Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.
“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.
Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.
“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.
“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.
Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.
Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani. Aku paham kalau kamu memiliki banyak pikiran karena besok adalah hari pernikahanmu. Apakah aku perlu membicarakan ini dengan Pak CEO, agar memberikanmu cuti setengah hari?”
Rani menjawab, “Tidak. Aku tidak apa-apa, sungguh….”
Rekan kerja Rani menghela napas pasrah. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan kekeraskepalaan wanita itu. “Baiklah. Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa memanggilku,” balasnya.
Rani mengangguk untuk memberikan persetujuan, dan rekan kerjanya pun pergi.
Setelah ia sendirian, Rani langsung mengambil kalender meja yang mengganggunya. Ia menatap barisan angka yang tampak di sana dengan lebih teliti untuk memastikan bahwa ia tidak melewatkan satu hal pun.
“Di sini benar-benar dituliskan tahun 2023. Bukankah sudah lama sejak perayaan tahun 2024 berlalu?” gumam Rani.
Tidak ada yang bisa menjelaskan keanehan itu. Ketika menatap sekelilingnya, semuanya terlihat normal. Hanya dirinya sendiri yang sedang dilanda kebingungan.
Ketika sedang mengamati, Rani menemukan keberadaan meja di hadapannya. Ya, barisan meja yang dua tempat di antaranya diisi oleh orang yang sangat ia kenal, Ivan dan Lidia.
“Ada satu cara yang bisa membantuku memastikan semua ini!” ucap Rani dalam hati.
Rani beranjak dari tempatnya. Dengan langkah yang tegas dan pasti, ia berjalan di lorong menuju ke sebuah tempat.
“Bu Rani, Ibu masih bekerja hari ini?”
“Kenapa Ibu tidak cuti?”
“Selamat untuk pernikahannya besok, Bu.”
“Apakah Ibu sedang mencari Pak Ivan?”
Sepanjang perjalanan, Rani terus saja mendapatkan ucapan-ucapan selamat yang berkaitan dengan pernikahannya. Topik yang kurang menyenangkan itu terpaksa ia jawab dengan senyuman palsu dan tawa yang kaku.
“Di sini tempatnya,” batin Rani.
Rani menatap sebuah pintu tertutup di depannya. Sebuah tempat yang menjadi lokasi strategis untuk sebuah pertemuan rahasia. Saat matanya memperhatikan, ingatan masa lalu terlintas ketika Rani pernah menemukan Ivan dan Lidia keluar melalui pintu itu dalam jarak waktu yang singkat. Ya, situasi yang aneh untuk disebut sebagai suatu kebetulan.
“Di masa lalu aku tidak memikirkannya, tapi bukankah itu adalah bukti yang sangat jelas kalau Ivan dan Lidia sedang berduaan saja di dalam sini?” pikir Rani.
Rani menarik napas panjang, sebelum ia akhirnya mendorong pintu itu.
“….”
Tidak ada apa-apa di sana. Yang ada hanya keheningan dengan barisan anak tangga yang tersusun rapi menuju lantai atas dan lantai bawah.
“Tidak ada apa-apa di sini. Apakah perkiraanku salah?” batin Rani. Sambil memikirkan bangku kosong milik kedua orang itu, Rani lanjut bergumam, “Kalau begitu kemana Ivan dan Lidia pergi?”
Hasil kosong yang Rani dapatkan membuatnya ingin memikirkan cara lain. Akan tetapi, tepat sebelum ia keluar, ia mendengar suara.
“Mau bagaimana pun aku tidak rela.”
Suara bisikan seorang wanita sedikit menggema hingga sampai ke telinga Rani. Tidak perlu menebak-nebak, suara yang khas itu adalah milik satu-satunya sahabat yang ia punya, Lidia.
“Tidak bisakah kamu membatalkan pernikahan itu?” tanya Lidia.
Seorang pria menjawab, “Bukankah kita sudah membicarakan ini, Lidia? Aku tahu ini sulit bagimu, tetapi aku harus melakukannya.”
Rani melangkah maju. Rasa penasaran membawa tubuhnya melangkah lebih dekat ke arah sumber suara. Ketika ia menuruni dua anak tangga, penampakan siluet dua insan yang berada di bawah, membuat Rani spontan menekuk kakinya dan berjongkok.
“Tapi bagaimana jika kamu malah jatuh cinta kepada Rani dan tidak mau bercerai?” rengek Lidia.
“Jatuh cinta kepada Rani? Apakah kamu bercanda? Bagaimana bisa aku jatuh cinta kepada wanita kaku itu?” sangkal Ivan. “Kamu tahu sendiri kalau aku menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, bukan? Aku tidak ingin menyalahkanmu, namun jika saja kamu bisa hamil maka aku tidak akan perlu menikah dengannya.”
Bukannya membaik, suasana hati Lidia justru semakin runyam ketika mendengar pernyataan Ivan. Karena melihat ekspresi muka Lidia yang semakin gelap, Ivan pun kembali berbicara untuk membela diri.
Pria itu menggunakan kemampuan bicaranya untuk meyakinkan Lidia. Ia berkata, “Kamu tahu ‘kan, kalau Rani mencintaiku? Selama kami menikah, aku akan membuatnya membeli banyak hal. Itu tidak akan sulit baginya karena ia memiliki gaji besar dengan posisinya itu.”
Kalimat Ivan ditutup dengan senyuman licik yang membanggakan. “Jadi, ketika kami bercerai, aku akan mendapatkan bagian harta dan hak asuh anak. Setelah itu kita bisa menikah dan hidup lebih nyaman dan kaya.”
“Iya, aku tahu,” balas Lidia. “Kamu sudah pernah menjelaskan hal ini kepadaku. Meskipun begitu, tetap saja sulit rasanya untuk menghadiri pernikahan kalian/”
Ivan melebarkan tangannya dan mendekap erat Lidia di dalam pelukan. “Aku tahu. Itu sebabnya aku berterima kasih karena kamu sudah mau banyak mengalah padaku.”
“Kalau begitu, katakan kalau kamu mencintaiku,” pinta Lidia.
Ivan menjawab, “Itu bukan hal yang sulit. Aku akan mengucapkannya berapa kali pun kamu mau. Aku mencintaimu, Lidia.”
Setelah itu, dua insan itu melanjutkan suasana romantis mereka dengan saling mencumbu.
Rani mengernyit. Rasa sakit yang menusuk hatinya terasa sangat perih. Walau begitu, tidak boleh ada terlalu banyak waktu yang digunakan untuk tenggelam dalam rasa sakit. Rani harus memanfaatkan situasi itu dengan sebaik-baiknya.
“Hp! Aku perlu merekam pembicaraan mereka sebagai bukti!” batin Rani.
Rani merogoh-rogoh sekujur tubuhnya, namun ia tidak menemukan ponselnya di mana pun.
“Sial! Dari sekian banyak waktu, kenapa aku kembali ketika aku memakai pakaian ini?!” kesal Rani dalam hati.
Kemeja polos dengan rok span ketat, setelan pakaian formal yang menjadi ciri khasnya dalam bekerja tidak memiliki kantong sama sekali. Tidak ada tempat bagi Rani untuk meletakkan ponsel dalam setelan itu, dan ia teringat kalau ponsel yang paling ia butuhkan sedang berdiam santai di atas meja kerja.
Kekesalan ingin membuat Rani mengutuk. Dan saat tubuhnya grasak-grusuk untuk melakukan pencarian Hp, tangannya membentur pegangan tangga hingga membuat suara yang nyaring dan menggema.
“Suara apa itu?!” seru Lidia.
Rani terkesiap. Karena baru saja menguping rahasia besar, instingnya menyuruh agar ia segera kabur dari tempat itu agar tidak ketahuan. Rani pun mengikuti instingnya dan keluar dari sana dengan tergesa-gesa.
Mata Rani menatap lurus ke arah pintu yang menjadi tempatnya bisa menyelamatkan diri. Namun ada yang aneh! Pintu yang seharusnya tertutup rapat, kini malah memiliki celah yang cukup lebar. Dan ketika Rani mendorong pintu itu…!
Hap!
Rani ingin berteriak kaget ketika ia disambut oleh tubuh besar. Tapi sebelum itu terjadi, mulutnya sudah ditutup rapat oleh pria pemilik tubuh itu rapat-rapat.
“Jangan berteriak dan ikut saya,” bisik pria itu.
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
“Rani! Kamu dari mana saja?” tanya Lidia.Begitu Rani muncul, Lidia langsung datang dan merangkul lengan Rani. Sentuhan itu terasa tidak nyaman dan sontak membuat Rani segera menghempasnya.Lidia terpaku. Matanya yang membesar menandakan kalau wanita itu terkejut dengan reaksi penolakan tidak terduga dari sahabatnya.“Rani, kamu kenapa?” tanya Lidia.Awalnya Rani tidak sadar karena semuanya terjadi secara spontan. Pertanyaan Lidia-lah yang baru saja menyadarkannya.“A-ah, maaf. Aku hanya kaget. Aku pikir siapa yang langsung merangkulku,” jawab Rani dengan senyuman paksa.“Apakah kamu masih merasa tidak nyaman jika disentuh orang lain?” tanya Lidia berpura-pura khawatir. “Tapi ini ‘kan aku. Kamu tidak mungkin menyamakan aku seperti orang lain, bukan? Hanya aku satu-satunya sahabatmu, kamu ingat?”“Iya, Lidia. Aku akan mengingat itu,” jawab Rani.Bibir Rani berkedut ketika ia harus mengakui kebohongan yang menjijikkan. Tubuhnya juga merespon secara spontan, karena bulu kuduknya langsung
Tidak ada yang bisa Rani lakukan. Walau ia masih kaget, tetapi keberadaan Lidia dan Ivan di belakang membuatnya mau tidak mau mengikuti arahan pria itu.Pria itu memimpin jalan. Ia memegang pergelangan tangan Rani dan membawanya masuk ke dalam lift.“Kenapa … Pak CEO ada di sini?” batin Rani.Ya, pemilik punggung lebar yang ia lihat dari tempatnya adalah milik dari atasan tertinggi tempatnya bekerja. Jas yang mahal dan aura yang berkelas tampak sangat mencolok walau hanya dilihat dari belakang. Tidak ada sosok lain yang memiliki aura itu kecuali CEO mereka, Eric.Rani memiliki banyak pertanyaan. Namun, yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah lari terlebih dahulu. Selama ia melangkah, ia bisa merasakan kalau Lidia mulai mengejarnya dari belakang. Rasa aman akhirnya terasa ketika Eric membawa Rani masuk ke dalam lift khusus CEO dan menutup pintunya.Bruk!Suara benturan terdengar keras karena tubuh Rani ambruk ke bawah. Tidak peduli seberapa kuat Rani, tetap saja kejadian menegangkan yan
Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani
“Bayi itu–”“Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kita telah kehilang–” “Kamu! Kamu tahu bagaimana perjuanganku agar bisa membuat Rani hamil, bukan? Jika begini, semuanya jadi sia-sia. Untuk apa aku menikahi Rani jika kita akhirnya tidak mendapatkan bayinya?”Rani masih memejamkan mata. Hanya kegelapan yang terlihat di mata yang tertutup. Meskipun demikian, aroma obat, kasur yang tidak biasa tempatnya berbaring, ditambah dengan dan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya membuatnya sadar bahwa ia sedang berada di rumah sakit. “Apa? Apa maksud semua itu?” batin Rani.Rani sebenarnya sudah sadar sejak satu jam yang lalu. Namun, karena ia menyadari keberadaan Ivan dan Lidia, ia tetap memejamkan matanya. Siapa yang sang kalau ia akan mendengar percakapan yang memuat banyak rahasia? Rani akan mengetahui watak asli dari Lidia, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak SMA, dan Ivan, suami yang ia pikir sangat mencintainya. “Aku juga tidak tahu. Siapa yang sangka Rani akan terjat
“Ini jam dua pagi. Kenapa kamu di sini?” Langit malam menyelimuti rumah Rani dengan ketenangan. Namun, keheningan itu segera terganggu oleh teriakan tajam Rani. Wanita itu mengamati penampilan sahabatnya.Setahu dia, sahabatnya, Lidia, tidak datang sampai ia terlelap tadi. Namun, saat Rani terbangun dini hari karena ingin ke kamar kecil, ia justru mendapati pemandangan asing.“Astaga, Rani, kenapa kamu bersikap berlebihan?” jawab Lidia tanpa merasa bersalah, wajahnya tak berkedip. “Aku hanya meminjamnya sebentar karena menginap di sini.”Rani membelalak. Sahabatnya itu tampak sedang menggampangkan dirinya. “Lalu kenapa kamu di sini?” Rani bertanya lagi. Sebab rasanya asing melihat sahabatnya tersebut sedang berduaan dengan suaminya di waktu yang amat larut seperti ini.Apalagi Rani melihat ekspresi keduanya tampak seperti terusik dengan kehadirannya. Padahal, ini kan rumahnya bersama Ivan, suaminya. Kenapa justru ia merasa asing di sini?Apakah karena selama ini Rani membiarkan Lid