“Sayang, kamu di mana sih? Kenapa tidak jawab pesanku?” Wajah cemberut Elsie tampak di layar telepon genggam Bastian. Pesan? Pesan apa? Bastian tertegun sesaat, karena ia tidak tahu Elsie mengiriminya pesan. “Maaf Sayang, aku sedang meeting, belum sempat lihat pesanmu.” Bastian beralasan. Elsie mengerucutkan bibirnya, tidak puas dengan jawaban Bastian. “Aku cuma ingin tahu kapan kamu pulang,” protes Elsie dengan mendayu. “Iya, sebentar lagi aku pulang ya,” jawab Bastian dengan lemah lembut menenangkan istrinya. “Kamu, meeting sama siapa sih? Kok sampai malam begini?” Masih tetap cemberut Elsie bertanya. “Sama Ardyan.” Bastian menyerongkan tubuhnya ke kiri, mendekati Ardyan. Tampaklah sosok Ardyan di layar telepon genggam Bastian. “Hi Elsie!”sapa Ardyan sambil tersenyum canggung. Diam-diam ia mendengarkan percakapan suami istri itu dan menjadi bingung. Jika bukan dari rumah, lalu Bastian mandi di mana sebelum bertemu dengannya tadi? Lalu Bastian serong ke kanan. “Terus,
“Naya, kamu jangan terlalu lelah bekerja. Jangan lupa makan. Jaga kesehatanmu.” Terdengar suara bergetar Ayunda di antara batuk-batuk kecilnya melalui percakapan telepon.“Ibu jangan kuatir. Naya baik-baik saja. Bos Naya di sini baik sekali. Semua yang Naya butuhkan sudah disediakan oleh kantor.” Kanaya tidak sepenuhnya berbohong. Selama ia tinggal di Sunset Summit, semua kebutuhannya sudah disediakan meski ia berbohong mengenai di mana ia berada dan pekerjaan apa yang sedang ia kerjakan.“Syukurlah Naya. Ibu senang kalau kamu betah bekerja di sana. Kamu sangat beruntung mendapat Bos yang pengertian.”“Iya, Bu.” Kanaya tersenyum miris mendengar ucapan ibunya. Seandainya ibunya tahu apa pekerjaan yang sedang ia jalani, mungkin ibunya tidak akan setuju.“Naya harus segera pergi Bu. Ibu baik-baik ya sama Bude. Harus tetap semangat dan optimis untuk bisa sembuh.” Kanaya memutuskan untuk mengakhiri percakapan mereka sebelum airmatanya tidak lagi dapat dibendung. “Tentu Sayang. Kamu lah
“Saya tahu apa yang Papa lakukan.” Bastian menatap pria berusia lima puluh dua tahun yang ada di hadapannya. Pria itu adalah Felix Gunawan, mertuanya. Bastian sudah berjanji pada Elsie untuk pergi menemui Felix, dan siang itu ia menemui Felix dikantornya. Namun, setelah mengetahui sepak terjang mertuanya, Bastian tidak bisa begitu saja mengucurkan dana seperti permintaan Elsie. Felix tertawa canggung. “Apa maksudmu Bastian? Papa tidak mengerti.” Bibir Bastian melengkung membentuk sudut terangkat ke atas. Ia menaruh sebuah amplop di atas meja. “Kenapa Papa tidak lihat saja apa isinya?” Dengan ragu Felix mengambil amplop itu dan ia membuka isinya. Ia menarik nafas dalam melihat tumpukan foto-foto dirinya dalam beberapa pertemuan rahasia. “Papa bisa jelaskan. Ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan.” Felix berusaha berkilah. Bastian tersenyum dan bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela. Ia menatap keluar ke halaman gedung yang berada di daerah pergudangan yang terletak
Kanaya berdiri di depan lemari pakaian hanya mengenakan handuk yang dililit di tubuhnya. Ia menatap jejeran baju miliknya. Sebagian adalah pakaian yang ia bawa dari rumah, dan sebagian lainnya disediakan saat ia pindah ke rumah itu. Kanaya mendesah putus asa teringat permintaan Bastian melalui pesan singkat. “Pakailah sesuatu yang kusuka.” Tetapi saat Kanaya bertanya padanya apa yang dia suka, pria itu tidak memberi jawaban. “Apa yang harus aku pakai?” ucap Kanaya pelan sambil memilah-milih pakaian yang ada di dalam lemari itu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang Bastian suka. Benak Kanaya berkelana memikirkan Elsie. Elsie adalah wanita yang dicintai Bastian. Jadi pasti apa yang dipakai oleh Elsie adalah semua hal yang disukai Bastian. Seingat Kanaya, Elsie adalah seorang wanita sosialita yang modis dan fashionable. Apa yang dia kenakan dari ujung rambut hingga ujung kaki adalah barang-barang bermerk, glamor dan mewah. Kanaya tidak punya itu semua. “Aaahh!” Kanaya k
“Maaf Pak, maksud saya, ini kan restoran. Apa Pak Ezra tidak salah lantai?” Kanaya bertanya lebih lanjut. Ia yakin mereka turun di lantai yang salah. Mungkin Ezra lupa atau apa. Ezra tersenyum. “Tidak, Bu. Bapak memang ada di sini. Mari, Bapak sudah menunggu.” Kanaya yang masih tercengang tidak percaya. Namun segera mengikuti Ezra masuk ke dalam restoran. Seakan sudah mengenali Ezra, pelayan restoran itu mempersilahkan mereka masuk begitu saja, melewati banyak pintu dan akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan bertuliskan VIP. “Saya antar sampai di sini. Ibu silahkan masuk saja. Bapak ada di dalam.” Setelah mengatakan hal itu, Ezra pun pamit undur diri karena masih ada tugas lain yang harus ia kerjakan. Ezra turun kembali ke lantai dasar. Di dalam lift, pikirannya kembali pada hubungan Bastian dan Kanaya. Hal yang wajar jika Kanaya merasa heran. Sebab Ezra sendiri juga tidak menyangka jika bosnya itu akan mengajak istri sirinya makan berdua di restoran mewah di hotel itu, se
“Apa ini Pak?” Kanaya beralih menatap Bastian. Bastian membuka kotak merah itu dan mengambil isinya. Sebuah gelang emas dengan hiasan berbagai macam batu-batuan berwarna-warni yang terangkai dibagian atasnya. “Ini di sebut fertility bracelet,” terang Bastian sambil menunjukkan gelang itu kepada Kanaya. “Batu-batu kristal yang ada di sini dipercaya bisa meningkatkan kesuburan dan mempercepat kehamilan.” Bastian menerangkan sambil memasangkan gelang itu dipergelangan tangan kiri Kanaya. Ia lalu mengangkat tangan Kanaya sehingga berada dekat dengan keduanya. Kanaya menahan nafasnya, menunggu apa yang akan dilakukan Bastian. “Yang putih kebiruan ini di sebut moon stone, dipercaya bisa menyeimbangkan hormon,” terang Bastian sambil menunjuk salah satu batu yang ada di gelang itu. Perlahan Kanaya menghembuskan nafas lega. Ternyata Bastian hanya menerangkan padanya tentang gelang itu. Ia lalu menunjuk batu lain yang berwarna biru kehijauan. “Yang ini namanya turquoise. Dip
Bastian menoleh dan melihat Ardyan baru saja turun dari mobil tidak jauh dari tempatnya berdiri. Temannya itu berjalan ke arahnya dengan cepat. Menyadari hal itu, Bastian menutup pintu mobil. “Lho, sudah mau balik? Mau ngobrol-ngobrol sebentar? Mumpung ketemu,” tanya Ardyan sambil menepuk pundak Bastian. Diam-diam ia melirik ke arah kaca mobil. Sayangnya kaca mobil Bastian terlalu gelap dilihat dari luar sehingga ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang ada di dalam. Ardyan hanya dapat melihat siluet samar seseorang sedang duduk di kursi belakang mobil itu. Saat mobilnya menepi di drive way hotel, ia sempat melihat sosok wanita berpakaian hitam masuk ke dalam mobil Bastian. Namun sayangnya, ia tidak sempat melihat dengan jelas siapa dan seperti apa wanita itu. Namun Ardyan yakin jika wanita tersebut bukan Elsie. Sebab, postur dan penampilan wanita itu berbeda, dan Ardyan yakin belum pernah melihatnya. “Mungkin lain waktu, ada sesuatu yang harus kuurus,” jawab Bastian den
“Tunggu di sini!” Bastian turun dari mobil dengan menenteng paper bag di tangannya. Bastian lupa memberikan Kanaya jus delima yang dipesannya di restoran itu. Jus delima sangat baik untuk menyuburkan kandungan dan juga meningkatkan kuantitas benih miliknya. Jus ini sangat cocok dikonsumsi oleh pasangan yang sedang program kehamilan. Itu sebabnya, Bastian memesan dua botol. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Kanaya. Untung saja mobil yang dikendarai Rafles baru melewati pagar rumah sehingga Bastian tidak perlu jauh berjalan. Bastian langsung masuk ke dalam rumah dan ia bertemu Sifa. “Oh, Bapak ikut balik. Non ada di kamar Pak! Bapak masuk saja, Non sudah menunggu!” Tanpa perlu ditanya, Sifa langsung memberitahu keberadaan Kanaya dengan sumringah senyum di wajahnya. Bastian hanya mengernyitkan keningnya dan lanjut berjalan menuju ke kamar Kanaya. Ia tidak terlalu memikirkan apa yang dikatakan Sifa. Namun saat Bastian membuka pintu kamar, ia terkejut dengan pemandan
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat
Mobil Rolls Royce limited edition itu, memasuki halaman rumah besar dan luas bernama Alpine Nest, dan berhenti tidak jauh dari pintu utama rumah itu.Kanaya dan Bastian turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang kali pertama Kanaya datangi belum memiliki furnitur yang lengkap, saat ini telah berubah menjadi sebuah rumah yang indah dengan berbagai kelengkapan yang memberi kesan tersendiri.Kanaya sengaja memilih furnitur, korden, wallpaper serta berbagai aksesoris rumah lainnya dengan warna dan model yang memberi kesan homy, sebuah tempat tinggal yang hangat dan nyaman untuk ditinggali keluarga mereka.Saat memasuki rumah itu, tidak terasa suasana kaku ataupun asing. Ruangan demi ruangan seakan membuat siapa pun merasa di nyaman berada di sana. Dari mulai ruang tamu, ruang keluarga, dapur, hingga setiap kamar tidur di rumah itu, memberi kesan hangat. “Kenzo mana Bi?” Kanaya bertanya saat ia bertemu Sifa di ruang keluarga.Perempuan yang menjadi pengasuhnya saat menga
“Maaf… maaf, aku tidak sengaja…” ucap orang itu dengan segera. Ia kemudian tampak terkejut ketika melihat Bastianlah yang ia tabrak.“Lain kali jalanlah dengan hati-hati.” tegur Bastian sambil mengingatkan dengan nada dingin.Untung saja dia tidak menabrak Kanaya! Jika sampai itu terjadi, ia akan sangat marah.“Tentu, lain kali saya akan jalan dengan hati-hati.” Mahasiswi yang menabrak Bastian itu tampak tersipu malu. Ia melirik Bastian dengan tatapan menggoda sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.Bastian bersikap acuh tak acuh pada perempuan itu dan sibuk merapikan kemeja yang dikenakannya.Lain halnya dengan Bastian, Kanaya justru menangkap gestur perempuan yang dengan sengaja menggoda Bastian. Dan ini membuat Kanaya kesal.Jelas, bukan hanya dirinya saja yang menyadari betapa menariknya Bastian.Selama ia menjadi istri Bastian, tidak sedikit wanita lain yang mengagumi Bastian, bahkan ada yang dengan berani dan terang-terangan berusaha mendekati suaminya itu.Mahasis
“Kulit lebih bersinar, atau di sebut dengan pregnancy glowing…” Bastian membaca sebuah artikel melalui telepon genggamnya. Ia tampak berpikir sebelum bergumam, “Sepertinya benar.”Ia membayangkan kulit istrinya itu memang terlihat lebih glowing di kehamilan kedua. Jadi, apakah semua mitos itu benar?Bastian kembali membaca lanjutan artikel itu.“Payudara sebelah kiri lebih besar dari yang kanan…” Bastian mengerutkan keningnya. Ah, ada-ada saja. Apa iya perbedaan kehamilan bayi perempuan dan laki-laki bisa dilihat dari besarnya payudara kanan dan kiri?Ujung-ujungnya, Bastian geleng-geleng kepala dan lanjut membaca. “Sifat lebih moody, sensitif dan cerewet…” Bastian terkekeh pelan. Mungkin untuk yang satu ini ada benarnya. Sejak kehamilan kedua, Kanaya menjadi sangat perasa dan sensitif, bahkan sebelum mereka mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya.Walau begitu, Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi ia memang tidak keberatan direpotkan oleh istrinya itu.“Ehem…
“Kamu tahu Ren, ada orang yang pernah bilang padaku. Melepaskan seseorang pergi bisa berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dalam hidup kita,” ucap Dinda tanpa menoleh pada Reno. Reno terkekeh pelan. “Apa yang kamu katakan hampir sama dengan yang Kanaya katakan padaku, tetapi dengan kalimat yang berbeda. Apa semua perempuan selalu berkata seperti itu pada lelaki single seperti aku?” “Tidak juga. Tergantung siapa laki-lakinya,” ucap Dinda sambil melirik Reno. Untuk sesaat keduanya saling menatap satu sama lain, seakan waktu berhenti. Sampai… Ardyan tiba-tiba datang dan menyapa Dinda. “Eh, Din, datang juga? Papamu mana?” Dinda menoleh dan tidak tampak terkejut. “Nggak bisa datang, lagi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi, aku yang gantikan.” Reno merasa heran melihat Ardyan tampak akrab dengan Dinda. Keduanya memang berprofesi sebagai dokter, tetapi apa setiap dokter seakrab itu dengan dokter lainnya? Apalagi mereka berbeda spesialisasi. Yang satu dokter bedah sya
Tidak hanya Kanaya yang terkesima dengan apa yang Bastian ucapkan, namun tamu yang hadir malam itu pun terharu dengan gestur yang disampaikan Bastian. Dan hal itu membuat mata mereka berkaca-kaca. Terlebih, kisah Bastian dan Kanaya sudah tersebar luas di media karena persidangan yang telah mereka lewati. “Naya, aku tahu ini terlambat, jauh terlambat. Akan tetapi, aku mencari saat yang tepat untuk memberikan ini.” Bastian mengambil sebuah kotak dari dalam kantong celananya, dan membukanya dihadapan Kanaya. Sepasang cincin yang tampak berkilau ada di depan mereka. Dua buah cincin yang memiliki model yang sama-sama memiliki sebuah batu berkilau di bagian atasnya. Namun terdapat perbedaan pada ukuran. Satu cincin berukuran lebih besar dan lebih lebar dari cincin lainnya. Kanaya terkejut melihat Bastian menyodorkan kotak berisi cincin itu padanya. Apakah ini cincin pernikahan? Suara riuh mengagumi cincin itu pun terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan tamu undangan yang seda
Acara resepsi pernikahan di Hotel Emerald itu sangat meriah dan dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai gubernur, pejabat pemerintahan, pengusaha, relasi, kerabat, teman dan keluarga serta artis dan publik figur. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana, hiasan dan dekorasi megah dan mewah mewarnai ruangan demi ruangan tempat acara itu. Hiburan pesta itu pun sangat meriah, diisi oleh beberapa penyanyi, grup band, host dan komedian papan atas yang ikut meramaikan. Semua orang tampak sangat senang dan menikmati jalannya acara. Acara itu sendiri digadang-gadang menjadi pesta termeriah di Emerald City dan bahkan Eastasia. Bahkan Azhar, kakek tua berusia 79 tahun itu tampak begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Haidar dan Miranda pun juga sama, raut wajah mereka berdua tampak begitu cerah dan senyum tidak menghilang dari wajah mereka. Ayunda dan Laila pun tidak ketinggalan. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan kenal
Pada hari yang di nanti, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa.Hotel Emerald, sebuah hotel baru di tepi pantai tempat berlangsungnya acara telah dibooking sepenuhnya oleh keluarga Dwipangga.Seluruh kamar hotel telah dipesan untuk tamu-tamu undangan yang datang dari luar kota. Ruangan grand ballroom beserta ruangan lainnya telah dibooking. Selama 2 hari, di hotel itu tidak ada tamu atau kegiatan lain selain tamu dan acara resepsi pernikahan Kanaya dan Bastian.Penjagaan pun dibuat sangat ketat oleh Jay dan anak buahnya, bekerjasama dengan pihak terkait.Di kamar presidensial suite hotel itu, Kanaya baru saja selesai mengenakan baju pengantinnya.“Naya…”Kanaya menoleh dan melihat ibunya memasuki kamar utama suite itu.“Ibu…” Ia langsung menghampiri dan mengajak ibunya itu duduk di tepi ranjang besar kamar itu.“Putri ibu cantik sekali,” ucap Ayunda sambil memperhatikan wajah Kanaya.Putrinya itu memang memiliki paras yang cantik alami. Akan tetapi hari ini kecantikannya tam
Setelah puas melihat pemandangan dari jendela kamar, Bastian lalu mengajaknya melihat bagian lain kamar mereka. “Ini closet kita, kamu bisa menaruh semua pakaian, tas, sepatu dan semua aksesoris milikmu di sini.” “Ini kamar mandi.” Bastian membuka sebuah pintu. “Shower, jacuzzi, dan lihat ini sayang…” Bastian mengajak Kanaya mendekat ke dinding kaca. Dari dinding kaca itu, mereka bisa melihat langsung ke arah hutan pinus. “Bas, tapi kaca ini…” “Jangan kuatir. Dari luar, mereka tidak bisa melihat ke dalam.” Tentu saja Bastian sudah memikirkan semua jal itu. Lalu mereka melihat ke kamar bayi, lalu kamar-kamar lainnya. Bahkan Bastian juga sudah menyiapkan ruangankamar untuk Kenzo saat bayi mungil itu sudah mulai bisa berjalan. “Ini kamarmu nanti, jagoan Papa… cepat besar ya, jadi kamu bisa menempatinya nanti…” ucap Bastian pada Kenzo yang ada di dalam gendongannya. Ia bahkan memperlihatkan pada Kenzo jendela kamarnya yang menghadap ke arah danau di belakang rumah. Kanaya tersenyu