Juwi masih memangku kepala Salsa di kedua pahanya, Salsa tidur sangat pulas. Juwi sudah benar-benar tersadar saat suara teriakan wanita paruh baya membangunkannya dari tidurnya.
Saat ini Juwi duduk bagai tersangka di depan mamanya Devit, Devit, dan juga adiknya Devit.
"Maaf sebelumnya, Bu. Saya tidak bermaksud ...," ucap Juwi menunduk menahan malu.
"Apa maksudnya kamu tidur di rumah anak saya?" tanya mama Devit terlihat tak suka pada Juwi yang penampilannya tak sopan.
"Dia anak kamu?" tanya mama Devit lagi ketus.
Juwi mengangguk. Devit merasa kasihan dengan Juwi namun Devit membiarkan mamanya menginterogasi Juwi.
"Maafkan saya dan anak saya Bu, saya janji hal seperti ini tidak akan terulang lagi, Bu," ucap Juwi sambil menahan air matanya. Dia yang tak sengaja ikut tertidur bersama Salsa di ruang depan kontrakan Devit. Merasa sangat ceroboh dan malu. Belum pernah ia merasa sangat rendah diri seperti ini.
"Kamu tahukan anak saya sebentar lagi akan menikah, apa kata calon besan saya kalau tahu hal konyol seperti ini? Apa kamu bermaksud menggoda anak saya?!" sentak Bu Lani dengan muka merah menahan kesal.
"Kamu juga Devit, kenapa bisa membiarkan wanita ini tidur di sini? Apa kata suami dan keluarganya nanti?" kali ini mama Devit berteriak pada Devit.
Juwi sudah tak tahan ia mencoba berdiri dari duduknya, menggeser kepala Salsa dan mengangkatnya dengan pelan.
"Maaf Bu saya permisi, maaf atas kelancangan saya dan anak saya." Juwi mengangguk hormat dan penuh penyesalan. Devit hanya memandang sekilas lalu membuang pandangannya ke arah lain.
Dengan sedikit kepayahan Juwi menggendong Salsa kembali ke rumahnya. Sayup-sayup Juwi masih mendengar omelan mama Devit. Juwi mengunci pintu rumahnya lalu masuk ke kamar. Ibunya sudah tidur terlebih dahulu.
Juwi menaruh Salsa di atas ranjang dengan pelan. Juwi menangis tertahan. Sangat merasa kesepian dan begitu dipandang remeh orang-orang.
Juwi gadis manis berwajah oriental yang berusia delapan belas tahun, dilamar seorang duda muda beranak satu. Perasaan yang tadinya tak ada jadi tumbuh subur mengingat sang duda begitu dewasa dan sayang, juga sangat perhatian kepada Juwi dan ibunya Juwi.
Akhirnya Juwi luluh dan menerima lamaran duda tersebut. Namun takdir tak dapat ditolak, saat pulang dari olah raga pagi yaitu lari pagi, olah raga yang memang sudah ditekuni lama oleh suaminya. Napas suaminya sesak dan langsung dibawa ke rumah sakit. Padahal hari itu baru sepekan pernikahan Juwi dan gadis itu masih berada dalam status gadis, karena saat menikah, Juwi baru saja datang bulan.
Satu jam di ruang ICU, suami Juwi dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Betapa terpukulnya Juwi, hidupnya jungkir balik begitu cepat. Selama sepekan suaminya hanya memeluk dan menciumnya juga mencumbunya, bermain bersama ke sebuah mal dengan Salsa anak dari suaminya yang saat itu berusia dua tahun.
Saat ini, Juwi menyandang status janda dengan satu anak. Juwi sangat menyayanginya Salsa, seperti Juwi menyayangi suaminya. Juwi memutuskan akan terus mengurus Salsa meskipun dengan statusnya ia tak takut dicemooh orang.
Juwi memandangi Salsa yang masih terlelap. Memegang tangan mungilnya kemudian menciumnya pelan.
"Caca harus temani Bunda ya, Nak," bisiknya sangat pelan. "Kita akan selalu sama-sama sampai Caca besar," lanjutnya lagi dengan air mata yang mengalir deras.
Devit mengintip dari jendela rumahnya tepat pukul enam shubuh, biasanya warung Juwi sudah buka, ia ingin membeli roti. Namun pagi ini warung masih tutup dan sepi. Jadilah Devit hanya menyantap biskuit dan segelas teh, duduk di kursi dekat jendela. Sesekali melirik lagi ke warung Juwi, namun warung masih saja tutup padahal sudah jam setengah tujuh.
Devit akan berangkat ke kampus, saat melihat ibu Juwi sedang menjemur pakaian.
"Pagi, Bu," sapa Devit ramah.
"Pagi Nak Devit," sahut ibu Juwi.
"Mmm ... warungnya tutup ya Bu hari ini?"
"Eh, iya, Juwi lagi kurang sehat. Mau ke puskesmas," jawab ibu Juwi.
"Ohh ... gitu ya, ya udah saya permisi Bu, Assalamualaikum." Devit pamit lalu berjalan menyusuri gang-gang kecil untuk sampai ke kampusnya.
Pikirannya melayang pada Juwi. Apakah Juwi sakit karena ucapan mamanya semalam?Ah...Devit merasa menyesal karena tak bicara apapun saat mamanya mengomeli Juwi. Sesampainya di kampus Devit berniat mengirimkan pesan kepada Juwi.
****
Sarah tengah duduk di kantin menyantap sarapan nasi uduk bersama Nuri dan Amel. Dengan memakai gamis bewarna pink dan jilbab lebar yang senada, membuat paras cantik Sarah sangat terpancar.
"Assalamualaikum para gadis," sapa Rara dengan ramah kepada Sarah dan teman-teman yang lain. Rara duduk di samping Sarah.
"Eh, Sar ... tadi aku ketemu calon kamu." ucap Rara sambil tersenyum.
"Tambah ganteng yaa dosen kita itu," pujinya lagi.
"Eehm ... calon suami orang keleeess," ucap Nuri menimpali Rara.
"Beruntung banget kamu Sar, dilamar pak dosen ganteng, sholeh, pintar, kaya pula," puji Amel lagi.
"Alhamdulillah," sahut Sarah dengan wajah bersemu merah.
"Ciiee ... dikit lagi mau belah duren," ledek Nuri sambil tertawa cekikikan. Muka Sarah sudah semerah tomat, entah apalagi ucapan-ucapan nyeleneh teman-temannya yang menggodanya.
"Inceran lo dikit lagi mau jadi penganten tuh," bisik seorang pria pada temannya yang tengah mengepalkan tangan menahan amarah, saat mendengar ocehan cewek-cewek yang duduk di meja sebrangnya.
"Ga bakal gue biarin!" jawabnya ketus dengan suara pelan.
"Yah ... jangan gitu bro, calon bininya dosen Devit tuh," bisik teman lelaki itu lagi, seakan tak terima dengan ucapan temannya barusan.
"Jangan panggil gue Jono kalau gak bisa bikin Sarah jadi milik gue!" lelaki bernama Jono itu pergi meninggalkan kantin dengan wajah ditekuk. Tato di tangan kanan dan kirinya menyembul dari lengan kaosnya. Mahasiswi yang melihatnya bergidik ngeri.
Siapa yang tak kenal Jono mahasiswa abadi yang tak pernah lulus kuliah, karena kebanyakan main dan bolos. Pergaulannya bebas, menabur benih dimana saja dan dengan wanita mana saja. Namun untuk cinta ia takkan pernah sembarangan menjatuhkan pilihannya.
Sebrengseknya dia, dia inginkan wanita baik-baik yang menjadi ibu dari anak-anaknya, dan Sarah adalah incerannya sejak setahun yang lalu.
Jono memandang Sarah yang sedang presentasi di depan kelas. Untuk mata kuliah ekonomi syari'ah sangat kebetulan Jono berada di kelas yang sama dengan Sarah.
"Ku pastikan kamu akan belah duren denganku sayang," bisiknya dalam hati.
****
Devit pulang ke kontrakannya tepat pukul tiga sore. Perasaannya entah kenapa tak enak karena dua pesan singkatnya tak dibalas ataupun dibaca oleh Juwi. Rumah Juwi juga sepi, tak terdengar ocehan Salsa ataupun suara riang Juwi. Hanya ada ibunya Juwi yang sedang melayani pembeli di warungnya.Devit masuk ke rumahnya, mandi lalu bersiap sholat ashar di masjid. Setelah kembali dari sholat di masjid, Devit merapikan teras depan yang sudah dipenuhi rumput dan tanaman liar. Sesekali Devit melirik ke arah pintu rumah Juwi. Namun seperti tak ada orang.
"Hhuuufftt ..." Devit menghembuskan napas kasar, ia harus minta maaf pada Juwi. Bagaimana pun perkataan ibunya pasti menyakiti Juwi. Devit mengambil dompet dan ponselnya, kemudian mengunci pintu kontrakannya dan berjalan ke arah jalan raya untuk membeli sesuatu.
Adzan magrib menggema, Devit melaksanakan sholat magrib di masjid. Rumahnya sudah rapi dengan gelaran tikar untuk anak-anak mengaji. Biasanya jam enam seperempat Salsa sudah datang pertama kali. Salsa selalu ingin diajarkan baca iqro' paling pertama. Namun jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, Salsa tak nampak datang. Devit semakin tak enak. Seakan ada yang hilang dari rutinitasnya seharian ini. Devit benar-benar gelisah.
Devit tetap mengajarkan anak-anak seperti biasa, sesekali melihat ke pintu, berharap gadis kecil cantik yang selalu memanggilnya papa datang. Sampai adzan isya berkumandang dan mereka sholat berjamaah, tak ada tanda-tanda kehadiran Juwi dan Salsa. Setelah semua anak pulang, Devit keluar rumah dan mengunci pintu rumahnya.
Mengetuk pintu rumah Juwi sambil mengucapkan salam.
"Eh, Nak Devit, ayo masuk." Bu Nur mempersilahkan.
Devit masuk lalu duduk dengan perasaan berdebar, matanya mencari sesuatu.
"Ada apa ya, Nak?" tanya Bu Nur keheranan.
"Saya mau bayar kontrakan, Bu," dalihnya, padahal ia ingin bertemu Juwi dan Salsa.
"Kan masih dua pekan lagi Nak, ga papa nanti saja."
"Takut uangnya kehabisan, Bu," sahut Devit, sambil menyerahkan amplop berisi uang kontrakan.
"Juwi sakit apa, Bu?" tanyanya pelan.
"Sakit meriang ...," jawab ibu singkat.
"Ohh ... gitu."
"Merindukan kasih sayang," lanjut Bu Nur lagi sambil tertawa. Devit jadi salah tingkah menggaruk-haruk kepalanya yang tak gatal.
"Salsa, Bu?" tanyanya lagi.
"Salsa ada di kamar sama Juwi, sedang nonton TV sepertinya."
"Saya boleh bicara dengan Juwi, Bu?"
"Sebentar Ibu panggilkan."
Bu Nur masuk ke kamar Juwi, tak lama Juwi keluar dengan memakai baju hangat dengan tempelan tiga buah koyo cabe di keningnya. Bau balsem juga menyeruak begitu Juwi keluar kamar. Bau nenek-nenek deh pokoknya. Biarin bau balsem juga yang penting bukan bau tanah.
"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan malas. Ibu ke dapur membuatkan minum untuk Devit.
"Kata ibu, kamu sakit? Gimana sekarang? sudah ke dokter?" tanya Devit tak sabar.
Juwi diam saja di kursinya, malas meladeni. Hatinya terlanjur sakit.
"Saya mau minta maaf soal kemaren," ucap Devit pelan.
"Oh, iya gak papa, sudah saya maafkan, " sahutnya datar kemudian berdiri hendak kembali ke kamarnya. Namun Salsa keluar dari kamar.
"Eh, Papa Devit." Senyum ceria Salsa terbit, mendekati Devit yang juga tersenyum manis pada Salsa. Juwi menghentikan langkah Salsa.
"Salsa ... panggilnya om saja ya, bukan papa, om Devit bukan papa Salsa," ucap Juwi lembut.
"Ga mau pokoknya papa aja!" rengek Salsa kini hampir menangis.
"Ayo kita masuk." Juwi menuntun tangan Salsa untuk masuk ke kamar.
Juwi menoleh ke arah Devit, sebelum kakinya masuk ke dalam kamar, menatapnya dengan mata tajam.
"Sebaiknya Bapak pulang, tidak perlu khawatir dengan saya dan Salsa."
"Saya memang janda, tapi saya tidak murahan."
***
Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya."Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya."Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar."Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya."Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya."Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda.""Oh ... gitu, ya udah panggil
Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membacašAstaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membacašDevit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat MembacaššHukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat MembacašHari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membacašSarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala