“Halo Yang, kamu sudah selesai kerja?” Elsie menghubungi Bastian melalui telepon petang itu. “Aku masih ada meeting malam ini, Elsie. Sepertinya aku pulang larut malam,” jawab Bastian sambil mengurut keningnya. “Jangan terlalu capek bekerja. Kan ada Ezra dan asistenmu yang lain yang bisa kamu suruh.” Terdengar suara Elsie yang sedikit menggerutu. “Maaf sayang, untuk meeting kali ini, harus aku yang datang. Klien ini dari luar kota, jadi tidak bisa aku delegasikan,” ujar Bastian beralasan. Terselip rasa bersalah di hatinya saat harus berbohong kepada Elsie. Tapi, mau bagaimana lagi? Bastian sudah bertekad untuk memiliki keturunan dengan segera. Lagipula Ia dan Kanaya sudah sepakat untuk bisa hamil bulan ini. “Ya sudah, kalau begitu.” “Maaf ya Sayang,” ucap Bastian lagi dengan nada lembut. “Yang, kamu sudah telepon Papa? Mengenai hal yang waktu itu aku ceritakan?” Saat Bastian pikir Elsie sudah akan mengakhiri percakapan, istrinya itu justru menanyakan hal lain. “Papa t
Hal pertama yang dirasakannya saat membuka pintu kamar mandi adalah aroma segar dan lembut lavender, bergamot dan grapefruit yang langsung menyapa indera penciumannya. Bastian lanjut melangkah dan menutup pintu kamar mandi nyaris tanpa suara. Dan seperti dugaannya, Kanaya sedang asik menyanyikan lagu besutan DJ Norwegia di bawah guyuran air yang memancar di atas kepalanya. Gadis itu bernyanyi dengan penuh semangat, membelakangi pintu. Tubuh polos tanpa sehelai benang itu bergoyang mengikuti irama lagu yang ia nyanyikan. Kedua tangannya terangkat, membilas shampo yang ada di rambutnya . “Listen to my heart, let the rhythm control ya I'll be there when you need my love…” Kanaya tidak menyadari kedua mata yang menatapnya dengan tanpa berkedip, menikmati konser solo yang begitu memikat tatapan dan urat nadi di tubuhnya. “Just follow the beat of my drum, it goes… pam pam pam…” Kanaya lanjut bernyanyi, kali ini tangannya bergerak di udara seakan-akan dia tengah bermain drum.
Tatapan mata Bastian turun ke bibir Kanaya, dan Kanaya melakukan hal yang sama. Kanaya menatap bibir Bastian yang setengah terbuka membentuk lekukan lembut yang mempertegas garis bibir itu. Godaan untuk menyentuhnya begitu besar. Kanaya begitu ingin merasakan seperti apa rasanya menyentuh kedua belah bibir itu. “Ayo.” Bastian justru mengajak Kanaya kembali ke tengah ruangan dan ia menyalakan air. Mereka berdua berdiri saling berhadapan, membiarkan buliran air hangat membilas busa-busa sabun yang menempel ditubuh mereka. Perlahan tapi pasti, Bastian membersihkan sisa-sisa sabun dari tubuh Kanaya. Saat membilas tubuh Kanaya, Bastian tidak kuasa untuk tidak mendaratkan kecupan-kecupan kecil di kulit yang disentuhnya. Kanaya menggigit bibirnya menahan desahan yang keluar dari bibirnya. Ia bisa merasakan gairah yang timbul dari dalam dirinya setiap kali Bastian mendaratkan kecupan atau saat untung Jari Bastian membelai permukaan kulitnya. Kedekatan fisik serta sentuhan t
Apa yang aku lakukan? Kanaya hanya bisa protes dalam hati sambil mengerutkan keningnya menatap balik Bastian. Bukankah Pak Bastian yang duluan memulai dengan masuk tanpa ijin ke dalam kamar mandi? Lalu dia juga yang mengajak mereka berdua mandi bersama! Pikir Kanaya tidak mengerti mengapa momen penuh gairah mereka malam ini menjadi tanggung jawabnya? Bastian tertawa kecil menyadari arti tatapan protes Kanaya dan apa yang gadis muda itu pikirkan. “Ini,” ucap Bastian, kemudian ia kembali memagut bibir Kanaya. Sesaat, keduanya saling memagut dengan perlahan, menciptakan suara cesapan-cesapan kecil di balik kehangatan selimut. “Paham?” tanya Bastian setelah ia melepaskan pagutannya. Kanaya tersipu malu. Rupanya Bastian menyalahkannya karena telah berinisiatif menciumnya lebih dulu. Mau bagaimana lagi? Kanaya belum pernah merasakan berciuman, dan satu-satunya laki-laki yang telah memperlakukannya dengan intim adalah Bastian. Bukankah hal yang wajar jika ia mencium Bastian?
“Kok belum makan?” Bastian keluar dari kamar mandi sudah rapi mengenakan baju kerjanya. Ia berjalan menghampiri Kanaya, heran melihat makanan yang masih utuh di atas meja. “Bapak— juga belum makan,” ucap Kanaya tidak yakin jika Bastian akan tinggal atau langsung pergi. Pandangannya turun ke bawah ke jari jemari yang menari dengan gugup di atas pangkuannya. Kanaya tidak tahu mengapa ia berharap Bastian akan tinggal. Padahal selama ini Bastian selalu langsung pulang. Bastian duduk di sebelah Kanaya. “Aku tidak makan, masih ada yang harus aku kerjakan. Kamu makanlah.” Tadinya ia berencana makan bersama Kanaya. Tetapi setelah menerima pesan dari Ardyan yang mengajaknya bertemu di restoran, ia mengurungkan niatnya. Ada rasa kecewa di hati Kanaya karena Bastian memilih pergi menemui Elsie dari pada menemaninya makan. Tetapi apa haknya meminta Bastian untuk tinggal? Siapa Kanaya di mata Bastian? Kanaya memaksa sebuah senyum. “Pak Bas sudah mau pergi?” Bastian yang sedang menyi
“Selamat malam Bos,” sapa Ezra saat Bastian keluar dari kamar. Sejak beberapa menit yang lalu Ezra sudah menunggu Bastian. Namun bosnya itu masih berada di dalam kamar istri mudanya. Bastian tidak membalas sapaan Ezra. Ia langsung berjalan melewati asistennya itu dan pergi keluar rumah, masuk ke dalam mobil. Bos kenapa? Ezra heran melihat suasana hati Bosnya yang kurang baik padahal baru saja keluar dari kamar istri muda. Tidak berpikir panjang, Ezra segera mengikuti Bastian masuk ke dalam mobil. “Caffeine Cuisine!” perintah Bastian dengan nada kesal. “Baik Pak,” jawab Rafles dengan segera melajukan mobil keluar halaman rumah. Suasana di dalam mobil menjadi tegang. Tidak ada yang berani berbicara seakan tidak berpenghuni. Ezra pun ragu untuk bicara. Yujuannya datang menemui Bastian asalah untuk memberi laporan. Tetapi bagaimana ia akan melapor kalau suasana hati Bosnya sedang seperti ini? “Kamu mau apa?” Suara Bastian yang setengah menggelegar mengagetkan Ezra.
“Sayang, kamu di mana sih? Kenapa tidak jawab pesanku?” Wajah cemberut Elsie tampak di layar telepon genggam Bastian. Pesan? Pesan apa? Bastian tertegun sesaat, karena ia tidak tahu Elsie mengiriminya pesan. “Maaf Sayang, aku sedang meeting, belum sempat lihat pesanmu.” Bastian beralasan. Elsie mengerucutkan bibirnya, tidak puas dengan jawaban Bastian. “Aku cuma ingin tahu kapan kamu pulang,” protes Elsie dengan mendayu. “Iya, sebentar lagi aku pulang ya,” jawab Bastian dengan lemah lembut menenangkan istrinya. “Kamu, meeting sama siapa sih? Kok sampai malam begini?” Masih tetap cemberut Elsie bertanya. “Sama Ardyan.” Bastian menyerongkan tubuhnya ke kiri, mendekati Ardyan. Tampaklah sosok Ardyan di layar telepon genggam Bastian. “Hi Elsie!”sapa Ardyan sambil tersenyum canggung. Diam-diam ia mendengarkan percakapan suami istri itu dan menjadi bingung. Jika bukan dari rumah, lalu Bastian mandi di mana sebelum bertemu dengannya tadi? Lalu Bastian serong ke kanan. “Terus,
“Naya, kamu jangan terlalu lelah bekerja. Jangan lupa makan. Jaga kesehatanmu.” Terdengar suara bergetar Ayunda di antara batuk-batuk kecilnya melalui percakapan telepon.“Ibu jangan kuatir. Naya baik-baik saja. Bos Naya di sini baik sekali. Semua yang Naya butuhkan sudah disediakan oleh kantor.” Kanaya tidak sepenuhnya berbohong. Selama ia tinggal di Sunset Summit, semua kebutuhannya sudah disediakan meski ia berbohong mengenai di mana ia berada dan pekerjaan apa yang sedang ia kerjakan.“Syukurlah Naya. Ibu senang kalau kamu betah bekerja di sana. Kamu sangat beruntung mendapat Bos yang pengertian.”“Iya, Bu.” Kanaya tersenyum miris mendengar ucapan ibunya. Seandainya ibunya tahu apa pekerjaan yang sedang ia jalani, mungkin ibunya tidak akan setuju.“Naya harus segera pergi Bu. Ibu baik-baik ya sama Bude. Harus tetap semangat dan optimis untuk bisa sembuh.” Kanaya memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka sebelum airmatanya tidak lagi dapat dibendung. “Tentu Sayang. Kamu lah
Perlahan Bastian memindahkan Baby K ke tangan Kanaya, memastikan Kanaya memegangnya dengan benar. Kanaya sudah pernah menggendong Alea, sehingga ia tahu bagaimana memggendong seorang bayi yang masih sangat kecil. Akan tetapi, menggendong buah hatinya untuk pertama kali tidak akan pernah bisa disamakan dengan apa pun juga. Awalnya tangan Kanaya bergetar saat ia menggendong Baby K. Untungnya, Bastian menggenggam tangannnya itu dan memberinya anggukan penuh keyakinan. Berangsur-angsur gemetar di tangannya menghilang, dan ia bisa menimang buah hatinya itu. Kanaya menatap tidak putus pada Baby K, sementara airmata bahagia terus mengalir di pipinya. “Ini Mama, Nak…” ucapnya dengan lirih sebelum mendaratkan kecupan yang lama, penuh rasa sayang di kening bayi mungil itu. Kecupan demi kecupan ia daratkan di wajah Baby K, sementara ia menggendongnya, memeluknya dalam dekapannya. “Mama sayang kamu Nak… mama rindu kamu…” Akhirnya ia bisa bisa memeluk, menggendong dan mencium buah hatin
Kanaya ingat hari itu kala dokter memvonis ibunya tidak dapat lagi tertolong kecuali dengan transplantasi jantung. Ia begitu putus asa hari itu, tidak tahu darimana ia bisa mendapatkan uang 20 miliar, jumlah yang sangat fantastis untuk seseorang biasa seperti dirinya. Sebuah kebetulan ia mendengar tawaran menjadi ibu pengganti siang itu di taman rumah sakit. Yang ternyata, tidak hanya menjadi jalan keluar kesembuhan ibunya, namun juga pertemuannya dengan Bastian, laki-laki cinta pertamanya. Jika saat itu ia tidak sedang membutuhkan uang, ia mungkin tidak akan pernah berpikir untuk menjadi seorang ibu pengganti. Apalagi dengan pembuahan alami yang dijalaninya saat ini. Apakah itu takdir? Kanaya tidak tahu. Akan tetapi hatinya berdebar dengan penuh kehangatan mendengar kalimat itu keluar dari bibir Bastian. Seakan Bastian ingin menegaskan jika jalan apa pun yang akan mereka tempuh, pada akhirnya pertemuan mereka tidak akan bisa dihindari. Dan saat ini, Kanaya ingin takdir itu
Kanaya menunggu dengan gelisah di dalam apartemen 1011 Thrillville. Ia menunggu kepulangan Bastian. Pria itu sudah pergi sejak satu jam yang lalu dan sampai saat ini belum kembali. Di mana dia? Kenapa lama sekali? Saat sesang menatap keluar jendela, pintu apartemen itu terbuka, dan Bastian melangkah masuk. Melihat kedatangan Bastian, wajah Kanaya langsung berseri-seri. Ia pun bergegas menghampirinya. “Bas, kamu kembali!” Kanaya begitu senang sehingga senyum merekah di bibirnya. Ia memegang kedua lengan Bastian dengan antusian, lalu melihat ke belakang Bastian. Namun tidak ada seorang pun yang berada bersamanya. “Bas… di mana—?” Kanaya bingung, heran dan kecewa karena tidak melihat Baby K. Bukankah Bastian sudah berjanji akan membawa Baby K padanya pagi ini? Lalu, di mana dia? Kenapa dia kembali hanya seorang diri? “Ayo sayang, dia sudah menunggumu.” Bastian menarik tangan Kanaya bersamanya ke arah pintu. “Bas, dia— dia di bawah? Kenapa tidak dibawa naik?” Kanaya bertambah h
“Hana, siapkan perlengkapan Baby K, dia akan pergi pagi ini!” perintah Bastian tanpa menghiraukan keinginan Elsie sembari fokus memperhatikan Baby K. Saat itu, raut wajah Baby K sudah tidak semerah tadi, dan tatapan matanya sudah tidak lagi bersedih. Dan ia sudah hampir menghabiskan susunya, bahkan menggapaikan tangannya memegangi jari telunjuk Bastian. Ia begitu senang bermain dengan jati itu. Ujung bibir Bastian melengkung ke atas melihat respon putranya itu. “B-bas… Bastian, apa maksudmu dia akan pergi? Apa— apa kita akan pergi ke suatu tempat?” Elsie begitu terkejut dengan ucapan Bastian. Bastian tidak pernah memberitahu jika mereka akan pergi. Pergi kemana, dan mengapa tiba-tiba? “Aku akan membawa Baby K bersamaku,” jawab Bastian sambil menatap putranya itu. “Lagipula bukankah kamu sedang lelah? Aku memberimu waktu untuk beristirahat agar dia tidak lagi mengganggu istirahatmu,” tambah Bastian sambil diam-diam tersenyum sinis. Apa? Elsie seperti tidak percaya dengan pendeng
“Ah, merepotkan saja!” geramnya. Akan tetapi ia tidak bergerak dari tempatnya berdiri dan sibuk menscroll berita kejadian tadi malam. Ia membaca lagi dengan lebih detil mengenai kasus Ravioli, berharap bisa menemukan celah yang bisa menyelamatkannya jika Ravioli menyeretnya. Sementara itu, tangis Baby K semakin keras terdengar, sehingga membuatnya bertambah geram. “Hana!!” teriak Elsie dengan kesal memanggil baby sitter anak itu. Kemana baby sitter sialan itu? Batinnya dengan kesal. Karena tangisan Baby K tak kunjung reda, dengan menghentakkan kakinya ia berjalan menuju kamar Baby K. Sampai di sana, Hana tampak sedang mengganti popok bayi mungil yang sedang menangis itu. “Kenapa lagi dia? Berisik sekali!” bentak Elsie dengan kesal. “Baby K poop Bu, dan sepertinya dia juga haus,” jawab Hana yang masih merapikan baju Baby K. Ia baru sempat mengganti popoknya dan belum sempat membuatkan susu untuk bayi mungil itu. Elsie kembali berdecak dan berjalan menghampiri mereka. Ketika ma
Di kamar mandi, Elsie mencoba menghubungi Bastian, namun dua kali menghubungi, Bastian tidak mengangkat panggilan teleponnya. Semalam setelah selesai acara di Hotel Royal, Bastian pergi bersama ketiga sahabatnya. Mereka mengatakan jika sudah lama mereka tidak berkumpul dan ingin mengadakan Boy’s night, menghabiskan malam bersama sekaligus merayakan sehatnya kembali Bastian. Dan sebagai istri yang baik, ia tidak bisa melarang Bastian. Apa kata orang jika ia terlihat mengekang dan tidak percaya pada suaminya sendiri? “Kemana Bastian? Apa dia belum bangun?” gumam Elsie sambil melirik penunjuk waktu di telepon genggamnya. Jika mereka bangun sampai larut malam dan bahkan begadang sampai pagi, mungkin saja Bastian belum bangun pagi itu. Tapi tidak apa. Selama Bastian tidak ingat perempuan itu, tidak masalah jika ia pergi hangout semalaman bersama teman-temannya, batin Elsie sambil menatap wajahnya di cermin di depan wastafel. Ia tersenyum mengingat kejadian tadi malam saat Bastian b
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un