Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.
Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.
Akan tetapi, hari ini berbeda.
Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.
Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.
Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.
Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.
Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.
Kanaya bukan berasal dari keluarga mampu. Sejak ayahnya meninggal dunia, kehidupan Kanaya dan ibunya hanya pas-pasan saja. Ia yang membantu ibunya mencari uang untuk kehidupan sehari-hari.
Apalagi setelah ibunya divonis mengidap gagal jantung, ia harus bekerja di dua tempat sekaligus agar bisa mendapatkan uang lebih untuk pengobatan ibunya.
Belajar di bangku kuliah pun ia dapatkan melalui beasiswa penuh dari Wisdom Foundation, sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang pendidikan. Lembaga itu menyediakan beasiswa bagi pelajar berprestasi dari keluarga tidak mampu.
Namun sejak beberapa bulan yang lalu, ia mengajukan cuti kuliah agar bisa fokus merawat ibunya.
Suara mesin mobil yang berhenti di halaman depan membuyarkan lamunannya.
Meski sudah menduga siapa yang datang, rasa penasaran membuat langkah kakinya berjalan mendekati jendela setinggi lantai sampai langit-langit yang ada di kamarnya.
Melalui kain korden tipis berwarna putih, Kanaya bisa melihat mobil sport berwarna hitam terparkir di halaman depan.
Jantung Kanaya berdetak kencang saat kedua matanya menangkap sosok Bastian yang turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah.
Kanaya menunggu dengan gugup. Ia duduk lalu berdiri. Duduk, lalu berdiri, dan duduk lagi.
Derap langkah kaki Bastian terdengar dari luar kamarnya. Semakin lama semakin terdengar mendekat, hingga akhirnya langkah itu berhenti di balik pintu.
Kanaya menatap daun pintu kamarnya tanpa berkedip. Ia tahu Bastian berdiri di balik pintu itu.
Tidak lama pintu terbuka, dan masuklah Bastian.
"Pak Bas-tian, se-selamat malam Pak.” Kanaya langsung berdiri dengan gugup. Tangannya meremas-remas gaun tidur berwarna putih yang ia kenakan.
Gaun tidur dari bahan satin itu tidak tembus pandang, dan modelnya pun sederhana. Bagian dadanya tidak berpotongan terlalu rendah, jauh dari kesan menggoda dan pas dikenakan oleh Kanaya dengan pembawaannya yang polos.
"Hm," balas Bastian tanpa menoleh. Ia menaruh tas kerjanya di salah satu bangku yang ada di dekat jendela, kemudian melepaskan jas yang ia kenakan.
Kanaya begitu gugup, tidak tahu harus melakukan apa. Ia berdiri diam dengan gelisah. Ujung telapak kakinya tanpa sadar ditekan ke lantai bergantian.
Bastian melirik Kanaya sambil ia melepas kancing lengan kemeja yang ia kenakan.
"Kamu belum pernah melakukan ini?"
Kanaya mengangguk, ia melirik sekilas sebelum kembali menunduk.
"Kamu tahu kan kalau ini salah satu kewajibanmu?" Bastian bertanya lagi, kali ini ia menatap dengan penuh selidik seakan memastikan jawaban Kanaya.
"I-Iya Pak," jawab Kanaya pelan. Sadar akan kewajibaanya tanpa ada paksaan.
Sudah keputusannya untuk menyerahkan dirinya kepada Bastian, karena inilah satu-satunya cara ia bisa mengandung anak pria itu.
Bastian tersenyum, seakan ia puas dengan jawaban Kanaya.
"Aku mandi dulu,” ujarnya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Menunggu adalah bagian paling menyiksa bagi Kanaya. Semakin lama ia menunggu pria itu, semakin gugup pula dia.
Kanaya mengambil segelas air untuk meredakan kegugupannya dan ia langsung meneguknya.
Tepat saat itu, pintu kamar mandi terbuka dan Bastian keluar hanya dengan mengenakan handuk yang dililit di pinggangnya.
Uhuk uhuk! Kanaya terbatuk-batuk karena terkejut melihat Bastian. Baru kali ini Kanaya melihat tubuh six pack pria tersebut.
Saat pertama bertemu, ia tidak terlalu memperhatikannya. Apalagi dengan pakaian yang menutupi tubuhnya, Kanaya tidak bisa membayangkan bentuk asli tubuh pria itu.
Tidak disangka, Bastian memiliki bentuk tubuh yang sangat menarik di matanya sehingga membuatnya kehilangan fokus.
"Ma-maaf," ucapnya, cepat-cepat meredakan keterkejutannya.
Bastian terlihat sangat maskulin dan jantan dengan bulir-bulir air yang menetes dari rambutnya jatuh ke dada bidang dan keras pria itu.
Di usia dua puluh delapan tahun, Bastian sangat matang sebagai seorang laki-laki.
Postur tubuhnya tinggi dan tegak dengan otot yang kering namun berisi. Dia adalah tipe laki-laki dengan tubuh ideal. Sangat, sangat ideal.
Bastian berhenti di samping Kanaya, meraih gelas air dan meminumnya.
Kanaya menjadi semakin gugup dengan kedekatan fisik mereka, sehingga ia memilih kembali ke tempatnya berdiri tadi.
Bastian menghabiskan gelas airnya, kemudian ia duduk di tepi ranjang. Sambil menatap Kanaya, ia menepuk tempat kosong yang ada di sebelahnya.
Kanaya berjalan mendekati Bastian dan duduk dengan ragu di tempat yang ditunjuk.
Ia duduk menghadap ke lain arah sehingga punggungnya membelakangi Bastian. Kedua tangannya masih saja meremas ujung gaun tidurnya.
Bastian bergeser mendekat. Sekelebat, ia mencium aroma lembut dan segar yang datang dari tubuh Kanaya.
Aroma itu tidak tajam dan justru sangat samar. Namun, aroma itu ada, menggelitik indra penciuman Bastian. Dan syaraf-syaraf ditubuh Bastian merespon setiap kali ia menghirupnya. Bahkan nafas Bastian menderu lebih berat karenanya.
Perlahan Bastian merebahkan Kanaya di atas ranjang. Ia memposisikan dirinya setengah melayang di atas tubuh gadis itu.
Ketika Bastian mulai menurunkan wajah dan menghirup kulit leher Kanaya, nafas Kanaya tertahan.
Gesekan hidung Bastian dan hembusan nafas hangat yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi menggelitik yang berbeda.
Tubuh Kanaya menegang. Antara takut, was-was, namun juga menikmatinya.
Belum pernah Kanaya merasakan sensasi sentuhan seintim itu.
Ia menggigit bibir dan memejamkan matanya, tidak berani membayangkan wajah Bastian.
Kanaya tidak ingin meninggalkan rasa dalam proses 'pembuahan' itu. Tidak ingin menikmatinya. Biarlah perbuatan mereka malam itu sekedar menjadi pertemuan dua buah benih genetik yang dilakukan di dalam tubuhnya.
Kanaya tidak berani menarik nafas dalam, bahkan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apa pun saat indera perasanya tersentuh.
Dikala Kanaya tengah berjuang untuk tidak menikmati, tiba-tiba saja Bastian berhenti mencumbunya. Pria itu dengan cepat bergerak menjauh.
Kanaya terkejut dengan perubahan sikap Bastian dan ia membuka matanya.
"Aku tidak bisa," gumam Bastian sambil menggelengkan kepalanya, duduk di tepi ranjang membelakangi Kanaya.
Kanaya ikut beranjak dan duduk di samping Bastian. Ia bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Apa dia punya masalah dengan kegagahannya? Tetapi setahu Kanaya, permasalahan mereka terletak pada sel telur istrinya, bukan pada kemampuan pria itu.
Atau… mungkin dia tidak bisa melakukannya karena memikirkan istrinya? Batin Kanaya teringat pada rumor kesetiaan Bastian pada sang Istri yang beredar luas.
"Pak Bas--" panggilnya pelan. Kanaya ingin mengatakan atau melakukan sesuatu, namun ia bingung dan tidak yakin.
Kanaya belum pernah melakukan keintiman lawan jenis dan ia tidak tahu harus melakukan apa. Tetapi, ia tidak boleh membuang kesempatan itu dengan percuma. Ia harus memberi Bastian keturunan.
Jantung ibunya tidak bisa menunggu lebih lama. Dokter jantung mengatakan ibunya hanya punya waktu beberapa bulan, paling lama satu tahun.
Ingatan akan raut wajah ibunya membulatkan tekad Kanaya.
"Bapak harus, Pak!" Tanpa sadar terlontar dari bibirnya.
Bastian tertegun menatap Kanaya. Sepintas berkelebat sesuatu pancaran di mata pria itu.
Kanaya menunggu dengan harap-harap cemas. Berharap Bastian akan tetap melakukannya.
Kedua mata pria itu semakin intens menatapnya, namun disaat Kanaya kembali berhatap, tiba-tiba pria tersebut bangkit dari duduknya.
"Pak-Pak Bastian! Jangan Pak! Jangan pergi!" Kanaya menahan tangan Bastian, mencegah pria itu untuk pergi.
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
"Non, habiskan ya buahnya," Sifa menaruh sepiring buah-buahan segar yang telah dikupas dan di potong ke atas meja di teras belakang. Kanaya yang sakit sejak beberapa hari yang lalu sedang duduk di tepi kolam ikan koi di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan tangannya ke dalam kolam dan menyentuh punggung ikan-ikan yang cantik itu. Bermain dengan ikan-ikan itu membuatnya tersenyum dan menghilangkan kebosanan yang ia rasakan. Selama tiga hari ia tidak keluar dari kamar karena Dokter Indra menyuruhnya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Setelah malam 'pembuahan' itu, bagian kewanitaannya terasa perih karena terluka. Ia bahkan sulit untuk berjalan. Akibatnya ia hanya beristirahat saja di atas ranjang. Baru pagi ini ia berani keluar kamar. Tubuhnya sudah terasa lebih baik, meski terkadang masih ada sedikit rasa nyeri. Kanaya sengaja ingin berjalan di taman, menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi untuk mengusir rasa jenuhnya. "Oke Bi, terima kasi
Kanaya termangu menatap Bastian, berpikir apakah Bastian berbicara kepadanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jika ada orang lain yang diajak bicara oleh pria dingin itu. Pintu penumpang depan terbuka dan seorang pria yang kerap berada di dekat Bastian menghampirinya. Kanaya tidak tahu siapa pria itu, namun ia ingat pria itu ada saat pernikahan mereka, dan dia juga ada di dalam rumah sakit bersama Bastian. Kanaya menduga dia adalah orang kepercayaan Bastian, mungkin asisten, sekertaris atau mungkin juga bodyguard? "Bu Kanaya, silahkan masuk, Bapak sudah menunggu," Ezra dengan sopan membukakan pintu untuk Kanaya, membuat Kanaya semakin merasa canggung disebut 'Ibu'. "Mm... Tidak apa, Saya sudah pesan taksi, saya--" "Masuk!" Bastian memotong ucapan Kanaya dengan tidak sabar. Mendengar suara keras dan tegas itu, Kanaya pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa berpikir panjang. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia bertemu Bastian. Sebuah dinding i
Selesai bekerja, Bastian pergi ke sebuah cafe untuk bertemu dengan teman-temannya. Dalam perjalanan, Indra menghubunginya. “Sorry Bas, sepertinya aku nggak bisa datang. Salah satu pasienku tiba-tiba mengalami kontraksi dan aku harus stand by di RS,” ujar Indra kala Bastian mengangkat panggilan teleponnya. “Kamu yakin?” “Ya. Pasienku sudah pembukaan tujuh, terlalu beresiko kalau kutinggal,” jawab Indra mengkonfirmasi. "Oke, kita meet up next time," ucap Bastian sebelum mengakhiri percakapan mereka. Di cafe, Bastian masuk ke ruangan khusus yang biasa mereka gunakan. Dua orang teman Bastian lainnya telah sampai terlebih dahulu. Mereka adalah Ardyan dan Fariz. "Hey, Bro! Akhirnya sampai juga," Fariz langsung menghampirinya dan mereka bersalaman 'fist bump' yang biasa mereka lakukan. Ardyan pun mengikuti. "Indra mana?" tanya Ardyan sambil melihat ke belakang Bastian. Biasanya Indra dan Bastian kerap datang bersama. "Dia nggak bisa datang, mendadak ada pasiennya yang l
Jarum suntik baru saja dicabut dari urat nadi di lengan Kanaya. Kanaya menarik nafas panjang, menunggu dengan harap-harap cemas hasil test kehamilan yang sedang dilakukan Dokter Indra di rumahnya pagi itu. Dua minggu sudah Kanaya menunggu saat itu. Apakah ia berhasil hamil? Jika benar, Kanaya akan merasa sangat lega. "Kenapa? Tegang?" Indra menaruh sample darah yang ia ambil ke dalam tempat penyimpanan sambil diam-diam memperhatikan ekspresi wajah gadis di depannya. "Bagaimana kalau saya tidak hamil? Rasanya saya tidak merasa mual muntah, Dokter." Kanaya menghela nafas menceritakan kegelisahannya. Setahu Kanaya, perempuan yang hamil muda akan merasakan mual muntah, tidak enak badan, dan sering merasa lelah serta mengantuk. Sayangnya ia tidak merasakan semua hal itu. "Tenang saja. Tidak semua wanita hamil mengalami gejala yang sama. Ada yang mengalami mual dan muntah, ada yang tidak. Kita tunggu saja hasilnya hari ini, semoga membawa kabar baik." Indra mencoba membesarkan
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob