“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.
Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.
Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.
“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.
Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.
“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.
“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”
“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.
Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung berdiri saat disentuh Lidia.
“Tapi, Rani,” lanjut Lidia. “Kamu belum menjawabku. Kemana saja kamu? Kenapa baru kembali?”
Rani menatap kedua bola mata Lidia. Kontak langsung yang terjadi dalam posisi dekat membuat semuanya jadi terlihat lebih jelas.
“Bagaimana aku tidak mengetahui ini sejak dulu? Semua bukanlah tatapan kekhawatiran karena peduli, melainkan tatapan kekhawatiran karena takut niat jahatnya ketahuan,” batin Rani. “Bodoh sekali aku baru menyadarinya sekarang.”
“Rani? Halo? Apakah kamu mendengarku?” tanya Lidia, sambil mengayunkan telapak tangannya di hadapan Rani.
Tepat pada saat itu, Ivan muncul. Ia masuk ke percakapan mereka dan bertanya, “Ada apa?”
“Lihat, Ivan! Rani sepertinya banyak melamun hari ini. Aku bertanya dari mana saja ia dari tadi, tetapi ia tidak menjawab dan malah bengong,” jawab Lidia.
“Benarkah?” Ivan mengalihkan pandangannya dari Lidia ke Rani. Seperti seorang kekasih yang perhatian, ia mengelus kepala Rani dan bertanya, “Ada apa, Rani? Apakah ada yang mengganggumu? Atau kamu sakit perut yang membuatmu jadi kurang fokus?”
Tidak ada hubungan gangguan pencernaan dengan pemahaman kata-kata. Dari cara Ivan berbicara saja, terlihat jelas kalau pria itu sama sekali tidak menghormati atau menghargai Rani sebagaimana kekasih.
“Aku baik-baik saja,” jawab Rani. “Aku hanya sedikit melamun karena pekerjaan yang belum aku selesaikan. Kalau begitu, aku akan menyelesaikannya dulu.”
Rani meninggalkan Ivan dan Lidia. Ia menuju meja kerjanya dan melanjutkan pekerjaan yang menumpuk.
“Apa kamu sudah mau bekerja lagi? Bukankah ini masih jam istirahat siang?” tanya Lidia.
“Aku tahu. Aku hanya ingin cepat menyelesaikan ini agar aku bisa cepat pulang.” Senyuman palsu tampak di wajah Rani ketika ia melanjutkan kata-katanya. “Besok adalah hari besarku, bukan? Jadi aku harus cepat istirahat malam ini.”
Keheningan merambat dengan cepat. Setelah itu tidak ada yang berani membalas perkataan Rani yang sudah berkutat dengan pekerjaannya.
“Apakah aku terlalu kritis? Aku hanya merasa tidak enak karena Rani terus bekerja keras di saat-saat seperti ini. Aku juga tidak tahu apakah Rani sudah makan siang atau belum,” ucap Lidia.
Ivan meletakkan tangannya di atas kepala Lidia, lalu mengelus wanita itu dengan cara yang sama persis seperti yang ia lakukan dengan Rani.
“Kamu tidak salah apa-apa. Aku tahu kalau kamu hanya khawatir padanya. Rani yang salah karena tidak memahami maksudmu,” bela Ivan. “Coba lihat aku! Aku juga menikah besok, tetapi aku tidak sesibuk itu. Aku juga masih bisa menikmati waktu istirahat siangku dengan baik.”
Setelah itu Ivan dan Lidia saling bersenda gurau dengan akrab, di dalam ruangan yang sama dengan tempat Rani berada.
Sungguh suatu kesialan karena Rani berada dalam satu departemen dengan dua manusia tidak tahu malu itu. Satu-satunya keuntungan yang ia miliki hanyalah posisinya yang berada di atas mereka karena menempati posisi kepala Departemen.
“Bersenang-senanglah selagi kalian tidak mengetahui apa pun. Jika ada yang melihat, mereka akan mengira kalau kalian berdua-lah yang akan menikah, bukan aku,” geram Rani dalam hati.
Tujuan Rani bukan hanya sekedar menyelesaikan pekerjaannya, terlebih untuk memfokuskan dirinya demi acara pernikahan besok. Begitu pekerjaannya selesai, Rani langsung mengambil buku catatan. Di sana, ia menuliskan semua hal yang terjadi pada kehidupan pertamanya.
“Aku langsung hamil tidak lama setelah kami menikah,” pikir Rani sambil mengamati coretannya. “Kalau begitu, yang perlu aku hindari adalah bulan madu. Apa pun yang terjadi, aku tidak boleh membiarkan Ivan menyentuhku.” .
Jam enam tepat, satu jam sudah berlalu sejak waktu pulang kerja tiba. Setiap orang sudah meninggalkan tempat duduk mereka dan pulang ke rumah masing-masing, tidak terkecuali Ivan dan Lidia.
“Aku beruntung karena sudah pernah menyelesaikan pekerjaan ini dalam kehidupan sebelumnya,” ucap Rani sambil menatap tumpukan laporan yang sudah selesai. “Dengan begini, pekerjaanku selama seminggu ke depan sudah lebih longgar. Setidaknya aku bisa berfokus untuk mengatur rencana balas dendamku.”
Detakan jarum jam memenuhi keheningan tempat itu, menarik perhatian Rani ke arah benda melingkar yang terpajang tinggi di atas kepalanya.
“Tadi Pak Eric bilang untuk menemuinya sepulang kerja. Apa maksudnya sekarang aku harus datang ke ruangannya? Atau…apa mungkin Bapak itu asal cetus saja?” tanya Rani, berharap agar dugaan yang kedua yang benar
Rani mengoceh dalam kesendirian. Logikanya sedang menimbang-nimbang tentang kemungkinan yang lebih masuk akal tentang perjanjian yang ia lakukan dengan atasannya tadi.
“Ya, itu tidak mungkin. Mana mungkin itu terjadi,” gumam Rani. “Lagipula apa yang akan dibicarakan oleh seorang atasan dengan bawahannya di luar jam kantor? Kami bukannya melakukan kencan atau apa. Tadi bahkan menjadi pertama kalinya aku berbicara dengan Pak Eric selama itu.”
Saat sibuk bergumam, tiba-tiba terdengar suara orang lain yang merespon ucapan Rani.
“Apakah itu membuatmu takut?”
“ASTAGA!” Rani melompat dari tempatnya. Hampir saja ia mengulang sejarah, dan mempermalukan diri untuk kedua kali karena terjatuh.
“Apa perlu kamu sampai sekaget itu?” tanya Eric sambil mengerutkan alis karena merasa aneh dengan reaksi Rani.
“Ha-halo, Pak CEO! Sa-saya hanya terkejut, Pak. Takut apanya? Tidak mungkin saya sebagai seorang bawahan akan merasa takut kepada atasan sendiri, Ha ha ha….”
Tawa canggung di penghujung kata-katanya membuat pernyataan Rani justru lebih meragukan. Jadi, ia kembali berbicara kembali untuk meluruskan kesalahpahaman.
“Saya minta maaf, Pak. Saya tidak bermaksud untuk membicarakan Bapak di belakang. Saya hanya sedang mengira-ngira apakah kita akan melanjutkan percakapan kita atau tidak,” ucap Rani.
“Kenapa kamu ragu? Bukankah percakapan kita memang belum selesai? Sekarang ikut aku! Kita harus membicarakan semua itu dengan sejelas-jelasnya,” ucap Eric.
Eric melangkah pergi. Namun, isyarat tubuhnya memberi tanda kepada Rani untuk segera mengikuti. Rani pun mengambil barang-barangnya dengan terburu-buru dan mengikuti Eric.
Rani tidak sempat berpikir. Pikiran yang panik membuatnya meraih apa saja yang terlihat di meja, agar barang-barang pribadinya tidak tertinggal.
“Kenapa orang itu seenaknya menyuruhku tanpa memberi waktu untuk bersiap dan–”
Rani sibuk menggerutu. Akan tetapi, ocehannya terhenti karena melihat pemandangan yang memanjakan mata.
Sinar senja menembus kaca dan menyinari sisi kanan Eric. Tubuh yang menjulang tinggi itu jadi tampak seperti sebuah pahatan dan mahakarya.
Saat ia melintas di lorong kantor, sinar mentari tampaknya bersinar lebih terang hanya untuk menyoroti keindahan yang menyilaukan dari sosok CEO tampan itu. Dengan setiap langkahnya, aura kepercayaan dirinya menyapu ruangan seperti angin segar, membuat hati wanita yang memandangnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya.
Rambutnya yang mengalir lembut di belakangnya seakan-akan terbang bebas di atas awan biru, menciptakan gambaran dari pangeran yang turun dari surga untuk menyelamatkan hari. Tidak ada yang bisa menahan diri untuk tidak terpesona oleh pesona dan kekekarannya yang menggetarkan hati, membuatnya menjadi objek kekaguman yang tak terbantahkan.
“Kamu tidak jalan?” cetus Eric, memecahkan lamunan Rani.
Rani terkesiap. Sambil memeluk barang-barangnya di lengan yang kecil, ia tertatih-tatih untuk mengejar langkah panjang atasannya itu,
“P-Pak! Tunggu saya!” seru Rani.
Malam itu, Eric membawa Rani ke sebuah restoran mewah. Daftar makanan yang tertera di buku menu bergaya Eropa dengan minuman beralkohol sebagai pendampingnya.
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid