesarkan anaknya nanti.
“Siapa mereka?”
“Saya tidak bisa memberitahukanmu mengenai identitas mereka. Tetapi percayalah, mereka berasal dari keluarga yang baik dan berkecukupan. Tidak ada yang perlu kamu kuatirkan.”
Mengamati tatapan mata dokter itu, Kanaya merasa dia tidak berbohong dengan ucapannya.
“Tidak mengetahui hal ini adalah jalan terbaik, demi kebaikanmu sendiri,” tambah Dokter itu dengan tatapan penuh arti.
Kanaya mengerti apa yang dokter itu maksudkan. Dengan tidak mengetahui identitas mereka, akan lebih mudah bagi Kanaya untuk memutuskan ikatan batin dengan anak yang ia lahirkan nantinya.
Setelah berpikir selama beberapa hari, Kanaya akhirnya menyetujui kesepakatan itu.
Kesempatan seperti itu tidak datang dua kali. Dan mungkin inilah satu-satunya harapan untuk kesembuhan ibunya.
Kanaya mulai menjalani proses awal mempersiapkan indung telurnya hari ini.
Ia harus menjalani serangkaian induksi hormon untuk meningkatkan kualitas sel telur miliknya.
Dokter Indra sendiri yang menanganinya langsung.
"Setelah ini langsung pulang dan beristirahat. Makan makanan yang bergizi dan jangan tidur terlalu malam. Boleh melakukan olahraga yang ringan, tetapi hindari melakukan aktifitas yang melelahkan," pesan Dokter Indra setelah mereka selesai dengan proses induksi pertamanya hari itu.
Kanaya mengangguk, mengikuti saja apa yang dikatakan oleh dokter itu. "Terima kasih, Dokter."
Kanaya berjalan keluar dari klinik menuju sebuah gedung apartemen yang terletak hanya beberapa ratus meter saja.
Apartemen itu adalah fasilitas yang disediakan oleh klinik untuknya agar memudahkan tim medis program bayi tabung untuk memonitor perkembangan kesehatannya setiap saat.
Sebelum pindah ke apartemen, Kanaya sudah menitipkan ibunya ke rumah Bude Laila, kakak kandung ibunya.
Kanaya tidak menceritakan kepada siapapun jika ia menjadi ibu pengganti. Selain harus menjaga kerahasiaan program itu, ia juga tidak ingin menjadi beban pikiran ibunya.
Ia beralasan mendapat pekerjaan baru di luar kota dan meminta tolong kepada Budenya untuk menjaga ibunya selama ia tidak ada.
Tidak sampai sepuluh menit berjalan, Kanaya sampai di apartemennya.
Ia ingin mandi dan segera beristirahat, menghilangkan rasa letih dan penatnya setelah berbagai proses yang dilaluinya hari ini.
Baru saja Kanaya masuk ke dalam apartemen, ia merasa gatal-gatal. Rasa gatal itu seakan menjalar ke seluruh bagian tubuhnya. Semakin ia menggaruknya, semakin ia merasa gatal.
"Aduh, kenapa gatal sekali? Ada apa ini?” Kanaya terus menggaruk bagian tubuhnya. Rasa gatal itu tidak tertahankan.
Keheranan Kanaya semakin bertambah tatkala melihat bercak kemerahan di lengannya yang sebelumnya tidak ada.
Merasa ada sesuatu yang tidak wajar, ia pun berjalan ke arah cermin.
"Ya ampun, kenapa ini?" pekik Kanaya dengan mata membelalak ketika mendapati kulit wajahnya memerah dengan ruam, dan bibirnya tampak membengkak.
Kanaya meremas dadanya, mulai merasakan sesak nafas. Ya Tuhan, ada apa lagi ini?
Ia berusaha fokus menganalisa apa yang ia rasakan. Semua gejala ini… apakah— alergi?
Obat itu! Mungkinlah ia alergi pada obat yang disuntikkan padanya?
Hanya ada satu cara mengetahuinya.
Dengan susah payah ia meraih telepon genggamnya dan menghubungi Dokter Indra.
"Halo Kanaya?"
"Dok-ter…"
"Ada apa? Apa kamu baik-baik saja?" suara Dokter Indra yang berada di ujung sambungan telepon itu terdengar khawatir.
Di ruangan kantornya di klinik Life's Blessing, Dokter itu menghentikan apa yang sedang ia kerjakan.
"Dok-ter sepertinya… saya… alergi…" Dengan nafas tersenggal-senggak ia mencoba memberitahu dokter itu.
Pikirannya mulai tidak fokus, pandangan matanya pun mulai terasa kabur dan nafasnya semakin terasa berat.
"Apa? Kamu yakin?”
"Dok-ter to--long sa-ya"
Kanaya merasa sulit sekali bernafas. Apakah ini saat terakhirnya? Lalu bagaimana dengan ibunya?
“Bertahanlah Kanaya! Bertahanlah!” Terdengar derap langkah cepat dan nafas Dokter indra yang memburu, sebelum telepon genggam itu terlepas dari tangannya yang gemetar.
Berkelebat wajah ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit
Tidak! Ibu…
Aku tidak boleh mati! Kalau aku pergi, siapa yang akan menjaga Ibu?
Bertahanlah Kanaya, bertahanlah!
Bruk! Samar Kanaya mendengar suara pintu didobtak dengan kencang, lalu derap suara langkah kaki-kaki yang berlari semakin jelas terdengar.
"Kanaya? Kanaya!!"
Dokter Indra? Pandangan mata Kanaya kabur, namun ia melihat dua titik bergerak cepat ke arahnya.
"Dokter, to--long saya..." ucap Kanaya dengan suara yang tak lagi terdengar jelas.
Ia menggapaikan tangannya. Namun saat ia merasa seseorang telah meraihnya, pandangan matanya menjadi gelap. Gulita.
"Bisa Saya bicara denganmu? Berdua saja.”Dokter Indra datang ke restoran saat Kanaya sedang bekerja.Kanaya tidak menyangka jika dokter klinik kesuburan itu datang mencarinya.Apa yang ia inginkan? Bukankah urusan mereka sudah selesai? Beberapa hari yang lalu Kanaya diketahui mempunyai alergi pada salah satu zat yang ada di hormon kesuburan yang disuntikkan padanya.Untung saja Dokter Indra datang tepat waktu untuk menyelamatkan Kanaya kala itu.Namun yang membuat Kanaya heran, alergi itu tidak terdeteksi sebelumnya.Menurut Dokter Indra, zat itu sebenarnya tidak berbahaya. Akan tetapi, kekebalan tubuh Kanaya mengidentifikasi zat itu sebagai sesuatu yang berbahaya bagi tubuhnya. Itu sebabnya tidak ada yang menyangka jika Kanaya memiliki reaksi alergi pada obat itu.Dan nahasnya lagi, zat itu terdapat pada semua jenis obat hormon kesuburan yang ada yang sangat penting dalam memastikan kualitas sel telur yang akan digunakan sebagai donor. Jika dipaksakan, akan berefek pada kesuburan
Kanaya duduk termangu di sebuah kamar dalam balutan kebaya putih sederhana.Beberapa hari yang lalu, Dokter Indra memberitahukannya jika kliennya setuju menikahinya secara agama. Dan hari ini, pernikahan itu akan diselenggarakan di sebuah rumah di jalan Sunset Summit.Rumah satu lantai itu terletak di sebuah kawasan elit. Di kawasan seperti ini, orang-orang yang tinggal di dalamnya tidak saling berinteraksi. Mereka sangat individual dan tidak pernah bertegur sapa satu sama lainnya.Tidak ada tetangga yang tahu apa yang sedang terjadi di rumah itu. Dan mereka tidak usil mencari tahu. Menjaga privasi adalah hal yang lumrah.Dokter Indra baru saja datang mengatakan jika kliennya akan datang menemuinya. Dan jantung Kanaya berdebar kencang ingin tahu siapa orang yang 'menyewa' rahimnya dan 'membeli' sel telurnya. Orang yang akan menikahinya dan menjadi ayah biologis anaknya kelak.Siapa mereka? Apa ia pernah bertemu dengan mereka sebelumnya?Kanaya berdiri saat pintu kamarnya terbuka dan m
Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.Akan tetapi, hari ini berbeda. Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.Kanaya bukan berasal dari keluar
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
"Non, habiskan ya buahnya," Sifa menaruh sepiring buah-buahan segar yang telah dikupas dan di potong ke atas meja di teras belakang. Kanaya yang sakit sejak beberapa hari yang lalu sedang duduk di tepi kolam ikan koi di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan tangannya ke dalam kolam dan menyentuh punggung ikan-ikan yang cantik itu. Bermain dengan ikan-ikan itu membuatnya tersenyum dan menghilangkan kebosanan yang ia rasakan. Selama tiga hari ia tidak keluar dari kamar karena Dokter Indra menyuruhnya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Setelah malam 'pembuahan' itu, bagian kewanitaannya terasa perih karena terluka. Ia bahkan sulit untuk berjalan. Akibatnya ia hanya beristirahat saja di atas ranjang. Baru pagi ini ia berani keluar kamar. Tubuhnya sudah terasa lebih baik, meski terkadang masih ada sedikit rasa nyeri. Kanaya sengaja ingin berjalan di taman, menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi untuk mengusir rasa jenuhnya. "Oke Bi, terima kasi
Bastian duduk di dalam sebuah mobil SUV bersama Ezra. Mobil itu melaju dengan kencang melewati jalanan bebas hambatan yang mengarah ke pinggiran kota. Di tangannya, Bastian memegang selembar kertas yang berisi biodata serta foto seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tatapan mata Bastian tertuju pada foto dan print-an kartu identitas pria itu. Di kertas itu tertera nama pria itu adalah Amar. Bastian masih ingat dengan jelas wajah pria itu dari 11 tahun yang lalu. Akan tetapi, dulu ia bukan bernama Amar. Namanya saat itu adalah Andre. Dia adalah orang yang telah menculiknya saat ia berusia 18 tahun. Bastian menarik nafas dalam dan matanya menatap keluar jendela, di mana ia melihat hamparan tanah kosong di pinggir jalan tol yang dilaluinya. Menatap hamparan tanah kosong itu, pikirannya kembali pada kejadian 11 tahun yang lalu. *** flashback*** Hari itu setelah selesai sekolah, Bastian mengendarai sendiri mobil SUV miliknya. Saat itu, ia sudah berusia 18 tahun, sehing
“Tidak mungkin…. Ini pasti tidak benar!” Elsie terus menyangkal apa yang dilihatnya. Di layar telepon pria itu, terlihat foto Bastian dan Kanaya. Mereka sedang duduk berdekatan, sementara Kenzo duduk di pangkuan Kanaya. Foto yang tampak seperti sepasangan suami istri bahagia bersama anak mereka itu membakar hati Elsie. Bagaimana mungkin Kanaya bersama Bastian? Bukankah dia bertunangan dengan Reno? Dan ingatan Bastian… hasil rumah sakit menyatakan ia kehilangan sebagian memorinya. Terbukti ia tidak ingat Kanaya, dan bahkan dengan terang-terang mengatakan tidak kenal dengannya! Begitu syoknya Elsie, ia hampir saja terjatuh saat melangkah ke belakang. “Nona, aku tidak tahu bagaimana Nona akan berbicara dengan suami Anda, tetapi ingat, jika sampai besok pagi tidak ada tindakan untuk melepaskan Bos, maka Nona tanggung sendiri akibatnya!” Jono yang sama sekali tidak berempati, tetap mengancam Elsie. Sebab, Ravioli tidak peduli apa yang terjadi pada Elsie, selama dia bisa menghirup ud
Elsie melirik ke arah teman-temannya. Ia sangat tidak nyaman dengan kehadiran Jono di sana. Apa kata orang-orang jika melihatnya berbicara dengan pria urakan, berperawakan tinggi besar khas preman? Namun sayangnya beberapa orang temannya sudah melihat Jono, dan mereka tampak berbisik-bisik sembari melirik ke arahnya dan Jono. Elsie semakin dongkol saja! Mau dibawa ke mana reputasinya? Ia berdehem dengan keras. “Bukankah asisten suami saya sudah memberikan donasinya? Apa masih ada yang kalian butuhkan?” Terpaksa ia berpura-pura. Elsie tidak mungkin membiarkan teman-temannya ataupun orang lain tahu jika ia memang berhubungan langsung dengan gerombolan Ravioli. Jono mengerutkan keningnya dan ia melihat ke arah mana lirikan mata Elsie. Walaupun enggan, akhirnya ia ikut bermain dalam sandiwara Elsie. “Nona, bisa kita bicara lebih lanjut mengenai “donasinya”, atau kita bisa bicara di sini saja?” ujar Jono mengkode Elsie sekaligus memberinya tatapan ancaman jika Elsie menolak untuk bic
“Bu Elsie, apa ibu mau melepas saham ini? Orang itu mengatakan hanya bisa menunggu keputusan sampai 1 jam lagi.” Pialang saham Elsie di bursa efek menghubunginya. Beberapa saat yang lalu dia memberitahu Elsie jika ada seseorang yang hendak membeli saham miliknya dan Agni yang berjumlah 51 persen di Ocean Express. “Menurutmu apakah harganya bisa kembali naik?” tanya Elsie dengan bimbang. Elsie belum memutuskannya. Pasalnya perusahaan itu adalah satu-satunya perusahaan peninggalan Papanya. Jika ia menjual sahamnya, maka perusahaan itu akan terlepas darinya dan Agni. “Saya tidak bisa memprediksi hal itu. Sebab, harga saham saat ini sudah jatuh cukup jauh dari satu minggu yang lalu. Apalagi semenjak investigator kepolisian memeriksa operasional Ocean Express, harga sahamnya terus menurun,” jawab pialang saham itu. “Bagaimana kalau saya hanya menjual sebagian?” “Maaf Bu Elsie. Orang itu menginginkan 51% saham, atau tidak sama sekali. Dan saat ini, Ibu Agni sudah menyetujui menjual 11
“Kamu tahu kenapa Reno bisa seperti itu? Maksudku kenapa dia dan Bastian seperti—bermusuhan?” “Yang aku dengar… Reno seperti itu sejak ibunya meninggal dunia.” “Apa yang terjadi?” tanya Kanaya dengan penasaran. Ia serius menunggu penjelasan Clara. “Kenapa kamu tidak tanya Bastian saja?” Clara kembali ragu untuk bercerita. Ia takut salah mengatakan sesuatu. Kanaya menghela nafas. “Aku pernah menanyakannya, tapi saat itu Bastian sedang tidak mau membicarakan Reno,” jawab Kanaya. Rupanya Bastian masih saja cemburu dan kesal pada Reno perihal masalah “tunangan” waktu itu. “Tapi aku penasaran. Kenapa Reno sangat membenci Bastian? Memangnya apa yang Bastian lakukan padanya?” tanya Kanaya merasa heran, berharap Clara mau memberitahukannya. “Aku juga tidak tahu kejadian yang sebenarnya saat itu. Tapi yang aku dengar, Reno menyalahkan tidak hanya Bastian, tetapi juga seluruh keluarga Dwipangga atas kematian mamanya,” tutur Clara. “Serius? Karena apa? Bukankah Gema Dwipangga meninggal
“Aoo… oooaa aaa…” “Ooo…ooohh…a..oo…” Kanaya dan Clara tertawa melihat kedua anak mereka saling berceloteh. Clara dan Alea, anaknya yang berusia 3 bulan datang menengok Kanaya dan Kenzo di Sunset Summit. Dan kedua anak mereka berbaring berdampingan di atas ranjang, tampak berceloteh bersahutan seperti tengah mengobrol. Alea yang sudah bisa memiringkan tubuhnya, tampak memegangi baju onesie yang dipakai Kenzo, menariknya. Sementara Kenzo yang hanya bisa berbaring terlentang hanya bisa pasrah bajunya ditarik oleh Alea. “Bayangkan setahun lagi kalau mereka sudah bisa berlari, Kanaya….” ucap Clara diantara tawanya melihat kelakuan dua bayi imut di hadapan mereka. Kanaya tertawa membayangkannya. Mungkin jika saat itu tiba, Kenzo-lah yang akan menarik-narik baju Alea, menjahili baju gadis kecil itu. “Setahun tidak lama, Clara. Dan mungkin setahun lagi kita akan merindukan saat mereka seperti ini,” timpal Kanaya sambil menatap kedua bayi mungil di hadapan mereka. “Benar. Rasanya ba
Tenggorokan Bastian tercekat. Apa yang tadi Kanaya katakan? Bastian merasa telinganya salah mendengar. “Naya… apa kamu tadi mengatakan…” Kanaya mengangguk, dan sebelum Bastian menyadarinya, Kanaya telah beranjak dari duduknya. Ia berjalan mundur sambil memberi isyarat agar Bastian mengikutinya. Ekspresi wajah Bastian berubah tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang Kanaya coba katakan padanya, tetapi sangat berharap ajakan Kanaya itu nyata. “Kamu—sudah bersih? Serius?” Bastian bertanya dengan gugup untuk memastikan kembali. Kanaya kembali menjawabnya dengan senyuman dan terus melangkah mundur ke arah kamar mandi. Menyadari arti jawaban Kanaya, Bastian langsung beranjak dari duduknya dan berteriak, “YES!!” Kanaya tertawa melihat reaksi Bastian dan terus berjalan masuk ke dalam kamar mandi sambil memberi isyarat dengan jarinya. Bastian segera mengikuti Kanaya masuk ke dalam kamar mandi. Dan saat ia masuk ke dalam kamar mandi, Kanaya sed
Kanaya sedang menidurkan Baby K ke atas ranjang bayi saat Bastian datang dan merangkulnya dari belakang. Ia terkekeh pelan saat bibir lembut dan hangat pria itu mendarat di tengkuk dan lehernya. Bastian tidak melepaskan pelukannya bahkan saat Kanaya lanjut menyelimuti Baby K, memastikan putra mereka tidur dengan nyaman. Tubuh Kanaya meremang saat Bastian kembali mendaratkan kecupan dibelakang telinganya. Ia bisa merasakan tidak hanya hembusan nafas hangat Bastian, namun juga saat hidung Bastian menghisap permukaan kulitnya dengan lembut, mengalirkan beribu satu rasa melalui ujung syaraf yang disentuh Bastian di permukaan indera perabanya. Beberapa malam terakhir sangat berat ia rasakan. Gairah yang timbul setiap kali mereka sedang bersama, rasanya sulit sekali untuk dibendung. Bastian kerap mandi di tengah malam untuk meredakan gairah yang ia rasakan. Dan bukan hanya Bastian, Kanaya pun merasakan tubuhnya menginginkan hal yang sama padahal ia masih harus berpuasa. Namun, tidak
“Bas, punya waktu?” Bastian mengangkat wajahnya dan menemukan Haidar, Papanya berdiri di depan pintu kantornya. “Papa? Tentu Pa!” Bastian beranjak dari duduknya dan menghampiri papanya itu. Kedatangan Haidar yang tanpa kabar tentu mengejutkannya, akan tetapi Bastian selalu menyisihkan waktu untuk kedua orang tuanya. “Kita pergi ke luar? Sudah lama kita tidak berjalan-jalan,” ajak Haidar saat jarak Bastian sudah dekat. Bastian mengerutkan keningnya. Sudah menjadi rahasia umum diantara mereka berdua jika Haidar mengajak Bastian berbicara berdua sambil beraktifitas keluar, ada sesuatu yang ingin dibicarakan Haidar dengannya. Sesama lelaki, antara ayah dan anak. Meski Bastian masih memiliki banyak pekerjaan dan merasa heran dengan ajakan papanya yang tiba-tiba itu, Bastian tetap menyanggupinya. “Tentu Pah. Papa ingin ke mana?” Ia pun mengarahkan Papanya berjalan keluar begitu saja tanpa berpikir dua kali, dan meninggalkan hal lainnya untuk sementara waktu. “Mau pergi ke taman k