Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa.
"Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis.
"Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung.
"Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi.
"Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha.
"Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi."
"Siapa tahu jodoh yang baru lebih baik, Mpok." Juwi menyemangati Mpo Leha dengan tulus.
"Siapa Mpok yang demen?"
"Ih ... Juwi jadi kepo deh."
Mereka tertawa bersama, sesekali pembicaraan mereka terpotong karena ada pembeli ke warung Juwi.
"Mpok harus semangat yaa, kalau jodoh gak akan kemana Mpok. Sekarang mungkin orang tua cowoknya Mpok belum setuju ga papa Mpok, nanti juga setuju. Apalagi Mpok jago masak, manis lagi wajahnya nih, kayak kue cucur." Juwi dan Mpo Leha terkekeh geli.
Mpok Leha usianya dua puluh lima tahun, sedangkan Juwi sembilan belas tahun, bulan depan menjadi dua puluh tahun. Hubungan keduanya cukup dekat, Juwi menganggap Mpik Leha adalah kakaknya sendiri.
"Eh, kalau Juwi kapan nih nikah lagi? Juwi kan masih muda, banyak lagi yang mau."
"Iya noh, terutama si Mamang jarpit sama si Yono kang ojek pangkalan," sahut Juwi sambil mencebikkan bibirnya.
"Emang mau cari yang bagaimana Wi?" keduanya menoleh, tanpa mereka sadari Devit sudah ikutan nimbrung pembicaraan mereka.
"Dih ... kepo banget!" sergah Juwi merasa risih tiba-tiba Devit menyela pembicaraan mereka.
"Cariin dong, Pak," seru Mpok Leha dengan semangat.
"Saya harus tahu dulu, seleranya Juwi seperti apa, kali ada yang cocok sama teman dosen saya."
"Ga usah Pak, makasih. Saya sudah ada yang punya," sahut Juwi asal, bangkit dari duduknya, masuk ke dalam warung melalui pintu samping.
Devit termangu mendengar jawaban Juwi barusan. Apakah lelaki yang tadi malam adalah calonnya Juwi? Kalau Aku bertanya malu ga ya? tapi nanya juga buat apa bukan urusanku, ah...tapi aku penasaran.
Devit terus saja bermonolog. Mpok Leha mengangkat bahu tak paham. Apalagi Juwi, merasa aneh dengan tatapan kosong Devit. Mpok Leha beringsut pamit pada Juwi. Kini Devit dan Juwi tinggal berdua, masih pukul setengah enam pagi, jadi jalanan belum terlalu ramai.
"Bapak ke warung mau beli apa?"
"Mau beli garam, teh sama gorengan Wi."
"Nih garam dan tehnya, gorengannya ambil sendiri ya." Juwi tersenyum manis, Devit melihat senyuman itu sekilas. Ya ampun manis sekali, Devit dengan cepat memutus pandangannya. Juwi memang sedikit berubah lebih ramah pada Devit, karena merasa Devit berjasa banyak menolong Juwi pada saat Salsa sakit.
"Perasaan belum lama beli garam Pak, kok sekarang udah beli lagi? garamnya di gadoin yaa buat cemilan," ledek Juwi terkekeh geli.
Devit hanya tersenyum saja. Garam di rumahnya masih ada, gula juga masih ada, hanya saja dia ingin mengobrol dengan Juwi pagi ini.
"Tadi malam yang naik mobil pacar Juwi ya?" Devit akhirnya menanyakan kalimat penasaran yang sedari malam dia tahan.
"Yee ... ngintip lagi dah pasti dari jendela?"
"Gak kok, siapa yang ngintip? cuma kebeneran aja saya lihat." Devit berkilah, malu dong kalau ketahuan sering melirik Juwi dari jendela.
" Ohh ... gitu, iya deh percaya."
"Jadi lelaki itu siapa, Wi?" tanyanya lagi tambah penasaran.
"Sodara almarhum ayahnya Caca, Pak."
"Oh ... Pamannya Salsa?"
Juwi mengangguk.
"Kamu gak naksir? Cakep lho orangnya."
"Naksir sih, tapi udah mau nikah, dua bulan lagi." Juwi nyengir kuda.
"Eeh..eh...sama ya kayak Pak Devit, dikit lagi mau jadi penganten."
"Cantik ga Pak, calonnya?" kini bergantian Juwi yang kepo.
"Nih orangnya!" Devit menunjukkan foto Sarah pada Juwi saat acara lamaran.
"Wah ... cantik Pak, sholeha lagi, cocok deh sama Bapak," puji Juwi jujur.
Namun kenapa tiba-tiba Juwi menjadi sedikit kikuk."Pak saya pamit masuk sebentar ya." Juwi ngeloyor jalan masuk ke dalam rumahnya, tanpa menunggu jawaban dari Devit.
****
Minggu siang, cuaca cukup cerah. Juwi hendak mengajak Salsa pergi ke pusat perbelanjaan yang ada arena bermain anaknya. Warung, ibu Juwi yang menunggui. Salsa dan Juwi sudah rapi, dengan memesan ojek online keduanya pergi ke sebuah mall. Salsa sangat senang bermain di salah satu arena bermain anak. Ada mandi bola, perosotan, melukis, flying fox dan banyak lagi yang lainnya Salsa sangat bersemangat, Juwi menemaninya dengan penuh suka cita.
Meskipun tidak lahir dari rahimnya sendiri, Juwi sangat menyayangi anak almarhum suaminya itu. Juwi menjadi ibu sambung bagi Salsa saat Salsa berusia hampir dua tahun, dan Juwi delapan belas tahun. Baru saja lulus SMA sudah dilamar oleh ayah Salsa, duda anak satu yang bercerai dari istrinya.
Setelah puas bermain, Juwi mengajak Salsa untuk makan siang, makanan kesukaan Salsa yaitu ayam fried chicken.
"Bunda, itu pak gulu!" Seru Salsa saat arah matanya tanpa sengaja tertuju pada seseorang yang sangat dia kenal. Ya, ternyata Devit juga berada di sana bersama dengan Sarah dan juga Nuri, teman Sarah. Salsa hendak berteriak memanggil Devit, namun mulut Salsa ditutup oleh Juwi.
"Kita gak boleh ganggu pak guru Cha, ayo kita makan saja," ajak Juwi sambil menyuapi Salsa makan. Sambil sesekali Juwi memperhatikan Devit dan kedua wanita itu sedang mengobrol cukup serius.
Posisi Devit menyamping, berada di sebuah cafe yang posisinya tepat di depan restoran makanan cepat saji yang saat ini Juwi dan Salsa berada.
Salsa melahap makanannya sampai habis, Begitupun juga Juwi. Mereka telah selesai, Juwi pun bermaksud memesan ojek online.
"Salsa!" panggil suara yang cukup Juwi kenal.
"Paman," panggil Salsa lalu berlari ke arah Andre. Lelaki itu adalah paman Salsa.
"Sedang apa Sayang?" Andre menyejajarkan tubuhnya dengan Salsa dengan sedikit jongkok.
"Habis mandi bola, cama matan citen," jawab Salsa dengan lidah cadelnya. Juwi bersalam dengan Andre, senyumnya terbit. Tatkala melihat Andre yang begitu mirip almarhum suaminya. Ya ampun benar-benar baru menikah seminggu, suaminya sudah dipanggil yang Maha Kuasa.
Serasa air matanya akan tumpah, Juwi membuang pandangannya, sedangkan Andre kini tengah menggendong Salsa, membawanya ke toko mainan. Juwi mengekori di belakang. Tanpa Juwi sadari, Devit ternyata tanpa sengaja menyaksikannya dengan rasa tak suka.
"Ada apa, Kak?" tanya Sarah saat arah mata Devit terus tertuju pada sepasang ibu ayah dan seorang anak.
"Ah, tidak apa-apa,Sar. Kita berpisah di sini ya, saya masih ada urusan sebentar. Kamu hati-hati pulangnya sama Nuri ya." Devit tersenyum manis, Sarah tersipu malu, lalu menunduk paham.
Sarah berlalu bersama Nuri menuju pintu keluar mall, sedangkan Devit kembali ke toko mainan tempat Juwi dan Salsa berada. Sengaja Devit bersembunyi di balik etalase toko. Tak lama berselang Juwi dan Andre serta Salsa telah keluar dari toko tersebut dengan membawa sekantong mainan untuk Salsa.
"Caca ... ayo pulang!" seru Devit yang tiba-tiba saja muncul. Ia tersenyum pada Salsa, anak kecil itu minta turun dari gendongan Andre, lalu berlari ke arah Devit. Kini Devitlah menggendong Salsa. Juwi masih belum sadar dengan yang terjadi. Ia masih melongo dengan kening berkerut. Aneh sekali.
"Ayo Juwi kita pulang, saya sudah pesankan taksi online," ajak Devit sambil menatap mata Juwi dengan sendu, seakan memberi kode agar menuruti perintahnya.
Juwi terbengong-bengong. Apalagi Andre, malah tak paham sama sekali. Namun lagi-lagi langkah Juwi malah mengekori Devit dan meninggalkan Andre ditengah keheranannya. "Mas, saya pulang dulu," pamit Juwi sambil menunduk hormat.
"Bye Paman!" Salsa melambaikan tangan sebelum benar-benar hilang dari pandangan Andre.
Salsa, Juwi dan Devit duduk di belakang sopir. Tiada pembicaraan apapun, Juwi sedikit kikuk dengan keadaan tak biasa ini.
"Main ke rumah Pak guru mau ya Ca?"
"Haa? mau ngapain, Pak?" tanya Juwi heran.
"Ada deh ..."
Lumayan irit ongkos, pikir Juwi. Sekalian jalan-jalan juga menikmati minggu sore yang cerah ceria.
"Bukannya tadi Pak Devit sama calon istri Pak Devit?"
"Oh ... jadikamu tadi lihat ya?"
"Iya, pas lagi makan. Beneran cantik persis di foto," jawab Juwi jujur. Devit hanya tersenyum menanggapinya.
Devit menggendong Salsa masuk ke dalam rumahnya yang masih belum selesai. Aktifitas tukang memasang keramik di lantai satu belum selesai. Sedangkan di lantai dua sudah rapi, tetapi masih banyak berserakan barang-barang bangunan. Rumah yang terletak di area perumahan minimalis cukup jauh dari kontrakan Juwi. Naik mobil memakan waktu setengah jam.
"Bagus gak Juwi rumah saya?" tanya Devit saat kini mereka berada di lantai dua rumah Devit.
"Bagus, Pak. Beruntung sekali yang jadi istri Bapak." Pandangan Juwi menyusuri setiap ruangan.
"Mau dong Pak, kalau ada yang seperti Bapak, satu aja. Kenalkan pada saya," kekeh Juwi sambil menunduk malu-malu.
Devit terbahak.
"Cuma satu yang seperti saya."
"Kamu mau sama saya?" goda Devit sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Diih ... apaan sih Pak? ga jelas! Masa saya harus paroan sama calon Pak Devit." Juwi mencebikkan bibirnya, entah kenapa ucapan Devit berhasil membuat jantungnya berdegub kencang dan Devit hanya bisa menyeringai mendengar ocehan Juwi.
Mereka kembali sampai di rumah setelah magrib. Salsa sudah tertidur di mobil karena kelelahan. Devit menggendong Salsa turun dari mobil, bermaksud masuk ke dalam rumah, tak Devit perhatikan ada sebuah motor matic terparkir di teras Juwi.
"Eh, Juwi akhirnya kamu pulang!" seru ibu melihat Juwi dan Salsa sampai di depan pintu.
"Ini Nak Dimas, sudah menunggu dari tadi." Bu Nur menunjuk seorang pria muda mungkin usianya sekitar dua puluh lima tahun Wajahnya manis, kulitnya sawo matang.
Mata Devit dan lelaki bernama Dimas saling pandang. Juwi bermaksud menerima jabat tangan Dimas, namun di tepis Devit.
"Ga boleh bersentuhan, bukan mahrom!" ketus Devit pada Dimas.
Selamat membaca😘Astaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membaca😘Devit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat Membaca😘😘HukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat Membaca😘Hari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membaca😘Sarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke
"Siapa lagi yang mau jadi istrinya? GR aja!" Juwi berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Kesal iya, malu iya. Dengan kasar Juwi mengusap bibirnya, bibir yang sudah setahun lebih berpuasa."Ish, sekalinya buka puasa, kenapa harus sama suami orang sih? Duh bibir, nasibmu!" Juwi masih saja menggerutu, menepuk-nepuk bibirnya sendiri.Devit terkekeh geli, menyaksikan ekspresi Juwi yang menggerutu dari balik jendela. Juwi kembali ke warung dan melayani pembeli seperti biasanya hingga waktu menjelang magrib. Juwi bergegas menutup warung."Saya bantu ya?" ucap Devit sambil tersenyum manis, pakaiannya sudah rapi mau ke masjid untuk sholat magrib. Sarung batik tenun dan koko berwarna biru muda, tak lupa kupluk kopiah, menambah teduh wajahnya."Saya bisa kok, Pak." Juwi menolak halus."Yang tadi siang jangan diinget terus ya.""Yang mana ya?" Juwi pura-pura lupa."Mmm ... yang cium bibir kamu!"Pukk..puk..puk..
Shubuh ini hujan turun dengan derasnya. Devit melaksanakan sholat shubuhnya di rumah saja. Senyumnya terus mengembang, manakala teringat peristiwa dadakan yang terjadi dalam hidupnya tadi malam. Juwi, janda yang selalu mencuri perhatiannya kini telah menjadi istri sahnya, walaupun masih pernikahan siri. Tapi Devit berjanji dalam hatinya akan segera meresmikan pernikahan mereka. Lalu bagaimana dengan Sarah? Bukankah dengan Sarah juga pernikahannya harus berakhir. Memikirkan Sarah membuat Devit menjadi iba, ujian yang dihadapi Sarah sangat berat. Semoga Sarah bisa melewatinya.Beep..beep..["Ya hallo, Assalamualaikum, Mah."]["Wa'alaykumussalam. Kamu, mama tunggu pagi ini di rumah istrimu."]["Maksud mama, Sarah?"]["Iya, emang istri kamu ada berapa?"]["Eh iya, Ma. Nanti jam sepuluh Devit ke rumah Sarah."]["Kelamaan jam sepuluh. Jam delapan sudah harus di sini."]["Tapi Devit ada kelas, Ma. Jam delapan."]["Terserah, pok
"Saya datang bulan," ucap Juwi cepat sambil salah tingkah dengan sikap Devit yang kini berubah jadi agresif. Mendengar pernyataan Juwi membuat Devit tertawa. Ternyata Juwi takut juga pada dirinya, namun sedikit ada yang aneh, kenapa Devit seperti menikahi anak perawan saja? Rasa canggung dan kikukknya seperti gadis yang benar-benar belum pernah disentuh lelaki."Ya sudah ganti baju dulu sana, masa tidur pake kebaya." Devit menunjuk lipatan baju tidur berbahan satin, berwarna ungu."Mentang-mentang saya janda, dikasihnya ungu gitu," celetuk Juwi tanpa melihat Devit, langsung masuk ke dalam kamar mandi yang hanya ditutupi krei. Sebenarnya baju tidur dua stel di dalam lemari Devit adalah termasuk barang yang akan dia berikan pada Sarah. Namun belum terlaksana pesta yang dimaksud, malah ia kini menikahi Juwi"Jangan ngintip, lho Pak!" Teriak Juwi dari dalam kamar mandi."Iya, paling saya ikutan ganti juga," ledek Devit dari ruang tengah. Devit merapikan tempa
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala