Bastian merasakan gejolak dalam dirinya begitu besar. Gadis itu tidak tahu efek yang dia timbulkan saat tangannya menyentuh inchi demi inchi permukaan kulitnya, bahkan menyentuh daerah sensitif syaraf primalnya. Gadis itu sungguh tidak tahu jika sedang membangunkan singa yang sedang lapar, haus dan dahaga! Menatap wajah bersemu merah dihadapannya, Bastian begitu ingin memagut kedua belah bibir ranum itu. Namun keteguhan hati untuk tidak membawa rasa dalam hubungan mereka, menahan keinginannya. Sebagai ganti, ia menyentak tubuh Kanaya dengan tiba-tiba hingga kedua tubuh mereka berbenturan, sebelum ia dengan cepat menggendongnya. “Aahh! P-Pak Bas!” Kanaya memekik karena terkejut dengan gerakan Bastian yang mendadak itu. Kedua tangannya secara refleks berpegangan erat pada leher Bastian dan kedua kakinya terkait melingkari pinggang pria itu. Bastian tidak menggubris teriakan Kanaya dan dengan cepat membawanya ke atas ranjang. Ia menghempaskan Kanaya di tengah ranjang, s
Bastian masuk ke dalam mobilnya, dan ia duduk termangu dalam diam. Apa yang baru saja ia lakukan? Batin Bastian saat teringat kembali apa yang terjadi di dalam kamar itu baru saja. Bastian bisa merasakan kala bukan hanya tubuhnya yang menginginkan Kanaya, namun juga jiwanya. Keinginan itu demikian besar sehingga ia melakukan lebih dari yang seharusya. Cumbuan-cumbuan yang ia lakukan serta begitu lihainya kedua tangannya menjelajahi tubuh Kanaya. Bagaimana mungkin ia melakukan itu? Apa itu artinya ia telah mengkhianati Elsie? "Kita sudah sampai Pak." Pemberitahuan Rafles membuyarkan lamunan Bastian. Ia melihat ke luar jendela dan tampaklah rumah dua lantai di kawasan elite yang ditempatinya bersama Elsie. Saat ia meraih tas kerjanya, Bastian baru menyadari jika ia belum memakai kembali cincin kawinnya. Ia pun segera mengambil cincin yang selalu dikenakannya selama tiga tahun terakhir itu. Elsie sedang berbaring di ranjang sambil bercakap-cakap dengan Rico melalui video ca
Bastian menyugar rambutnya yang basah pagi itu. Ia duduk bersandar di meja kerjanya, sambil membaca sebuah dokumen. Pagi tadi, seperti janjinya, ia telah menunaikan kewajibannya pada Elsie. Namun bukan berarti pikirannya telah jernih seperti harapannya. Bahkan pagi ini di kantornya pun ia masih teringat Kanaya. Kedua mata almond yang menatapnya dengan lugu masih terbayang di benaknya. "Pasti karena aku ingin sekali punya anak," gumam Bastian sambil menghempaskan dokumen di tangannya itu ke atas meja. "Zra, ke kantorku, sekarang!" Perintah Bastian melalui interkom kantornya. "Ada yang bisa saya bantu, Bos?" Mendengar suara Bastian yang terdengar jengkel, Ezra datang secepat mungkin. "Dua orang sekuriti yang kemarin ada di sini, aku mau kamu pindahkan mereka ke tempat lain!" perintah Bastian dengan kesal. Bastian teringat memar ditangan Kanaya, dan tiba-tiba ia sangat geram. "Di mutasi Bos? Alasannya apa?" Ezra terkejut karena Bastian tidak pernah mengurusi masalah mut
Sifa membaca kembali daftar bahan-bahan makanan dan kebutuhan yang ia perlukan. Hari ini ia tengah berada di sebuah supermarket, berbelanja kebutuhan sehari-hari untuk rumah di Sunset Summit. Setelah membayar semua belanjaannya, Sifa keluar mencari taksi. Namun, Tuba-tiba saja dua orang laki-laki mendekatinya. “Sifa Indriyani? Ikut kami, Ibu ingin bicara,” dualar salah satu dari laki-laki itu. Ibu? Sifa tertegun dan menatap kedua laki-laki itu dengan heran. Ia tidak mengenal mereka berdua dan siapa orang yang mereka sebut ibu? “Ibu hanya ingin bicara. Ayo!” Kedua laki-laki itu langsung menggiring Sifa di kedua sisinya. “Pak, pak, pak! Mau di bawa ke mana saya?” protes Sifa saat kedua orang itu membawanya masuk ke dalam sebuah mobil. “Ikut saja, tidak perlu banyak tanya!” sergah salah satu dari mereka. Di dalam mobil pun Sifa tidak bisa melawan, karena diapit oleh kedua orang itu. Tidak lama mobil berhenti di sebuah restoran, dan Sifa digiring masuk ke dalam restoran
“Non, ini udah belom?” Kanaya menoleh ke arah wajan. Di dalam wajah itu ada beberapa potong iga sapi yang sedang digoreng. Siang itu Kanaya berinisiatif memasak sendiri makan siang mereka. Ia sedang ingin makan iga sapi dengan sambal dabu-dabu resep yang diajarkan ibunya. “Sebentar lagi Bi, tunggu biar agak kecoklatan. Biar lebih enak.” Kanaya lanjut memotong tomat, cabai, bawang merah serta jeruk kunci untuk membuat sambalnya. Tiba-tiba saja terdengar suara panggilan telepon yang ternyata berasal dari telepon milik Sifa. “Halo Pak Ezra?” Sifa langsung menjawab panggilan telepon itu sembari berjalan menjauh dari dapur untuk menghindari suara bising di dapur. Kanaya hanya menoleh sesaat dan lanjut memotong bahan-bahan yang ada didepannya. “Sifa, coba cek apa ada jas Bapak tertinggal di sana?” tanya Ezra melalui panggilan telepon itu. “Oh Iya Pak, ada kemarin malam. Disimpan Non Kanaya di kamarnya. Saya nggak cuci karena kata Non mau di laundry saja, takut rusak kalau
Kanaya dan Sifa sedang bersiap-siap menyantap makan siang mereka saat tiba-tiba pintu depan rumah terbuka tutup, lalu suara langkah kaki mendekat. Mereka berdua langsung beradu pandang. Siapa yang datang? Padahal keduanya tidak mendengar ada suara mobil berhenti di depan rumah. “Ba-Bapak?” seru Kanaya dan Sifa berbarengan saat melihat Bastian berjalan ke arah ruang makan. Keduanya benar-benar terkejut. Mereka berdua sama sekali tidak menyangka jika Bastian akan datang siang itu. Terlebih Ezra baru saja meninggalkan rumah mereka. Mau apa Bastian datang tanpa pemberitahuan di siang bolong seperti ini? Bastian hanya datang mengunjungi Kanaya jika mereka akan melakukan ‘pembuahan’. Lalu untuk apa dia datang kali ini? Apa dia mau melakukannya siang ini? Batin Kanaya dengan was-was. Pada saat itulah Kanaya melihat kotak makan di tangan Bastian. Kotak makan yang sama yang ia siapkan untuk Ezra. Itu berarti… “Bapak, silahkan duduk Pak, kebetulan Non Kanaya baru selesai masak.” S
Bastian duduk di sofa. Ia baru saja selesai berbicara dengan Erza menanyakan pekerjaan kantor yang ia tugaskan kepada asistennya. Tidak jauh dari tempatnya duduk, Kanaya sedang mencuci tangan setelah mengupas buah apel untuk ia sajikan kepada Bastian. Kanaya datang menghampiri Bastian dan menaruh sepiring potongan buah apel ke atas meja. “Buahnya, Pak.” Lalu ia duduk di sofa lain yang tidak terlalu jauh dari Bastian. Kanaya masih saja menjaga jarak dari Bastian. Ia tidak ingin terlalu terikat secara personal dengannya, karena khawatir ada sesuatu yang timbul diantara mereka. Bastian mengangkat wajahnya dari layar telepon genggamnya dan menatap Kanaya yang duduk jauh darinya. “Sini,” panggilnya sambil menepuk tempat kosong di dekatnya. Kanaya diam tidak bergerak. Ia ragu. Haruskah ia pindah duduk dekat Bastian? “Kanaya, aku tidak suka mengulang ucapanku,” ucap Bastian dengan nada protes. Mendengar nada suara Bastian itu, Kanaya tidak ingin mencari masalah sehingga ia pu
“Halo Yang, kamu sudah selesai kerja?” Elsie menghubungi Bastian melalui telepon petang itu. “Aku masih ada meeting malam ini, Elsie. Sepertinya aku pulang larut malam,” jawab Bastian sambil mengurut keningnya. “Jangan terlalu capek bekerja. Kan ada Ezra dan asistenmu yang lain yang bisa kamu suruh.” Terdengar suara Elsie yang sedikit menggerutu. “Maaf sayang, untuk meeting kali ini, harus aku yang datang. Klien ini dari luar kota, jadi tidak bisa aku delegasikan,” ujar Bastian beralasan. Terselip rasa bersalah di hatinya saat harus berbohong kepada Elsie. Tapi, mau bagaimana lagi? Bastian sudah bertekad untuk memiliki keturunan dengan segera. Lagipula Ia dan Kanaya sudah sepakat untuk bisa hamil bulan ini. “Ya sudah, kalau begitu.” “Maaf ya Sayang,” ucap Bastian lagi dengan nada lembut. “Yang, kamu sudah telepon Papa? Mengenai hal yang waktu itu aku ceritakan?” Saat Bastian pikir Elsie sudah akan mengakhiri percakapan, istrinya itu justru menanyakan hal lain. “Papa t
Sementara Elsie memaki-makinya, Rico berjalan dengan santai keluar dari ruangan kunjungan itu. Wajahnya terlihat puas setelah melihat Elsie. Rico terus berjalan hingga sampai ke parkuran mobil yang ada di depan kantor polisi, dan ia mengeluarkan kunci mobil SUV mewah miliknya.Baru saja ia memencet kunci itu, ia tidak sengaja bertemu dengan Agni yang baru turun dari mobil.“Kamu— kamu— mau apa ke sini?!” Melihat Rico, Agni pun tampak kesal dan marah.Rico menoleh dan menatap Agni sambil tersenyum.“Melihat keadaan putrimu, tentu saja,” jawabnya dengan santai.“Berani-beraninya kamu datang!” sergah Agni sambil menunjuk wajah Rico.“Tante, tenang saja. Saya tidak mengganggunya. Bahkan sebagai teman, saya hanya ingin memperingatkannya,” ujar Rico sambil mengerling pada Agni. Agni dan Felix tidak pernah menyukainya sejak dulu. Sehingga tidak ada gunanya ia berbicara manis pada mereka.“Kamu—”“Elsie ada di dalam. Tante sebaiknya temui dia. Mungkin dia membutuhkan bantuan Tante untuk men
Kedua mata Elsie membelalak dan wajahnya memerah menahan amarah saat melihat pria yang berdiri di dalam ruangan itu!“Aaarrgghh!” Elsie langsung menerjangnya, namun pria itu menangkap pergelangan tangannya.“Tenang Els! Tenang!” Rico berseru sambil menahan pergelangan tangan Elsie dengan kuat.“Pengkhianat!” teriak Elsie dengan geram. Ia masih ingat bagaimana Rico memberi kesaksian dalam sidang perceraiannya. Dan kesaksian pria itu, justru menjadi bumerang bagi Elsie!“Aku tahu kamu marah, tapi aku hanya berusaha jujur, mengatakan apa adanya,” ucap Rico dengan ekspresi prihatin.“Apa adanya? Sejak kapan kamu jadi orang jujur, hah?!” bentak Elsie dengan emosi.Karena kesaksian orang dihadapannya inilah, Hakim mengabulkan gugatan cerai Bastian, dan menolak tuntutan harta gono gini yang ia ajukan!“Oke, tapi apa semua salahku? Coba pikirkan Els, apa yang bisa kamu lakukan setelah videomu dan Ravioli beredar? Bahkan tanpa kesaksianku pun, nasibmu akan sama!” balas Rico. Ia kemudian mengh
“Aaarrgghh!” Elsie memekik kesakitan. Ia terjelembab dan hampir saja membentur tembok. “Kamu bukan tuan putri, jadi minggir! Jangan menghalangi jalan kami!” Beberapa orang tahanan wanita mendorong Elsie ke pinggir. Ia tidak ada pilihan lain selain membiarkan mereka melewatiny untuk mengantri makan. Ia dipaksa mengalah dan berdiri di bagian belakang. Mereka berjalan melaluinya sambil tertawa mengejek. Beberapa bahkan sengaja menabrakkan bahunya untuk mengganggunya. Elsie mengepalkan tangannya dengan erat. Ia merasa sangat geram, namun tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka lebih banyak darinya dan mereka tidak lagi memandangnya dengan rasa segan. Sejak video syurnya dengan Ravioli tersebar, para tahanan di sana seringkali mengganggunya. Tidak hanya mengganggu saja, mereka bahkan mengejek dan menjulukinya Rav Doll Queen. Terlebih setelah putusan cerainya dengan Bastian, tidak ada lagi yang takut padanya. Bahkan petugas tahanan di sana pun tidak lagi mengistimewakannya. Ia dipind
“Saya mengerti mengapa Bapak ingin melegalkan pernikahan Bapak dan Ibu Kanaya. Hal ini tidak terlepas dari terbebasnya Bapak dari rasa tanggung jawab dan janji kepada Ibu Elsie…” Aliya menyimpulkan. Diluar dugaan, Bastian menggeleng. “Anda salah paham. Itu bukan alasan mengapa saya berniat melegalkan pernikahan saya dengan Kanaya. Tetapi hal itu adalah alasan mengapa saya menceraikan Elsie.” Aliya terdiam mencerna ucapan Bastian. “Saya pernah mengatakan bahwa perceraian saya dan Elsie tidak ada hubungannya dengan Kanaya ataupun perihal keturunan. Sekarang kalian mengetahui bahwa kebohongan Elsie dan tipu muslihatnya adalah alasan sebenarnya perceraian kami.” Sampai di sini Aliya mengangguk mengerti. “Akan tetapi kalau Anda menanyakan mengapa saya ingin melegalkan pernikahan saya bersama Kanaya,” ucap Bastian sambil menoleh dan tersenyum pada Kanaya. Ia lalu mengangkat tangan Kanaya dan mengecup punggung tangan istrinya itu. “Alasan sebenarnya sangat mudah dan masuk akal
“Benar. Penculikan itu hanyalah sebuah sandiwara agar Bastian dan keluarga Dwipangga berhutang budi. Dan saya harus bersedia menanggung hukumannya.” “Berhutang budi pada siapa?” “Pada orang yang merencanakan penculikan itu.” “Maksud anda Ravioli?” “Ravioli adalah sekutu mereka. Ada orang lain yang mendalangi dan merencanakan penculikan itu.” “Bisa anda sebutkan siapa orangnya?” “Felix Gunawan dan putrinya, Elsiana.” “Anda yakin? Anda bisa mempertanggungjawabkan ucapan anda?” “Saya bertemu langsung dengan mereka berdua. Dan merekalah yang menyuruh Ravioli untuk mencari orang untuk mengerjakan pekerjaan itu.” “Elsiena baru berusia 18 tahun saat itu. Anda yakin dia ikut merencanakan dan bukan hanya ikut-ikutan saja?” Terdengar sosok itu terkekeh. “Dia yang merencanakan setiap detil penculikan bahkan sampai kepada bagaimana dia akan menyelamatkan Bastian.” Bastian menatap tak berkedip pada rekaman wawancara itu. Memang itulah yang diakui Andre padanya saat ia menemukan pria itu
Wawancara Ekslusif yang dilakukan oleh reporter Aliya dari LiveTV sedang berlangsung dan ditonton oleh jutaan orang yang ada di Emerald City dan bahkan Eastasia. Press conference adalah satu hal, tetapi wawancara ekskkusif adalah hal lain yang juga dinanti. Karena dalam wawancara itu, mereka akan menemukan banyak hal lain yang tidak diceritakan dalam press conference yang bersifat lebih pribadi. “Bagaimana perasaan Bapak dengan dikabulkannya gugatan cerai?” Wawancara itu dilakukan tidak lama setelah keluarnya putusan pengadilan mengenai gugatan cerai Bastian dikabulkan oleh Pengadilan Agama, hanya berselang dua hari saja dari waktu press conference itu dilaksanakan. “Seperti sudah saya katakan sebelumnya, Saya dan Elsie memiliki tujuan yang berbeda dalam hidup. Kami berdua tidak mungkin lagi untuk terus berada dalam ikatan rumah tangga yang sama. Dan kalian melihat sendiri apa yang terjadi dalam sidang di Pengadilan Agama. Tentu dengan adanya putusan pengadilan ini, saya hanya bi
“Apa yang kamu lakukan di situ? Kenapa diam saja?” tanya Miranda sambil berjalan ke arahnya. “Aku… Ibu Miranda… aku—” Ucapan gugup Kanaya itu terhenti oleh pelukan hangat di tubuhnya. “Kanaya, aku senang sekali saat mendengar berita pernikahan kalian!” seru Miranda dengan sangat antusias setelah ia melepaskan pelukannya. Dipeganginya kedua lengan Kanaya. “Maafkan kami, Kanaya. Bukan kami tidak ingin menemuimu, tetapi anak tidak tahu diri ini—” Miranda menoleh pada Bastian—yang tersenyum dengan canggung, “—melarang kami untuk menemuimu dan Kenzo!” Miranda kemudian kembali menatap Kanaya. Senyum diwajahnya terlihat jelas. “Ini mungkin terdengar aneh. Tetapi saat kali pertama kita bertemu, aku sempat berpikir—seandainya aku bertemu denganmu sejak dulu, sudah pasti aku bisa menjodohkanmu dengan Bastian.” Kedua pipi Kanaya menghangat oleh pengakuan Miranda itu yang terdengar sebagai pujian ditelinganya. “Dan ternyata jodoh itu tidak ke mana. Bukan begitu Kanaya?” tanya Miranda dengan
“Kamu sangat cantik, Sayang.” Kanaya sedang mematut dirinya di depan cermin saat ia mendengar suara Bastian memujinya. Ia pun menoleh dan mendapati suaminya itu tengah berdiri di depan pintu sambil menatap ke arahnya. Senyum terkembang di bibir Kanaya. “Benarkah?” Dengan tersenyum Bastian berjalan mendekat. Ia memeluk Kanaya dari belakang, dan meletakkan dagunya di pundak Kanaya. “Kapan aku pernah berbohong padamu?” tanyanya sambil menatap Kanaya melalui pantulan kaca cermin di hadapan mereka. “Bagiku kamu wanita paling cantik yang pernah kukenal.” Rona merah tidak bisa ditutupi dari wajah Kanaya, terlebih saat ia tersenyum tersipu malu. “Dress ini cantik sekali dipakai olehmu,” puji Bastian lagi sembari memperhatikan Kanaya yang mengenakan baju terusan lengan panjang berwarna soft lavender itu. Warna dress itu membuat penampilan Kanaya sangat manis dan membuat kulitnya terlihat lebih glowing dan segar. “Menurutmu, tidak apa kalau aku memakai ini?” Sejak tadi ia merasa tidak
Sementara itu, di rumah tahanan pria, Ravioli sedang bertemu Jono, anak buahnya. Brak! “Bagaimana mungkin rekaman itu bisa bocor?” tanya Ravioli dengan menggebrak meja sampai Jono terkejut. “Saya tidak tahu siapa yang membocorkannya, Bos,” jawab Jono yang duduk dihadapan Ravioli sambil menundukkan wajahnya. Ravioli bertambah kesal. Ia menarik kerah baju Jono dengan kedua tanganya dengan kasar. “Apa kamu bekerja terlalu santai?! Mencari tahu siapa yang melakukan itu saja kamu tidak becus!” hardik Ravioli dengan tatapan bengis di depan wajah Jono. Jono menggeleng. “Tidak Bos, maaf,” ucapnya dengan menunduk. Ravioli mendengus kasar. “Cari tahu siapa orang yang berani mencuri rekaman itu dan mengedarkannya! Aku mau dia dihabisi, tanpa ampun!” perintahnya dengan geram di depan wajah tangan kanannya itu. “Baik Bos…” jawab Jono sambil menunduk. Ravioli menghempaskan Jono dengan kasar sebelum ia menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya dan kembali duduk bersandar di kursi. “Cari