Selamat membacaš
Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain.
"Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.
****
"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran.
"Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu."
"Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang.
"Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik. Baik banget malah, cewek-cewek kayak saya gini, gak boleh baper sama orang kayak gitu, Bu. Nanti kecewa," terang Juwi sambil menggenggam tangan ibunya.
"Lagian Pak Devit itu bulan depan mau nikah lho, Bu. Ibu ga boleh suudzon."
"Oh ... jadi Ibu salah liat kali ya," sahut Bu Nur ragu.
Juwi mengangguk pasti. "Lagian Pak Devit bukan tipe Juwi, Bu."
"Tipe kamu seperti apa emang?" Bu Nur menimpali.
"Tipe Juwi seperti Nick Jonas." Kening Bu Nur mengerut
"Siapa Nick Jonas? dagang apaan dia?"
"Hahahahaha ...," tawa Juwi pecah.
"Nick Jonas itu artis, Bu. Bukan tukang dagang," jelas Juwi masih disertai tawa.
Ya Allah ga kebayang tukang dagang seganteng Nick Jonas, pasti yang beli banyak terutama ibu-ibu, apalagi janda, udah pasti antre paling depan.
"Ish ... ibu tanya serius Juwi!" Bu Nur bersungut kesal sudah diledek anaknya.
"Emang Ibu mau nyariin? tapi jangan tukang dagang ya Bu, apalagi kang jarpit," timpal Juwi sambil tertawa.
"Yah, gak mungkinlah, Ibu pasti pengen yang terbaik untuk anak perawan Ibu."
"Janda kali, Bu," ralat Juwi.
"Janda tapi perawan," sambung Bu Nur lagi.
"Kayak judul FTV yee." Kali ini Bu Nur yang tertawa.
"Aah ... Ibu." Juwi menunduk malu.
"Ayo cepat bilang Ibu. Kamu senang tipe lelaki seperti apa?"
Juwi menatap Salsa yang terlelap sambil memeluk guling pensil yang kekinian, bermotif Lol.
"Seperti ayahnya Salsa. Dewasa, mandiri, penyayang, sabar, mapan, sholeh, dan tampan." Air mata Juwi menetes. Ia merindukan almarhum suaminya. Juwi mendadak sendu, ibu memeluk tubuh Juwi erat.
"Juwi rindu Mas Faisal, Bu," lirihnya dalam tangis.
"Juwi belum sempat bilang kalau Juwi sangat mencintainya, dia sudah pergi duluan." Rasa sakit itu kembali datang.
Setahun lebih sebulan ia mencoba ikhlas melepas kepergian suaminya. Namun tidak mudah.
Sikap sembrono dan cuek Juwi adalah bentuk pelarian dirinya dari rasa rindu dan kehilangan yang begitu menyesakkan dada.atas kepergian suaminya."Sabar ya, Nduk. Kamu jangan begini terus, kasian Faisal di sana. Lihat istrinya tidak bahagia. Bagaimanapun Allah sudah gariskan ini semua. Sabar yaa, ada Ibu dan Salsa yang selalu sayang sama kamu." ibu menenangkan Juwi dengan kalimat menguatkan.
Bu Nur bukannya tidak tahu, justru ia sangat tahu betapa terpukulnya Juwi, hingga sampai empat puluh hari kepergian suaminya Juwi hanya dapat tidur dua jam saat malam.
Bangun dengan mata bengkak, dan tubuh kurus bagai orang penyakitan."Tidurlah, biar besok tidak kesiangan jualan nasi uduknya." Senyum manis Bu Nur berikan untuk putrinya.
****
Suara ayam berkokok dan azan Subuh menggema. Setiap insan yang tunduk pada Tuhannya bergegas melaksanakan kewajiban dua rokaat. Udara dingin menyeruak shubuh ini, karena rintik hujan yang malu-malu jatuh membasahi bumi secara perlahan."Assalamualaikum, Juwi," panggil Devit. Kepalanya mengintip ke dalam warung Juwi yang telah buka. Juwi bangun dari jongkoknya, sedari tadi Juwi merapikan dagangannya di kolong rak.
"Wa'alaykumussalam. Iya Pak, ada apa?" tanya Juwi heran, tumbem aga resmi Devit menyapanya pagi ini.
"Saya mau masak mie. Eh ... gasnya habis. Jadi saya mau beli gas," terang Devit jujur.
"Mmmm ... bisa bantu saya sekalian masang gas Dek Juwi?"
"Ya ampun, emang belum pandai juga?" Juwi mencibir.
Devit menggelengkan kepalanya, sedangkan Juwi menghembuskan napas kasar.
"Ayolah!" Juwi keluar dari warungnya lalu berjalan ke arah rumah Devit. Lelaki itu mengekori di belakang Juwi sambil membawa gas yang baru. Bu Nur yang kebetulan berdiri di depan pintu rumah melihat keduanya.
"Eekheemm ..." Bu Nur berdehem menggoda. Juwi memutar bola mata malas pada ibunya, sedangkan Devit menjadi salah tingkah.
Setelah mengucapkan salam, Juwi melangkah masuk dengan cuek ke dalam rumah Devit. Harum sabun dan shampo tercium memabukkan saat Juwi melewati kamar mandi Devit.
"Bapak shampoannya sebotol ya?" tanya Juwi menoleh ke arah Devit. Devit nyengir.
"Harum ya?" tanya Devit penuh percaya diri.
"Enneg!" ucap Juwi ketus sambil menahan perutnya. Devit hanya terkekeh.
"Bapak suka warna kuning?" kali ini Juwi setengah terkekeh.
"Iya, kok kamu tahu?"
"Itu sempak Bapak !" Mata Juwi mengarah ke lantai depan kamar mandi. Ya ampun betapa malunya Devit, dalemannya bewarna kuning menyala, teronggok di lantai depan kamar mandi. Cepat Devit mengambilnya dan menaruhnya dalam keranjang cucian. Peluhnya bercucuran, malu iya, kesel sama diri sendiri iya.
"Nih, selesai." Juwi mencoba menyalakan kompor, dan nyala.
Devit melongo. "Kapan kamu masangnya?" tanya Devit heran, begitu cekatan tangan Juwi sehingga Devit tak menyadari saat Juwi mengganti gas.
"Makanya jangan kebanyakan bengong, Pak," tegur Juwi sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Juwi mata kamu kenapa?" Devit baru sadar mata Juwi sembab.
"Ah ... gak papa, kenapa emangnya?" bantah Juwi, berjalan melewati Devit yang masih menatapnya dengan curiga.
"Juwi tunggu!" kali ini Devit memegang lengan Juwi. Juwi berhenti melangkah.
Mata Juwi menatap tak senang saat tangan Devit memegang lengannya.
"Bukan mahrom!" Juwi melepas paksa tangannya.
"Eh, ya ampun, maaf Juwi." Devit tersadar dan kembali merasa bersalah dengan Juwi.
"Bapak sebenarnya kenapa sih?" tantang Juwi, matanya tajam menghunus dalam netra Devit, hingga nyali Devit ciut.
"Saya ... minta maaf soal semalam Juwi," ucapnya tulus, memundurkan sedikit tubuhnya, karena suhu keduanya cukup terasa dekat.
"Iya ga papa kok. Saya biasa aja tuh." Juwi melenggang keluar kontrakan Devit. Devit mengekori lagi.
"Ada apa sih, Pak? ngekor mulu." Juwi mulai sewot dengan sikap Devit yang ga jelas.
"S-saya mau beli nasi uduk Wi." jawabnya terbata.
"Lho, tadi katanya mau masak mie, saya buru-buru pasangin gas, sekarang mau beli nasi uduk aja, gimana sih?" cerocos Juwi dengan wajah kesalnya.
"Duh ... duh ... kasian banget, masih gelap udah diomelin istri," celetuk Pak Nana, tetangga sebelah Juwi. Devit tertawa malu. Sedangkan Juwi menatap sinis ke arah Pak Nana dan juga Devit.
Juwi memasukkan nasi uduk dan beberapa gorengan sesuai permintaan Devit ke dalam kantong kresek. Lalu menyerahkannya pada Devit.
"Nih uangnya Wi," suara Devit sangat lembut.
"Makasih ya," ucapnya lagi.
"Mmmm ...," sahut Juwi dengan malas.
"Kok mmmm?" Devit heran.
"Apaan sih, Pak? Ga jelas!"
"Kok gitu?"
"Ya ampun Sayaaang .... pergi ga?? Masih gelap udah bikin emosi aja!" gertak Juwi hendak melempar sendok sambal kacang ke arah Devit.
"Ciiee ... Sayaaang," suara Pak Nana menggoda. Devit yang berdebar dengan panggilan sayang dari Juwi langsung bersemu merah.
Bergegas Devit berjalan pulang ke rumahnya dengan wajah menunduk. Sayup-sayup masih terdengar suara Pak Nana menggoda Juwi, dan ditanggapi Juwi dengan sewot.
Sejak hari itu, gosip tersebar sangat luas. Warga sekitar menebak Juwi adalah calon istri Devit sebenarnya. Mereka menambahkan bumbu-bumbu pedas, hingga cerita yang tersebar sangat memekakkan telinga Juwi dan Devit. Namun Devit hanya senyam-senyum saja saat para tetangga meledeknya.
"Dasar Pak Nana lem*s!" umpat Juwi kesal, sambil menggigit ganas kerupuk kulit. Duda beranak dua itu sengaja menabuh perang pada Juwi, karena lamarannya pernah ditolak oleh Juwi.
Berita itu menyebar sampai ke kampus Devit, karena memang ada beberapa mahasiswanya yang kos tidak terlalu jauh dari rumah kontrakannya. Sarah calon istri Devit pun mendengar hot news Yang tersebar cepat.
"Kak Devit kita perlu bicara." Sarah menghampiri Devit, begitu Devit keluar dari kelas. Devit mengangguk, mengikuti Sarah. Devit tak memeliki firasat apapun, hanya saja Devit perhatikan wajah Sarah sedikit tegang. Setelah memilih bangku taman di kampus yang cukup ramai, Sarah dan Devit duduk, dengan jarak.
"Apa berita itu benar, Kak?"
"Berita apa, Sar?"
"Kedekatan kak Devit dengan seorang janda."
***
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membacašDevit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat MembacaššHukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat MembacašHari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membacašSarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke
"Siapa lagi yang mau jadi istrinya? GR aja!" Juwi berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Kesal iya, malu iya. Dengan kasar Juwi mengusap bibirnya, bibir yang sudah setahun lebih berpuasa."Ish, sekalinya buka puasa, kenapa harus sama suami orang sih? Duh bibir, nasibmu!" Juwi masih saja menggerutu, menepuk-nepuk bibirnya sendiri.Devit terkekeh geli, menyaksikan ekspresi Juwi yang menggerutu dari balik jendela. Juwi kembali ke warung dan melayani pembeli seperti biasanya hingga waktu menjelang magrib. Juwi bergegas menutup warung."Saya bantu ya?" ucap Devit sambil tersenyum manis, pakaiannya sudah rapi mau ke masjid untuk sholat magrib. Sarung batik tenun dan koko berwarna biru muda, tak lupa kupluk kopiah, menambah teduh wajahnya."Saya bisa kok, Pak." Juwi menolak halus."Yang tadi siang jangan diinget terus ya.""Yang mana ya?" Juwi pura-pura lupa."Mmm ... yang cium bibir kamu!"Pukk..puk..puk..
Shubuh ini hujan turun dengan derasnya. Devit melaksanakan sholat shubuhnya di rumah saja. Senyumnya terus mengembang, manakala teringat peristiwa dadakan yang terjadi dalam hidupnya tadi malam. Juwi, janda yang selalu mencuri perhatiannya kini telah menjadi istri sahnya, walaupun masih pernikahan siri. Tapi Devit berjanji dalam hatinya akan segera meresmikan pernikahan mereka. Lalu bagaimana dengan Sarah? Bukankah dengan Sarah juga pernikahannya harus berakhir. Memikirkan Sarah membuat Devit menjadi iba, ujian yang dihadapi Sarah sangat berat. Semoga Sarah bisa melewatinya.Beep..beep..["Ya hallo, Assalamualaikum, Mah."]["Wa'alaykumussalam. Kamu, mama tunggu pagi ini di rumah istrimu."]["Maksud mama, Sarah?"]["Iya, emang istri kamu ada berapa?"]["Eh iya, Ma. Nanti jam sepuluh Devit ke rumah Sarah."]["Kelamaan jam sepuluh. Jam delapan sudah harus di sini."]["Tapi Devit ada kelas, Ma. Jam delapan."]["Terserah, pok
"Saya datang bulan," ucap Juwi cepat sambil salah tingkah dengan sikap Devit yang kini berubah jadi agresif. Mendengar pernyataan Juwi membuat Devit tertawa. Ternyata Juwi takut juga pada dirinya, namun sedikit ada yang aneh, kenapa Devit seperti menikahi anak perawan saja? Rasa canggung dan kikukknya seperti gadis yang benar-benar belum pernah disentuh lelaki."Ya sudah ganti baju dulu sana, masa tidur pake kebaya." Devit menunjuk lipatan baju tidur berbahan satin, berwarna ungu."Mentang-mentang saya janda, dikasihnya ungu gitu," celetuk Juwi tanpa melihat Devit, langsung masuk ke dalam kamar mandi yang hanya ditutupi krei. Sebenarnya baju tidur dua stel di dalam lemari Devit adalah termasuk barang yang akan dia berikan pada Sarah. Namun belum terlaksana pesta yang dimaksud, malah ia kini menikahi Juwi"Jangan ngintip, lho Pak!" Teriak Juwi dari dalam kamar mandi."Iya, paling saya ikutan ganti juga," ledek Devit dari ruang tengah. Devit merapikan tempa
Selamat membacaJuwi tidak bisa mengelak lagi, Devit sudah mengungkungnya di atas kasur. Keduanya saling menatap, Juwi sangat canggung.Cepat Juwi menutup mata, saat Devit semakin mendekat."Sini, buka dulu mukenanya," bisik Devit ssambil membantu Juwi membuka mukena bagian atas. Rambut Juwi yang basah terurai indah, Devit menatap Juwi penuh minat. Juwi bernafas sampai tersendat-sendat, karena wajahnya dan suaminya begitu dekat. Seperti dihipnotis, Juwi menurut saja saat Devit membantu membuka bawahan mukena."Istriku cantik, mirip artis korea, kulitnya putih," puji Devit sambil jari telunjuknya menyentuh pipi Juwi yang kemerahan menahan malu."Pak, berat!" rengek Juwi sedikit menggeser tubuhnya, namun di tahan Devit."Abang, De. Bukan Bapak," sela Devit dengan senyuman."Iya ... Bang, somaynya goceng ga pake pare!" ledek Juwi sambil terkikik, merasa aneh dengan sebutan abang diminta Devit."Ngeledek ya."Cuupp
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala