Matahari telah naik tepat di atas kepala, tepat setelah melaksanakan sholat dzuhur di masjid kampus. Seorang pemuda dewasa dengan menggendong ransel besarnya, berjalan menyusuri gang-gang kecil untuk mencari plang bertuliskan "ada kontrakan kosong" peluhnya sudah bercucuran, sesekali ia tersenyum ramah kepada orang yang kebetulan berpapasan dengannya.
Lelaki itu memang terkenal ramah, terlalu ramah malah. Setiap gang yang disusuri banyak kos-kosan mahasiswa, ada yang masih kosong, namun sang pria tidak mau tinggal di kos-kosan, kurang privasi katanya.
Dia lebih nyaman tinggal di rumah kontrakan tiga petak, agar lebih leluasa melakukan aktifitasnya.
"Permisi, Bu," sapanya ramah kepada ibu yang sedang duduk di teras menggendong bayinya.
"Ya ada apa, Mas?" sahut sang ibu.
"Ehhmm ... maaf numpang tanya, kalau kontrakan tiga petakan sekitar sini ada gak ya, Bu?" tanyanya sambil menyunggingkan senyum.
"Ga ada, Mas. Adanya juga kos-kosan," sahut si Ibu.
"Coba ke gang depan, belok kiri nanti ketemu pertigaan ambil kanan, lurus aja belok kiri," jelas si ibu dengan detail.
"Oh ... gitu, daerah situ ada ya, Bu?" tanyanya antusias.
"Ya gak tau juga, sampe situ tanya lagi bae," ucap si ibu cuek sambil menimang bayinya.
Sang lelaki menyeringai sambil menggaruk rambutnya yang mulai terasa panas dari balik kopiah kupluknya.
"Oh, baik, Bu, terimakasih informasinya." lelaki itu pun berlalu, mencoba peruntungan mengikuti arah yang ibu jelaskan tadi.
"Huuhh ... lumayan jauh juga," gumamnya begitu sampai di tempat yang diberitahu oleh ibu tadi.
Tidak ada rumah kontrakan di sana, hanya padang rumput dan kebun cabe rawit. Entah siapa pemiliknya. Di sana juga ada sebuah musola kecil yang tengah sepi.
"Maksud ibu tadi, aku disuruh nanya sama musola ? apa disuruh tanya sama cabe?" gumamnya sambil kembali tertawa kecil.
Lelah berjalan dengan keringat bercucuran, membuat ia memutuskan untuk duduk sebentar di pelataran musholla. Lelaki yang bernama Devit tadi mengibas-ngibaskan kopiah kupluknya untuk mengusir gerah dan peluhnya.
"Pak, ngapain di situ?" tanya seorang wanita ABG berwajah oriental, dengan tampang galaknya. Devit melongo, kaget ditanya tiba-tiba oleh seorang gadis yang saat jutek aja cantik.
"Eh, ini ...," jawabnya gugup kemudian menundukkan wajahnya, demi mengalihkan rasa terpesonanya.
"Mau maling kotak amal ya?" tuduh si ABG dengan berkacak pinggang.
"Eehh, bukan Dek, saya cuma numpang istirahat," jawabnya kaget.
"Istirahat ya di rumah, Pak. Masa di musholla. Kecuali Bapak mau disholatkan, baru di sini bisa. He he ... udah sana pergi! jaman sekarang pake baju salat dan jenggotan, tau-tau bawa bom," ucapnya lagi sambil mencebik. Devit berusaha menahan senyumnya mendengar ocehan tidak jelas dari wanita di depannya ini.
"Ehh, tas Bapak ada bomnya?" tanyanya polos dengan wajahnya pucat seketika.
Devit menahan tawa. "Ga ada Dek, nih liat aja!" Devit menyerahkan ranselnya.
Gadis itu mundur beberapa langkah sembari memperhatikan Devit dengan seksama. "Boleh juga nih orang tua," bisiknya di dalam hati yang paling dalam.
Devit jadi salah tingkah ditatap intens oleh ABG bening di depannya.
"Ada apa, Dek? kok liatinnya gitu?" tanya Devit.
"Ah, siapa yang liatin? Bapak baper aja." Wanita itu mengambil ponsel dari saku bajunya lalu dengan cepat memotret Devit.
"Kalau kotak amal tidak berada di tempatnya, saya punya bukti," ucapnya sambil memasukkan kembali ponsel ke dalam kantongnya.
"Ha ha ha ...." Devit terbahak. Masa iya tampang keren gini dikira maling kotak amal.
"De!" Panggil Devit namun gadis itu terus saja berjalan tanpa mengindakan panggilan Devit.
"Ada-ada saja," gumamnya, kemudian segera berdiri dan melanjutkan perjalanannya.
"Jika sampai sore tidak ketemu, sebaiknya aku menumpang nginap di rumah Pak Sugi sajalah."
Dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Perutnya mulai terasa lapar, ia memutuskan sebaiknya mencari warung makan dulu, lalu melanjutkan lagi pencariannya.
Beep..beep...
Pesan masuk ke dalam ponselnya, senyumnya terbit saat membaca dari siapa pesan tersebut.
"Assalamualaikum, Kak, bagaimana, kontrakannya sudah dapat?
"Wa'alaykumussalam, belum nih De, masih mencari, doakan ya."
"Oh..gitu semoga Allah mudahkan ya, Kak."
"Aamiin."
"Hati-hati di jalan, Kak. Kalau sudah ketemu, segera kabari Sarah ya."
"Baik calon istriku." Ditambahkan emot senyum.
Devit kembali melanjutkan pencarian warung makannya dengan langkah lebih ringan, menambah semangat saat mendapat pesan dari Sarah, mahasiswi sekaligus calon istri yang baru dua pekan dia lamar.
Tak lama berjalan, terlihat warung makan cukup ramai, Devit menghampiri dan memesan lauk. Ikan goreng, tumis buncis dengan udang serta tahu goreng serta segelas teh tawar hangat.
Kini perutnya sudah kenyang, Devit melanjutkan perjalanannya kembali. Kali ini Devit memasuki gang yang tidak terlalu kecil, pas seukuran satu mobil sedan, langkahnya terhenti saat melihat warung kelontongan, niat hati mau beli air mineral.
"Beli, permisi!" serunya dari luar etalase.
Warung itu terletak persis di pinggir kiri sebuah rumah berukuran sedang dengan halaman cukup luas. Warung ini menyediakan aneka kebutuhan pokok ibu-ibu rumah tangga serta aneka jajanan anak-anak.
"Permisi," serunya lagi dengan suara cukup keras.
"Iyaa ... tunggu, baru kelar nyebokin," sahut suara wanita sambil berjalan cepat ke arah warung.
"Eh, Bapak!" pekik gadis itu karena kaget.
"Eh, Dek, kayak pernah ketemu?" ucap Devit sambil tersenyum.
"Iya yang tadi di musola, " jawabnya sambil pura-pura sibuk, merapikan barang-barang jualan.
"Mau beli apa, Pak?" tanyanya datar, cenderung cemberut.
"Mau beli air mineral yang botol," sahutnya .
"Dingin atau panas? eh maksudnya dingin atau yang biasa?"
"Yang biasa aja, De." Gadis itu lalu mengambilkan satu botol air mineral dan memberikannya pada Devit.
"Berapa, Dek?" tanyanya.
"Empat ribu."
Devit menyerahkan uang pas empat ribu rupiah kepada penjaga warung yang bening itu.
"Saya numpang duduk ya, De?"
"Eehhmm."
"Bahaya nih kalau dia ga cepat-cepat pergi, bisa hilang tabung gas nanti," gumam gadis itu sambil melirik sengit ke arah Devit.
"Iya boleh, tapi jangan lama-lama," sahutnya ketus sambil melayani beberapa pembeli yang menghampiri warungnya.
"Cie ... Juwi," seru seorang wanita paruh baya saat mendatangi warung kelontong Juwi. Sang wanita terlihat memperhatikan Devit yang sedang duduk dengan tatapan takjub.
"Calonnya kok ga diajak masuk Neng Juwi, kasian tuh kepanasan!" goda si Ibu sambil tertawa kecil.
Juwi melongo tak mengerti, ia mengendikkan bahunya. Si ibu menarik sudut matanya ke arah Devit yang sedang duduk dan mengibaskan topinya tepat di depan wajahnya.
"Bukan tipe saya kali, Mak," sahut Juwi sambil melirik Devit yang kini tengah tersenyum manis pada si Ibu.
"Dari mana hendak ke mana gerangan wahai pria tampan?" tanya si Ibu berpuitis.
"Eh, saya Bu?" tanya Devit meyakinkan.
"Iya dong, emang siapa lagi yang tampan di sini? masa saya? Ha ha ha ...." si Ibu terbahak, terlihat sisa kangkung masih menempel di gigi depannya, membuat Devit tersenyum kecut.
"Eh, anu ... saya ...," jawab Devit dengan terbata sambil menjauhkan jarak duduknya dari wanita paruh baya yang kini kian mendekatinya. Juwi memperhatikan sambil cekikian. Lelaki polos-polos amat. gumamnya dalam hati.
"Saya lagi cari kontrakan, Bu," ucapnya cepat agar si Ibu segera berhenti mendekatinya.
"Itu ada, Pak!" Juwi yang mendengar, ikut menimpali, bahkan ekor matanya menunjuk rumah kosong di samping kiri warungnya.
"Beneran, Dek?"
"Bener, itu di samping."
"Syukurlah," ujar Devit puluh kelegaan.
"Siapa pemiliknya? boleh saya bertemu?"
"Itu pemiliknya, Mas," Si Ibu melirik Juwi.
"Waah, kebetulan sekali."
Setelah berbasa-basi cukup lama, akhirnya Juwi mengantar Devit melihat-lihat kondisi kontrakan, bersih, sepertinya baru saja di cat ulang.
"Pintu kamar mandi tidak ada, Dek?" tanya Devit heran sambil menatap kamar mandi yang tertutup kerai transparan.
"Copot, Pak."
"Gak di pasang lagi?"
"Ga ah, mahal, pake kerai aja lebih praktis!"
"Oh, gitu ya, tapi...!" belum selesai Devit menyahut Juwi sudah memotong pembicaraannya.
"Siapa yang mau ngintipin bapak mandi sih emangnya?" goda Juwi sambil mencibir.
"Ya ampun, bukan gitu, De."
"Sejuta per bulan, kalau Bapak bersedia, boleh diisi sekarang juga."
"Baiklah ...." Devit mengeluarkan uang dari dalam dompetnya, lalu memberikannya pada Juwi.
"Makasih Dek Juwi, Juwi'kan namanya?"
Juwi menerima uang dari Devit sambil mengangguk.
"Bapak siapa namanya?"
"Sulaiman Devit, panggil aja Devit."
"Oke, saya tinggal dulu ya, Pak. ini kuncinya." Juwi menyerahkan kunci kontrakan kepada Devit.
Juwi melangkah keluar rumah kontrakannya. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu, lalu dengan cepat berbalik menghadap Devit yang tengah menurunkan ranselnya.
"Awas, gak boleh ngerakit bom lho ya!"
****
Hari ini Devit membawa sebagian barang-barang ke kontrakan. Sebuah televisi layar datar, kompor gas, dua buah kursi, dan satu buah meja. Ada juga ranjang berukuran seratus enam puluh yang langsung di taruh dia ruangan tengah kontrakan. Aneka perabotan dapur, alat mandi serta lemari kecil untuk menyimpan pakaiannya."Terimakasih, Pak," ucap Devit ramah kepada supir mobil box yang sudah membantu Devit pindahan hari ini, sembari memberikan amplop kepada sopir tersebut.Juwi memperhatikan. "Barangnya lengkap banget, jangan-jangan udah ada istrinya Wi," bisik ibu Juwi yang bernama Nurmala."Kayaknya sih masih bujangan, Bu," sahut Juwi sambil menatap ke arah Devit."Udah selesai angkut barangnya, Pak?" tanya Juwi berbasa-basi sambil tersenyum."Oh, iya, De. Alhamdulillah sudah," sahutnya ikut tersenyum ramah."Oh sukurlah, Istrinya mana, Pak?""Oh ... eh ... belum ada, insya Allah sebentar lagi," sahut Devit. Seketika mengingat
Mentari pagi sudah menyingsing, banyak orang berlalu lalang memulai aktifitasnya di jum'at pagi ini. Devit memperhatikan lingkungan sekitar tempat ia mengontrak saat ini yang merupakan jalan utama. Jalan yang masih bisa dilalui mobil berukuran kecil sampai dengan sedang.Devit menyesap kopinya, duduk dekat jendela. Pilihannya di situ karena dia nyaman dan bisa melihat langsung ke tetangga sebelah. Astaghfirulloh...apa kini yang ada dalam fikirannya. Tak mungkin ia...aah..sudahlah, tak ingin hanyut dalam nafsu setan yang tak berkesudahan.Devit memutuskan kembali membuka laptopnya, mempelajari bahan ajar yang akan ia jelaskan pada mahasiswanya hari ini.Took..took..Pintu kontrakan Devit diketuk."Pak, assalamualaikum," seru Juwi, Devit hapal suaranya. Ia bergegas membuka pintu rumah dan ia lupa saat ini ia hanya mengenakan boxer pendek sepaha tanpa sarung. Biasanya Devit selalu menggunakan sarung dengan rapi."Wa'alaykumussalam," jawab
Malam ini malam jum'at. Seperti biasa Devit selalu mengaji Alqur'an menghabiskan satu juz setiap malamnya. Suara merdu Devit saat tilawah menggelitik telinga tetangga kanan dan kiri kontrakannya. Namanya juga kontrakan, yaa tentu bisik-bisik saja bisa terdengar, apalagi mengaji dengan suara merdu nan tegas.Hampir sebulan Devit tinggal di lingkungan itu, banyak sudah warga yang mengenal Devit, selain karena kesholihannya, sikap ramah dan peduli lingkungan, wajah Devit yang tampan menjadi magnet tersendiri, terutama bagi kaum ibu-ibu.Termasuk Juwi dan ibunya serta Salsa anaknya Juwi. Setiap malam Salsa mendatangi rumah Devit untuk belajar mengaji, hingga akhirnya rumah kontrakan Devit, selepas magrib pasti penuh dengan anak-anak yang antri belajar mengaji. Seperti malam ini, Salsa yang berumur tiga tahun mengetuk pintu rumah Devit.Tok..tok.."Accametum," ucap Salsa dengan lidah cadelnya."Wa'alaykumussalam Caca, sini masuk!" Devit yang
Juwi masih memangku kepala Salsa di kedua pahanya, Salsa tidur sangat pulas. Juwi sudah benar-benar tersadar saat suara teriakan wanita paruh baya membangunkannya dari tidurnya.Saat ini Juwi duduk bagai tersangka di depan mamanya Devit, Devit, dan juga adiknya Devit."Maaf sebelumnya, Bu. Saya tidak bermaksud ...," ucap Juwi menunduk menahan malu."Apa maksudnya kamu tidur di rumah anak saya?" tanya mama Devit terlihat tak suka pada Juwi yang penampilannya tak sopan."Dia anak kamu?" tanya mama Devit lagi ketus.Juwi mengangguk. Devit merasa kasihan dengan Juwi namun Devit membiarkan mamanya menginterogasi Juwi."Maafkan saya dan anak saya Bu, saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi, Bu," ucap Juwi sambil menahan air matanya. Dia yang tak sengaja ikut tertidur bersama Salsa di ruang depan kontrakan Devit. Merasa sangat ceroboh dan malu. Belum pernah ia merasa sangat rendah diri seperti ini."Kamu tahukan anak saya s
Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya."Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya."Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar."Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya."Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya."Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda.""Oh ... gitu, ya udah panggil
Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membacađAstaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala