Kerongkongan Bastian terasa kering dan darahnya mulai berdesir. “Elsie, sayang.. “ Elsie tidak peduli. Ia justru semakin berani dengan mencium Bastian. “Elsie—“ Bastian terus mencoba menghindar. “Sayang, ayolah. Sentuh aku…” Elsie menaruh tangan Bastian menangkup bukit kenyal miliknya dan bahkan memandu Bastian agar meremasnya sembari ia mencium Bastian kembali. “Elsie, Elsie!” Bastian terpaksa menyentak tangan Elsie yang memaksanya meremas bukit kenyal itu. Ia tidak bisa melakukannya. Elsie tersentak, tidak percaya dengan apa yang Bastian lakukan. Bastian menyadari apa yang ia lakukan dan langsung meminta maaf. “Maaf sayang. Aku tidak bermaksud kasar. Tetapi, aku benar-benar tidak bisa.” Bastian meraih baju Elsie dan memakaikan baju itu dengan rasa bersalah yang bertubi-tubi. Kali ini Elsie benar-benar mendapat tamparan keras. Elsie begitu yakin tidak akan ada laki-laki yang bisa menolak setelah apa yang ia lakukan. Namun ternyata, Bastian tetap menolaknya. Dia seperti
“Sayang, kamu tahu aku selalu menepati janji.” Bastian menghampiri Elsie di sofa, mencoba menyemangatinya. Istrinya itu tampak begitu terpukul dan Bastian merasa sangat bersalah. Akan tetapi Bastian tidak bisa mundur saat ini. Ia sudah melangkah terlalu jauh dengan Kanaya demi mendapatkan keturunan. Berhenti melakukannya juga tidak akan merubah apa pun, kecuali mempersempit kesempatan untuk mereka mendapatkan keturunan dengan secepatnya. Elsie menatap Bastian. Ia tahu selama ini Bastian begitu setia padanya. Tidak pernah sekalipun ia mendengar kabar miring mengenai suaminya. Dirinyalah yang telah mengkhianati janji mereka dengan berhubungan dengan banyak pria, bahkan melewati batas pergaulan dari yang seharusnya. Akan tetapi ia tidak boleh membiarkan Bastian mengetahui hal ini. Jika ini terjadi, ia tidak hanya akan kehilangan Bastian dengan semua harta yang dia miliki, namun sudah dipastikan ia akan kehilangan segalanya. Elsie tersenyum seperti seorang istri yang tabah dan
Siang hari itu Kanaya berada di dalam taksi dalam perjalanan ke kampus untuk menemui Profesor Zaky. Universitas Graha Widya, kampus Kanaya terletak di pusat kota, tidak terlalu jauh, dan merupakan salah satu kampus swasta bergengsi. Bukan hanya karena kualitas pendidikannya, namun juga karena telah banyak menelurkan orang-orang yang sukses dibidangnya. Teman-teman kuliah Kanaya sebagian besar berasal dari keluarga berada, yang pergi dan pulang kuliah dengan mobil mentereng dan mengenakan barang-barang branded, serta gadget keluaran terbaru. Hanya segelintir mahasiswa dari golongan masyarakat tidak mampu seperti Kanaya yang bisa mengenyam pendidikan kuliah dengan beasiswa di sana. Oleh karena itu, Kanaya sangat menjaga kelangsungan beasiswa yang ia dapatkan dengan susah payah. Sampai di kampus, Kanaya langsung menuju ke kantor Profesor Zaky. "Kanaya!" Belum juga sampai ke kantor dosen pembimbingnya itu, Professor Zaky sudah memanggilnya di selasar bangunan kampus. Rupa
Bastian pergi bersama Elsie ke restoran yang menyajikan ramen kesukaan Elsie. Letaknya masih di pusat kota, tidak jauh dari kampus tempat Elsie mengenyam pendidikan kuliah dulu. Namun sesampainya di sana, Bastian melihat Kanaya sedang duduk berdua bersama seorang pria. Ia duduk cukup jauh jaraknya dari tempat Kanaya duduk bersama pria itu. Namun Bastian masih dapat melihat mereka dengan jelas. Hal itu karena posisi duduknya menghadap langsung ke arah meja mereka. Elsie yang duduk dihadapan Bastian tidak melihat kehadiran Kanaya karena dia membelakangi mereka. Melihat Kanaya bersama pria itu membuat dada Bastian terasa panas. Ia kesal dan marah. Kanaya membohonginya. Dia beralasan pergi ke kampus, padahal bertemu dengan laki-laki lain! Laki-laki itu bahkan terlihat berusia lebih tua dari dirinya. Berani-beraninya dia. Dipermukaan Bastian berusaha menutupi emosinya. Ia bersikap santai di hadapan Elsie. Namun di bawah meja, kedua tangan Bastian terkepal dengan erat. “E
Bastian tersadar saat mendengar pertanyaan Elsie. Ia pun segera menepuk bahu istrinya. “Ayo dihabiskan ramennya.” Bastian lalu bergeser ke kursi diantara mereka berdua hingga ia menutupi arah pandangan Elsie. “Sepertinya aku melihat Ezra. Apa kamu suruh dia kesini menemuimu?” tanya Elsie mengalihkan pandangannya ke arah Bastian. “Ezra? Sepertinya kamu salah orang. Dia sekarang ada di kantor. Aku suruh dia menyelesaikan tender proyek.” Bastian menjawab dengan santai sebelum meneguk air mineral miliknya, melepaskan ketegangan yang ia rasakan. “Oh, mungkin kamu benar. Hanya mirip saja,” Elsie pun terpaksa mengiyakan, meski ia masih merasa jika pria itu adalah Ezra. Tetapi mengapa jika Ezra ada di restoran ini, dia tidak datang menemui Bastian? Padahal Ezra tahu Bastian sedang berada di restoran ini. Dan siapa perempuan yang bersamanya? Pikir Elsie. Sayang sekali ia tidak melihat dengan jelas sosok wanita itu. Tiga puluh puluh menit kemudian ditempat lain, Ezra membuka pintu
“Naya, aku menginginkanmu,” ucap Bastian diantar cumbuannya. Ia bahkan membiarkan Kanaya merasakan betapa kokohnya ‘monster’ miliknya itu dari balik pakaian mereka. Kanaya mengerang dan menggigit bibirnya merasakan monster Bastian melalui pakaian yang ia kenakan. Ia kemudian mengangguk, memberi pria itu ijin. Tangan Bastian masuk ke dalam rok. Ia menarik keatas dengan tidak sabar, melepas segitiga pengaman daerah kewanitaan gadis itu hanya dengan satu kali tarikan. Bagian kewanitaan Kanaya pun terekspos di depan matanya. Bastian menelan ludah. Ia beralih menatap Kanaya dengan tatapan liar seakan ia adalah singa yang lapar. “Basah sekali Naya,” ucapnya kembali menelan ludah. Istri sirinya itu ternyata memiliki gairah yang sama besar seperti dirinya saat ini. Rona merah mewarnai wajah Kanaya. Tetapi ia tidak punya waktu untuk merasa malu. Ia pun menginginkan Bastian. Ditariknya kerah baju Bastian sehingga tubuh mereka kembali berhimpitan dan bibir mereka kembali bertemu. “
Kanaya menatap cincin itu dan bahkan mengusapnya perlahan dengan jarinya. Kanaya tahu Bastian selalu melepas cincin itu setiap kali mereka bertemu, bahkan saat mereka bertemu di restoran kemarin. Walaupun Kanaya belum pernah melihat langsung cincin pernikahan Bastian, namun di jari manis Bastian ada bekas lingkaran yang berwarna lebih terang dari warna kulit di sekelilingnya. Apalagi kalau bukan bekas cincin pernikahan yang melingkar di sana? Berkelebat rasa iri di hati Kanaya karena ia tidak memiliki cincin pernikahan seperti Elsie dan banyak wanita lainnya yang telah menikah. Kanaya mendesah pelan dan membuang jauh-jauh perasaan itu, menyadari peran dan status dirinya. Bastian begitu menyelami kedekatan fisik mereka sehingga tidak menyadari apa yang terjadi. Ia baru tersadar saat merasakan jemari Kanaya yang menyentuh jari manisnya. Dan ia langsung teringat cincin itu. Bastian langsung melepas kaitan tangan mereka dan seketika itu juga mata mereka bertemu. Ia pikur Kanaya a
Mobil yang dikendarai Elsie berhenti di depan klinik Life’s Blessing. Sejak mendengar kabar masa ovulasi Kanaya, Elsie tidak tenang. Ia ingin segera menanyakannya pada Indra, namun Bastian justru mengajaknya makan siang. Untung saja Bastian tidak berlama-lama karena ada hal urgent yang harus ia selesaikan. Dari restoran itu, Elsie langsung menuju ke klinik milik Indra. Ia pun melangkah keluar dan berjalan dengan cepat, tidak sabar untuk menemui Indra “Selamat siang, Bu El—” sapaan petugas front office klinik itu diabaikannya. Ia terus berjalan menuju kantor Indra. “Di mana Indra?” tanya Elsie ketika ia bertemu Jesy. “Bu Elsie, Dokter Indra ada di dalam. Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Namun lagi-lagi sapaan Jesy diabaikannya. Ia langsung masuk ke dalam kantor Indra tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Bu Elsie, Bu—” Jesy terkejut dengan tindakan Elsie. Ia mencoba untuk menahannya, namun Elsie sudah kebih dahulu masuk ke dalam kantor itu. “Indra!” Indra yang sedang memperhat
Bastian mengusap airmata itu. “Besok pagi, Sayang. Besok pagi aku akan membawanya padamu.” Kanaya masih menatapnya dengan penuh harap, sementara Bastian menatapnya dengan lembut sembari mengelus pipinya perlahan. “Malam ini biarkan dia beristirahat, Naya. Biarkan dia beristirahat agar bisa menemui ibunya besok pagi.” Kanaya akhirnya mengangguk menyetujui. Ia tahu Bastian benar. Bukan ide yang tepat untuk membawa Baby K larut malam seperti ini. Ia hanya perlu bersabar sampai besok pagi. Bastian menghembusakan nafas lega. Ia lalu menarik Kanaya duduk di ranjang bersamanya, kemudian menyodorkan telepon genggamnya. “Kalau kamu ingin melihatnya.” Kanaya tentu ingin melihatnya. Ia menerima telepon genggam itu dan melihat sosok bayi mungil di layar telepon genggam Bastian. Kanaya menoleh, menatap Bastian seperti tengah memastikan kembali jika sosok itu adalah anak mereka. “Ya, itu Baby K. Lihatlah. Ada banyak foto dia di sana.” Bastian membantu Kanaya men-scroll ke samping galeri
Bastian memutar bola matanya. Tentu ia tahu Reno masih saudaranya. Jika yang menyembunyikan Kanaya orang lain, Bastian tidak akan hanya mengecohnya saja! Ia pasti akan membuat perhitungan serius dengannya! Bastian mendesah kasar. Reno, dia itu memang selalu saja mencari masalah dan membuatnya kesal. Namun, kapan ia pernah benar-benar keras menghukumnya? “Berhenti mengkhawatirkannya. Lagipula, aku tidak melakukan apa pun padanya. Aku hanya mengambil kembali apa yang menjadi milikku. Itu saja,” ujar Bastian sambil menarik pinggang Kanaya merapat padanya. Walaupun ia tidak bisa bisa benar-benar keras menindak Reno, tetapi ia tidak ingin menampakkannya. Akan tetapi ia pun tidak ingin Kanaya menjadi khawatir. Senyum Kanaya melebar mengetahui apa yang Bastian maksud dengan “miliknya”. “Aku bukan barang, Pak Bastian. Dan aku bukan milik siapa-siapa…” Kanaya mengerling, meledek istilah yang Bastian gunakan untuknya, meskipun ia tahu apa yang Bastian maksudkan. “Kamu memang bukan ba
Kenapa Bos menghubunginya? Ada apa? Bukankah dia sedang bersama pujaan hatinya, melepas rindu saat ini? Dengan harap-harap cemas Ezra mengangkat panggilan itu, dan setengah berbisik menjawab, “Halo, Bos?” Di apartemen Thrillville, Bastian merasa khawatir karena ASI Kanaya terus merembes keluar pakaian yang dikenakannya. Dan Istrinya itu meringis kesakitan setiap kali buah dadanya tersenggol, walaupun hanya sedikit saja. Bagaimana Bastian bisa tenang membiarkan Kanaya tidur kesakitan malam itu? “Zra, aku mau kamu carikan pompa ASI sekarang juga!” perintah Bastian dari ujung sambungan telepon itu. Wajah Ezra memerah mendengar perintah bosnya itu. Pompa apa? “Pom—pa ASI, Bos?” tanyanya dengan suara setengah berbisik. Masa malam-malam begini harus cari pompa—ASI? Yang benar saja! “Apa aku harus mengulangnya? Dan kenapa kamu bicara berbisik-bisik? “ tanya Bastian yang kesal dengan respon Ezra. Ezra berdehem. “Saya sedang berada di apartemen A, Bos. Saya akan kirim orang un
Di pinggiran Emerald City, tiga buah mobil berjalan beriringan. Di iringan mobil kedua, Reno duduk bersama beberapa orang pria dan seorang supir. Mobil berhenti di depan sebuah aparteman lima lantai dan Reno membuka kaca mobilnya saat Heri dan Agus, anak buah Reno, berjalan menghampirinya. “Bos, apartemen mereka ada di lantai 5,” ujar Heri melaporkan. Reno membuka pintu mobil dan keluar. “Apa anak buah Ravioli ada di sana?” “Menurut pengamatan saya, ada 1 atau 2 orang yang berada di sana,” jawab Agus sambil menunjuk arah sebuah apartemen di lantai 5 dengan ibu jarinya. Reno mengikuti arah jari Agus menunjuk dan ia menatap jendela sebuah apartemen yang tampak temaram. “Kalian ikut denganku. Biar yang lain tunggu di sini!” perintah Reno sambil menunjuk Heri, Agus dan seorang anak buah Agus. Ia berpikir jika hanya satu atau dua orang anak buah ravioli, mereka masih bisa mengatasinya. Yang ia khawatirkan sebelumnya adalah jika ada banyak anak buah Ravioli di sana, sedangkan ia
*** Flashback***Setelah Bastian selesai berbicara dengan Indra dan Ardyan di toilet, ia menerima panggilan telepon dari Ezra.“Bos, saya baru mendapat berita dari Jay, mengenai… perawat gadungan di ERc waktu itu.”Bastianyang sedang melangkah langsung menghentikan langkahnya. “Dan?”“Jay berhasil menemukannya, dan ternyata dia berkerja untuk—Reno,” lapir Ezra dengan hati-hati.“Reno? Kamu yakin?” Bastian cukup terkejut. Karena ia fokus pada Elsie, Ravioli dan Rizal, ia sama sekali tidak tidak berpikir jika Reno—sepupu sekaligus saingan bisnisnya itu ikut terlibat dalam masalah itu.“Benar Bos, Jay telah mengkonfirmasinya. Reno yang menyuruh orang itu untuk menjatuhkan kalung itu di dekat Bos. Tujuannya adalah dia ingin mengetahui apakah Bos benar-benar lupa ingatan atau tidak.” Bastian menyugar rambutnya sembari mengingat sesuatu. Ia ingat Reno memang mengetahui mengenai Kanaya dan kehamilan palsu Elsie. Namun karena Reno tidak pernah lagi mengusiknya, ia berpikir jika Reno telah b
“Apa kamu tahu kalau Reno yang menolongku?” Raut wajah Bastian berubah saat nama Reno disebut. Ia menegakkan punggungnya dan menyerong kan tubuhnya, menghimpit tubuh Kanaya. “Kalian tidak benaran bertunangan kan?” Tatapan mata Bastian memberi peringatan keras. Sangat jelas jika ia cemburu. Sangat cemburu. Ia yang sempat melupakan pengakuan Reno di hotel Royal tadi menjadi teringat saat Kanaya menyebut nama Reno. Rasanya ia tidak rela jika Kanaya menyebut nama pria lain dihadapannya, terlebih pria yang mengaku sebagai tunangan istri sirinya itu! Kanaya menatap Bastian dengan heran. Ia tidak menyangka Kalau Bastian akan percaya pernyataan Reno itu. “Naya, jawab pertanyaanku! Kalian— kamu dan Reno—” Bastian tidak sabar menunggu jawaban Kanaya. Kenapa dia diam saja dan tidak menyangkalnya? “Naya, kamu istriku! Kamu tidak bisa menerima lamaran orang lain, meskipun dia menyelamatkan nyawamu!” Kanaya mengerutkan keningnya, namun ia hanya membatin saja. Ya ampun, memang semudah itu
Bastian mengangkat alisnya. Senyumnya dikulum melihat Kanaya tampak gugup dan salah tingkah. Diangkatnya dagu istri sirinya itu, dan ia menatapnya dengan tatapan menggoda. “Naya… kamu—cemburu?”Kanaya menghempaskan tangan Bastian dan ia berdecak lalu berbalik badan ke lain arah.“Bukan itu!” sungutnya dengan kesal. Ia bertanya serius, tetapi Bastian justru menggodanya!“Lalu?” tanya Bastian dengan nada yang jauh dari kata serius. Ia menyorongkan wajahnya mendekati Kanaya.Kanaya kembali berdecak pelan dan menunduk, menghindari tatapan Bastian.“Ya… bukannya benar begitu?” lirik Kanaya dengan ragu. “Semua—orang tahu kalau kamu— sangat mencintai— Elsie…” walaupun hatinya berat mengucapkannya, namun diucapkannya juga. Ah, rasanya ia tidak ikhlas mengatakan Bastian mencintai wanita lain. Kenapa tidak Bastian mencintai dirinya saja?“Naya…” Bastian merangkul Kanaya, dan menempelkan dagunya di kepala Kanaya. “Beri aku waktu. Dan akan kubuktikan apakah memang benar aku menikahinya karena ak
Bastian mengangkat tubuh Kanaya dari lantai dan membawanya ke sofa. Namun, saat ia hendak beranjak dari sofa, tangan Kanaya memegangi kerah kemejanya.“Jangan pergi,” ucap Kanaya dengan suara lirih.Bastian kembali duduk dan tersenyum. Ia menyugar rambut Kanaya dan membelai pipinya dengan lembut, menyentuh garis bekas airmata.“Aku tidak ke mana-mana, Naya. Hanya ingin mengambil air minum.” Bastian memberinya tatapan meyakinkan. Bagaimana mungkin ia meninggalkan Kanaya?Kanaya mengangguk lemah mengiyakan dan melepaskan pegangan tangannya.Bastian merasa lega. Ia mendaratkan kecupan di kening Kanaya sebelum beranjak berdiri.Di dapur, Bastian mengambil segelas air putih, dan menghangatkan segelas susu coklat. Kemudian, ia duduk kembali di samping Kanaya.“Minumlah, ini akan membuatmu lebih tenang.” Bastian memegang gelas itu dan mendekatkannya ke mulut Kanaya.Kanaya ikut memegangi gelas itu dan ia meminumnya sedikit demi sedikit.Ia memang membutuhkan segelas coklat hangat. Apalagi,
“Naya…” Suara itu… Tubuh Kanaya menegang mendengarnya. Refleks ia melihat ke bawah, ke sepasang tangan kekar yang memeluknya dengan erat. Tangan itu… tidak salah lagi… Kanaya berbalik badan dengan cepat dan mendorong tubuh pria itu dengan sekuat tenaga. “Pergi kamu! Aku tidak mau—bertemu denganmu!” Suara Kanaya bergetar hebat. Tangannya menunjuk pria itu dengan gemetar, sementara ia menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bastian, pria yang ada dihadapan Kanaya, terkejut dengan penolakan Kanaya padanya. “Naya? Ini aku Sayang… Ini aku..” Bastian melangkah maju, namun Kanaya menggelengkan kepalanya dengan keras meminta Bastian jangan mendekatinya. “Jangan mendekat! Aku benci kamu!” ucap Kanaya dengan keras, sambil ia berjalan mundur. Bagian dari dirinya yang masih sangat kecewa dan sakit hati pada Bastian, menolak untuk bertemu dengannya. Kanaya begitu kecewa dengan apa yang Bastian lakukan di Hotel Royal. Padahal, setelah apa yang ia alami, mulai dari penculikan, percob