Jarum suntik baru saja dicabut dari urat nadi di lengan Kanaya. Kanaya menarik nafas panjang, menunggu dengan harap-harap cemas hasil test kehamilan yang sedang dilakukan Dokter Indra di rumahnya pagi itu. Dua minggu sudah Kanaya menunggu saat itu. Apakah ia berhasil hamil? Jika benar, Kanaya akan merasa sangat lega. "Kenapa? Tegang?" Indra menaruh sample darah yang ia ambil ke dalam tempat penyimpanan sambil diam-diam memperhatikan ekspresi wajah gadis di depannya. "Bagaimana kalau saya tidak hamil? Rasanya saya tidak merasa mual muntah, Dokter." Kanaya menghela nafas menceritakan kegelisahannya. Setahu Kanaya, perempuan yang hamil muda akan merasakan mual muntah, tidak enak badan, dan sering merasa lelah serta mengantuk. Sayangnya ia tidak merasakan semua hal itu. "Tenang saja. Tidak semua wanita hamil mengalami gejala yang sama. Ada yang mengalami mual dan muntah, ada yang tidak. Kita tunggu saja hasilnya hari ini, semoga membawa kabar baik." Indra mencoba membesarkan
Bastian baru saja selesai bercinta dengan Elsie pagi itu. Ia tengah meredakan nafasnya dan duduk bersandar di kepala ranjang saat Indra menghubunginya. Bastian memang sudah menunggu telepon Indra karena hari ini temannya itu melakukan tes kehamilan pada Kanaya. Dan ia ingin mengetahui hasilnya. "Bas, hasil tes sudah keluar," terdengar suara Indra dari ujung sambungan telepon. "Dan?" Bastian fokus mendengarkan suara Indra dengan jantung berdebar kencang. Apakah Kanaya hamil anaknya? "Negatif," jawab Indra pendek. "Maaf." Bastian menarik nafas dalam. "Oke, tidak apa," jawab Bastian juga pendek. Apalagi yang harus ia katakan? Meski tidak sesuai harapan, kenyataannya Kanaya belum mengandung anaknya. "Jangan berkecil hati Bas, masih ada kesempatan. Lagipula, memang butuh waktu untuk merencanakan kehamilan alami. Pergunakan kesempatan ini untuk mempersiapkan pembuahan berikutnya," ucap Indra menyemangati temannya itu. "Aku tahu," jawab Bastian. Anehnya, kali ini ia
"Bagaimana perkembangan pencarian ibu pengganti saya? Apa sudah ada yang cocok?" Seminggu sudah Bastian meminta Indra mencari donor serta ibu pengganti untuknya dan Elsie. Namun, Indra belum juga memberi kabar. Elsie yang tidak sabar, datang ke kantor Indra untuk menanyakan perkembangannya. Sayangnya, Indra sedang tidak ada di tempat. Alhasil ia menanyakannya pada Jesy, sekertaris Indra. “Maaf Bu Elsie, mengenai hal ini sebaiknya Ibu bicara langsung dengan Dokter Indra,” jawab Jesy dengan diplomatis sambil tersenyum. Elsie berdecak tidak puas. “Bosmu sedang tidak ada. Kalau ada juga saya pasti tanya sama dia!” “Ini kan permintaan saya dan suami. Dan kamu tahu kan kalau Dokter Indra itu dekat sekali dengan suami saya? Kenapa kamu tidak kasih tau saja perkembangannya?” Elsie bersikukuh mengorek informasi darinya. Jesy ragu. Jika klien lain, ia tidak akan ragu memberikan informasi itu. Namun untuk kasus Bastian dan Elsie yang ditangani oleh Dokter Indra langsung, ia tidak be
Hari ini Kanaya berkesempatan pulang dan mengantar ibunya kontrol ke rumah sakit. Karena ia belum hamil, Indra dan Bastian mengijinkannya menemui Ayunda. Saat sedang berada di rumah sakit, Kanaya bertemu dengan Tika, salah satu perawat yang memberitahukannya mengenai iklan ibu pengganti. "Apa kamu jadi mendaftar sebagai ibu pengganti di klinik Life's Blessing?" tanya Tika setelah ia menarik Kanaya ke tepi. "Memangnya kenapa Suster?" Kanaya heran perawat itu tiba-tiba saja menanyakan perihal ibu Pengganti. “Saya hanya ingin tahu saja. Sebab tadi pagi saya lihat klinik itu mengeluarkan iklan baru pencarian ibu pengganti.” “Iklan baru?” “Ya, mereka sedang mencari seorang ibu pengganti lagi. Apakah kamu tidak lolos kemarin?” Kanaya tertegun sesaat sebelum ia menggeleng. "Saya tidak tahu mengenai hal itu. Saya— sepertinya tidak lolos, karena— mereka tidak memberi kabar.” Kanaya terpaksa berbohong karena ia khawatir perawat itu akan bertanya lebih jauh lagi. Sedangkan, ia
Ucapan Tika dan Elsie terngiang-ngiang dalam benak Kanaya. Apakah yang mereka katakan saling berhubungan? Apakah klinik Dokter Indra mencari ibu pengganti untuk menggantikan dirinya? Apa mereka sudah menemukan ibu pengganti itu? Berbagai pertanyaan datang silih berganti di benaknya. Kelangsungan hidup ibunya tergantung dari anak yang akan ia lahirkan untuk Bastian. Tetapi mereka menggantikannya, maka tidak ada harapan untuk kesembuhan ibunya. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi menemui Dokter Indra. Ia harus bertanya langsung pada Dokter itu. “Dokter Indra pasti bisa menjelaskan yang sebenarnya,” gumam Kanaya pelan. Sore harinya, Kanaya sampai di klinik Life’s Blessing. “Bisa saya bertemu dengan Dokter Indra? Ia bertanya pada petugas front desk. “Maaf, Dokter Indra sedang tidak di tempat. Ada yang bisa dibantu?” Kanaya tidak mungkin bertanya mengenai hal itu pada sembarang orang. Kemungkinan besar mereka pun tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan yang akan ia tanyak
Sebuah taksi berhenti tepat di depan lobi gedung DPG Corporation. Pintu taksi terbuka dan Kanaya melangkah turun. Ia menengadahkan wajahnya menatap gedung megah berlantai enam puluh itu. Setelah menunggu beberapa jam di klinik Life’s Blessing, Dokter Indra yang ditunggu tidak kunjung kembali. Kanaya pun memutuskan untuk pergi menemui Bastian di kantornya. Ia melangkah masuk ke dalam lobi gedung, menuju meja resepsionis. “Selamat Sore, Saya ingin bertemu dengan Pak Bastian,” ucap Kanaya memberanikan diri. “Apa sudah ada janji?” “Belum, tetapi ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan beliau,” jawab Kanaya dengan berterus terang. “Maaf, sebaiknya anda membuat janji terlebih dahulu,” tolak resepsionis itu. Jika tidak ada notifikasi dari atasannya ia tidak bisa membiarkan sembarang orang masuk, apalagi ke kantor CEO. “Nama saya Kanaya. Bisa tolong tanyakan ke kantor Pak Bastian? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan beliau,” pinta Kanaya sekali lagi. Ia l
Di dalam kantor CEO Dwipangga Corporation. Bastian berdiri melipat tangannya di depan dada sambil menyandarkan pinggulnya di tepi meja kerjanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Bastian tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari sosok gadis yang berjalan ke arahnya. Kanaya yang gelisah dan gugup berhenti melangkah. Ia sedang berusaha menekan kegelisahannya dan memberanikan diri untuk bicara. Sifat dominan yang ditunjukkan Bastian membuat tekadnya yang sebelumnya sudah bulat, mengalami pergolakan yang kuat. “A-ada yang ingin saya tanyakan, Pak,” ucap Kanaya memberanikan diri, menguatkan tekadnya bertanya. “Katakan saja apa yang kamu inginkan Kanaya?” tanya Bastian dengan tidak sabar. Bastian tidak pernah menyangka jika gadis timid ini berani mencarinya di kantor. Apa yang begitu ingin ditanyakanya sampai ia berani menyelinap masuk ke dalam gedung kantornya? Kanaya mengepalkan kedua tangannya dengan erat. “Apa Bapak mencari ibu pengganti yang lain? Apa beri
Bastian melirik jam tangannya sambil mendengarkan penuturan Eka, salah satu rekan bisnisnya. Seperti janji mereka, Bastian dan Eka sedang berada di dalam sebuah restoran, membicarakan bisnis sekaligus makan malam bersama. Bastian berusaha untuk fokus pada pembicaraan mereka, namun entah mengapa berkelebat di benaknya ekspresi penuh tekad Kanaya petang tadi. Bagaimana pancaran kedua mata berbentuk almond itu menatapnya, terus mengusik rasa gelisahnya. Aneh, kenapa ia terus memikirkan Kanaya? Apakah karena ucapan gadis itu atau justru karena keberaniannya untuk datang dan bahkan rela untuk melakukan apa saja asalkan kesepakatan mereka terus berjalan? Sejujurnya, Bastian belum membatalkan kesepakatan mereka, dan ia tidak berpikir untuk melakukan hal itu pula. Selain itu, tadi siang Indra juga mengatakan jika dia belum menemukan ibu pengganti lain. Jadi, tidak ada alasan bagi Bastian untuk membatalkan kesepakatannya dengan Kanaya. Sampai detik ini, Kanaya tetap kandidat terbai
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat
Mobil Rolls Royce limited edition itu, memasuki halaman rumah besar dan luas bernama Alpine Nest, dan berhenti tidak jauh dari pintu utama rumah itu.Kanaya dan Bastian turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang kali pertama Kanaya datangi belum memiliki furnitur yang lengkap, saat ini telah berubah menjadi sebuah rumah yang indah dengan berbagai kelengkapan yang memberi kesan tersendiri.Kanaya sengaja memilih furnitur, korden, wallpaper serta berbagai aksesoris rumah lainnya dengan warna dan model yang memberi kesan homy, sebuah tempat tinggal yang hangat dan nyaman untuk ditinggali keluarga mereka.Saat memasuki rumah itu, tidak terasa suasana kaku ataupun asing. Ruangan demi ruangan seakan membuat siapa pun merasa di nyaman berada di sana. Dari mulai ruang tamu, ruang keluarga, dapur, hingga setiap kamar tidur di rumah itu, memberi kesan hangat. “Kenzo mana Bi?” Kanaya bertanya saat ia bertemu Sifa di ruang keluarga.Perempuan yang menjadi pengasuhnya saat menga
“Maaf… maaf, aku tidak sengaja…” ucap orang itu dengan segera. Ia kemudian tampak terkejut ketika melihat Bastianlah yang ia tabrak.“Lain kali jalanlah dengan hati-hati.” tegur Bastian sambil mengingatkan dengan nada dingin.Untung saja dia tidak menabrak Kanaya! Jika sampai itu terjadi, ia akan sangat marah.“Tentu, lain kali saya akan jalan dengan hati-hati.” Mahasiswi yang menabrak Bastian itu tampak tersipu malu. Ia melirik Bastian dengan tatapan menggoda sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.Bastian bersikap acuh tak acuh pada perempuan itu dan sibuk merapikan kemeja yang dikenakannya.Lain halnya dengan Bastian, Kanaya justru menangkap gestur perempuan yang dengan sengaja menggoda Bastian. Dan ini membuat Kanaya kesal.Jelas, bukan hanya dirinya saja yang menyadari betapa menariknya Bastian.Selama ia menjadi istri Bastian, tidak sedikit wanita lain yang mengagumi Bastian, bahkan ada yang dengan berani dan terang-terangan berusaha mendekati suaminya itu.Mahasis
“Kulit lebih bersinar, atau di sebut dengan pregnancy glowing…” Bastian membaca sebuah artikel melalui telepon genggamnya. Ia tampak berpikir sebelum bergumam, “Sepertinya benar.”Ia membayangkan kulit istrinya itu memang terlihat lebih glowing di kehamilan kedua. Jadi, apakah semua mitos itu benar?Bastian kembali membaca lanjutan artikel itu.“Payudara sebelah kiri lebih besar dari yang kanan…” Bastian mengerutkan keningnya. Ah, ada-ada saja. Apa iya perbedaan kehamilan bayi perempuan dan laki-laki bisa dilihat dari besarnya payudara kanan dan kiri?Ujung-ujungnya, Bastian geleng-geleng kepala dan lanjut membaca. “Sifat lebih moody, sensitif dan cerewet…” Bastian terkekeh pelan. Mungkin untuk yang satu ini ada benarnya. Sejak kehamilan kedua, Kanaya menjadi sangat perasa dan sensitif, bahkan sebelum mereka mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya.Walau begitu, Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi ia memang tidak keberatan direpotkan oleh istrinya itu.“Ehem…
“Kamu tahu Ren, ada orang yang pernah bilang padaku. Melepaskan seseorang pergi bisa berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dalam hidup kita,” ucap Dinda tanpa menoleh pada Reno. Reno terkekeh pelan. “Apa yang kamu katakan hampir sama dengan yang Kanaya katakan padaku, tetapi dengan kalimat yang berbeda. Apa semua perempuan selalu berkata seperti itu pada lelaki single seperti aku?” “Tidak juga. Tergantung siapa laki-lakinya,” ucap Dinda sambil melirik Reno. Untuk sesaat keduanya saling menatap satu sama lain, seakan waktu berhenti. Sampai… Ardyan tiba-tiba datang dan menyapa Dinda. “Eh, Din, datang juga? Papamu mana?” Dinda menoleh dan tidak tampak terkejut. “Nggak bisa datang, lagi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi, aku yang gantikan.” Reno merasa heran melihat Ardyan tampak akrab dengan Dinda. Keduanya memang berprofesi sebagai dokter, tetapi apa setiap dokter seakrab itu dengan dokter lainnya? Apalagi mereka berbeda spesialisasi. Yang satu dokter bedah sya
Tidak hanya Kanaya yang terkesima dengan apa yang Bastian ucapkan, namun tamu yang hadir malam itu pun terharu dengan gestur yang disampaikan Bastian. Dan hal itu membuat mata mereka berkaca-kaca. Terlebih, kisah Bastian dan Kanaya sudah tersebar luas di media karena persidangan yang telah mereka lewati. “Naya, aku tahu ini terlambat, jauh terlambat. Akan tetapi, aku mencari saat yang tepat untuk memberikan ini.” Bastian mengambil sebuah kotak dari dalam kantong celananya, dan membukanya dihadapan Kanaya. Sepasang cincin yang tampak berkilau ada di depan mereka. Dua buah cincin yang memiliki model yang sama-sama memiliki sebuah batu berkilau di bagian atasnya. Namun terdapat perbedaan pada ukuran. Satu cincin berukuran lebih besar dan lebih lebar dari cincin lainnya. Kanaya terkejut melihat Bastian menyodorkan kotak berisi cincin itu padanya. Apakah ini cincin pernikahan? Suara riuh mengagumi cincin itu pun terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan tamu undangan yang seda
Acara resepsi pernikahan di Hotel Emerald itu sangat meriah dan dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai gubernur, pejabat pemerintahan, pengusaha, relasi, kerabat, teman dan keluarga serta artis dan publik figur. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana, hiasan dan dekorasi megah dan mewah mewarnai ruangan demi ruangan tempat acara itu. Hiburan pesta itu pun sangat meriah, diisi oleh beberapa penyanyi, grup band, host dan komedian papan atas yang ikut meramaikan. Semua orang tampak sangat senang dan menikmati jalannya acara. Acara itu sendiri digadang-gadang menjadi pesta termeriah di Emerald City dan bahkan Eastasia. Bahkan Azhar, kakek tua berusia 79 tahun itu tampak begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Haidar dan Miranda pun juga sama, raut wajah mereka berdua tampak begitu cerah dan senyum tidak menghilang dari wajah mereka. Ayunda dan Laila pun tidak ketinggalan. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan kenal
Pada hari yang di nanti, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa.Hotel Emerald, sebuah hotel baru di tepi pantai tempat berlangsungnya acara telah dibooking sepenuhnya oleh keluarga Dwipangga.Seluruh kamar hotel telah dipesan untuk tamu-tamu undangan yang datang dari luar kota. Ruangan grand ballroom beserta ruangan lainnya telah dibooking. Selama 2 hari, di hotel itu tidak ada tamu atau kegiatan lain selain tamu dan acara resepsi pernikahan Kanaya dan Bastian.Penjagaan pun dibuat sangat ketat oleh Jay dan anak buahnya, bekerjasama dengan pihak terkait.Di kamar presidensial suite hotel itu, Kanaya baru saja selesai mengenakan baju pengantinnya.“Naya…”Kanaya menoleh dan melihat ibunya memasuki kamar utama suite itu.“Ibu…” Ia langsung menghampiri dan mengajak ibunya itu duduk di tepi ranjang besar kamar itu.“Putri ibu cantik sekali,” ucap Ayunda sambil memperhatikan wajah Kanaya.Putrinya itu memang memiliki paras yang cantik alami. Akan tetapi hari ini kecantikannya tam
Setelah puas melihat pemandangan dari jendela kamar, Bastian lalu mengajaknya melihat bagian lain kamar mereka. “Ini closet kita, kamu bisa menaruh semua pakaian, tas, sepatu dan semua aksesoris milikmu di sini.” “Ini kamar mandi.” Bastian membuka sebuah pintu. “Shower, jacuzzi, dan lihat ini sayang…” Bastian mengajak Kanaya mendekat ke dinding kaca. Dari dinding kaca itu, mereka bisa melihat langsung ke arah hutan pinus. “Bas, tapi kaca ini…” “Jangan kuatir. Dari luar, mereka tidak bisa melihat ke dalam.” Tentu saja Bastian sudah memikirkan semua jal itu. Lalu mereka melihat ke kamar bayi, lalu kamar-kamar lainnya. Bahkan Bastian juga sudah menyiapkan ruangankamar untuk Kenzo saat bayi mungil itu sudah mulai bisa berjalan. “Ini kamarmu nanti, jagoan Papa… cepat besar ya, jadi kamu bisa menempatinya nanti…” ucap Bastian pada Kenzo yang ada di dalam gendongannya. Ia bahkan memperlihatkan pada Kenzo jendela kamarnya yang menghadap ke arah danau di belakang rumah. Kanaya tersenyu