“Bayi itu–”
“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–”
“Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”
Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit.
“Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.
Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu.
Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya.
Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya.
“Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjatuh hanya karena aku mendorongnya sedikit?” balas Lidia.
“Walau begitu kamu tidak harus mendorongnya,” jawab Ivan.
“Jadi, apa menurutmu aku harus diam saja ketika aku ditampar?” protes Lidia.
Ivan menjawab, “Kalau kamu merasa tidak adil, kamu bisa membalasnya, Rani. Aku tidak melarangmu. Tapi harusnya kamu tahu waktu yang tepat!”
“Argh, masa bodoh! Pokoknya aku tidak salah! Sejak awal itu salah tubuhnya yang lemah. Ia yang salah karena goyah dan jatuh hanya karena sedikit dorongan,” gerutu Lidia. “Lagi pula, dia yang mulai! Dia yang mencari masalah lebih dulu karena mempermasalahkan perkara sebuah baju tidur
Wajah Ivan tampak kusut. Ia menghela napas berkali-kali sambil menggaruk belakang kepala karena terjadi peristiwa yang di luar rencananya.
Melihat gestur Ivan, Lidia pun mulai merasa bersalah. Kemudian, Lidia memberi solusi untuk meringankan beban Ivan.
“Sudahlah, Ivan. Kita tidak bisa memutar waktu. Yang terjadi biarlah terjadi. Karena semuanya sudah seperti ini, kita memerlukan rencana baru. Bagaimana jika kita mencari orang lain sebagai pengganti Rani,” ucap Lidia. “Kamu tidak perlu menikahinya. Kamu hanya perlu membuatnya hamil. Lalu kita bisa membuat keadaan yang mengharuskan wanita itu untuk menyerahkan anaknya padamu.”
Ivan membalas,” Ngomongnya sih mudah, Lidia. Itu karena bukan kamu yang menjadi aku. Kamu pikir seberapa banyak pengorbananku selama ini untuk merayu dan menikahi Rani?”
Lidia membuka tangannya, melangkah maju dan mendekap pria besar itu di dalam pelukannya. Dengan tangan yang bergerak naik turun, ia mengelus punggung Ivan untuk memberikan penghiburan.
Lidia berkata, “Aku tahu, Ivan. Aku tahu. Bukankah aku juga selalu mendukungmu selama ini? Aku juga akan terus mendukungmu untuk selanjutnya. Memang salahku karena aku memiliki rahim yang lemah dan tidak bisa hamil. Walau begitu, aku tidak merasa kesal sama sekali ketika kamu menjalin hubungan dengan wanita lain agar kamu punya anak.”
Bibir Rani berkedut penuh protes. Walau demikian, rasa cinta yang ia miliki terhadap pria itu membuatnya masih bisa menekan kesedihan dengan paksa.
Lidia melanjutkan, “Aku akan mencarikan wanita yang baru untukmu.”
Ivan menghela napas. “Baiklah, Lidia. Aku tidak akan memperpanjang masalah ini karena aku sangat mencintaimu.”
“Sekarang,” balas Lidia. “Kita telah kehilangan bayi itu. Bukankah peranan Rani sudah tidak ada gunanya sekarang?”
Rani tersentak ketika mendengar pernyataan Lidia. Informasi ini terlalu banyak untuk ia terima.
“Anakku … bayiku … aku sudah kehilangan bayiku,” ringis Rani dalam hati, meratapi kepergian bayinya yang tercinta.
Wanita itu sekuat tenaga menahan dirinya agar tidak menunjukkan reaksi karena masih ada Lidia dan Ivan di sana. Namun–
“Kalau dipikir-pikir, hasil ini juga tidak terlalu buruk. Rani terlalu curigaan dan pecemburu,” ucap Ivan. Ia tersenyum licik. “Selain itu, bukankah kita memiliki asuransi jiwa Rani?”
Rani tergeragap.
“Mereka … akan membunuhku?” batin wanita itu tidak percaya.
Ia mendengar suara langkah kaki Lidia yang berjalan mendekat, ditambah lagi bayangan gelap yang menutupi penglihatan membuat Rani membuka mata.
“Ra-Rani, kamu sudah sadar?” tanya Lidia gelagapan. Tangannya hampir menyentuh masker oksigen Rani.
“Kamu terkejut karena aku masih hidup?” Rani menyeringai tipis, meski napasnya terengah-engah.
Meski Rani masih dalam status sakit, ia bukannya tidak berdaya. Ia mencengkeram pergelangan tangan Lidia dan mendorongnya menjauh.
“Sial.” Rani mendengar Ivan bergumam. Mereka sempat beradu pandang sebelum kemudian Ivan melangkah maju.
Terjadi pergulatan singkat ketika Ivan melepas masker oksigen Rani yang memberontak sekuat tenaga.
“To–”
Seruan lirih Rani teredam bantal yang tiba-tiba menutupi wajahnya, memblokir aliran napasnya.
Rani menggeliat, meronta sekuat tenaga agar bisa membebaskan diri. Meskipun demikian, ia tidak cukup kuat untuk bisa melawan tenaga seorang pria.
Ivan mengekang tubuhnya dengan sangat kuat. Bahkan pinggangnya tidak bisa bergeser sama sekali. Hanya kakinya yang menendang-nendang udara karena ingin meminta pertolongan.
“Tuhan, tolong–”
Namun, pada akhirnya, tubuh yang ringkih itu kehabisan tenaga. Setelah beberapa menit, Rani berhenti bergerak. Ketika bantal di wajahnya diangkat, terlihat air mata yang mengalir membasahi kasur.
Di saat-saat sebelum Rani menghembuskan napas terakhirnya, Rani membatin, “Aku tidak akan memaafkan kalian! Kalau saja aku diberi kesempatan kedua, aku akan membalas semua ini!”
Itu adalah ucapan emosi yang Rani ucapkan di saat-saat terakhirnya.
Akan tetapi, siapa yang sangka kalau harapannya akan terkabul?
Ketika Rani mengira kalau ia sudah meninggal, ia malah membuka mata di depan layar monitor yang penuh dengan tulisan dan angka. Tempat duduk itu terasa sangat akrab karena telah menjadi tempat di mana ia menghabiskan waktu selama bertahun-tahun untuk membangun karir.
“Rani, selamat atas pernikahanmu. Acaranya besok, ‘kan? Aku tidak menyangka kalau kamu masih akan bekerja di saat-saat seperti ini,” cetus salah seorang wanita dengan setelan kemeja kepada Rani.
“Pernikahan? Besok?” tanya Rani.
Rani masih dilanda kebingungan. Saat ia celingak-celinguk dengan gelisah, ia melihat kalender yang terletak di meja kerjanya.
Tidak percaya dengan kemampuan penglihatannya, Rani pun menangkap kalender itu, menempatkannya tepat di depan mata, dan menatapnya lekat-lekat.
“APA? Tahun 2023? Apa aku mengulang waktu?” seru Rani dalam hati.
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid