Sejak malam itu, Devit semakin tak enak hati dengan Juwi. Meskipun saat ini Juwi sudah mulai bersikap biasa saja. Salsa juga sudah kembali ikut mengaji, datang paling pertama karena ingin membaca lebih dulu dari teman-temannya yang lain. Namun ada yang seakan hilang dari kebiasaannya, yaitu panggilan papa yang biasa Salsa sebut untuknya, gini berganti dengan Om gulu. Devit yang penasaran, saat anak-anak asik mengerjakan latihan kaligrafi, Devit memangku Salsa lalu bertanya padanya.
"Ada apa Om gulu?" tanya Salsa saat tau--tau Devit memangkunya.
"Kok sekarang Salsa panggilnya bukan papa lagi?" bisik Devit, tak ingin anak-anak yang lain mendengar.
"Tata bunda da boleh, pangdilnya om aja," terang Salsa sambil membolak balik iqro'nya.
"Kenapa?" Devit heran dan ada sedikit rasa kecewa di sudut hatinya.
"Om gulu butan papa Caca, nanti bunda mau cali papa buat Caca tapi Caca halus sabal tata bunda."
"Oh ... gitu, ya udah panggil om guru juga ga papa Ca, ayo selesaikan mewarnainya," titah Devit kini telah menurunkan Salsa dari pangkuannya.
Mata Devit belum bisa terpejam, padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Biasanya Devit sudah tidur pukul sepuluh, untuk bangun lagi jam dua melaksanakan sholat tahajjud. Devit memutuskan duduk di dekat jendela, melihat keluar, jalanan amat sepi, hanya sesekali tukang nasi goreng atau tukang sate yang lewat.
Devit membuka laptopnya membaca materi untuk besok. Namun ia tidak bisa berkonsentrasi. Devit masuk kembali ke kamarnya mengambil ponselnya.
Calon istri
"Assalamualaikum, Kak. Apa kabar?"
"Maaf menganggu malam-malam, kata mama kapan kakak ada waktu untuk fitting baju akad dan resepsi?"
Devit menepuk keningnya saat membaca pesan Sarah. Sepekan sejak kejadian Juwi yang marah padanya. Pikiran Devit benar-benar tak fokus, bagaimana bisa dia lupa pernikahanya sendiri akan digelar satu setengah bulan lagi?
"Ya ampun, maafin kakak ya Sar," gumamnya. Lalu dengan cepat membalas pesan Sarah satu jam yang lalu.
"Wa'alaykumussalam. Maaf Dek Sarah, saya baru saja buka ponsel. Mudah-mudahan sabtu ini saya bisa pagi mungkin."
Calon istri
"Alhamdulillah, baik Kak. Jam sembilan saya tunggu di rumah ya Kak."
"Ya sudah kamu tidur, jangan begadang ya. Nanti kalau sudah sama saya baru bergadang."
Sarah bersemu merah membaca pesan terakhir yang dikirim Devit. Bismillah semoga Allah memudahkan semuanya.
Pagi ini Devit hendak memasak nasi goreng, namun kehabisan garam. Devit mengintip dari jendela. Warung Juwi sudah buka dan Juwi sedang melayani beberapa pembeli. Pagi hari di warung Juwi ada aneka gorengan dan lontong isi.
Ada tetangga yang menitipkan dagangannya. Sesekali Devit pernah membelinya, namun untuk hari ini entah kenapa dia ingin memasak nasi goreng. Devit keluar kontrakan berjalan menuju warung. Ada dua orang ibu-ibu sedang memilih aneka gorengan.
"Eh ... Pak guru, beli apa, Pak?" tanya Bu Nuni.
"Eh..iya. Bu. Ini kehabisan garam mau bikin nasi goreng," ucap Devit sambil tersenyum pada Bu Nuni.
"Makanya cepat nikah,Pak, biar ada yang masakin sarapan," celetuk temannya Bu Nuni, Devit tak tahu namanya.
"Doakan saja, Bu, secepatnya." sahut Devit melirik ke arah Juwi yang kini juga menatapnya.
"Jadi mau beli apa, Pak?" tanya Juwi datar.
"Duh, jangan galak-galak Juwi, ntar jatuh cinta lho," goda Bu Nuni lagi.
"Aduh, Bu Nuni, pagi-pagi sarapannya mecin yaa? ngomongnya jadi ngaco," sahut Juwi yang tak suka mendengar ledekan bu Nuni. Bu Nuni dan temannya tertawa sedangkan Devit hanya tersenyum.
"Beli gulanya," ucap Devit.
"Lha, masak nasi goreng kok pake gula?" celetuk ibu yang satunya.
"Eh, salah, maksud saya beli garam, Wi." Devit salah tingkah dengan ucapannya, ibu-ibu rempong pada tertawa termasuk Juwi jadi ikut tertawa. Devit yang melihat tawa Juwi mendadak hatinya berbunga. Lalu Juwi menyerahkan sebungkus garam pada Devit.
"Tiga ribu," ucapnya.
Devit menyerahkan uang seratus ribu rupiah pada Juwi.
"Bapak duitnya dari kemaren merah terus, gak ada yang warna ijo apa, Pak? Saya gal ada kembaliannya ini."
"Eh ... gak ada Wi, adanya merah semua."
"Pamer!" cibir Juwi sambil mencebikkan bibirnya.
Dalam hati wanita itu bergumam, enak bener yang jadi bininya, kalau punya suami duitnya setiap hari warna merah tak habis-habis. Aah...seandainya...
"Ya udah saya beli gorengannya deh," ucap Devit sambil memilih aneka gorengan yang masih hangat. Ada risol, bakwan, lontong isi, kue dadar gulung, onde-onde, tempe goreng, tahu isi dan martabak tahu.
Devit membeli lima belas macam kue."Ayo bu, pilih aja, saya traktir." ucap Devit pada bu Nuni dan temannya.
"Benar, Pak?" Bu Nuni antusias. Devit mengangguk.
"Ayo Bu, kita ditraktir," ajak Bu Nuni pada temannya. Mereka akhirnya pulang dengan gembira,masing-masing membawa sepuluh macam aneka kue dan gorengan.
"Jadi berapa semua, Wi?" tanya Devit.
"Tiga puluh lima ribu," ucap Juwi lalu mengembalikan uang kembalian Devit.
"Salsa belom bangun ya?" tanya Devit basa basi.
"Belom."
"Mmm ... ibu mana?"
"Ada lagi masak."
"Masak apa?"
"Masak buaya." Juwi melotot. Devit terbahak.
"Udah sana masuk, ngapain sih nanya-nanya mulu?" Juwi memutar bola mata malasnya. Devit seakan anak yang patuh pada ibunya, dia mengangguk lalu melangkah meninggalkan warung Juwi.
"Saya gak keberatan kok, Salsa panggil saya Papa!" teriak Devit dari pintu rumahnya. Sontak ibu-ibu yang lewat begitu juga Juwi terkaget-kaget dengan ucapan Devit.
"Cie ... cie ... papa niih," ledek ibu-ibu yang lewat. Devit tersadar buru-buru masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Ya salaam...duh..otak suka korslet kalau deket-deket Juwi. Malunya.
"Dih, aneh!" Juwi berdecih, namun sedikit garis bibirnya tertarik ke atas.
Sejak kejadian pagi itu, anak-anak murid pengajian memanggil Devit dengan panggilan papa. Ha ha ha ... sedangkan Salsa tetap memanggil om gulu.
Tibalah hari sabtu, Devit sudah rapi sejak sehabis shubuh. Kali ini ia duduk lagi di dekat jendela rumah kontrakannya, melihat ke arah warung. Kok tutup? Devit menyeruput tehnya lengkap dengan dua buah roti tawar sebagai sarapannya.
Sebuah mobil berhenti di depan rumah Juwi, Devit masih memperhatikan dengan seksama. Tak lama keluarlah Juwi dengan menggendong Salsa yang tampak lemah, bersama ibunya yang membawa sebuah tas kecil. Penasaran Devit membuka pintu rumahnya dengan tergesa. Saat ibu sedang mengunci pintu Devit menghampiri dari tembok kecil samping kontrakannya.
"Kenapa, Bu? Mau ke mana?"
"Itu Salsa demam, Pak. Dari semalam ada kejangnya dua kali, makanya mau ke rumah sakit, saya permisi Pak," ucap ibu Juwi terburu-buru lalu setengah berlari ke dalam mobil taksi online.
Devit tiba-tiba khawatir, dengan cepat mengambil dompetnya lalu menutup pintu kontrakannya. Entah apa yang membuat Devit nekat mengikuti mobil tumpangan Juwi dengan naik ojek pangkalan yang tak jauh dari rumahnya. Devit melupakan ponselnya yang tertinggal di atas kasur.
Hanya memakan waktu lima belas menit, akhirnya Devit sampai di rumah sakit tempat Juwi membawa Salsa. Juwi baru saja akan menurunkan Salsa dari mobil.
"Biar saya saja," ucap Devit dengan sigap menggendong Salsa dari dalam mobil. Juwi dan ibunya terbengong. Devit melarikan Salsa ke ruangan IGD. Disusul Juwi dan Bu Nur. Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter Juwi sakit demam berdarah dan disarankan untuk rawat inap.
"Wali pasien anak Salsa silahkan mendaftar ke administrasi," ucap salah satu perawat UGD.
Juwi berdiri hendak pergi kw tempat yang sudah diberi tahu perawat tadi.
"Saya temani," ucap Devit lagi. Juwi menautkan alisnya.
"Tidak usah, Pak. Biar saya saja," ucap Juwi lalu berjalan kembali tanpa mendengar ucapan Devit.
"Maaf Mbak, kamar perawatan kelas tiga penuh begitu juga dengan kelas dua, adanya kelas satu, VIP dan VVIP. Bagaimana?" jelas petugas counter pendaftaran.
"Kelas satu berapa per malam, Mbak?"
"Lima ratus lima puluh Mbak, belum obat dan lain-lain, mohon maaf kami belum membuka layanan BPJS ya Mbak," terang petugas administrasi rumah sakit.
"VIP saja." Devit menyela pembicaraan.
Juwi memandang Devit heran. "Jangan, Pak, saya tidak ada duitnya."
"Biar saya yang selesaikan Juwi," sahut Devit, lalu memberikan kartu atm nya pada petugas.
"Saya deposit lima juta ya," kata Devit lagi. Juwi memandang Devit dengan keheranan. Kenapa lelaki ini baik sekali? Juwi bermonolog.
Kini Salsa sudah berada dalam kamar perawatan VIP. Ruangan yang sangat bagus. Lebih bagus dari rumah Juwi. Juwi dan Bu Nur baru kali ini masuk ke ruangan VIP rumah sakit mahal. Seperti di hotel-hotel kalau kata Bu Nur. Devit membawakan sarapan dari kantin rumah sakit. Mereka makan dengan lahap. Sedangkan Juwi makan sambil menyuapi Salsa makan bubur.
Devit tertidur saat menunggui Salsa. Padahal Juwi hanya mengantar ibunya sampai depan untuk naik ojek online. Bu Nur pulang ke rumah untuk mengambil beberapa pakaian ganti untuk Juwi. Juwi masuk kembali ke kamar perawatan Salsa. Melihat Devit tertidur dengan pulas. Senyum Juwi terbit. " Terimakasih, Pak," bisik Juwi yang kini tengah berjongkok di dekat Devit memperhatikan wajah tampan Devit. Seketika wajah Juwi jadi merona. Juwi ikut tertidur dengan posisi duduk di ujung sofa dekat kaki Devit.
****
Di sebuah rumah besar, tampak seorang gadis tengah cemas. Sudah hampir jam setengah dua belas, calon suami yang ditunggu belum datang juga. Ponselnya juga tidak diangkat dari pagi. Pesan juga tidak dibalas. Bahkan Sarah menghubungi calon mertuanya, khawatir terjadi apa-apa dengan Devit. Ya Allah Devit melupakan janjinya hari ini dengan Sarah.Devit meremas rambutnya kasar. Bagaimana dia bisa melupakan janjinya pada Sarah? Sekarang sudah pukul tiga sore, saat melewati pasangan suami istri yang memakai pakaian resmi kebaya dan batik, seketika juga Devit teringat akan Sarah. Tepat saat Devit berada di kantin rumah sakit hendak membeli kopi.Lelaki itu juga baru tersadar ia lupa membawa ponselnya. Perasaannya sangat khawatir, bagaimana dengan calon istrinya nanti? pasti sangat kecewa dengan dirinya yang tidak memberikan kabar. Cepat Devit melangkah memasuki ruangan Salsa dirawat, tampak Juwi dan ibunya sedang berbicara."Maaf Juwi, Bu, saya pamit dulu ada urusan mendesak," ucap Devit dengan raut cemas."Pak Devit ga papa?" tanya Juwi keheranan."Tidak apa-apa Juwi, hanya saya melupakan janji dengan calon istri saya, saya pamit ya." Devit cepat melangkah keluar dari kamar perawatan Salsa.Juwi dan ibu mendengar cukup jelas yang barusan Devit katakan."Ya ampun Wi, Ibu jadi ga en
Juwi membuka warungnya pukul lima pagi. Mpo Leha mengantar dagangan aneka gorengan ke warung Juwi. Mpo Leha dibantu Juwi menatanya di atas etalase seperti biasa."Kok bikinnya sedikit, Mpok?" tanya Juwi saat menghitung aneka gorengan dengan jumlah masing-masingnya hanya dua puluh lima. Biasanya Mpo Leha membawa empat puluh sampai lima puluh gorengan per jenis."Iya Wi, Mpok bahannya kurang. Kirain hari ini Juwi libur," sahut Mpok Leha sambil duduk di kursi kecil yang berada di pinggiran warung."Iya Mpok, udah lama saya libur jualan, tabungannya udah tipis nih kayak pantat saya," sahut Juwi menepuk pantatnya sambil terkekeh. Tangannya asik memainkan sapu, menyapu lantai warung dengan semangat. Mpok Leha ikut tertawa mendengar ocehan Juwi."Mpok kok murung? Pengen kawin lagi ya?" Juwi kepo, tau-tau sudah duduk di samping Mpok Leha."Siapa sih Wi yang ga pengen berumah tangga lagi? cuma Mpok Leha ragu, takut gagal lagi.""Siapa tahu jodo
Selamat membacašAstaghfirulloh....kata itulah yang selalu Devit sebut, setelah hal konyol yang baru saja ia lakukan di depan Dimas, Juwi dan ibunya tadi. Bagaimana bisa dia begitu sesak, saat tangan Juwi dan Dimas hendak berjabat. Ada rasa tak rela jika kulit putih Juwi bersentuhan dengan lelaki lain."Ya Allah ... ada apa denganku?" gumamnya sambil mengusap kasar wajahnya, hatinya begitu tak tenang. Segera Devit ke kamar mandi untuk berwudhu dan melaksanakan sholat sunnah, karena hatinya benar-benar gundah.****"Nak Devit ada hubungan apa denganmu, Wi?" tanya Bu Nur penuh selidik. Ia menghampiri Juwi saat Juwi melipat mukena setelah selesai sholat isya."Teman saja, Bu. Emangnya kenapa, Bu?" tanya Juwi penasaran."Tapi sepertinya Nak Devit ada perasaan dengan kamu.""Hahahaha ... Ibu kebanyakan nonton drakor nih." Juwi tertawa kencang."Mana ada seperti itu Ibu Sayang, Pak Devit itu memang pada dasarnya orang baik
Maaf Devit dan Juwi telat Update!!Selamat membacašDevit tak menyangka Sarah bertanya perihal gosip yang beredar di kampusnya. Memangnya dia selebritis, sehingga gosip murahan seperti itu dengan cepat berkembang biak disegala pelosok.Setelah Sarah, Devit yakin mama dan papanya akan menelepon juga, untuk meminta klarifikasi. Devit menjelaskan pada Sarah, perihal yang terjadi pagi itu, meskipun tidak semua secara terperinci. Soal Devit yang tidak bisa memasang gas dan Juwi mengomelinya karena tidak bisa pasang gas, padahal sudah mau menikah. Sarah mengangguk paham."Hati-hati, Kak. Cinta itu datang karena terbiasa," ucapnya lugas, sedikit melirik ke arah Devit. Devit terdiam, tak tahu harus menjawab apa atas perkataan Sarah barusan."Intensitas interaksi antara Kakak dan wanita janda itu lebih sering dibandingkan dengan saya, calon istri Kak Devit. Pernikahan kita memang satu bulan lagi, bisa saja terjadi hal-hal yang diluar prediksi kita, jad
Selamat MembacaššHukkHuukDevit pun tersedak kentang goreng yang sedang berselancar di tenggorokannya. Sigap Juwi bangun dari duduknya dan menepuk-nepuk kencang punggung Devit. Bukannya berhenti batuk-batuk, malah semakin tercekik Devit rasa, saat pukulan Juwi terlalu kencang, hingga mengguncang tubuh Devit. Terlihat bukan seperti menenangkan, malah Juwi seakan sedang melakukan KDRT pada Devit."Sudah Juwi, sudah." Devit mengangkat tangannya. Ya Allah Si Juwi kurus-kurus tenaganya Godzila. Bisik Devit dalam hati."Pelan-pelan, Pak. Makannya, nanti tersedak lagi lho," ucap Juwi sambil membersihkan bajunya dari noda semburan air cola."Iya terima kasih," ucap Devit sambil meringis. Ya Allah jadi panas gini punggung."Bunda, bolehkan? "Salsa melanjutkan pertanyaannya yang tadi."Salsa sayang, Bunda dan om guru itu berteman.""Oh, kalau teman ga bisa jadi Papa ya?" tanya Salsa dengan polosnya. Devit tidak
Selamat MembacašHari senin shubuh seperti biasa, Juwi membuka warungnya, menata aneka gorengan dan nasi uduk yang dititipkan tetangga. Juwi melirik rumah Devit, lampu dalam mati, hanya lampu teras yang masih menyala. Tanda bahwa masih tidak ada orang disana. Iyalah, pengantin baru. Waktu Juwi menikah dengan ayah Salsa malah sampai dua hari di kamar terus. Padahal ga ngapa-ngapain juga. Hehehe... Juwi tersenyum sumbang. Ia menyadari rasa sukanya pada Devit, namun ia sadar itu tidak boleh."Hhhmmm ...." Juwi menarik nafas panjang. Dia harus bisa melupakan Devit dan meneruskan kehidupannya.Hari ini di warung cukup ramai. Juwi sedikit kewalahan, apalagi mulai hari ini Salsa sudah mulai mengikuti sekolah di kelas playgroup. Juwi mengantar jemput Salsa sekolah.Cuaca sangat terik, Juwi membeli es buah di warung dekat sekolah Salsa sambil menggandeng tangan Salsa. Pandangannya beralih pada pasangan yang baru saja lewat, ia seperti mengenalinya, tapi siapa
Selamat membacašSarah menangis sesegukan setelah siang ini dia digagahi lagi oleh Jono. Sarah benar-benar tak mengenalinya, padahal Jono adalah kakak senior abadi di kampusnya.Karena memang Sarah tak terlalu banyak mengenal kakak seniornya, justru jarena dia terlalu aktif di lingkungan kampus makanya kakak seniornya yang lebih banyak mengenal dirinya."Sudah sayang, jangan nangis terus, nanti apartemen abang banjir lho." Jono mencoba menggoda, telunjuknya menyolek lengan polos Sarah."Saya mau pulang!" ucapnya pelan, suaranya bergetar."Ayo, biar abang antar!" Jono keluar dari selimutnya, tubuhnya polos berjalan santai ke arah kamar mandi, Sarah membuang pandangan. Matanya sudah bengkak dengan air mata, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bagaimana nasib pernikahannya?Lima belas menit Jono berada di dalam kamar mandi, lalu keluar dengan harum shampo khas lelaki, tubuhnya hanya terlilit handuk sampai di bagian pinggang.Ke
"Siapa lagi yang mau jadi istrinya? GR aja!" Juwi berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Kesal iya, malu iya. Dengan kasar Juwi mengusap bibirnya, bibir yang sudah setahun lebih berpuasa."Ish, sekalinya buka puasa, kenapa harus sama suami orang sih? Duh bibir, nasibmu!" Juwi masih saja menggerutu, menepuk-nepuk bibirnya sendiri.Devit terkekeh geli, menyaksikan ekspresi Juwi yang menggerutu dari balik jendela. Juwi kembali ke warung dan melayani pembeli seperti biasanya hingga waktu menjelang magrib. Juwi bergegas menutup warung."Saya bantu ya?" ucap Devit sambil tersenyum manis, pakaiannya sudah rapi mau ke masjid untuk sholat magrib. Sarung batik tenun dan koko berwarna biru muda, tak lupa kupluk kopiah, menambah teduh wajahnya."Saya bisa kok, Pak." Juwi menolak halus."Yang tadi siang jangan diinget terus ya.""Yang mana ya?" Juwi pura-pura lupa."Mmm ... yang cium bibir kamu!"Pukk..puk..puk..
Devit terduduk lemah di kursi makan, setelah mengeluarkan semua makanan yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. Bahkan ini adalah kelima kalinya Devit memuntahkan isi perutnya dari mulai pagi. Dua hari sudah ia tidak berangkat ke kampus, karena mengalami morning sick yang luar biasa. Tubuhnya seakan tiada bertulang dan matanya selalu susah diajak untuk terbuka di pagi hari. Berbeda sekali dengan Juwi yang tidak merasakan mual dan muntah. Bahkan Juwi terlihat baik-baik saja. Nafsu makan normal dan bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun sudah ada Mbak Imah yang membantu, tetap saja Juwi yang memasak untuk keluarganya. "Makan bubur saja ya, Bang?" tawar Juwi pada suaminya. "Enneg, Dik. Abang lagi pengen makan rujak nanas," sahut Devit sambil menenggak salivanya, tergiur membayangkan rujak nanas. "Mana ada tukang rujak malam-malam begini," sahut Juwi sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit di usia kehamilan yang keempat bulan.
Di sinilah Juwi sekarang, berada di dalam sebuah ruangan, untuk diambil darahnya. Untung saja, tipe darah Juwi dan Sarah sama. Sehingga Juwi bisa ikut mendonorkan darahnya untuk menolong Sarah.Juwi menatap jarum infusan yang tertancap di tangan bagian atasnya. Tepat di lekuk lengan. Darah merah pekat dan kental, tampak mengalir memenuhi selang infus. Jujur, inilah pertama kali ia melakukan donor darah, sempat ragu dan takut. Namun, demi tetehnya, ia mengesampingkan rasa takutnya.Seorang perawat masuk untuk mengecek kondisi Juwi. "Alhamdulillah, sedikit lagi, Mba. Sabar sebentar, Ya?" ujar perawat tersebut sambil terseyum."Teteh saya bagaimana kondisinya, Sus?""Sedang dalam penanganan dokter, doakan semua lancar ya dan ibu Sarah baik-baik saja. Bayinya kembarnya lucu-lucu sekali." ujar sang perawat sambil tersenyum."Iya, saya belum lihat," ujar Juwi menimpali."Saya tinggal ya, Mbak. Suaminya lagi keluar ya?""Iya, Sus
Dewo dan Salsa sedang berlarian bermain petak umpet di ruang tengah rumah orangtua Devit. Bu Lani memperhatikan keduanya sambil tertawa-tawa. Semangat sehatnya naik berkali-kali lipat, saat menyadari begitu senangnya memiliki anak kecil di dalam rumah."Awas jatuh, Ca!" teriak Bu Lani khawatir Salsa terjatuh."Dewo, mainnya yang bener. Kasian ponakan kamu itu, nanti jatuh," seru Bu Lani lagi memperingatkan anaknya."Iya, Mah.""Iya Oma, Sayang," sahut Dewo dan Salsa bersamaan.Bu Lani tersenyum senang, Dewo dan Salsa melanjutkan permainannya. Hingga tubuh Salsa penuh keringat, karena terus-terusan di kejar Om Ewo."Udah, Om. Stop! ental Caca mati nih, kalena cape." Salsa terduduk di karpet merah depan ruang TV."Hahahaha ... Caca nginep di rumah Om aja selamanya mau gak?" tanya Dewo saat ia juga sedang mengatur napasnya, duduk di samping Salsa."Sampai tiamat?""Hahahahaha..." Dewo dan Bu Lani lagi-lagi terbahak.
Udara sore cukup dingin, awan bewarna sedikit gelap menghiasi langit sore yang tampak mendung. Devit melajukan motornya sedikit lebih cepat, karena harus menjemput Juwi. Tepat di perempatan lampu merah, Devit melihat gerobak yang menjual skuteng. Ia teringat akan mamanya yang beberapa hari lalu, sangat ingin minum skuteng. Devit membelokkan motornya, lalu berhenti di depan penjual skuteng. Ia membeli empat bungkus skuteng untuk mamanya dan juga Bu Nurmala, mertuanya.Setelah membayar, Devit melajukan motornya ke rumah. Bukannya langsung ke rumah mamanya. Ia benar-benar lupa harus menjemput Juwi.Devit memarkirkan motornya di pekarangan rumah. Ada Salsa yang tengah bermain boneka di teras depan."Papa, Bunda mana?" tanya Salsa heran karena tidak melihat bundanya pulang bersama Devit."Ya Allah, Ca. Papa lupa." Devit menepuk keningnya cukup keras. Lalu bergegas masuk ke dalam rumah."Lho, Juwi belum dijemput, Vit?" tanya Bu Nur yang saat itu se
Devit akhirnya melanjutkan aktifitasnya kembali mengajar. Sedangkan Pak Juna masuk ke kamar untuk beristirahat. Tidak lama setelahnya, Dewo pulang dari sekolah. Setelah mengucapkan salam, ia melangkah masuk melewati dapur. Betapa tergodanya ia menatap aneka lauk terhidang manis di atas meja."Cuci tangan dulu, De," seru Juwi saat melihat Dewo yang begitu antusias dengan hidangan di atas meja."Teteh chef Juwi ya yang masak?""Iya, dong. Enak lho. Udah sana cuci tangan dulu, setelah itu baru makan." Dewo menuruti ucapan kakak iparnya. Melesat ia ke wastafel lalu mencuci tangannya sampai bersih. Bersiap menyantap hidangan di atas meja.Sebulan berlalu dan Juwi masih pulang pergi ke rumah mertuanya. Membantu memasak dan rapi-rapi rumah. Untuk mencuci dan menyetrika, memang Bu Lani selalu menggunakan jasa londry. Juwi juga membantu bu Lani untuk mandi sore, buang air kecil dan buang air besar. Juwi juga yang mengantarkan Bu Lani untuk terapi semin
Sepekan sudah Bu Lani dirawat kembali di rumah sakit. Ia terjatuh di kamar mandi, karena serangan jantung yang tiba-tiba. Pintu kamar mandi dirusak oleh Dewo dan beberapa tetangga untuk membantu Bu Lani keluar dari dalam kamar mandi yang terkunci.Devit dan papanya sampai setengah jam kemudian di rumah sakit. Dan selama sepekan juga, Devit dan papanya serta Dewo bergantian menunggui bu Lani."Uuwah owe uang bewom?" tanya Bu Lani pada Devit. Anak sulungnya itu menatap sedih wajah mamanya. Akibat serangan jantung, mamanya menjadi lumpuh kaki bagian kiri. Mulutnya juga miring ke kiri, sehingga mamanya sangat susah untuk berkomunikasi dengan baik.Dokter menyarankan agar rutin terapi dan senam ringan untuk segera mempercepat proses penyembuhannya."Ini lagi nunggu papa balik dari administrasi, Ma. Sabar ya?" Devit berusaha menenangkan mamanya, sambil memberikan senyuman tipisnya."Mama mo muwang bebet," ujar Bu Lani tidak sabar. Ia terus sa
Devit memeluk tubuh istrinya yang bergetar hebat karena menangis. Ia sangat paham kegundahan hati Juwi, pasti mamanya mengucapkan kalimat sakti yang membuat istrinya menjadi seperti ini."Abang sayang, Abang cinta, bagaimana adanya Juwi saat ini. Jadi tolong, jangan pernah ucapkan kata itu lagi ya!""Banyak hal yang sudah kita lalui, untuk sampai pada tahap ini. Abang tidak mau, kamu menyerah. Abang tidak mau durhaka kepada mama, tapi Abang juga gak boleh zolim sama istri Abang. Jadi adik gak perlu risau, Abang gak kemana-mana. Jangan pikir yang aneh-aneh ya!"Devit mengecup kedua mata basah istrinya, turun ke hidung, kemudian pipi. Juwi masih diam saja, tanpa reaksi. Masih ada sisa-sisa sesegukan yang terdengar mengisi ruang kamar mereka. Devit menatap lekat Juwi, hanya beberapa senti saja jarak keduanya. Juwi tidak berani menatap wajah suaminya, ada rasa malu sekaligus kegundahan yang masih menyelimutinya."Kok nunduk? sini
Juwi masih terpekur sedih menatap langit-langit kamar perawatannya. Menyesali yang telah terjadi. Kenapa sampai ia tidak tahu, kalau saat ini sedang ada janin di dalam perutnya. Pipinya basah, matanya pun membengkak merah karena terus saja menangis, menyesali keteledorannya.Jika ia tahu lebih awal, pasti suaminya akan lebih hati-hati saat bercumbu dengannya. Ini semua adalah kesalahannya. Benar-benar kesalahannya. Berkali-kali Juwi mengusap pipi yang basah dengan tangannya. Apa dosa yang telah aku perbuat ya Allah, sehingga Engkau kembali mengambil bayi dalam perut hamba. Gumamnya lirih tanpa menghiraukan sekeliling.Pelan ia meletakkan telapak tangannya di atas perut yang kini benar-benar kempes. "Astaghfirulloh," ucapnya lirih, sambil merasakan kembali air mata yang tak kunjung turun membasahi kedua pipinya."De," panggil Devit dengan suara lemah. Ia pun sama seperti Juwi, merasa begitu bersalah. Lelaki itu baru tiba dari kantin. Kedua tangannya membawa
Semenjak acara syukuran empat bulanan kehamilan Sarah. Juwi jadi kebanjiran job membuat kue. Mulai dari brownies, bolu tape, donat, pie buah, risol bahkan lontong isi dan kue cucur. Teman-teman Sarah dan juga teman mama Sarah yang banyak memesan kue kepada Juwi.Terkadang ia sampai bergadang menyiapkan pesanan kue tersebut. Respon mereka cukup baik, enak kalau kata ibu-ibu yang sudah pernah order. Malahan, papa Juwi menyarankan agar Juwi membuat label sendiri untuk kue brownies dan aneka bolunya.Seperti sore ini, Pak Aryo tengah menikmati teh hangat ditemani oleh beberapa potong kue bolu yang bahan dasarnya terbuat dari talas bogor. Bu Nur ikut duduk bersama suaminya di depan teras rumah Juwi. Salsa juga tengah asik bermain bersama kelinci bewarna coklat yang baru saja dibelikan oleh Devit."Anak kita pintar bikin kue, ya. Bu." Pak Aryo terseyum menatap istrinya."Siapa dulu ibunya," sahut blBu Nur yang diikuti seringai manis."Lah, Bu. Kala