“Tunggu di sini!” Bastian turun dari mobil dengan menenteng paper bag di tangannya. Bastian lupa memberikan Kanaya jus delima yang dipesannya di restoran itu. Jus delima sangat baik untuk menyuburkan kandungan dan juga meningkatkan kuantitas benih miliknya. Jus ini sangat cocok dikonsumsi oleh pasangan yang sedang program kehamilan. Itu sebabnya, Bastian memesan dua botol. Satu untuk dirinya dan satu lagi untuk Kanaya. Untung saja mobil yang dikendarai Rafles baru melewati pagar rumah sehingga Bastian tidak perlu jauh berjalan. Bastian langsung masuk ke dalam rumah dan ia bertemu Sifa. “Oh, Bapak ikut balik. Non ada di kamar Pak! Bapak masuk saja, Non sudah menunggu!” Tanpa perlu ditanya, Sifa langsung memberitahu keberadaan Kanaya dengan sumringah senyum di wajahnya. Bastian hanya mengernyitkan keningnya dan lanjut berjalan menuju ke kamar Kanaya. Ia tidak terlalu memikirkan apa yang dikatakan Sifa. Namun saat Bastian membuka pintu kamar, ia terkejut dengan pemandan
“Papa tidak mau tahu bagaimana cara, kamu harus rayu Bastian agar mau memberikan uang itu!” Felix menceramahi Elsie di rumahnya. Pagi itu Felix memanggil Elsie untuk datang ke rumahnya setelah kemarin Bastian menolak untuk mengucurkan dana. “Pah, memang Papa bilang apa sama Bastian, kok dia sampai tidak mau memberi Papa uang?” Elsie cukup terkejut mendengar Bastian tidak mau mengucurkan dana untuk mertuanya itu. Tidak seperti biasanya Bastian seperti itu. Biasanya suaminya itu selalu mengabulkan apa pun permintaannya. Termasuk beberapa kali memberikan proyek untuk perusahaan keluarga Elsie. Felix dan Agni, istrinya saling beradu pandang. “Elsie, coba kamu bujuk suamimu. Papa benar-benar membutuhkan uang itu. Kalau Bastian tidak memberikannya, Mama kuatir, perusahaan Papamu tidak bisa bertahan.” Agni, ibunya Elsie ikut bicara. Ia memegang lengan putrinya agar mau mengikuti perkataannya. “300 miliar tidak ada artinya buat Bastian, Elsie. Masa suamimu tidak mau memberi?”
Pagi itu, Kanaya duduk di atas ranjang, mengirim pesan singkat ke dosennya, Profesor Zaky untuk memberitahu jika ia akan menemui dosen itu di kampus siang hari. Baru saja menyelesaikan percakapannya dengan Profesor Zaky, pesan lain masuk. “Aku minta Ezra membelikanmu bubur. Makan dan habiskan.” Kanaya tidak membalas pesan singkat itu dan justru menghempaskan telepon genggamnya ke samping dengan kesal. Ia masih ingat sikap Bastian padanya kemarin, dan hal itu masih membuatnya kesal dan kecewa. Kesal karena Kanaya merasa ia tidak melakukan kesalahan, tetapi Bastian membentaknya. Ia pun kecewa karena sikap yang Bastian tunjukkan saat melihatnya mengenakan lingerie. Sebagai seorang perempuan, tentu ia merasa sedih dan terluka dengan sikap Bastian itu. Paling tidak, bisakah dia mengatakan dengan baik-baik jika dia tidak suka dengan apa yang dilihatnya sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain? Kanaya mengabaikan pesan singkat itu dan lanjut membaca sebuah buku. Tetapi te
Kerongkongan Bastian terasa kering dan darahnya mulai berdesir. “Elsie, sayang.. “ Elsie tidak peduli. Ia justru semakin berani dengan mencium Bastian. “Elsie—“ Bastian terus mencoba menghindar. “Sayang, ayolah. Sentuh aku…” Elsie menaruh tangan Bastian menangkup bukit kenyal miliknya dan bahkan memandu Bastian agar meremasnya sembari ia mencium Bastian kembali. “Elsie, Elsie!” Bastian terpaksa menyentak tangan Elsie yang memaksanya meremas bukit kenyal itu. Ia tidak bisa melakukannya. Elsie tersentak, tidak percaya dengan apa yang Bastian lakukan. Bastian menyadari apa yang ia lakukan dan langsung meminta maaf. “Maaf sayang. Aku tidak bermaksud kasar. Tetapi, aku benar-benar tidak bisa.” Bastian meraih baju Elsie dan memakaikan baju itu dengan rasa bersalah yang bertubi-tubi. Kali ini Elsie benar-benar mendapat tamparan keras. Elsie begitu yakin tidak akan ada laki-laki yang bisa menolak setelah apa yang ia lakukan. Namun ternyata, Bastian tetap menolaknya. Dia seperti
“Sayang, kamu tahu aku selalu menepati janji.” Bastian menghampiri Elsie di sofa, mencoba menyemangatinya. Istrinya itu tampak begitu terpukul dan Bastian merasa sangat bersalah. Akan tetapi Bastian tidak bisa mundur saat ini. Ia sudah melangkah terlalu jauh dengan Kanaya demi mendapatkan keturunan. Berhenti melakukannya juga tidak akan merubah apa pun, kecuali mempersempit kesempatan untuk mereka mendapatkan keturunan dengan secepatnya. Elsie menatap Bastian. Ia tahu selama ini Bastian begitu setia padanya. Tidak pernah sekalipun ia mendengar kabar miring mengenai suaminya. Dirinyalah yang telah mengkhianati janji mereka dengan berhubungan dengan banyak pria, bahkan melewati batas pergaulan dari yang seharusnya. Akan tetapi ia tidak boleh membiarkan Bastian mengetahui hal ini. Jika ini terjadi, ia tidak hanya akan kehilangan Bastian dengan semua harta yang dia miliki, namun sudah dipastikan ia akan kehilangan segalanya. Elsie tersenyum seperti seorang istri yang tabah dan
Siang hari itu Kanaya berada di dalam taksi dalam perjalanan ke kampus untuk menemui Profesor Zaky. Universitas Graha Widya, kampus Kanaya terletak di pusat kota, tidak terlalu jauh, dan merupakan salah satu kampus swasta bergengsi. Bukan hanya karena kualitas pendidikannya, namun juga karena telah banyak menelurkan orang-orang yang sukses dibidangnya. Teman-teman kuliah Kanaya sebagian besar berasal dari keluarga berada, yang pergi dan pulang kuliah dengan mobil mentereng dan mengenakan barang-barang branded, serta gadget keluaran terbaru. Hanya segelintir mahasiswa dari golongan masyarakat tidak mampu seperti Kanaya yang bisa mengenyam pendidikan kuliah dengan beasiswa di sana. Oleh karena itu, Kanaya sangat menjaga kelangsungan beasiswa yang ia dapatkan dengan susah payah. Sampai di kampus, Kanaya langsung menuju ke kantor Profesor Zaky. "Kanaya!" Belum juga sampai ke kantor dosen pembimbingnya itu, Professor Zaky sudah memanggilnya di selasar bangunan kampus. Rupa
Bastian pergi bersama Elsie ke restoran yang menyajikan ramen kesukaan Elsie. Letaknya masih di pusat kota, tidak jauh dari kampus tempat Elsie mengenyam pendidikan kuliah dulu. Namun sesampainya di sana, Bastian melihat Kanaya sedang duduk berdua bersama seorang pria. Ia duduk cukup jauh jaraknya dari tempat Kanaya duduk bersama pria itu. Namun Bastian masih dapat melihat mereka dengan jelas. Hal itu karena posisi duduknya menghadap langsung ke arah meja mereka. Elsie yang duduk dihadapan Bastian tidak melihat kehadiran Kanaya karena dia membelakangi mereka. Melihat Kanaya bersama pria itu membuat dada Bastian terasa panas. Ia kesal dan marah. Kanaya membohonginya. Dia beralasan pergi ke kampus, padahal bertemu dengan laki-laki lain! Laki-laki itu bahkan terlihat berusia lebih tua dari dirinya. Berani-beraninya dia. Dipermukaan Bastian berusaha menutupi emosinya. Ia bersikap santai di hadapan Elsie. Namun di bawah meja, kedua tangan Bastian terkepal dengan erat. “E
Bastian tersadar saat mendengar pertanyaan Elsie. Ia pun segera menepuk bahu istrinya. “Ayo dihabiskan ramennya.” Bastian lalu bergeser ke kursi diantara mereka berdua hingga ia menutupi arah pandangan Elsie. “Sepertinya aku melihat Ezra. Apa kamu suruh dia kesini menemuimu?” tanya Elsie mengalihkan pandangannya ke arah Bastian. “Ezra? Sepertinya kamu salah orang. Dia sekarang ada di kantor. Aku suruh dia menyelesaikan tender proyek.” Bastian menjawab dengan santai sebelum meneguk air mineral miliknya, melepaskan ketegangan yang ia rasakan. “Oh, mungkin kamu benar. Hanya mirip saja,” Elsie pun terpaksa mengiyakan, meski ia masih merasa jika pria itu adalah Ezra. Tetapi mengapa jika Ezra ada di restoran ini, dia tidak datang menemui Bastian? Padahal Ezra tahu Bastian sedang berada di restoran ini. Dan siapa perempuan yang bersamanya? Pikir Elsie. Sayang sekali ia tidak melihat dengan jelas sosok wanita itu. Tiga puluh puluh menit kemudian ditempat lain, Ezra membuka pintu
“Bos, itu orangnya!” Seorang pria dengan banyak tato di tangannya melapor pada seorang pria yang duduk di dalam sebuah mobil SUV.Jendela mibil SUV itu diturunkan dan tampaklah wajah seorang pria. Dia mengenakan jaket hitam dan kaca mata hitam. Rambut panjangnya yang diikat ke belakang, dicepol kecil dibagian atas, sehingga menampakkan potongan rambut pendek undercut dibagian bawah yang rapi.Pria itu membuka kaca matanya dan melihat ke luar pada sosok dua orang pria yang sedang berdiri membelakangi mereka yang berjarak cukup jauh. Kedua orang itu berpakaian parlente, kemeja rapi dengan sepatu kulit yang mengkilap.“Hanya berdua saja?” tanya Jono—pria berjaket hitam di dalam mobil.“Hanya mereka dan supir di dalam mobil.” Anak buah Jono menunjuk sebuah mobil Mercedes Benz S class berwarna hitam terparkir di ujung bagian jalan itu.Jono tidak mengetahui siapa orang itu. Mereka berpenampilan rapi dan parlente, namun mereka berdua bukan berasalah dari Emerald City.Jono memberi isyarat
Mobil Rolls Royce limited edition itu, memasuki halaman rumah besar dan luas bernama Alpine Nest, dan berhenti tidak jauh dari pintu utama rumah itu.Kanaya dan Bastian turun dari dalam mobil dan masuk ke dalam rumah. Rumah yang kali pertama Kanaya datangi belum memiliki furnitur yang lengkap, saat ini telah berubah menjadi sebuah rumah yang indah dengan berbagai kelengkapan yang memberi kesan tersendiri.Kanaya sengaja memilih furnitur, korden, wallpaper serta berbagai aksesoris rumah lainnya dengan warna dan model yang memberi kesan homy, sebuah tempat tinggal yang hangat dan nyaman untuk ditinggali keluarga mereka.Saat memasuki rumah itu, tidak terasa suasana kaku ataupun asing. Ruangan demi ruangan seakan membuat siapa pun merasa di nyaman berada di sana. Dari mulai ruang tamu, ruang keluarga, dapur, hingga setiap kamar tidur di rumah itu, memberi kesan hangat. “Kenzo mana Bi?” Kanaya bertanya saat ia bertemu Sifa di ruang keluarga.Perempuan yang menjadi pengasuhnya saat menga
“Maaf… maaf, aku tidak sengaja…” ucap orang itu dengan segera. Ia kemudian tampak terkejut ketika melihat Bastianlah yang ia tabrak.“Lain kali jalanlah dengan hati-hati.” tegur Bastian sambil mengingatkan dengan nada dingin.Untung saja dia tidak menabrak Kanaya! Jika sampai itu terjadi, ia akan sangat marah.“Tentu, lain kali saya akan jalan dengan hati-hati.” Mahasiswi yang menabrak Bastian itu tampak tersipu malu. Ia melirik Bastian dengan tatapan menggoda sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.Bastian bersikap acuh tak acuh pada perempuan itu dan sibuk merapikan kemeja yang dikenakannya.Lain halnya dengan Bastian, Kanaya justru menangkap gestur perempuan yang dengan sengaja menggoda Bastian. Dan ini membuat Kanaya kesal.Jelas, bukan hanya dirinya saja yang menyadari betapa menariknya Bastian.Selama ia menjadi istri Bastian, tidak sedikit wanita lain yang mengagumi Bastian, bahkan ada yang dengan berani dan terang-terangan berusaha mendekati suaminya itu.Mahasis
“Kulit lebih bersinar, atau di sebut dengan pregnancy glowing…” Bastian membaca sebuah artikel melalui telepon genggamnya. Ia tampak berpikir sebelum bergumam, “Sepertinya benar.”Ia membayangkan kulit istrinya itu memang terlihat lebih glowing di kehamilan kedua. Jadi, apakah semua mitos itu benar?Bastian kembali membaca lanjutan artikel itu.“Payudara sebelah kiri lebih besar dari yang kanan…” Bastian mengerutkan keningnya. Ah, ada-ada saja. Apa iya perbedaan kehamilan bayi perempuan dan laki-laki bisa dilihat dari besarnya payudara kanan dan kiri?Ujung-ujungnya, Bastian geleng-geleng kepala dan lanjut membaca. “Sifat lebih moody, sensitif dan cerewet…” Bastian terkekeh pelan. Mungkin untuk yang satu ini ada benarnya. Sejak kehamilan kedua, Kanaya menjadi sangat perasa dan sensitif, bahkan sebelum mereka mengetahui jenis kelamin anak yang dikandungnya.Walau begitu, Bastian tidak pernah mempermasalahkannya. Apalagi ia memang tidak keberatan direpotkan oleh istrinya itu.“Ehem…
“Kamu tahu Ren, ada orang yang pernah bilang padaku. Melepaskan seseorang pergi bisa berarti memberi kesempatan orang lain untuk masuk dalam hidup kita,” ucap Dinda tanpa menoleh pada Reno. Reno terkekeh pelan. “Apa yang kamu katakan hampir sama dengan yang Kanaya katakan padaku, tetapi dengan kalimat yang berbeda. Apa semua perempuan selalu berkata seperti itu pada lelaki single seperti aku?” “Tidak juga. Tergantung siapa laki-lakinya,” ucap Dinda sambil melirik Reno. Untuk sesaat keduanya saling menatap satu sama lain, seakan waktu berhenti. Sampai… Ardyan tiba-tiba datang dan menyapa Dinda. “Eh, Din, datang juga? Papamu mana?” Dinda menoleh dan tidak tampak terkejut. “Nggak bisa datang, lagi ada pasien yang harus dioperasi. Jadi, aku yang gantikan.” Reno merasa heran melihat Ardyan tampak akrab dengan Dinda. Keduanya memang berprofesi sebagai dokter, tetapi apa setiap dokter seakrab itu dengan dokter lainnya? Apalagi mereka berbeda spesialisasi. Yang satu dokter bedah sya
Tidak hanya Kanaya yang terkesima dengan apa yang Bastian ucapkan, namun tamu yang hadir malam itu pun terharu dengan gestur yang disampaikan Bastian. Dan hal itu membuat mata mereka berkaca-kaca. Terlebih, kisah Bastian dan Kanaya sudah tersebar luas di media karena persidangan yang telah mereka lewati. “Naya, aku tahu ini terlambat, jauh terlambat. Akan tetapi, aku mencari saat yang tepat untuk memberikan ini.” Bastian mengambil sebuah kotak dari dalam kantong celananya, dan membukanya dihadapan Kanaya. Sepasang cincin yang tampak berkilau ada di depan mereka. Dua buah cincin yang memiliki model yang sama-sama memiliki sebuah batu berkilau di bagian atasnya. Namun terdapat perbedaan pada ukuran. Satu cincin berukuran lebih besar dan lebih lebar dari cincin lainnya. Kanaya terkejut melihat Bastian menyodorkan kotak berisi cincin itu padanya. Apakah ini cincin pernikahan? Suara riuh mengagumi cincin itu pun terdengar dari berbagai sudut ruangan. Bahkan tamu undangan yang seda
Acara resepsi pernikahan di Hotel Emerald itu sangat meriah dan dihadiri oleh banyak orang. Dari mulai gubernur, pejabat pemerintahan, pengusaha, relasi, kerabat, teman dan keluarga serta artis dan publik figur. Berbagai macam makanan dan minuman tersaji di sana, hiasan dan dekorasi megah dan mewah mewarnai ruangan demi ruangan tempat acara itu. Hiburan pesta itu pun sangat meriah, diisi oleh beberapa penyanyi, grup band, host dan komedian papan atas yang ikut meramaikan. Semua orang tampak sangat senang dan menikmati jalannya acara. Acara itu sendiri digadang-gadang menjadi pesta termeriah di Emerald City dan bahkan Eastasia. Bahkan Azhar, kakek tua berusia 79 tahun itu tampak begitu bersemangat bertemu dan berbicara dengan banyak orang yang sudah lama tidak dijumpainya. Haidar dan Miranda pun juga sama, raut wajah mereka berdua tampak begitu cerah dan senyum tidak menghilang dari wajah mereka. Ayunda dan Laila pun tidak ketinggalan. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan kenal
Pada hari yang di nanti, segala sesuatunya sudah diatur sedemikian rupa.Hotel Emerald, sebuah hotel baru di tepi pantai tempat berlangsungnya acara telah dibooking sepenuhnya oleh keluarga Dwipangga.Seluruh kamar hotel telah dipesan untuk tamu-tamu undangan yang datang dari luar kota. Ruangan grand ballroom beserta ruangan lainnya telah dibooking. Selama 2 hari, di hotel itu tidak ada tamu atau kegiatan lain selain tamu dan acara resepsi pernikahan Kanaya dan Bastian.Penjagaan pun dibuat sangat ketat oleh Jay dan anak buahnya, bekerjasama dengan pihak terkait.Di kamar presidensial suite hotel itu, Kanaya baru saja selesai mengenakan baju pengantinnya.“Naya…”Kanaya menoleh dan melihat ibunya memasuki kamar utama suite itu.“Ibu…” Ia langsung menghampiri dan mengajak ibunya itu duduk di tepi ranjang besar kamar itu.“Putri ibu cantik sekali,” ucap Ayunda sambil memperhatikan wajah Kanaya.Putrinya itu memang memiliki paras yang cantik alami. Akan tetapi hari ini kecantikannya tam
Setelah puas melihat pemandangan dari jendela kamar, Bastian lalu mengajaknya melihat bagian lain kamar mereka. “Ini closet kita, kamu bisa menaruh semua pakaian, tas, sepatu dan semua aksesoris milikmu di sini.” “Ini kamar mandi.” Bastian membuka sebuah pintu. “Shower, jacuzzi, dan lihat ini sayang…” Bastian mengajak Kanaya mendekat ke dinding kaca. Dari dinding kaca itu, mereka bisa melihat langsung ke arah hutan pinus. “Bas, tapi kaca ini…” “Jangan kuatir. Dari luar, mereka tidak bisa melihat ke dalam.” Tentu saja Bastian sudah memikirkan semua jal itu. Lalu mereka melihat ke kamar bayi, lalu kamar-kamar lainnya. Bahkan Bastian juga sudah menyiapkan ruangankamar untuk Kenzo saat bayi mungil itu sudah mulai bisa berjalan. “Ini kamarmu nanti, jagoan Papa… cepat besar ya, jadi kamu bisa menempatinya nanti…” ucap Bastian pada Kenzo yang ada di dalam gendongannya. Ia bahkan memperlihatkan pada Kenzo jendela kamarnya yang menghadap ke arah danau di belakang rumah. Kanaya tersenyu