Danumaya kembali menyusuri hutan terlarang, dia berjalan mengikuti jejak kaki yang begitu banyak. Sayup-sayup terdengar suara gemericik air. Hingga dia mendekati sumber suara itu berada.Di sebuah tebing, kini Danumaya berdiri, angin berhembus menerpa wajahnya yang tampan. Kedua tangannya terkepal kuat dan bibirnya bergetar. Bulir bening mulai jatuh dari sudut matanya yang tajam, menatap lurus kebawah. Danumaya bermonolog, "Mungkinkah Candramaya tercebur ke dalam sungai? Tapi dia di lindungi Putri Tanjung Kidul."Di bawah sana ada sebuah sungai yang besar. Arusnya terlihat tenang artinya sungai itu sangat dalam. Permukaan air terlihat bercahaya layaknya berlian yang bertabur di atas permadani saat terkena cahaya matahari.Danumaya bergegas pergi dengan membawa sobekan kain milik Candramaya. Pemuda itu menuju kudanya dan pergi mencari jalan lain menuju ujung sungai.Saat Danumaya menuruni jalan yang semakin masuk ke dalam hutan terlarang. Yang dia temui hanya padang sabana yang luas da
"Balas dendam! Aku ingin membunuh siapa pun yang terlibat atas kematian orang tuaku," ujar Candramaya, sorot matanya penuh amarah. Indrayana merasakan betapa menderitanya gadis ini, jadi dia mengucap janji, "Sebentar lagi kita akan menjadi suami istri, kamu bisa memanfaatkanku sesukamu. Aku akan mengikutimu bagaikan bayangan. Aku juga akan setia seperti anjing. Kamu juga tidak perlu membalas perasaanku. Dan aku juga tidak akan mengeluh." Hati Candramaya terasa hangat, dia merasa tersentuh. "Sedalam itukah perasaanmu?" Indrayana membalas genggaman Candramaya, kepalanya mengangguk dengan mantap dia berkata, "Tentu!" Candramaya tersenyum bahagia, tapi dia sedikit menggoda Indrayana, "Kamu sedang membual?" Indrayana menganga dan matanya membelaklak. Mulutnya sudah berbusa dan dia juga sudah mengikrarkan sebuah janji dan Candramaya masih mempertanyakan ke seriusannya. Apakah gadis ini ingin di cium. Candramaya tertawa terbahak-bahak melihat expresi wajah konyol pemuda itu. Setid
"Kamu harus mengatakan segalanya kepada gadis itu, bahwa kamu di jebak dan di salahkan. Sebelum dia tahu dari orang lain," ujar Baladewa. Dia selalu mengingatkannya. Ranu Baya terduduk lesu, dia tidak bisa berbuat apa-apa, selama belahan jiwanya berada di dalam cengkraman Adi Wijaya. Walaupun Asri Kemuning adalah putri kandungnya, tua bangka itu lebih mencintai tahtanya. "Apa yang bisa ku jelaskan? Aku sendiri tidak tahu siapa pelakunya. Di sisi lain aku menghawatirkan istriku," ujarnya. Brakkk! Tiba- tiba Darma menggebrak meja dia sangat bersemangat lalu berkata, "Kalau begitu, selamatkan Tuan Putri Asri Kemuning terlebih dahulu." Entah sejak kapan orang itu duduk di sebelah Baladewa. Ranu Baya mengelus dadanya dan wajahnya menegang, dia terkejut. Baladewa juga terkejut, hingga dia terlonjak dari duduknya. Dengan geram dia berkata, "Kebiasaan ya kamu!" ujarnya sambil menonyor kepala adiknya. Darma hanya cengengesan. Sedangkan Baladewa melotot horor. Ranu Baya tersenyum
"Suara apa itu?" Candramaya reflek menatap langit. Suara Dentuman itu seperti suara halilintar yang menyambar, namun langit malam ini begitu cerah. Ada banyak bintang dan bulan purnama begitu besar dan terang. Karena rasa penasarannya begitu kuat. Dia memutuskan untuk pergi ke sumber suara yang berasal dari arah sungai. Sungai dan rumah Indrayana lumayan dekat. Gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak yang sekelilingnya di tumbuhi bunga kenikir dan bunga liar lainnya. Dengan Cahaya rembulan yang temaram membuat malam itu begitu bersinar. Semilir angin dingin yang lembut menerpa tumbuhan liar yang membuat mereka menari-nari kegirangan. Semerbak wangi dari bunga-bunga itu membuat Candramaya terlena dan membuatnya berhenti sejenak. Dia menikmati keindahan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dia seperti bidadari berbalut pakaian pengantin di bawah sinar rembulan. Kulit halusnya bercahaya, tubuhnya terpahat sempurna. Keelokan paras gadis itu menyatu dengan tanah Para Dewa. Ta
Indrayana menangkap tubuh Candramaya yang terkulai lemas. Dia mengangkat sudut bibirnya dengan tatapan dingin dan menggendong gadis itu layaknya karung beras. Pemuda itu menggunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga dalam sekejab, dia sudah sampai di rumah. Pemuda itu menurunkan tubuh Candramaya di atas ranjang. Sebelumnya dia mengunci pintu. Membelai wajah Candramaya dengan lembut, "Kenapa kamu sangat Cantik?" Indrayana melepaskan hiasan di sanggul Candramaya dan membiarkan rambut hitam panjangnya tergerai indah. Dia dulu selalu kabur dari rumah hanya untuk pergi ke waringin untuk melihat gadis itu. Dia selalu bersembunyi dan diam-diam mengamati Candramaya dari kejauhan. Awalnya dia hanya mengikuti Ki Sentot dan Darma pergi ke Waringin untuk membeli bahan ramuan yang hanya di jual di Waringin. Tapi saat dia melihat cunduk manik pemberian ibunya yang selalu di kenakan Candramaya. Pemuda itu mengenali gadis kecil yang dulu pernah dia temui. "Cantiknya istriku ..tapi sayangnya sanga
Candramaya terus menggoyang-goyangkan tubuh Indrayana. Begitu banyak pemikiran buruk yang melintas di kepalanya. "Aku mengantuk," ujar Indrayana lirih. Nafasnya semakin terengah-engah dengan mata sedikit terbuka. Dan akhinya dia benar-benar terpejam dan tidak sadar Candramaya histeris, rasa takut kini menjalar di tubuhnya. Bibir dan tubuhnya gemetaran, apakah pemuda ini mati? "Ibu ..bagaimana ini? Hiks!" Ujar Candramaya dengan tangisannya. Sebuah bisikan terdengar lirih di telinganya, "Hisap racun dalam lukanya, cepat!" Racun? Jadi keris itu mengandung racun. Tanpa pikir panjang Candramaya merobek pakaian Indrayana dan menghisap lukanya. Dia memuntahkan cairan berwarna putih seperti bisa ular. Gadis itu berulang kali melakukannya sampai yang dia hisap darah segar. Wajah Indrayana berangsur memerah, Candramaya menangis di atas dada suaminya. Tanpa sadar dia memeluknya. Dalam hati dia berkata, "Jangan mati, aku mohon." Dia menyalahkan dirinya, kenapa dia begitu gegabah. Sekali la
"Jika dia tidak di sini, di mana dia?" Danumaya bergumam dengan kaki yang terasa lemas. Jantungnya bergemuruh, pemuda itu meraup wajahnya dengan kasar. Sedangkan Wirata tampak tenang, dia berkata, "Apa yang kamu khawatirkan? Setiap perempuan yang terlahir dari keluarga kita dan mewarisi Keris Putri Tanjung Kidul akan aman. Tenanglah .." Bibir Danumaya merapat, dia juga tahu hal itu. Tapi sudah berhari-hari gadis yang dia cintai hilang, bagaimana mungkin dia akan tenang. "Aki ..aku akan mencarinya." "Untuk apa? Dia akan datang sendiri kesini. Jadi jangan membuang-buang waktu. Aku kira dia akan datang denganmu. Rupanya pemuda itu orang lain," ujarnya. Wirata bangkit dan berjalan di bantu dengan tongkatnya menuju ke dalam rumah. Danumaya memiringkan kepalanya, wajahnya terlihat bingung jadi dia bertanya, "Pemuda? Siapa dia, Aki?" "Mana Aki tau! Mungkin suaminya." Pria tua itu seperti mengetahui sesuatu. Tentu bukan tanpa alasan Wirata mengatakannya. Dia punya ilmu kebatinan, jadi pe
Dengan apa yang sudah terjadi, Damayanti Citra tetap mempertahankan ketenangannya. Walaupun dia baru saja menghilangkan nyawa seseorang tapi tidak ada penyesalan sedikitpun di matanya. Karena sebelum dia gemar melenyapkan nyawa orang, dia telah melenyapkan hati nuraninya sendiri.Narendra berendam di kolam pemandian air hangat yang di penuhi taburan kelopak bunga mawar. Wajah tampannya memandang kelangit, dia bertelanjang dada dan hanya menggunakan sehelai kain yang melilit pinggangnya.Damayanti Citra menghampirinya, dia duduk di sisi kolam. Sorot matanya bersinar bagaikan bintang, dia memijat kepala suaminya dengan lembut. Narendra merasa tenang, matanya terpejam menikmati sentuhan istrinya. Wanita itu pandai memijat."Dari mana kamu, Citra?" Tanya Narendra."Membereskan segalanya seperti biasanya, suamiku," jawab Damayanti Citra.Narendra membuka mata dan membalik tubuhnya. Dia memegang kedua tangan istrinya dan menciumnya. Wanita itu tersipu malu dan hatinya berbunga-bunga."Sepe