Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.
Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.
“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.
Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.
Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.
Bruk!
Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yang beruntun terjadi barusan telah memakan terlalu banyak energi, sampai-sampai kakinya jadi lemas.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya Eric, sambil mengulurkan tangan ke arah wanita yang bersimpuh tidak berdaya di sudut lift.
“Sa-saya tidak apa-apa, Pak! Te-terima kasih karena telah membantu saya!” seru Rani.
Daripada merepotkan atasannya lebih jauh, Rani mengabaikan uluran bantuan dari Eric dan memilih untuk bangkit sendiri. Melihat itu, Eric pun menarik tangannya yang menganggur dengan canggung.
“Saya minta maaf karena menanyakan ini, Pak. Tapi, kenapa Bapak bisa ada di sana?” tanya Rani, sambil saling mencengkeram jari-jarinya sendiri untuk menekan rasa gugup.
Eric adalah pria idaman yang diincar oleh seluruh pegawai wanita yang masih lajang. CEO tampan yang penampilannya memancarkan aura kepercayaan diri yang memikat, menjadikannya sebagai contoh sempurna dari keanggunan dan karisma yang luar biasa.
Belum lagi jika menilai latar belakang sebagai generasi ketiga dari keluarga konglomerat, dan posisi CEO yang menjanjikan.
Ya, semua wanita akan menjadikan Eric sebagai calon suami idaman sebelum … ia membuka mulutnya.
“Apa hak kamu menanyakan hal itu kepada saya?” ketus Eric “Bukankah tempat itu adalah tempat umum yang bisa dilalui oleh siapa saja yang ada di perusahaan? Atau apakah posisi kamu sudah menjadi lebih tinggi daripada saya sehingga bisa melarang saya untuk berada di sana?”
“Sa-saya minta maaf, Pak! Saya tidak bermaksud seperti itu! Sa-saya hanya ingin tahu apakah mungkin Bapak ada mendengar sesuatu….” Keberanian yang menciut membuat suara Rani lama-kelamaan jadi semakin samar.
Sejujurnya Rani tidak tahu sampai sejauh mana batas ia bisa berbicara dengan atasannya. Akan tetapi, kekacauan yang tidak tertanggung lagi membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Ingatan tentang pintu tangga darurat yang memiliki celah, membuat Rani berpikir kalau atasannya itu bisa mendengar semua percakapan yang terjadi dari luar.
“Mendengar apa?” tanya Eric.
Pertanyaan balasan dari Eric bagaikan kabar baik bagi Rani. Rani mengira kalau itu arti dari ketidaktahuan Eric.
“Ti-tidak, Pak. Saya hanya salah bicara. Maafkan saya!” seru Rani sambil membungkuk rendah sebagai tanda hormat.
Rani pikir tubuh yang membungkuk adalah penutup resmi dari percakapan mereka, dan urusannya dengan sang atasan akan berakhir. Sayangnya, Eric tidak memikirkan hal yang sama.
“Kamu bertanya apakah saya mengetahui perbuatan tidak senonoh mereka di perusahaan ini? Atau, apakah kamu memaksudkan pembicaraan yang dilakukan oleh Ivan dan Lidia di tangga darurat? Atau….” Eric memberikan jeda yang penuh arti sebelum melanjutkan, “Apakah saya mendengar tentang perselingkuhan mereka dan rencana jahat mereka tentang pernikahanmu?”
Tidak ada satu pun yang terlewat. Eric mengetahui semuanya dengan sangat rinci. Secara tidak langsung Eric mengatakan bahwa ia sudah ada di sana sejak awal.
“Sa-saya minta maaf, Pak!” seru Rani. Sekali lagi, Rani membungkukkan badannya.
Eric mengernyit dan membalas, “Kenapa kamu yang minta maaf? Memangnya kamu yang sedang berbuat salah?”
Masih dalam posisi badan membungkuk, Rani menjawab, “Bukan, Pak. Tapi mau bagaimana pun, Bapak jadi mengetahui hal yang tidak menyenangkan karena keteledoran saya. Seharusnya saya memastikan kalau pintu tangga darurat itu tertutup dengan rapat.”
“Apa kamu pikir saya bodoh sehingga saya akan membenarkan pola pikir yang bodoh itu? Yang salah adalah mereka yang melakukan hal yang tidak benar di perusahaan. Mereka bahkan telah berselingkuh!” geram Eric. “Saya tidak akan membiarkan hal ini, dua orang itu harus mendapatkan sanksi karena telah mencemarkan perusahaan! Mereka harus dipecat!”
“Sekali lagi saya minta maaf, Pak!” seru Rani.
Seruan itu cukup kuat. Rani tiba-tiba melontarkan permintaan maaf yang tidak cocok dengan konteksnya. Padahal Eric sudah mengatakan kalau Rani tidak salah apa-apa, tetapi Rani malah mengucapkan permintaan maaf untuk kedua kali.
Rani melanjutkan, “Saya tahu kalau saya bersikap lancang jika mengatakan ini. Akan tetapi, bolehkah saya memohon kepada Bapak untuk membiarkan hal ini? Saya mohon dengan sangat agar Bapak berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.”
“Apa? Apa kamu pikir aku akan menyetujui omong kosong itu?!” protes Eric. “Apa kamu tidak tahu situasinya? Seharusnya kamu yang lebih marah! Calon suamimu berselingkuh dengan teman dekatmu, tepat sehari sebelum pernikahan kalian!”
“Saya sudah tahu itu, Pak!” balas Rani. “Saya yang terlibat di sini, dan saya tidak apa-apa. Oleh karena itu, saya memohon agar Bapak berpura-pura tidak tahu apa pun. Jika Bapak merasa mereka telah mencemarkan perusahaan dan ingin menghukum mereka, Bapak bisa melakukannya dengan cara Bapak sebagai atasan, asal tidak memecat mereka dan tidak menyebarkan hal ini.”
“Tunggu! Jadi maksudmu kamu tidak apa-apa meskipun telah diselingkuhi? Kamu masih akan melanjutkan pernikahanmu dengan pria brengsek itu besok?” tany Eric.
“Itu benar, Pak,” jawab Rani. “Jika Bapak masih merasa belum cukup untuk menghukum mereka, tidak apa-apa jika Bapak juga ingin memberikan sanksi kepada saya karena telah bersikap lancang.”
Sejak tadi Rani masih terus membungkuk. Sudah mendengar omong kosong dari Rani, Eric malah hanya bisa menatap punggung rapuh wanita itu dari atas, dan itu membuat Eric jadi semakin emosi.
“Aku tidak bisa memahaminya. Kamu pasti sudah gila,” ucap Eric. “Apa kamu sangat mencintai pria itu sampai kamu tetap mau menerimanya padahal sudah dikhianati?”
“Saya minta maaf, Pak, tetapi saya tidak bisa menjawab pertanyaan pribadi seperti itu,” jawab Rani.
TING!
Pintu lift terbuka. Eric sudah tiba di lantai paling atas tempat ruangannya berada.
“Mari berhenti. Aku tidak bisa melanjutkan percakapan ini lagi. Sebaiknya kamu kembali bekerja sekarang!” perintah Eric, sambil memegang keningnya yang semakin berdenyut.
“Baik, Pak,” balas Rani.
Percakapan mereka sudah selesai. Akan tetapi, Rani masih tetap membungkuk ke arah Eric, dan itu membuat Eric diliputi perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.
Ia pun berdecak jengkel. “Ck! Kamu tidak perlu membungkuk seperti itu. Kalau kamu merasa bersalah atas masalah ini, temui aku sepulang kerja. Masih ada yang perlu kita bicarakan.”
“A-apa?!” Rani ingin memprotes panjang. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, Eric sudah melangkah keluar dari lift untuk menghentikan percakapan mereka.
Pintu lift pun tertutup, meninggalkan Rani sendirian di dalam. Walau tidak melihat wajah Eric secara langsung, tetapi Rani bisa merasakan kalau emosi pria itu sedang bernyala-nyala.
“Aku bisa memahami itu. Pak Eric pasti sangat marah karena mengetahui tindakan Ivan dan Lidia di kantor,” gumam Rani dalam kesendiriannya. “Sudah begitu, aku malah lancang mengatur-ngaturnya dalam membuat Keputusan sementara aku hanyalah seorang bawahan.”
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid