Bastian duduk di sofa. Ia baru saja selesai berbicara dengan Erza menanyakan pekerjaan kantor yang ia tugaskan kepada asistennya. Tidak jauh dari tempatnya duduk, Kanaya sedang mencuci tangan setelah mengupas buah apel untuk ia sajikan kepada Bastian. Kanaya datang menghampiri Bastian dan menaruh sepiring potongan buah apel ke atas meja. “Buahnya, Pak.” Lalu ia duduk di sofa lain yang tidak terlalu jauh dari Bastian. Kanaya masih saja menjaga jarak dari Bastian. Ia tidak ingin terlalu terikat secara personal dengannya, karena khawatir ada sesuatu yang timbul diantara mereka. Bastian mengangkat wajahnya dari layar telepon genggamnya dan menatap Kanaya yang duduk jauh darinya. “Sini,” panggilnya sambil menepuk tempat kosong di dekatnya. Kanaya diam tidak bergerak. Ia ragu. Haruskah ia pindah duduk dekat Bastian? “Kanaya, aku tidak suka mengulang ucapanku,” ucap Bastian dengan nada protes. Mendengar nada suara Bastian itu, Kanaya tidak ingin mencari masalah sehingga ia pu
“Halo Yang, kamu sudah selesai kerja?” Elsie menghubungi Bastian melalui telepon petang itu. “Aku masih ada meeting malam ini, Elsie. Sepertinya aku pulang larut malam,” jawab Bastian sambil mengurut keningnya. “Jangan terlalu capek bekerja. Kan ada Ezra dan asistenmu yang lain yang bisa kamu suruh.” Terdengar suara Elsie yang sedikit menggerutu. “Maaf sayang, untuk meeting kali ini, harus aku yang datang. Klien ini dari luar kota, jadi tidak bisa aku delegasikan,” ujar Bastian beralasan. Terselip rasa bersalah di hatinya saat harus berbohong kepada Elsie. Tapi, mau bagaimana lagi? Bastian sudah bertekad untuk memiliki keturunan dengan segera. Lagipula Ia dan Kanaya sudah sepakat untuk bisa hamil bulan ini. “Ya sudah, kalau begitu.” “Maaf ya Sayang,” ucap Bastian lagi dengan nada lembut. “Yang, kamu sudah telepon Papa? Mengenai hal yang waktu itu aku ceritakan?” Saat Bastian pikir Elsie sudah akan mengakhiri percakapan, istrinya itu justru menanyakan hal lain. “Papa t
Hal pertama yang dirasakannya saat membuka pintu kamar mandi adalah aroma segar dan lembut lavender, bergamot dan grapefruit yang langsung menyapa indera penciumannya. Bastian lanjut melangkah dan menutup pintu kamar mandi nyaris tanpa suara. Dan seperti dugaannya, Kanaya sedang asik menyanyikan lagu besutan DJ Norwegia di bawah guyuran air yang memancar di atas kepalanya. Gadis itu bernyanyi dengan penuh semangat, membelakangi pintu. Tubuh polos tanpa sehelai benang itu bergoyang mengikuti irama lagu yang ia nyanyikan. Kedua tangannya terangkat, membilas shampo yang ada di rambutnya . “Listen to my heart, let the rhythm control ya I'll be there when you need my love…” Kanaya tidak menyadari kedua mata yang menatapnya dengan tanpa berkedip, menikmati konser solo yang begitu memikat tatapan dan urat nadi di tubuhnya. “Just follow the beat of my drum, it goes… pam pam pam…” Kanaya lanjut bernyanyi, kali ini tangannya bergerak di udara seakan-akan dia tengah bermain drum.
Tatapan mata Bastian turun ke bibir Kanaya, dan Kanaya melakukan hal yang sama. Kanaya menatap bibir Bastian yang setengah terbuka membentuk lekukan lembut yang mempertegas garis bibir itu. Godaan untuk menyentuhnya begitu besar. Kanaya begitu ingin merasakan seperti apa rasanya menyentuh kedua belah bibir itu. “Ayo.” Bastian justru mengajak Kanaya kembali ke tengah ruangan dan ia menyalakan air. Mereka berdua berdiri saling berhadapan, membiarkan buliran air hangat membilas busa-busa sabun yang menempel ditubuh mereka. Perlahan tapi pasti, Bastian membersihkan sisa-sisa sabun dari tubuh Kanaya. Saat membilas tubuh Kanaya, Bastian tidak kuasa untuk tidak mendaratkan kecupan-kecupan kecil di kulit yang disentuhnya. Kanaya menggigit bibirnya menahan desahan yang keluar dari bibirnya. Ia bisa merasakan gairah yang timbul dari dalam dirinya setiap kali Bastian mendaratkan kecupan atau saat untung Jari Bastian membelai permukaan kulitnya. Kedekatan fisik serta sentuhan t
Apa yang aku lakukan? Kanaya hanya bisa protes dalam hati sambil mengerutkan keningnya menatap balik Bastian. Bukankah Pak Bastian yang duluan memulai dengan masuk tanpa ijin ke dalam kamar mandi? Lalu dia juga yang mengajak mereka berdua mandi bersama! Pikir Kanaya tidak mengerti mengapa momen penuh gairah mereka malam ini menjadi tanggung jawabnya? Bastian tertawa kecil menyadari arti tatapan protes Kanaya dan apa yang gadis muda itu pikirkan. “Ini,” ucap Bastian, kemudian ia kembali memagut bibir Kanaya. Sesaat, keduanya saling memagut dengan perlahan, menciptakan suara cesapan-cesapan kecil di balik kehangatan selimut. “Paham?” tanya Bastian setelah ia melepaskan pagutannya. Kanaya tersipu malu. Rupanya Bastian menyalahkannya karena telah berinisiatif menciumnya lebih dulu. Mau bagaimana lagi? Kanaya belum pernah merasakan berciuman, dan satu-satunya laki-laki yang telah memperlakukannya dengan intim adalah Bastian. Bukankah hal yang wajar jika ia mencium Bastian?
“Kok belum makan?” Bastian keluar dari kamar mandi sudah rapi mengenakan baju kerjanya. Ia berjalan menghampiri Kanaya, heran melihat makanan yang masih utuh di atas meja. “Bapak— juga belum makan,” ucap Kanaya tidak yakin jika Bastian akan tinggal atau langsung pergi. Pandangannya turun ke bawah ke jari jemari yang menari dengan gugup di atas pangkuannya. Kanaya tidak tahu mengapa ia berharap Bastian akan tinggal. Padahal selama ini Bastian selalu langsung pulang. Bastian duduk di sebelah Kanaya. “Aku tidak makan, masih ada yang harus aku kerjakan. Kamu makanlah.” Tadinya ia berencana makan bersama Kanaya. Tetapi setelah menerima pesan dari Ardyan yang mengajaknya bertemu di restoran, ia mengurungkan niatnya. Ada rasa kecewa di hati Kanaya karena Bastian memilih pergi menemui Elsie dari pada menemaninya makan. Tetapi apa haknya meminta Bastian untuk tinggal? Siapa Kanaya di mata Bastian? Kanaya memaksa sebuah senyum. “Pak Bas sudah mau pergi?” Bastian yang sedang menyi
“Selamat malam Bos,” sapa Ezra saat Bastian keluar dari kamar. Sejak beberapa menit yang lalu Ezra sudah menunggu Bastian. Namun bosnya itu masih berada di dalam kamar istri mudanya. Bastian tidak membalas sapaan Ezra. Ia langsung berjalan melewati asistennya itu dan pergi keluar rumah, masuk ke dalam mobil. Bos kenapa? Ezra heran melihat suasana hati Bosnya yang kurang baik padahal baru saja keluar dari kamar istri muda. Tidak berpikir panjang, Ezra segera mengikuti Bastian masuk ke dalam mobil. “Caffeine Cuisine!” perintah Bastian dengan nada kesal. “Baik Pak,” jawab Rafles dengan segera melajukan mobil keluar halaman rumah. Suasana di dalam mobil menjadi tegang. Tidak ada yang berani berbicara seakan tidak berpenghuni. Ezra pun ragu untuk bicara. Yujuannya datang menemui Bastian asalah untuk memberi laporan. Tetapi bagaimana ia akan melapor kalau suasana hati Bosnya sedang seperti ini? “Kamu mau apa?” Suara Bastian yang setengah menggelegar mengagetkan Ezra.
“Sayang, kamu di mana sih? Kenapa tidak jawab pesanku?” Wajah cemberut Elsie tampak di layar telepon genggam Bastian. Pesan? Pesan apa? Bastian tertegun sesaat, karena ia tidak tahu Elsie mengiriminya pesan. “Maaf Sayang, aku sedang meeting, belum sempat lihat pesanmu.” Bastian beralasan. Elsie mengerucutkan bibirnya, tidak puas dengan jawaban Bastian. “Aku cuma ingin tahu kapan kamu pulang,” protes Elsie dengan mendayu. “Iya, sebentar lagi aku pulang ya,” jawab Bastian dengan lemah lembut menenangkan istrinya. “Kamu, meeting sama siapa sih? Kok sampai malam begini?” Masih tetap cemberut Elsie bertanya. “Sama Ardyan.” Bastian menyerongkan tubuhnya ke kiri, mendekati Ardyan. Tampaklah sosok Ardyan di layar telepon genggam Bastian. “Hi Elsie!”sapa Ardyan sambil tersenyum canggung. Diam-diam ia mendengarkan percakapan suami istri itu dan menjadi bingung. Jika bukan dari rumah, lalu Bastian mandi di mana sebelum bertemu dengannya tadi? Lalu Bastian serong ke kanan. “Terus,
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob
Kanaya terduduk diam di dalam mobil yang membawanya kembali ke rumah Reno. Sesekali airmatanya menetes tanpa bisa dicegah. “Kanaya, aku tahu apa yang kamu rasakan. Tidak apa untuk menangis…” ucap Reno pelan dari tempatnya duduk. Walaupun ia merasa senang segala sesuatu terjadi sesuai dengan keinginannya, akan tetapi melihat raut wajah Kanaya yang begitu sedih, hatinya pun ikut merasa sedih. Saat di hotel tadi, Reno sengaja membiarkan Kanaya sendiri untuk waktu yang lama sambil ia memperhatikan apa yang terjadi dan menunggu saat yang tepat untuk ia keluar menjadi pahlawannya. Awalnya Reno tidak menyangka jika Kanaya akan bertemu dengan Miranda, atau bahkan Azhar. Akan tetapi semua itu hanya membuat keadaan semakin menguntungkan baginya. Terbukti Kanaya merasa “sangat nyaman” saat ia datang “menyelamatkannya”. Reno yakin, sedikit demi sedikit ia akan bisa mengambil hati Kanaya, dan membuatnya melupakan Bastian. Kanaya tidak menimpali ucapan Reno dan hanya memejamkan matanya. Ia h
Kanaya dengan cepat menoleh, menatap Reno. Ia sangat terkejut dengan pernyataan pria itu. Bagaimana mungkin dia mengatakan mereka berdua bertunangan?! Reno balas menatapnya dengan penuh arti. Jari tangan Reno dipinggang Kanaya membuat penekanan, mengirim kode pada Kanaya. “Kenapa sayang? Sudah waktunya kita memberitahu mereka bukan?” Kanaya ingin mengatakan tidak. Ujung lidahnya sudah ingin bicara. Namun, bisikan Reno menghentikannya. “Ikuti saja apa yang aku lakukan. Bukankah kamu ingin tahu reaksi Bastian?” Kanaya belum sempat merespon saat Reno sudah kembali berbicara. Kali ini ditujukan kepada Azhar. “Kakek benar. Sekarang sudah waktunya aku memikirkan masa depan dan tidak lagi bermain-main. Aku akan menikah… dengan Kanaya.” Semua yang ada di sana terkejut mendengarnya. Elsie dan Kanaya langsung menoleh ke arah Bastian. Bahkan Reno ikut melirik ke arah Bastian dan tersenyum padanya. Akan tetapi Bastian tampak sangat santai meresponnya. Ekspresi wajahnya tampak datar saja. Ti
Bastian? Apakah itu suara Bastian? Kanaya yang sudah mengangkat tangannya untuk menahan tangan Elsie, segera menurunkannya, dan dengan cepat menoleh. Begitu pula dengan Elsie. Tangan kanan Elsie berhenti di tengah udara, terlebih saat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang sangat familiar. Ia dengan segera menurunkan tangannya dan berbalik badan dengan gugup. Jantung Kanaya berdebar sangat kencang saat ia melihat pria yang sangat di rindukannya berjalan ke arah mereka. Bastian… Batin Kanaya menyebut namanya dalam hati sambil menatap pria yang sudah lama tidak ditemuinya itu. Bastian terlihat sangat tampan dengan baju batik yang dikenakannya. Ia berjalan tegap ke arah mereka. Nafas Kanaya serasa berhenti saat pandangan mata Bastian beralih dari Elsie kepadanya, dan kedua mata mereka terkunci, saling menatap satu sama lain. Saat itu, dunia seakan berhenti berputar, dan waktu berjalan dengan sangat lambat. Yang ada dalam pandangan mata Kanaya hanyalah Bastian seorang. Piki
“Kanaya, beraninya kamu datang ke sini! Apa kamu tidak takut mati?!” seru Elsie dengan geram. Ia sudah menahan diri untuk memaki-maki Kanaya sejak tadi.Dan begitu Miranda pergi, ini lah kesempatan yang ia sudah tunggu sejak tadi!“Kenapa aku tidak boleh datang ke sini? Dan kenapa aku harus takut padamu? Atau.. justru kamu takut aku akan membocorkan semua perbuatan jahatmu?” balas Kanaya sekaligus menggertak Elsie.Kanaya menatap Elsie dengan sama tajamnya. Ia tidak boleh takut pada Elsie, sebab jika ia menunjukkan kelemahannya, Elsie akan semakin berbuat semena-mena. Toh Elsie tidak bisa melakukan apa-apa padanya di tempat itu. Jika Elsie berbuat sesuatu padanya, mustahil tidak ada yang melihat perbuatannya. Dan lagi, orang seperti Elsie tidak mungkin menghancurkan nama baiknya sendiri dengan berbuat sesuatu yang tidak patut di muka umum.Elsie terkejut mendengar Kanaya berani menjawabnya dengan lantang. Kanaya yang ia kenal sebelumnya adalah seorang yang tidak akan melawannya. Kan