Ucapan Tika dan Elsie terngiang-ngiang dalam benak Kanaya. Apakah yang mereka katakan saling berhubungan? Apakah klinik Dokter Indra mencari ibu pengganti untuk menggantikan dirinya? Apa mereka sudah menemukan ibu pengganti itu? Berbagai pertanyaan datang silih berganti di benaknya. Kelangsungan hidup ibunya tergantung dari anak yang akan ia lahirkan untuk Bastian. Tetapi mereka menggantikannya, maka tidak ada harapan untuk kesembuhan ibunya. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi menemui Dokter Indra. Ia harus bertanya langsung pada Dokter itu. “Dokter Indra pasti bisa menjelaskan yang sebenarnya,” gumam Kanaya pelan. Sore harinya, Kanaya sampai di klinik Life’s Blessing. “Bisa saya bertemu dengan Dokter Indra? Ia bertanya pada petugas front desk. “Maaf, Dokter Indra sedang tidak di tempat. Ada yang bisa dibantu?” Kanaya tidak mungkin bertanya mengenai hal itu pada sembarang orang. Kemungkinan besar mereka pun tidak mengetahui jawaban dari pertanyaan yang akan ia tanyak
Sebuah taksi berhenti tepat di depan lobi gedung DPG Corporation. Pintu taksi terbuka dan Kanaya melangkah turun. Ia menengadahkan wajahnya menatap gedung megah berlantai enam puluh itu. Setelah menunggu beberapa jam di klinik Life’s Blessing, Dokter Indra yang ditunggu tidak kunjung kembali. Kanaya pun memutuskan untuk pergi menemui Bastian di kantornya. Ia melangkah masuk ke dalam lobi gedung, menuju meja resepsionis. “Selamat Sore, Saya ingin bertemu dengan Pak Bastian,” ucap Kanaya memberanikan diri. “Apa sudah ada janji?” “Belum, tetapi ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan beliau,” jawab Kanaya dengan berterus terang. “Maaf, sebaiknya anda membuat janji terlebih dahulu,” tolak resepsionis itu. Jika tidak ada notifikasi dari atasannya ia tidak bisa membiarkan sembarang orang masuk, apalagi ke kantor CEO. “Nama saya Kanaya. Bisa tolong tanyakan ke kantor Pak Bastian? Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan beliau,” pinta Kanaya sekali lagi. Ia l
Di dalam kantor CEO Dwipangga Corporation. Bastian berdiri melipat tangannya di depan dada sambil menyandarkan pinggulnya di tepi meja kerjanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Bastian tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari sosok gadis yang berjalan ke arahnya. Kanaya yang gelisah dan gugup berhenti melangkah. Ia sedang berusaha menekan kegelisahannya dan memberanikan diri untuk bicara. Sifat dominan yang ditunjukkan Bastian membuat tekadnya yang sebelumnya sudah bulat, mengalami pergolakan yang kuat. “A-ada yang ingin saya tanyakan, Pak,” ucap Kanaya memberanikan diri, menguatkan tekadnya bertanya. “Katakan saja apa yang kamu inginkan Kanaya?” tanya Bastian dengan tidak sabar. Bastian tidak pernah menyangka jika gadis timid ini berani mencarinya di kantor. Apa yang begitu ingin ditanyakanya sampai ia berani menyelinap masuk ke dalam gedung kantornya? Kanaya mengepalkan kedua tangannya dengan erat. “Apa Bapak mencari ibu pengganti yang lain? Apa beri
Bastian melirik jam tangannya sambil mendengarkan penuturan Eka, salah satu rekan bisnisnya. Seperti janji mereka, Bastian dan Eka sedang berada di dalam sebuah restoran, membicarakan bisnis sekaligus makan malam bersama. Bastian berusaha untuk fokus pada pembicaraan mereka, namun entah mengapa berkelebat di benaknya ekspresi penuh tekad Kanaya petang tadi. Bagaimana pancaran kedua mata berbentuk almond itu menatapnya, terus mengusik rasa gelisahnya. Aneh, kenapa ia terus memikirkan Kanaya? Apakah karena ucapan gadis itu atau justru karena keberaniannya untuk datang dan bahkan rela untuk melakukan apa saja asalkan kesepakatan mereka terus berjalan? Sejujurnya, Bastian belum membatalkan kesepakatan mereka, dan ia tidak berpikir untuk melakukan hal itu pula. Selain itu, tadi siang Indra juga mengatakan jika dia belum menemukan ibu pengganti lain. Jadi, tidak ada alasan bagi Bastian untuk membatalkan kesepakatannya dengan Kanaya. Sampai detik ini, Kanaya tetap kandidat terbai
Kanaya menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan gelisah sembari berjalan perlahan menghampiri Bastian yang duduk di sofa. Bastian menatap sosok Kanaya yang berjalan menghampirinya bagaikan siluet seorang gadis ramping dengan sepasang tungkai kaki yang Indah. Aroma lembut dan segar yang sempat ia rasakan kala itu berhembus kembali menyapa indera penciumannya. Campuran aroma lavender, jeruk bergamot dan grapefruit yang samar, membangkitkan rasa menggelitik di dalam dirinya. Kanaya yang memerah pipinya menunduk malu dan gugup. Kedua tangannya memegang erat handuk yang melilit tubuhnya, seakan takut jika satu-satunya penutup tubuhnya itu akan terlepas. Ingatan Kanaya akan rasa sakit yang ia alami saat malam pertama mereka kembali menghantuinya. Ia menguatkan tekad untuk bisa mengandung anak Bastian meskipun harus kembali menahan rasa sakit itu. Bastian beranjak saat Kanaya hampir mendekatinya dan mereka pun berdiri berhadapan. “Kamu menginginkan ini kan?” tanya Ba
Bastian merasakan gejolak dalam dirinya begitu besar. Gadis itu tidak tahu efek yang dia timbulkan saat tangannya menyentuh inchi demi inchi permukaan kulitnya, bahkan menyentuh daerah sensitif syaraf primalnya. Gadis itu sungguh tidak tahu jika sedang membangunkan singa yang sedang lapar, haus dan dahaga! Menatap wajah bersemu merah dihadapannya, Bastian begitu ingin memagut kedua belah bibir ranum itu. Namun keteguhan hati untuk tidak membawa rasa dalam hubungan mereka, menahan keinginannya. Sebagai ganti, ia menyentak tubuh Kanaya dengan tiba-tiba hingga kedua tubuh mereka berbenturan, sebelum ia dengan cepat menggendongnya. “Aahh! P-Pak Bas!” Kanaya memekik karena terkejut dengan gerakan Bastian yang mendadak itu. Kedua tangannya secara refleks berpegangan erat pada leher Bastian dan kedua kakinya terkait melingkari pinggang pria itu. Bastian tidak menggubris teriakan Kanaya dan dengan cepat membawanya ke atas ranjang. Ia menghempaskan Kanaya di tengah ranjang, s
Bastian masuk ke dalam mobilnya, dan ia duduk termangu dalam diam. Apa yang baru saja ia lakukan? Batin Bastian saat teringat kembali apa yang terjadi di dalam kamar itu baru saja. Bastian bisa merasakan kala bukan hanya tubuhnya yang menginginkan Kanaya, namun juga jiwanya. Keinginan itu demikian besar sehingga ia melakukan lebih dari yang seharusya. Cumbuan-cumbuan yang ia lakukan serta begitu lihainya kedua tangannya menjelajahi tubuh Kanaya. Bagaimana mungkin ia melakukan itu? Apa itu artinya ia telah mengkhianati Elsie? "Kita sudah sampai Pak." Pemberitahuan Rafles membuyarkan lamunan Bastian. Ia melihat ke luar jendela dan tampaklah rumah dua lantai di kawasan elite yang ditempatinya bersama Elsie. Saat ia meraih tas kerjanya, Bastian baru menyadari jika ia belum memakai kembali cincin kawinnya. Ia pun segera mengambil cincin yang selalu dikenakannya selama tiga tahun terakhir itu. Elsie sedang berbaring di ranjang sambil bercakap-cakap dengan Rico melalui video ca
Bastian menyugar rambutnya yang basah pagi itu. Ia duduk bersandar di meja kerjanya, sambil membaca sebuah dokumen. Pagi tadi, seperti janjinya, ia telah menunaikan kewajibannya pada Elsie. Namun bukan berarti pikirannya telah jernih seperti harapannya. Bahkan pagi ini di kantornya pun ia masih teringat Kanaya. Kedua mata almond yang menatapnya dengan lugu masih terbayang di benaknya. "Pasti karena aku ingin sekali punya anak," gumam Bastian sambil menghempaskan dokumen di tangannya itu ke atas meja. "Zra, ke kantorku, sekarang!" Perintah Bastian melalui interkom kantornya. "Ada yang bisa saya bantu, Bos?" Mendengar suara Bastian yang terdengar jengkel, Ezra datang secepat mungkin. "Dua orang sekuriti yang kemarin ada di sini, aku mau kamu pindahkan mereka ke tempat lain!" perintah Bastian dengan kesal. Bastian teringat memar ditangan Kanaya, dan tiba-tiba ia sangat geram. "Di mutasi Bos? Alasannya apa?" Ezra terkejut karena Bastian tidak pernah mengurusi masalah mut
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu