Maaf Devit dan Juwi telat Update!!
Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.
Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham.
"Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan.
"Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jadi ..."
Devit menatap serius pada Sarah yang berhenti sejenak dalam ucapannya.
Terlihat Sarah sedang mengambil nafas panjang, keputusannya memang berat, namun semua untuk kebaikan kedua belah pihak, terutama keluarga yang telah bersusah payah, membantu menyiapkan segala urusan yang berkaitan dengan pernikahan dirinya dan Sang dosen sebentar lagi."Saya tidak keberatan jika minggu ini kita menikah siri terlebih dahulu," ucapnya lantang, kini benar-benar menghunus ke dalam netra Devit. Devit melongo, tak percaya.
Bagaimana Sarah bisa mengambil keputusan senekat ini, Sarah adalah gadis perawan yang sholeha, bagaimana mungkin sampai rela dinikahkan siri, oleh dirinya, yang notabene mengerti hukumnya.
"Kamu tidak percaya saya?" tanya Devit dengan setenang mungkin, padahal hatinya sedang berdebar.
"Saya tidak percaya setan yang kapan saja bisa menghasut manusia untuk berbuat keburukan."
Kini Devit tak bisa mengelak lagi, dialah yang memulai, maka dia pula yang harus mengakhirinya. Devit harus memantapkan hati dan dirinya, jika keputusan ini harus dia ambil.
"Baiklah, minggu ini kita akan menikah siri, saya akan menyiapkan semuanya. Kita menikah di rumah Sarah." Devit begitu yakin dengan ucapannya, sekilas diliriknya Sarah yang kini menyunggingkan senyum manis. Menatap hamparan rumput hijau yang seakan ikut bergembira bersamanya.
Benar saja, sepulang dari kampus sore hari, Devit ditelpon oleh mama dan papanya, perihal gosip yang beredar luas. Devit berusaha menjelaskan dengan rinci dan dengan bahasa halus, agar mamanya tidak emosi. Perihal ide Sarah yang menginginkan nikah siri juga Devit sampaikan. Kedua orangtua Devit menyambut baik hal tersebut. Tak masalah menurut mereka, malah semakin cepat semakin baik.
"Baik kalau begitu, besok Mama dan Papa akan ke rumahmu. Sekarang sudah jum'at. Berarti dua hari lagi acaranya, kamu sudah mengontak ustadz yang biasa menikahkan siri?"
Devit baru sadar ternyata sekarang hari jumat, berarti dua hari lagi dia akan resmi menjadi seorang suami dari Sarah. Pandangannya tertuju pada warung depan, tempat dimana Juwi sedang melayani pembeli.
Yah, Devit memang duduk di dekat jendela saat menerima telpon dari mamanya. Devit mengulum senyum melihat Juwi yang tertawa lepas. Devit menyukai tawa itu.
Astaghfirulloh ... masih saja hati ini terusik dengan Juwi. Insya Allah keputusannya dan Sarah yang akan menikah minggu ini sudah tepat. Devit tak ingin mengotori hatinya dengan wanita lain.Untuk menghindari goyahnya hati, Devit seharian tak menampakkan diri keluar dari kontrakannya. Sesekali Juwi pun melirik ke arah dalam kontrakan Devit.
Juwi mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu."Bapak sakitkah?"
Isi pesan Juwi. Namun tak dibaca Devit. Hanya ceklis dua, tanda pesan terkirim. Hingga keesokan paginya, biasa Devit selalu merecokinya dengan segala macam tanya dan cerita, namun shubuh ini Devit tak menampakkan batang hidungya juga. Hanya pada saat tadi pulang sholat shubuh, Juwi menangkap bayangan Devit yang membuka pintu rumah kontrakannya. Devit juga tidak membeli sarapan di warung Juwi, Seperti biasanya. Sesuatu yang dirasa Juwi menghilang. Ah, entahlah.
"Hhhmm...kenapa juga aku harus khawatir?" Juwi berbisik dalam hatinya.
Salsa sudah mandi dan cantik, pagi itu. Menemani Juwi berjaga di warung. Sabtu pagi cuaca cerah, matahari terbit sangat terang. Para ibu menggelar cuciannya di depan rumah, agar cepat kering. Karena sudah sepekan gerimis selalu hadir dipagi hingga sore hari.
"Maaf Juwi, baru balas. Saya sehat kok. Hanya lagi sedikit sibuk, menyiapkan pernikahan saya yang akan dilaksanakan besok. Doakan saya ya Juwi."
Juwi termenung membaca balasan WA dari Devit siang hari. Kenapa tiba-tiba dadanya bergemuruh, seluruh sendinya pun lemas. Ada apa dengan dirinya? Ini semua bukan karena kabar Devit akan segera menikahkan?
Dengan tangan gemetar. Juwi mengetik pesan untuk Devit.
"Oh baik Pak, semoga acaranya berjalan dengan lancar, bapak dan istri menjadi keluarga sakinah, mawaddah, wa rohmah. Doakan saya juga menyusul ya pak."
Begitulah isi balasan pesan dari Juwi. Devit merebahkan tubuhnya di kasur. Besok hari pernikahannya, tapi kenapa ia tak bersemangat. Dipejamkannya sebentar mata dan pikirannya.
Ia berharap ini semua mimpi. Apakah Juwi akan dia jadikan istri kedua saja? Ya Allah pikiran picik apa itu? tentu saja akan melukai Sarah dan keluarga besarnya. Hatinya sedikit condong kepada Juwi. Namun ia juga harus bersikap jantan, tak mungkin mundur lagi. Devit berharap, setelah menikahi Sarah, Devit bisa benar-benar menghilangkan Juwi dari bayang-bayang dirinya.
["Mama sudah di rumah Sarah ya, kamu perlu bantuan apa gitu, biar mama ke kontrakan kamu?"]
Mama Devit menelepon sore itu. Devit baru saja ingat, kalau dia belum beli cincin untuk Sarah. Karena memang rencananya mendekati hari H, Devit baru akan membelinya.
["Tidak, ma. Semua sudah aman. besok saya beserta ustadz yang akan menikahkan kami datang jam sepuluh ya ma. Tolong sampaikan pada Sarah."]
Setelah menutup telponnya, Devit mengambil jaket dan memencet ponselnya, memesan taksi online. Dia harus pergi ke mall membeli cincin untuk Sarah. Perhiasan yang lainnya akan menyusul ia belikan. Devit mengunci pintu rumahnya, tak sengaja melihat ke arah warung Juwi, ada Salsa yang menatap kearahnya, Salsa tersenyum manis. Lalu melambaikan tangannya pada Devit. Entah dorongan apa yang membuat Devit menghampiri Salsa.
"Salsa ikut pak guru yuk, mau?" tanya Devit. Juwi yang mendengar suara tak asing lagi mengintip dari balik toples-toples yang berjejer di etalase warungnya.
"Mau ke mana, Pak? Calon pengantin gak boleh keluar jauh-jauh lho," ledek Juwi sambil mengulum senyum. Seperti ada yang tertahan.
"Ada yang mau saya beli Juwi, saya boleh ajak Salsa gak?" izin Devit serius.
"Nanti merepotkan Pak, Salsa kan cerewet kalau diajak pergi." Juwi menolak halus. Namun tangan Salsa sudah menempel di lengan Devit.
"Caca mau ikut, tapi..cama bunda ya om gulu." Devit dan Juwi saling pandang.
"Bunda kan jaga warung Ca. Ga bisa ya sayang. Salsa sama Bunda saja ya di rumah. om gurunya sedang sibuk." Juwi menarik pelan lengan Salsa, namun Salsa bergeming. Malah kini menangis tersedu.
"Ya sudah kamu ikut saja ga papa Juwi, ga lama juga kok. Gak usah dandan. Gitu aja kamu sudah cantik," ucap Devit tanpa melihat wajah Juwi yang sudah merona.
Juwi memanggil ibu yang tengah mengangkat jemuran, meminta izin keluar sebentar. Dan ibu menjaga warung, tentu saja ibu Juwi mengizinkan. Bu Nur belum tahu perihal Devit yang akan menikah besok.
Kini mereka sampai di sebuah mall, Salsa memegang tangan Devit dengan tangan kanannya, dan bunda Juwinya di tangan kirinya. Tampak seperti sebuah keluarga.
"Kita ke sana yuk!" ajak Devit, sambil menunjuk sebuah toko emas besar."Saya belum beli cincin untuk calon saya." Devit setengah berbisik pada Juwi, diangguki oleh Juwi lalu ikut masuk bersama dengan Salsa juga. Devit bingung memilihnya, modelnya sangat cantik-cantik.
"Menurut kamu bagus yang mana, Wi?" Devit meminta pendapat Juwi. Juwi malah menggaruk kepalanya ikutan bingung.
"Cantik semua, Pak," gumam Juwi.
"Calon Pak Devit orangnya simple gak? Kalau orangnya simple, baiknya pilih cincin yang sederhana saja," saran Juwi yang diangguki Devit. Akhirnya pilihan Devit jatuh pada cincin polos, berhiaskan permata berlian.
Mata Juwi berbinar menatapnya, bagus sekali. Pelayan toko yang melayani Juwi dan Devit ikut tersenyum manis."Ini saja Pak untuk istrinya? Gak mau tambahkan kalung untuk istrinya, Pak?" ucap pelayan sambil tersenyum pada Devit dan Juwi. Juwi tersenyum kikuk, pasti pelayan toko mengira dia adalah istri Devit.
"Coba kamu pake Wi." Devit menyodorkan cincin tadi. Juwi menggeleng.
"Jangan, Pak. Masa cincin untuk istri Bapak, saya yang cobain," tolak Juwi halus. Namun Devit memaksa, bukankah sebelum Juwi, si mba pelayan toko tadi juga mencobanya di jari manisnya. Dengan sedikit terpaksa Juwi mencoba cincin emas bermata berlian tersebut. Hampir menangis Juwi karena bagus banget saat dipakai di jarinya.
Devit juga terpana. Sangat cocok di jemari lentik Juwi. Kembali Devit tersadar. Semua harus ia jalani. Setelah Devit membayar cincin tersebut, dengan sebuah kartu. Devit, Juwi, dan juga Salsa keluar dari toko emas tersebut.
Salsa merengek ingin bermain mandi bola. Juwi melarang, namun Devit malah membolehkan. Jadilah Salsa dari sore hingga sebelum magrib puas bermain mandi bola, ditemani Devit dan juga Juwi. Mereka bertiga sholat di masjid yang berada di mall tersebut. Dilanjutkan makan sebuah restoran cepat saji. Salsa begitu antusias, berkali-kali tersenyum melihat kearah Devit dan bundanya.
"Bunda ... Om gulu jadi ayah Caca boleh tak?" tanya Salsa dengan polosnya.
Byyuurr
Air cola yang berada di mulut Juwi, menyembur keluar, ia kaget dengan ucapan Salsa yang begitu spontan.
****
Selamat Membaca😘😘HukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat Membaca😘Hari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membaca😘Sarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke
"Siapa lagi yang mau jadi istrinya? GR aja!" Juwi berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Kesal iya, malu iya. Dengan kasar Juwi mengusap bibirnya, bibir yang sudah setahun lebih berpuasa."Ish, sekalinya buka puasa, kenapa harus sama suami orang sih? Duh bibir, nasibmu!" Juwi masih saja menggerutu, menepuk-nepuk bibirnya sendiri.Devit terkekeh geli, menyaksikan ekspresi Juwi yang menggerutu dari balik jendela. Juwi kembali ke warung dan melayani pembeli seperti biasanya hingga waktu menjelang magrib. Juwi bergegas menutup warung."Saya bantu ya?" ucap Devit sambil tersenyum manis, pakaiannya sudah rapi mau ke masjid untuk sholat magrib. Sarung batik tenun dan koko berwarna biru muda, tak lupa kupluk kopiah, menambah teduh wajahnya."Saya bisa kok, Pak." Juwi menolak halus."Yang tadi siang jangan diinget terus ya.""Yang mana ya?" Juwi pura-pura lupa."Mmm ... yang cium bibir kamu!"Pukk..puk..puk..
Shubuh ini hujan turun dengan derasnya. Devit melaksanakan sholat shubuhnya di rumah saja. Senyumnya terus mengembang, manakala teringat peristiwa dadakan yang terjadi dalam hidupnya tadi malam. Juwi, janda yang selalu mencuri perhatiannya kini telah menjadi istri sahnya, walaupun masih pernikahan siri. Tapi Devit berjanji dalam hatinya akan segera meresmikan pernikahan mereka. Lalu bagaimana dengan Sarah? Bukankah dengan Sarah juga pernikahannya harus berakhir. Memikirkan Sarah membuat Devit menjadi iba, ujian yang dihadapi Sarah sangat berat. Semoga Sarah bisa melewatinya.Beep..beep..["Ya hallo, Assalamualaikum, Mah."]["Wa'alaykumussalam. Kamu, mama tunggu pagi ini di rumah istrimu."]["Maksud mama, Sarah?"]["Iya, emang istri kamu ada berapa?"]["Eh iya, Ma. Nanti jam sepuluh Devit ke rumah Sarah."]["Kelamaan jam sepuluh. Jam delapan sudah harus di sini."]["Tapi Devit ada kelas, Ma. Jam delapan."]["Terserah, pok
"Saya datang bulan," ucap Juwi cepat sambil salah tingkah dengan sikap Devit yang kini berubah jadi agresif. Mendengar pernyataan Juwi membuat Devit tertawa. Ternyata Juwi takut juga pada dirinya, namun sedikit ada yang aneh, kenapa Devit seperti menikahi anak perawan saja? Rasa canggung dan kikukknya seperti gadis yang benar-benar belum pernah disentuh lelaki."Ya sudah ganti baju dulu sana, masa tidur pake kebaya." Devit menunjuk lipatan baju tidur berbahan satin, berwarna ungu."Mentang-mentang saya janda, dikasihnya ungu gitu," celetuk Juwi tanpa melihat Devit, langsung masuk ke dalam kamar mandi yang hanya ditutupi krei. Sebenarnya baju tidur dua stel di dalam lemari Devit adalah termasuk barang yang akan dia berikan pada Sarah. Namun belum terlaksana pesta yang dimaksud, malah ia kini menikahi Juwi"Jangan ngintip, lho Pak!" Teriak Juwi dari dalam kamar mandi."Iya, paling saya ikutan ganti juga," ledek Devit dari ruang tengah. Devit merapikan tempa
Selamat membacaJuwi tidak bisa mengelak lagi, Devit sudah mengungkungnya di atas kasur. Keduanya saling menatap, Juwi sangat canggung.Cepat Juwi menutup mata, saat Devit semakin mendekat."Sini, buka dulu mukenanya," bisik Devit ssambil membantu Juwi membuka mukena bagian atas. Rambut Juwi yang basah terurai indah, Devit menatap Juwi penuh minat. Juwi bernafas sampai tersendat-sendat, karena wajahnya dan suaminya begitu dekat. Seperti dihipnotis, Juwi menurut saja saat Devit membantu membuka bawahan mukena."Istriku cantik, mirip artis korea, kulitnya putih," puji Devit sambil jari telunjuknya menyentuh pipi Juwi yang kemerahan menahan malu."Pak, berat!" rengek Juwi sedikit menggeser tubuhnya, namun di tahan Devit."Abang, De. Bukan Bapak," sela Devit dengan senyuman."Iya ... Bang, somaynya goceng ga pake pare!" ledek Juwi sambil terkikik, merasa aneh dengan sebutan abang diminta Devit."Ngeledek ya."Cuupp
Juwi terdiam menatap raut wajah suaminya yang salah tingkah. Juwi merapatkan kembali kedua pahanya, mengambil sarung suaminya yang ada di atas ranjang, lalu menutupi tubuhnya."Abang ga tau?""Ngga, De." Devit menggeleng lemah, yang di bawah pun ikut lemah."Emang Juwi ga tahu juga?""Ngga, Bang." Juwi menggeleng malu."Kok gak tahu?" Devit semakin bingung dengan istrinya, bukannya Juwi janda. Tapi kok malah tidak tahu."Soalnya belum pernah,"cicit Juwi sambil menggigit bibir bawahnya."Hah?!"Devit tercengang. Dadanya berdegub kencang. Keningnya berkerut tidak paham maksud ucapan Juwi."Juwi, tapi...""Papa Salsa meninggal seminggu setelah pernikahan kami, saat itu saya sedang datang bulan. Jadi papa Salsa belum sempat ... mmm."CcuupppMmmmmmpph ...Devit mencium mesra istrinya."Jadi Juwi masih perawan?" tanya Devit sambil menatap mesra Juwi.Istrinya itu mengangguk, wajahnya suda
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala