Setelah menikah, Kanaya tinggal di rumah di jalan Sunset Summit bersama seorang perempuan paruh baya bernama Sifa. Sifa bertugas sebagai pengasuh yang menemani dan mengatur segala keperluannya.
Beberapa hari sudah Kanaya tinggal di rumah itu, namun Bastian belum pernah datang menemuinya. Hanya Dokter Indra dan timnya yang datang mengecek keadaan Kanaya.
Akan tetapi, hari ini berbeda.
Tadi pagi Dokter Indra mengabarkan jika Bastian akan datang mengunjunginya malam ini.
Ia mengatakan jika sel telurnya berada dalam masa ovulasi. Yaitu waktu di mana sel telur siap untuk dibuahi. Di saat itulah, pembuahan memiliki peluang terbesar untuk berhasil.
Itu sebabnya Kanaya duduk dengan gelisah di dalam kamar karena malam ini adalah pertama kali dalam hidupnya seorang pria akan menyentuhnya.
Kanaya belum pernah berpacaran, apalagi disentuh oleh laki-laki.
Ia tidak punya waktu untuk hal seperti itu karena sisa waktu di luar jam kuliah dipergunakannya untuk bekerja.
Kanaya bukan berasal dari keluarga mampu. Sejak ayahnya meninggal dunia, kehidupan Kanaya dan ibunya hanya pas-pasan saja. Ia yang membantu ibunya mencari uang untuk kehidupan sehari-hari.
Apalagi setelah ibunya divonis mengidap gagal jantung, ia harus bekerja di dua tempat sekaligus agar bisa mendapatkan uang lebih untuk pengobatan ibunya.
Belajar di bangku kuliah pun ia dapatkan melalui beasiswa penuh dari Wisdom Foundation, sebuah lembaga swadaya yang bergerak di bidang pendidikan. Lembaga itu menyediakan beasiswa bagi pelajar berprestasi dari keluarga tidak mampu.
Namun sejak beberapa bulan yang lalu, ia mengajukan cuti kuliah agar bisa fokus merawat ibunya.
Suara mesin mobil yang berhenti di halaman depan membuyarkan lamunannya.
Meski sudah menduga siapa yang datang, rasa penasaran membuat langkah kakinya berjalan mendekati jendela setinggi lantai sampai langit-langit yang ada di kamarnya.
Melalui kain korden tipis berwarna putih, Kanaya bisa melihat mobil sport berwarna hitam terparkir di halaman depan.
Jantung Kanaya berdetak kencang saat kedua matanya menangkap sosok Bastian yang turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah.
Kanaya menunggu dengan gugup. Ia duduk lalu berdiri. Duduk, lalu berdiri, dan duduk lagi.
Derap langkah kaki Bastian terdengar dari luar kamarnya. Semakin lama semakin terdengar mendekat, hingga akhirnya langkah itu berhenti di balik pintu.
Kanaya menatap daun pintu kamarnya tanpa berkedip. Ia tahu Bastian berdiri di balik pintu itu.
Tidak lama pintu terbuka, dan masuklah Bastian.
"Pak Bas-tian, se-selamat malam Pak.” Kanaya langsung berdiri dengan gugup. Tangannya meremas-remas gaun tidur berwarna putih yang ia kenakan.
Gaun tidur dari bahan satin itu tidak tembus pandang, dan modelnya pun sederhana. Bagian dadanya tidak berpotongan terlalu rendah, jauh dari kesan menggoda dan pas dikenakan oleh Kanaya dengan pembawaannya yang polos.
"Hm," balas Bastian tanpa menoleh. Ia menaruh tas kerjanya di salah satu bangku yang ada di dekat jendela, kemudian melepaskan jas yang ia kenakan.
Kanaya begitu gugup, tidak tahu harus melakukan apa. Ia berdiri diam dengan gelisah. Ujung telapak kakinya tanpa sadar ditekan ke lantai bergantian.
Bastian melirik Kanaya sambil ia melepas kancing lengan kemeja yang ia kenakan.
"Kamu belum pernah melakukan ini?"
Kanaya mengangguk, ia melirik sekilas sebelum kembali menunduk.
"Kamu tahu kan kalau ini salah satu kewajibanmu?" Bastian bertanya lagi, kali ini ia menatap dengan penuh selidik seakan memastikan jawaban Kanaya.
"I-Iya Pak," jawab Kanaya pelan. Sadar akan kewajibaanya tanpa ada paksaan.
Sudah keputusannya untuk menyerahkan dirinya kepada Bastian, karena inilah satu-satunya cara ia bisa mengandung anak pria itu.
Bastian tersenyum, seakan ia puas dengan jawaban Kanaya.
"Aku mandi dulu,” ujarnya lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Menunggu adalah bagian paling menyiksa bagi Kanaya. Semakin lama ia menunggu pria itu, semakin gugup pula dia.
Kanaya mengambil segelas air untuk meredakan kegugupannya dan ia langsung meneguknya.
Tepat saat itu, pintu kamar mandi terbuka dan Bastian keluar hanya dengan mengenakan handuk yang dililit di pinggangnya.
Uhuk uhuk! Kanaya terbatuk-batuk karena terkejut melihat Bastian. Baru kali ini Kanaya melihat tubuh six pack pria tersebut.
Saat pertama bertemu, ia tidak terlalu memperhatikannya. Apalagi dengan pakaian yang menutupi tubuhnya, Kanaya tidak bisa membayangkan bentuk asli tubuh pria itu.
Tidak disangka, Bastian memiliki bentuk tubuh yang sangat menarik di matanya sehingga membuatnya kehilangan fokus.
"Ma-maaf," ucapnya, cepat-cepat meredakan keterkejutannya.
Bastian terlihat sangat maskulin dan jantan dengan bulir-bulir air yang menetes dari rambutnya jatuh ke dada bidang dan keras pria itu.
Di usia dua puluh delapan tahun, Bastian sangat matang sebagai seorang laki-laki.
Postur tubuhnya tinggi dan tegak dengan otot yang kering namun berisi. Dia adalah tipe laki-laki dengan tubuh ideal. Sangat, sangat ideal.
Bastian berhenti di samping Kanaya, meraih gelas air dan meminumnya.
Kanaya menjadi semakin gugup dengan kedekatan fisik mereka, sehingga ia memilih kembali ke tempatnya berdiri tadi.
Bastian menghabiskan gelas airnya, kemudian ia duduk di tepi ranjang. Sambil menatap Kanaya, ia menepuk tempat kosong yang ada di sebelahnya.
Kanaya berjalan mendekati Bastian dan duduk dengan ragu di tempat yang ditunjuk.
Ia duduk menghadap ke lain arah sehingga punggungnya membelakangi Bastian. Kedua tangannya masih saja meremas ujung gaun tidurnya.
Bastian bergeser mendekat. Sekelebat, ia mencium aroma lembut dan segar yang datang dari tubuh Kanaya.
Aroma itu tidak tajam dan justru sangat samar. Namun, aroma itu ada, menggelitik indra penciuman Bastian. Dan syaraf-syaraf ditubuh Bastian merespon setiap kali ia menghirupnya. Bahkan nafas Bastian menderu lebih berat karenanya.
Perlahan Bastian merebahkan Kanaya di atas ranjang. Ia memposisikan dirinya setengah melayang di atas tubuh gadis itu.
Ketika Bastian mulai menurunkan wajah dan menghirup kulit leher Kanaya, nafas Kanaya tertahan.
Gesekan hidung Bastian dan hembusan nafas hangat yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi menggelitik yang berbeda.
Tubuh Kanaya menegang. Antara takut, was-was, namun juga menikmatinya.
Belum pernah Kanaya merasakan sensasi sentuhan seintim itu.
Ia menggigit bibir dan memejamkan matanya, tidak berani membayangkan wajah Bastian.
Kanaya tidak ingin meninggalkan rasa dalam proses 'pembuahan' itu. Tidak ingin menikmatinya. Biarlah perbuatan mereka malam itu sekedar menjadi pertemuan dua buah benih genetik yang dilakukan di dalam tubuhnya.
Kanaya tidak berani menarik nafas dalam, bahkan berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apa pun saat indera perasanya tersentuh.
Dikala Kanaya tengah berjuang untuk tidak menikmati, tiba-tiba saja Bastian berhenti mencumbunya. Pria itu dengan cepat bergerak menjauh.
Kanaya terkejut dengan perubahan sikap Bastian dan ia membuka matanya.
"Aku tidak bisa," gumam Bastian sambil menggelengkan kepalanya, duduk di tepi ranjang membelakangi Kanaya.
Kanaya ikut beranjak dan duduk di samping Bastian. Ia bingung, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Apa dia punya masalah dengan kegagahannya? Tetapi setahu Kanaya, permasalahan mereka terletak pada sel telur istrinya, bukan pada kemampuan pria itu.
Atau… mungkin dia tidak bisa melakukannya karena memikirkan istrinya? Batin Kanaya teringat pada rumor kesetiaan Bastian pada sang Istri yang beredar luas.
"Pak Bas--" panggilnya pelan. Kanaya ingin mengatakan atau melakukan sesuatu, namun ia bingung dan tidak yakin.
Kanaya belum pernah melakukan keintiman lawan jenis dan ia tidak tahu harus melakukan apa. Tetapi, ia tidak boleh membuang kesempatan itu dengan percuma. Ia harus memberi Bastian keturunan.
Jantung ibunya tidak bisa menunggu lebih lama. Dokter jantung mengatakan ibunya hanya punya waktu beberapa bulan, paling lama satu tahun.
Ingatan akan raut wajah ibunya membulatkan tekad Kanaya.
"Bapak harus, Pak!" Tanpa sadar terlontar dari bibirnya.
Bastian tertegun menatap Kanaya. Sepintas berkelebat sesuatu pancaran di mata pria itu.
Kanaya menunggu dengan harap-harap cemas. Berharap Bastian akan tetap melakukannya.
Kedua mata pria itu semakin intens menatapnya, namun disaat Kanaya kembali berhatap, tiba-tiba pria tersebut bangkit dari duduknya.
"Pak-Pak Bastian! Jangan Pak! Jangan pergi!" Kanaya menahan tangan Bastian, mencegah pria itu untuk pergi.
Bastian memutar badannya dan menatap Kanaya dengan heran. Pandang matanya turun ke bawah, ke tangan Kanaya yang memegang pergelangan tangannya. Ia terkejut karena Kanaya berani menyentuhnya. Padahal, sebelumnya gadis itu begitu tegang dan gugup. Menatapnya saja dia tidak berani. Saat itu Kanaya mengira Bastian menyerah, dan hendak pergi meninggalkannya. Itu sebabnya ia mencegah Bastian untuk pergi. Kanaya yang begitu gugup dan takut, membuang jauh-jauh rasa malu, gugup dan ketakutan dalam dirinya. Semua itu demi sang Ibu. Keinginan yang kuat untuk menyelamatkan ibunya membuat keberaniannya timbul. Bagaimanapun pembuahan malam ini harus terjadi. Kanaya mengambil inisiatif. Perlahan, ia berdiri menghampiri Bastian. "Selesaikan tugas Bapak. Lakukan apa yang perlu Bapak lakukan," ucap Kanaya dengan suara bergetar. Tekadnya terlihat jelas. ia memasrahkan dirinya pada Bastian. Perlahan, Kanaya melepas kedua tali gaun di pundaknya sehingga gaun satin putih yang ia kenakan
Elsie duduk di sebuah private room di club malam bersama sahabatnya Rosa. Sepuntung rokok terselip diantara jari telunjuk dan jari tengah, mengeluarkan kepulan asap yang samar. Tiga gelas martini sudah habis diteguknya, membuat kepala Elsie terasa berat. Suara musik yang hingar-bingar terdengar dari luar private room itu, membuat tubuh Elsie dan Rosa bergoyang mengikuti iramanya. Elsie ingin melupakan hari itu. Hari di mana Bastian sedang bercinta dengan wanita lain. Wanita yang bisa memberinya keturunan. "Perempuan sialan! Kalau bukan karena anak, aku tidak akan biarkan dia menyentuhnya!" seloroh Elsie dalam keadaan mabuk sambil membanting gelas ke atas meja dengan keras. Ia benci perempuan itu. Saat melihat Kanaya dalam balutan kebaya pengantin beberapa hari yang lalu, hatinya iri. Iri sekaligus takut karena perempuan itu terlihat begitu sempurna. Dia tidak hanya cantik dari penampilannya saja, tetapi perempuan itu memiliki semua gen bagus yang tidak dimilikinya!
Sifa mengetuk pintu kamar Kanaya pagi menjelang siang hari itu karena tidak seperti biasanya Kanaya belum keluar dari kamarnya. Padahal, Bastian sudah pergi sejak pagi. Sebagai seorang yang ditugaskan menjaga Kanaya di rumah itu, Sifa mengetahui apa yang terjadi diantara mereka. Sifa diharuskan menandatangani perjanjian kerahasiaan saat ia menerima pekerjaan itu. Sehingga ia pun paham apa saja yang harus ia lakukan dan apa saja yang tidak boleh ia bicarakan. Sifa juga tahu jika semalam adalah malam pertama bagi Kanaya. Dan Sifa berpikir jika Kanaya membutuhkan waktu yang lebih untuk beristirahat. Namun, sampai matahari terbit, Kanaya belum juga keluar dari kamar, dan itu membuat Sifa khawatir. "Non?" Sifa kembali mengetuk pintu kamar, namun masih tidak ada jawaban. Ia pun akhirnya membuka pintu kamar itu dan masuk. Kamar itu sunyi. Keadaannya tidak jauh berbeda dari saat semalam ia meninggalkannya. Kecuali ranjang yang berantakan, dan gaun tidur berwarna putih yang
"Kamu pasti belum sarapan. Ayo, aku sudah buatkan kamu sesuatu," ucap Bastian sambil tersenyum, mengalihkan pembicaraan yang bisa membuat hati istrinya menjadi tidak tenang. Bastian menggenggam kedua tangan Elsie dengan penuh kelembutan, sebelum ia menggandengnya ke meja makan. Ia lalu menyajikan Pancake Tacos yang dimasaknya untuk mereka berdua. “Cobalah Elsie, aku harap kamu suka," ucap Bastian sambil duduk di sebelah Elsie. Elsie mencobanya. Bastian memang jarang memasak untuknya, namun jika ia memasak, rasanya enak sekali. Dan satu hal lagi yang membuat Elsie merasa senang dan patut berbangga, suaminya itu hanya memasak untuknya. Bastian tidak pernah memasak untuk wanita lain selain dirinya, terkecuali Miranda tentunya. “Enak Bas, terima kasih," ucap Elsie sebelum mulai menyantap lagi pancake itu. Elsie sangat lapar. Apalagi setelah pergumulan panasnya dengan Rico semalam. "Kalau kamu suka, aku akan masak lagi untukmu," timpal Bastian sambil tersenyum. Tiba-ti
"Non, habiskan ya buahnya," Sifa menaruh sepiring buah-buahan segar yang telah dikupas dan di potong ke atas meja di teras belakang. Kanaya yang sakit sejak beberapa hari yang lalu sedang duduk di tepi kolam ikan koi di halaman belakang rumah. Ia menyelupkan tangannya ke dalam kolam dan menyentuh punggung ikan-ikan yang cantik itu. Bermain dengan ikan-ikan itu membuatnya tersenyum dan menghilangkan kebosanan yang ia rasakan. Selama tiga hari ia tidak keluar dari kamar karena Dokter Indra menyuruhnya untuk beristirahat hingga benar-benar pulih. Setelah malam 'pembuahan' itu, bagian kewanitaannya terasa perih karena terluka. Ia bahkan sulit untuk berjalan. Akibatnya ia hanya beristirahat saja di atas ranjang. Baru pagi ini ia berani keluar kamar. Tubuhnya sudah terasa lebih baik, meski terkadang masih ada sedikit rasa nyeri. Kanaya sengaja ingin berjalan di taman, menghirup udara segar dan terkena sinar matahari pagi untuk mengusir rasa jenuhnya. "Oke Bi, terima kasi
Kanaya termangu menatap Bastian, berpikir apakah Bastian berbicara kepadanya? Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari jika ada orang lain yang diajak bicara oleh pria dingin itu. Pintu penumpang depan terbuka dan seorang pria yang kerap berada di dekat Bastian menghampirinya. Kanaya tidak tahu siapa pria itu, namun ia ingat pria itu ada saat pernikahan mereka, dan dia juga ada di dalam rumah sakit bersama Bastian. Kanaya menduga dia adalah orang kepercayaan Bastian, mungkin asisten, sekertaris atau mungkin juga bodyguard? "Bu Kanaya, silahkan masuk, Bapak sudah menunggu," Ezra dengan sopan membukakan pintu untuk Kanaya, membuat Kanaya semakin merasa canggung disebut 'Ibu'. "Mm... Tidak apa, Saya sudah pesan taksi, saya--" "Masuk!" Bastian memotong ucapan Kanaya dengan tidak sabar. Mendengar suara keras dan tegas itu, Kanaya pun langsung masuk ke dalam mobil tanpa berpikir panjang. Jantungnya berdebar kencang setiap kali ia bertemu Bastian. Sebuah dinding i
Selesai bekerja, Bastian pergi ke sebuah cafe untuk bertemu dengan teman-temannya. Dalam perjalanan, Indra menghubunginya. “Sorry Bas, sepertinya aku nggak bisa datang. Salah satu pasienku tiba-tiba mengalami kontraksi dan aku harus stand by di RS,” ujar Indra kala Bastian mengangkat panggilan teleponnya. “Kamu yakin?” “Ya. Pasienku sudah pembukaan tujuh, terlalu beresiko kalau kutinggal,” jawab Indra mengkonfirmasi. "Oke, kita meet up next time," ucap Bastian sebelum mengakhiri percakapan mereka. Di cafe, Bastian masuk ke ruangan khusus yang biasa mereka gunakan. Dua orang teman Bastian lainnya telah sampai terlebih dahulu. Mereka adalah Ardyan dan Fariz. "Hey, Bro! Akhirnya sampai juga," Fariz langsung menghampirinya dan mereka bersalaman 'fist bump' yang biasa mereka lakukan. Ardyan pun mengikuti. "Indra mana?" tanya Ardyan sambil melihat ke belakang Bastian. Biasanya Indra dan Bastian kerap datang bersama. "Dia nggak bisa datang, mendadak ada pasiennya yang l
Jarum suntik baru saja dicabut dari urat nadi di lengan Kanaya. Kanaya menarik nafas panjang, menunggu dengan harap-harap cemas hasil test kehamilan yang sedang dilakukan Dokter Indra di rumahnya pagi itu. Dua minggu sudah Kanaya menunggu saat itu. Apakah ia berhasil hamil? Jika benar, Kanaya akan merasa sangat lega. "Kenapa? Tegang?" Indra menaruh sample darah yang ia ambil ke dalam tempat penyimpanan sambil diam-diam memperhatikan ekspresi wajah gadis di depannya. "Bagaimana kalau saya tidak hamil? Rasanya saya tidak merasa mual muntah, Dokter." Kanaya menghela nafas menceritakan kegelisahannya. Setahu Kanaya, perempuan yang hamil muda akan merasakan mual muntah, tidak enak badan, dan sering merasa lelah serta mengantuk. Sayangnya ia tidak merasakan semua hal itu. "Tenang saja. Tidak semua wanita hamil mengalami gejala yang sama. Ada yang mengalami mual dan muntah, ada yang tidak. Kita tunggu saja hasilnya hari ini, semoga membawa kabar baik." Indra mencoba membesarkan
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat
Mobil Rolls Royce limited edition itu, memasuki halaman rumah besar dan luas bernama Alpine Nest, dan berhenti tidak jauh dari pintu utama rumah itu.Kanaya dan Bastian turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang kali pertama Kanaya datangi belum memiliki furnitur yang lengkap, saat ini telah berubah menjadi sebuah rumah yang indah dengan berbagai kelengkapan yang memberi kesan tersendiri.Kanaya sengaja memilih furnitur, korden, wallpaper serta berbagai aksesoris rumah lainnya dengan warna dan model yang memberi kesan homy, sebuah tempat tinggal yang hangat dan nyaman untuk ditinggali keluarga mereka.Saat memasuki rumah itu, tidak terasa suasana kaku ataupun asing. Ruangan demi ruangan seakan membuat siapa pun merasa di nyaman berada di sana. Dari mulai ruang tamu, ruang keluarga, dapur, hingga setiap kamar tidur di rumah itu, memberi kesan hangat. “Kenzo mana Bi?” Kanaya bertanya saat ia bertemu Sifa di ruang keluarga.Perempuan yang menjadi pengasuhnya saat menga
“Maaf… maaf, aku tidak sengaja…” ucap orang itu dengan segera. Ia kemudian tampak terkejut ketika melihat Bastianlah yang ia tabrak.“Lain kali jalanlah dengan hati-hati.” tegur Bastian sambil mengingatkan dengan nada dingin.Untung saja dia tidak menabrak Kanaya! Jika sampai itu terjadi, ia akan sangat marah.“Tentu, lain kali saya akan jalan dengan hati-hati.” Mahasiswi yang menabrak Bastian itu tampak tersipu malu. Ia melirik Bastian dengan tatapan menggoda sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.Bastian bersikap acuh tak acuh pada perempuan itu dan sibuk merapikan kemeja yang dikenakannya.Lain halnya dengan Bastian, Kanaya justru menangkap gestur perempuan yang dengan sengaja menggoda Bastian. Dan ini membuat Kanaya kesal.Jelas, bukan hanya dirinya saja yang menyadari betapa menariknya Bastian.Selama ia menjadi istri Bastian, tidak sedikit wanita lain yang mengagumi Bastian, bahkan ada yang dengan berani dan terang-terangan berusaha mendekati suaminya itu.Mahasis
“Kulit lebih bersinar, atau di sebut dengan pregnancy glowing…” Bastian membaca sebuah artikel melalui telepon genggamnya. Ia tampak berpikir sebelum bergumam, “Sepertinya benar.”Ia membayangkan kulit istrinya itu memang terlihat lebih glowing di kehamilan kedua. Jadi, apakah semua mitos itu benar?Bastian kembali membaca lanjutan artikel itu.“Payudara sebelah kiri lebih besar dari yang kanan…” Bastian mengerutkan keningnya. Ah, ada-ada saja. Apa iya perbedaan kehamilan bayi perempuan dan laki-laki bisa dilihat dari besarnya payudara kanan dan kiri?Ujung-ujungnya, Bastian geleng-geleng kepala dan lanjut membaca. “Sifat lebih moody, sensitif dan cerewet…” Bastian terkekeh pelan. Mungkin untuk yang satu ini ada benarnya. Sejak kehamilan kedua, Kanaya menjadi sangat perasa dan sensitif, bahkan sebelum mereka mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya.Walau begitu, Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi ia memang tidak keberatan direpotkan oleh istrinya itu.“Ehem…
“Kamu tahu Ren, ada orang yang pernah bilang padaku. Melepaskan seseorang pergi bisa berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dalam hidup kita,” ucap Dinda tanpa menoleh pada Reno. Reno terkekeh pelan. “Apa yang kamu katakan hampir sama dengan yang Kanaya katakan padaku, tetapi dengan kalimat yang berbeda. Apa semua perempuan selalu berkata seperti itu pada lelaki single seperti aku?” “Tidak juga. Tergantung siapa laki-lakinya,” ucap Dinda sambil melirik Reno. Untuk sesaat keduanya saling menatap satu sama lain, seakan waktu berhenti. Sampai… Ardyan tiba-tiba datang dan menyapa Dinda. “Eh, Din, datang juga? Papamu mana?” Dinda menoleh dan tidak tampak terkejut. “Nggak bisa datang, lagi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi, aku yang gantikan.” Reno merasa heran melihat Ardyan tampak akrab dengan Dinda. Keduanya memang berprofesi sebagai dokter, tetapi apa setiap dokter seakrab itu dengan dokter lainnya? Apalagi mereka berbeda spesialisasi. Yang satu dokter bedah sya
Tidak hanya Kanaya yang terkesima dengan apa yang Bastian ucapkan, namun tamu yang hadir malam itu pun terharu dengan gestur yang disampaikan Bastian. Dan hal itu membuat mata mereka berkaca-kaca. Terlebih, kisah Bastian dan Kanaya sudah tersebar luas di media karena persidangan yang telah mereka lewati. “Naya, aku tahu ini terlambat, jauh terlambat. Akan tetapi, aku mencari saat yang tepat untuk memberikan ini.” Bastian mengambil sebuah kotak dari dalam kantong celananya, dan membukanya dihadapan Kanaya. Sepasang cincin yang tampak berkilau ada di depan mereka. Dua buah cincin yang memiliki model yang sama-sama memiliki sebuah batu berkilau di bagian atasnya. Namun terdapat perbedaan pada ukuran. Satu cincin berukuran lebih besar dan lebih lebar dari cincin lainnya. Kanaya terkejut melihat Bastian menyodorkan kotak berisi cincin itu padanya. Apakah ini cincin pernikahan? Suara riuh mengagumi cincin itu pun terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan tamu undangan yang seda
Acara resepsi pernikahan di Hotel Emerald itu sangat meriah dan dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai gubernur, pejabat pemerintahan, pengusaha, relasi, kerabat, teman dan keluarga serta artis dan publik figur. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana, hiasan dan dekorasi megah dan mewah mewarnai ruangan demi ruangan tempat acara itu. Hiburan pesta itu pun sangat meriah, diisi oleh beberapa penyanyi, grup band, host dan komedian papan atas yang ikut meramaikan. Semua orang tampak sangat senang dan menikmati jalannya acara. Acara itu sendiri digadang-gadang menjadi pesta termeriah di Emerald City dan bahkan Eastasia. Bahkan Azhar, kakek tua berusia 79 tahun itu tampak begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Haidar dan Miranda pun juga sama, raut wajah mereka berdua tampak begitu cerah dan senyum tidak menghilang dari wajah mereka. Ayunda dan Laila pun tidak ketinggalan. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan kenal
Pada hari yang di nanti, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa.Hotel Emerald, sebuah hotel baru di tepi pantai tempat berlangsungnya acara telah dibooking sepenuhnya oleh keluarga Dwipangga.Seluruh kamar hotel telah dipesan untuk tamu-tamu undangan yang datang dari luar kota. Ruangan grand ballroom beserta ruangan lainnya telah dibooking. Selama 2 hari, di hotel itu tidak ada tamu atau kegiatan lain selain tamu dan acara resepsi pernikahan Kanaya dan Bastian.Penjagaan pun dibuat sangat ketat oleh Jay dan anak buahnya, bekerjasama dengan pihak terkait.Di kamar presidensial suite hotel itu, Kanaya baru saja selesai mengenakan baju pengantinnya.“Naya…”Kanaya menoleh dan melihat ibunya memasuki kamar utama suite itu.“Ibu…” Ia langsung menghampiri dan mengajak ibunya itu duduk di tepi ranjang besar kamar itu.“Putri ibu cantik sekali,” ucap Ayunda sambil memperhatikan wajah Kanaya.Putrinya itu memang memiliki paras yang cantik alami. Akan tetapi hari ini kecantikannya tam
Setelah puas melihat pemandangan dari jendela kamar, Bastian lalu mengajaknya melihat bagian lain kamar mereka. “Ini closet kita, kamu bisa menaruh semua pakaian, tas, sepatu dan semua aksesoris milikmu di sini.” “Ini kamar mandi.” Bastian membuka sebuah pintu. “Shower, jacuzzi, dan lihat ini sayang…” Bastian mengajak Kanaya mendekat ke dinding kaca. Dari dinding kaca itu, mereka bisa melihat langsung ke arah hutan pinus. “Bas, tapi kaca ini…” “Jangan kuatir. Dari luar, mereka tidak bisa melihat ke dalam.” Tentu saja Bastian sudah memikirkan semua jal itu. Lalu mereka melihat ke kamar bayi, lalu kamar-kamar lainnya. Bahkan Bastian juga sudah menyiapkan ruangankamar untuk Kenzo saat bayi mungil itu sudah mulai bisa berjalan. “Ini kamarmu nanti, jagoan Papa… cepat besar ya, jadi kamu bisa menempatinya nanti…” ucap Bastian pada Kenzo yang ada di dalam gendongannya. Ia bahkan memperlihatkan pada Kenzo jendela kamarnya yang menghadap ke arah danau di belakang rumah. Kanaya tersenyu