04
Hari berganti hari. Semenjak pertemuannya malam itu dengan Lilakanti, Farisyasa mulai sering memikirkan perempuan tersebut.
Dia penasaran dengan kehidupan Lilakanti saat masih bersama Ayah Azrina. Terutama karena perempuan berambut panjang itu tetap diam saat ditanya Farisyasa, tentang penyebab matanya berkaca-kaca.
Farisyasa bisa menebak mungkin dulunya kehidupan rumah tangga Lilakanti dan mantan suaminya, tidak berjalan dengan baik.
Farisyasa teringat pernikahannya bersama Naura Charisma. Betapa Farisyasa menyesali sikapnya yang tak jauh berbeda dibandingkan Baron, yakni menyia-nyiakan istri.
Terbayang kembali kenangan 4 tahun silam, di mana Farisyasa terpaksa menikahi Naura atas permintaan almarhumah neneknya, yang merupakan kerabat jauh Naura.
Kendatipun tidak saling mencintai, tetapi Naura melayani Farisyasa dengan bersungguh-sungguh. Perempuan tersebut bahkan rela berhenti bekerja hanya demi menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya.
Akan tetapi, saat itu Farisyasa tengah mabuk kepayang pada kekasihnya, yang tidak disetujui keluarga, karena dianggap sebagai perempuan matrelealistis.
Hal itu ternyata memang terbukti benar. Tepat seusai Farisyasa menceraikan Naura, kekasihnya menghilang dan akhirnya ditemukan tengah bersama salah satu pengusaha dari Malaysia, di hotel terkenal di Bali.
Farisyasa mengamuk dan menghajar pria itu. Namun, akibatnya dia harus berurusan dengan hukum dan nyaris dimasukkan ke penjara.
Wirya dan tim PBK yang telah berupaya keras untuk membebaskan Farisyasa dari tuntutan hukum berat. Hingga dia hanya mendapatkan sanksi ringan.
Panggilan Dharvan memutus lamunan Farisyasa. Pria bermata sipit menyugar rambutnya yang sedikit memanjang, sambil menunggu adiknya duduk di kursi seberang.
"Ayah nanya, kapan Akang mau datang ke rumah?" tanya Dharvan.
"Belum tahu. Besok aku mau berangkat ke Singapura. Paling bisanya minggu depan ke tempat Ayah," jawab Farisyasa.
"Ke Singapura, ngapain?"
"Proyek SG dan KHAFGEM."
"Hmm, aku lupa, Akang sekarang jadi bos besar."
"Kamu ngeledek?"
"Enggak. Aku justru bangga sama Akang. Bisa membuktikan diri berhasil tanpa embel-embel nama keluarga."
"Itulah tujuanku. Ingin sukses dengan hasil kerja sendiri."
"Ya, aku paham. Aku juga niru Akang."
"Ehm, Van, awal tahun depan aku mau berangkat ke Kanada dan tinggal di sana sekitar 6 bulan."
"Lama amat?"
"Aku gantiin tugas Arudra. Harusnya aku berangkat Agustus. Tapi, karena dia lagi nunggu istrinya lahiran, akhirnya aku yang berangkat duluan."
"Besarkah proyek di sana?"
"Yups. Beberapa perusahaan terkenal ikut ambil bagian di sana. Aku join sama teman-teman PC. Karena kalau modal sendiri, nggak kuat."
"Dari Indonesia, perusahaan mana saja yang ikutan?"
"Pangestu, Mahendra, Pramudya, Adhitama, Baltissen, Ganendra, Dewawarman, Latief, Aryeswara, Janitra, Cyrus dan Vong."
"Gila! Gurita semua!"
"Yang kecil-kecilnya, aku, Arudra, Kasyafani, Ghael, Mark, Hamiz, Drew, Olavius, Emris, HWZ dan Mas Arya."
"Yang kecil kayaknya cuma kita, Kang. Sama Janardana aja, kita masih kalah."
"Om Rahmadi sudah memulai bisnis dari masih belum menikah. Dibantu Om Rianto, Janardana Grup tambah maju. Sekarang, dikerjakan keroyokan lima anak mereka. Ditambah beberapa orang PBK hasil pinjaman, makin kuat pondasinya perusahaan itu."
"Akang nggak minjam tim PBK juga?"
"Bayar gajinya lumayan berat, Van."
Dharvan manggut-manggut. "Iya, sih. Andi aja gajinya besar untuk ukuran karyawan biasa."
"Dia triple job. Ajudan, asisten dan sopir. Kebantu banget aku sejak ada Andi. Dulu, pulang kerja itu udah capek banget dan malas nyetir. Ujung-ujungnya pakai taksi. Double biaya."
Dering ponsel menghentikan percakapan itu. Farisyasa mengambil telepon seluler dari meja. Tanpa sadar dia tersenyum, sesaat sebelum mengangkat panggilan.
"Waalaikumsalam," ucap Farisyasa menjawab salam sang penelepon. "Ada apa, La?" tanyanya.
"Ayah Mas tadi nelepon aku," terang Lilakanti.
Farisyasa membulatkan matanya. "Ayah nelepon?"
"Iya."
"Duh! Kok, beliau bisa tahu nomor teleponmu?"
"Aku juga nggak paham. Kirain Mas yang ngasih."
"Enggak. Aku belum ada ketemu lagi dengan Ayah."
"Hmm."
"Tadi Ayah bilang apa?"
"Beliau nanya, kapan kita mau berkunjung?"
Farisyasa meringis. "Terus kamu jawab apa?"
"Nunggu Mas ngajak aku."
Farisyasa memijat dahinya yang tiba-tiba berdenyut. "Belum bisa dalam minggu ini. Aku baru bisa minggu depan."
"Mas-lah yang ngomong ke beliau."
"Ya, nanti aku telepon Ayah."
"Oke."
"Ehm, La."
"Ya?"
"Nanti malam, bisa ketemu?"
"Di mana?"
"Rumahmu."
Sekian detik suasana hening. Lilakanti memikirkan jawabannya. Sedangkan Farisyasa masih menunggu perempuan tersebut menyahut.
"La, kamu tidur?" seloroh Farisyasa, yang menjadikan Dharvan terkekeh.
"Enggak," jelas Lilakanti. "Aku lagi mikir," ungkapnya.
"Enggak boleh, ya?"
"Aku bingung, Mas. Gimana ngejelasin tentang Mas pada keluargaku."
"Bilang aja, kita teman."
"Bundaku nggak akan percaya. Beliau pasti nanyain terus."
Farisyasa tersenyum. "Ciri khas ibu-ibu."
"Hu um."
"Enggak apa-apa, deh. Aku siap diinterogasi."
"Beneran?"
"Ya. Anggap saja, balas budi karena waktu itu kamu juga dicecar banyak pertanyaan sama ayahku."
***
Lilakanti mematut tampilannya di cermin. Sudah tiga kali dia mengganti baju, karena merasa terlalu resmi. Padahal Farisyasa hanya berkunjung biasa, dan bukan hendak mengajaknya berkencan.
Lilakanti tertegun saat pikiran itu melintas. Dia cepat-cepat menggeleng sembari mengomeli diri yang bertingkah seolah-olah remaja, yang akan diapeli pacar.
Perempuan berbibir penuh mendengkus pelan. Dia harus bisa menahan diri dan menjaga perasaan, agar tidak jatuh hati pada Farisyasa.
"Mama, ada Om Fais," tukas Azrina, sesaat setelah membuka pintu kamar.
Lilakanti spontan tersenyum. "Faris, Na. Bukan Fais," jelasnya.
Azrina mengangguk. Gadis kecil berkaus putih mengamati mamanya yang tengah menyisir rambut. Azrina bingung melihat Lilakanti berdandan. Padahal biasanya sang mama tidak pernah seperti itu bila ada di rumah.
Sekian menit berlalu, Lilakanti dan Azrina telah berada di kursi ruang tamu. Sesuai dugaan, Bunda Lilakanti yang bernama Salma, menanyai Farisyasa yang menjawabnya dengan santun.
Lilakanti merasa malu dengan sikap bundanya. Dia berulang kali menyolek paha Salma, seolah-olah tengah memberi kode agar perempuan tua berjilbab putih berhenti menanyai Farisyasa.
Andi yang turut menemani bosnya, nyaris tidak bisa menahan tawa. Bekerja selama 6 bulan terakhir, membuatnya memahami karakter Farisyasa yang bisa berlakon menjadi orang yang santun. Padahal sebenarnya Farisyasa adalah pribadi yang usil.
"Na, ikut Om, yuk?" ajak Andi. Dia memutuskan untuk membantu sang bos agar terhindar dari interogasi.
"Ke mana?" Azrina balas bertanya.
"Mini market."
"Aku mau beli cokelat."
"Oke." Andi memandangi bosnya, kemudian mengedipkan mata kiri. "Bapak bukannya tadi mau beli martabak?" tanyanya.
"Ehm, ya." Farisyasa hendak mengambil dompetnya, tetapi dia akhirnya mengurungkan niat. "Aku ikut aja, deh. Sekalian mau beli yang lain," ungkapnya.
Andi berdiri, lalu mengulurkan tangan kanan yang diraih Azrina dengan semangat. "Bu, mau ikut juga?" tanyanya sembari menatap Lilakanti.
"Ehm, ya. Tunggu bentar. Aku ngambil dompet dulu," jelas Lilakanti sambil berdiri.
Tidak berselang lama keempatnya telah berada di mobil MPV hitam. Lilakanti mendengarkan putrinya yang sibuk berbincang dengan Farisyasa dan Andi.
Lilakanti mengulum senyuman menyaksikan tingkah Azrina yang kentara sekali senang bisa jalan-jalan menggunakan mobil.
"Mas, yang tadi, maafkan Bunda," bisik Lilakanti sembari mendekatkan diri ke pria yang mengenakan t-shirt putih.
"Enggak apa-apa. Wajar kalau beliau banyak tanya. Apalagi aku memang baru kali ini memperkenalkan diri. Kemarin itu cuma nganterin kamu sampai depan rumah," terang Farisyasa.
"Aku malu."
"Kamu kira, aku nggak malu, waktu Ayah mencecarmu tempo hari? Sama aja, La."
Lilakanti tersenyum. "Tapi, aku pikir Bapak itu orang yang baik. Beliau nanyanya juga sopan. Nggak kayak Bunda tadi."
"It's okay. Aku sudah biasa menghadapi ibu-ibu cerewet."
"Apa Ibu Mas juga gitu?"
"Ibu, sih, nggak terlalu. Tapi sekretarisku. Resenya ngalah-ngalahin bundamu."
Lilakanti seketika terbahak. Demikian pula dengan Andi. Sementara Farisyasa mengamati perempuan berbaju krem yang terlihat sangat berbeda kala tertawa. Lebih bersinar dan terlihat bahagia.
05Grup Tim 3 PC Yoga Pratama : @Kang Farisyasa, posisi di mana? Farisyasa Kagendra : Di ruang tunggu bandara. Idris Darusman ; Mau ke mana, @Farisyasa? Farisyasa : Singapura, @Bang Idris. Hendri Danantya : Bohong. Kang Farisyasa mau ke Yunani. Farzan Bramanty : Dia ngapel Dewi Athena?Nandito Sumitro : Bukan. Kang Farisyasa mau mandiin patung Dewa Zeus.Bertrand Luiz : Salah. Dia mau ngapel aku. Jevera Patibrata : Muncul aja orang Spanyol, chat langsung kacau. Olavius Aristide : Aku lagi meeting, nahan ketawa sampai kentut. Darius Prabaswara : Ya, ampun, Mas @Olavius. Aku ngakak! Farisyasa : Baek-baek ada ampasnya, @Olavius. Yoga : Buruan cebok! Idris : Aku ngikik, dipandangi Pak Sultan.Hendri : Yang lagi rapat, dimohon serius, ya. Farzan : Mana bisa serius kalau chat grup ini on. Nandito : Grup utama lagi heboh. Bertrand : Ada apaan? Aku belum cek ke sana. Jevera : Katanya, PC mau dipecah dua. Olavius : Beneran? Darius : Aku baru dengar. Farisyasa : Masih wacana,
06Di luar dugaan Lilakanti, ternyata dirinya dan Azrina disambut Nazeem serta Rumaisha dengan ramah. Begitu pula dengan Elmeira, yang langsung mengajak Azrina bermain ayunan di halaman belakang. Lilakanti yang sedang berada di ruang tengah, sekali-sekali akan memandangi putrinya yang terlihat senang di ayunan. Lilakanti turut tersenyum jika mendengar tawa Azrina yang sedang dicandai Elmeira. "Jadi, saat kamu bercerai dulu, Azrina baru berumur 3 tahun?" tanya Nazeem sembari memerhatikan perempuan bergaun hijau muda di kursi seberang. "Belum sampai 3 tahun, Pak. Sekitar 2 tahun 8 bulan," terang Lilakanti. "Apa dia tidak merindukan papanya?" "Saya rasa nggak. Karena saat kami masih bersama pun, papanya sibuk di luar rumah dan jarang punya waktu buat Azrina." Nazeem tertegun sesaat. Dia melirik putra sulungnya yang tengah menunduk. "Maksudmu, mantan suami termasuk orang yang tidak perhatian?" "Saya sebenarnya tidak mau membuka cerita lama, Pak. Tapi memang itu kenyataannya." Naze
07Suasana rapat di kantor HnB yang semula tenang, seketika berubah ricuh akibat perdebatan Arudra dan Arman. Keduanya saling memelototi sembari bergaya aneh-aneh yang menimbulkan gelakak hadirin. Bayu Setiawan, Ayah Arman, hanya bisa menggeleng menyaksikan tingkah putra ketiganya yang masih saling meledek dengan Arudra. Perkelahian pura-pura itu pun usai, setelah Hadrian Danadyaksha dan Linggha Atthaya Pangestu turun tangan mendamaikan kedua belah pihak yang sedang berseteru. "Sudah, cukup bercandanya," tukas Bayu. "Saya mau ketemu Hilman, kalian lanjutkan rapatnya," ungkapnya sambil berdiri dan merapikan jas biru tua yang dikenakannya. Farisyasa dan rekan-rekannya serentak berdiri untuk menyalami komisaris 2 HnB Grup. Kemudian mereka duduk kembali dan memandangi Arman yang masih berdiri di ujung kanan meja. "Fokusku sudah buyar, gara-gara si borokokok eta!" sungut Arman sambil mendelik pada putra sulung Rahmadi Janardana. "Didinya nu mulai ti heula," sanggah Arudra sembari mer
08Pekikan Azrina menyambut kehadiran Farisyasa pagi itu. Pria berkemeja putih pas badan, turun dari mobil dan jalan menuju teras rumah, di mana Azrina telah menunggu. Hati Farisyasa menghangat kala Azrina menyalaminya dengan takzim. Pria berjanggut membiarkan dirinya ditarik gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua, memasuki ruang tamu. Farisyasa menyalami Damhuri dan Salma. Mereka berbincang sesaat, sembari menunggu Lilakanti keluar. Ketika perempuan tersebut muncul, Farisyasa spontan mengulaskan senyuman yang dibalas hal serupa oleh Lilakanti. "Kita langsung berangkat. Teman-teman sudah nunggu di kantor PC," tukas Farisyasa. Lilakanti tidak menyahut. Dia langsung menyalami kedua orang tuanya dengan takzim. Farisyasa dan Azrina menyusul berpamitan pada pasangan tua tersebut. Kemudian ketiganya mengayunkan tungkai menuju mobil. Damhuri memerhatikan hingga mobil MPV hitam bergerak menjauh. Dia masih penasaran dengan hubungan sang putri dan Farisyasa, yang diakui Lilakanti sebagai
09Pesta pernikahan Daffin, Adik bungsu Andra Kastara, anggota tim 3 PG, malam itu berlangsung meriah. Ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan, terlihat ramai orang dengan berbagai tampilan. Andra dan Elena, istrinya, tampak sibuk berkeliling untuk menyapa semua tamu mereka. Terutama yang berasal dari PG, PC dan PBK. Selain para pengusaha muda, beberapa pebisnis senior juga turut hadir. Sultan Pramudya, Gustavo Baltissen, Frederick Adhitama, Frans Adhitama, Finley Adhitama, Katon Hayaka, Rafael Janitra, Peter Aryeswara, Ahmad Yafiq Latief, Bachtiar Ganendra, Nazran Pangestu, Hilman Gilbran dan Bayu Setiawan, terlihat senang bisa berkumpul di tempat VIP 1.Lilakanti mengamati kumpulan pengusaha senior tersebut dengan penuh kekaguman. Dia tidak menyangka bisa bertemu mereka yang selama itu hanya dilihatnya di layar kaca ataupun media sosial lainnya.Lilakanti deg-degan ketika diajak Mayuree untuk berkenalan dengan Ayah dan ibunya. Lilakanti menyalami Sultan dan Winarti
01Ketukan palu hakim pengadilan agama Bandung yang menandakan bahwa sidang perceraian telah usai, membuat hati Lilakanti Risniar hancur berkeping-keping.Perempuan berambut sebahu itu sekuat tenaga menahan tangisan yang hampir keluar. Dia menggigit bibir bawah sambil mempererat pegangan ke tangan Anita, sahabat karibnya. Lilakanti berdiri dengan kaki yang sedikit goyah. Dia tetap berpegangan pada Anita yang menuntunnya menuju meja hakim dan menyalami pria berkumis tipis yang memandanginya dengan sorot mata prihatin. Kemudian Lilakanti dan Anita menyambangi tim kuasa hukum untuk berbincang sesaat. Sementara pria yang berada tidak jauh dari tempat Lilakanti dan Anita berdiri, menyalami hakim dengan wajah semringah. Sekilas pria tersebut melirik Lilakanti, kemudian membalikkan tubuh dan jalan bersama pengacaranya ke luar ruang sidang. Lilakanti menatap punggung Baron dengan hati yang sangat hancur. Pengabdiannya selama lima tahun lebih pernikahan ternyata tidak berarti apa-apa buat B
02Lilakanti sangat menikmati perubahan ekspresi wajah Baron. Pria itu kentara sekali tengah terkejut mendengar penuturan lelaki berjanggut di samping kiri Lilakanti. "Ehm, Kagendra Grup, betul?" tanya Baron setelah bisa menguasai diri. "Ya," jawab Farisyasa. "Apanya Pak Nazeem?" "Saya anak tertua beliau." "Ehm, ya." "Kamu kerja di mana?""DS Grup." "Salam buat Om Ghandi." "Ya, nanti saya sampaikan." Farisyasa menoleh ke kanan. "Sayang, kita ditunggu Koko Dante di ruang VIP," ungkapnya yang dibalas anggukan Lilakanti. Farisyasa kembali mengarahkan pandangan ke depan. "Sorry, saya ada pertemuan dengan keluarga Adhitama. Permisi," cakapnya seraya tersenyum. Baron tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia mengamati pria yang menggandeng lengan kiri Lilakanti sembari bergerak menjauh. "Mas, dia siapa?" tanya Calista sembari memerhatikan pasangan yang tengah melenggang dengan santai. "Tadi dia bilang anak tertua Pak Nazeem. Berarti CEO Kagendra Grup," jelas Baron."Kok, pembant
03Malam itu, suasana di sebuah restoran di pusat Kota Bandung terlihat ramai. Semua orang merupakan undangan untuk menghadiri acara ulang tahun pernikahan Nazeem Kagendra dan Rumaisha yang ke-35 tahun. Hampir setiap tahun pasangan tua tersebut merayakan hari jadi pernikahan mereka. Keduanya melakukan itu untuk memberikan contoh yang baik buat semua anak dan cucu keluarga Kagendra. Mobil yang dikemudikan Andi berhenti di tempat parkir paling belakang. Pria berkemeja batik merah keluar dan membukakan pintu buat bosnya. Kemudian Andi memutari mobil untuk membuka pintu sisi kiri. Lilakanti keluar sembari mengucapkan terima kasih pada Andi. Perempuan bergaun biru tua mengilat yang warnanya sama dengan jas Farisyasa, memandangi bangunan besar di hadapannya dengan dada berdebar-debar. "Ayo," ajak Farisyasa. Lilakanti mengangguk, sebelum mengayunkan tungkai menuju anak tangga di dekat teras. Perempuan bermata besar, tertegun kala Farisyasa mengarahkan lengan kirinya agar digamit Lilakan
09Pesta pernikahan Daffin, Adik bungsu Andra Kastara, anggota tim 3 PG, malam itu berlangsung meriah. Ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan, terlihat ramai orang dengan berbagai tampilan. Andra dan Elena, istrinya, tampak sibuk berkeliling untuk menyapa semua tamu mereka. Terutama yang berasal dari PG, PC dan PBK. Selain para pengusaha muda, beberapa pebisnis senior juga turut hadir. Sultan Pramudya, Gustavo Baltissen, Frederick Adhitama, Frans Adhitama, Finley Adhitama, Katon Hayaka, Rafael Janitra, Peter Aryeswara, Ahmad Yafiq Latief, Bachtiar Ganendra, Nazran Pangestu, Hilman Gilbran dan Bayu Setiawan, terlihat senang bisa berkumpul di tempat VIP 1.Lilakanti mengamati kumpulan pengusaha senior tersebut dengan penuh kekaguman. Dia tidak menyangka bisa bertemu mereka yang selama itu hanya dilihatnya di layar kaca ataupun media sosial lainnya.Lilakanti deg-degan ketika diajak Mayuree untuk berkenalan dengan Ayah dan ibunya. Lilakanti menyalami Sultan dan Winarti
08Pekikan Azrina menyambut kehadiran Farisyasa pagi itu. Pria berkemeja putih pas badan, turun dari mobil dan jalan menuju teras rumah, di mana Azrina telah menunggu. Hati Farisyasa menghangat kala Azrina menyalaminya dengan takzim. Pria berjanggut membiarkan dirinya ditarik gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua, memasuki ruang tamu. Farisyasa menyalami Damhuri dan Salma. Mereka berbincang sesaat, sembari menunggu Lilakanti keluar. Ketika perempuan tersebut muncul, Farisyasa spontan mengulaskan senyuman yang dibalas hal serupa oleh Lilakanti. "Kita langsung berangkat. Teman-teman sudah nunggu di kantor PC," tukas Farisyasa. Lilakanti tidak menyahut. Dia langsung menyalami kedua orang tuanya dengan takzim. Farisyasa dan Azrina menyusul berpamitan pada pasangan tua tersebut. Kemudian ketiganya mengayunkan tungkai menuju mobil. Damhuri memerhatikan hingga mobil MPV hitam bergerak menjauh. Dia masih penasaran dengan hubungan sang putri dan Farisyasa, yang diakui Lilakanti sebagai
07Suasana rapat di kantor HnB yang semula tenang, seketika berubah ricuh akibat perdebatan Arudra dan Arman. Keduanya saling memelototi sembari bergaya aneh-aneh yang menimbulkan gelakak hadirin. Bayu Setiawan, Ayah Arman, hanya bisa menggeleng menyaksikan tingkah putra ketiganya yang masih saling meledek dengan Arudra. Perkelahian pura-pura itu pun usai, setelah Hadrian Danadyaksha dan Linggha Atthaya Pangestu turun tangan mendamaikan kedua belah pihak yang sedang berseteru. "Sudah, cukup bercandanya," tukas Bayu. "Saya mau ketemu Hilman, kalian lanjutkan rapatnya," ungkapnya sambil berdiri dan merapikan jas biru tua yang dikenakannya. Farisyasa dan rekan-rekannya serentak berdiri untuk menyalami komisaris 2 HnB Grup. Kemudian mereka duduk kembali dan memandangi Arman yang masih berdiri di ujung kanan meja. "Fokusku sudah buyar, gara-gara si borokokok eta!" sungut Arman sambil mendelik pada putra sulung Rahmadi Janardana. "Didinya nu mulai ti heula," sanggah Arudra sembari mer
06Di luar dugaan Lilakanti, ternyata dirinya dan Azrina disambut Nazeem serta Rumaisha dengan ramah. Begitu pula dengan Elmeira, yang langsung mengajak Azrina bermain ayunan di halaman belakang. Lilakanti yang sedang berada di ruang tengah, sekali-sekali akan memandangi putrinya yang terlihat senang di ayunan. Lilakanti turut tersenyum jika mendengar tawa Azrina yang sedang dicandai Elmeira. "Jadi, saat kamu bercerai dulu, Azrina baru berumur 3 tahun?" tanya Nazeem sembari memerhatikan perempuan bergaun hijau muda di kursi seberang. "Belum sampai 3 tahun, Pak. Sekitar 2 tahun 8 bulan," terang Lilakanti. "Apa dia tidak merindukan papanya?" "Saya rasa nggak. Karena saat kami masih bersama pun, papanya sibuk di luar rumah dan jarang punya waktu buat Azrina." Nazeem tertegun sesaat. Dia melirik putra sulungnya yang tengah menunduk. "Maksudmu, mantan suami termasuk orang yang tidak perhatian?" "Saya sebenarnya tidak mau membuka cerita lama, Pak. Tapi memang itu kenyataannya." Naze
05Grup Tim 3 PC Yoga Pratama : @Kang Farisyasa, posisi di mana? Farisyasa Kagendra : Di ruang tunggu bandara. Idris Darusman ; Mau ke mana, @Farisyasa? Farisyasa : Singapura, @Bang Idris. Hendri Danantya : Bohong. Kang Farisyasa mau ke Yunani. Farzan Bramanty : Dia ngapel Dewi Athena?Nandito Sumitro : Bukan. Kang Farisyasa mau mandiin patung Dewa Zeus.Bertrand Luiz : Salah. Dia mau ngapel aku. Jevera Patibrata : Muncul aja orang Spanyol, chat langsung kacau. Olavius Aristide : Aku lagi meeting, nahan ketawa sampai kentut. Darius Prabaswara : Ya, ampun, Mas @Olavius. Aku ngakak! Farisyasa : Baek-baek ada ampasnya, @Olavius. Yoga : Buruan cebok! Idris : Aku ngikik, dipandangi Pak Sultan.Hendri : Yang lagi rapat, dimohon serius, ya. Farzan : Mana bisa serius kalau chat grup ini on. Nandito : Grup utama lagi heboh. Bertrand : Ada apaan? Aku belum cek ke sana. Jevera : Katanya, PC mau dipecah dua. Olavius : Beneran? Darius : Aku baru dengar. Farisyasa : Masih wacana,
04Hari berganti hari. Semenjak pertemuannya malam itu dengan Lilakanti, Farisyasa mulai sering memikirkan perempuan tersebut. Dia penasaran dengan kehidupan Lilakanti saat masih bersama Ayah Azrina. Terutama karena perempuan berambut panjang itu tetap diam saat ditanya Farisyasa, tentang penyebab matanya berkaca-kaca. Farisyasa bisa menebak mungkin dulunya kehidupan rumah tangga Lilakanti dan mantan suaminya, tidak berjalan dengan baik. Farisyasa teringat pernikahannya bersama Naura Charisma. Betapa Farisyasa menyesali sikapnya yang tak jauh berbeda dibandingkan Baron, yakni menyia-nyiakan istri. Terbayang kembali kenangan 4 tahun silam, di mana Farisyasa terpaksa menikahi Naura atas permintaan almarhumah neneknya, yang merupakan kerabat jauh Naura. Kendatipun tidak saling mencintai, tetapi Naura melayani Farisyasa dengan bersungguh-sungguh. Perempuan tersebut bahkan rela berhenti bekerja hanya demi menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya. Akan tetapi, saat itu Farisyasa tengah mab
03Malam itu, suasana di sebuah restoran di pusat Kota Bandung terlihat ramai. Semua orang merupakan undangan untuk menghadiri acara ulang tahun pernikahan Nazeem Kagendra dan Rumaisha yang ke-35 tahun. Hampir setiap tahun pasangan tua tersebut merayakan hari jadi pernikahan mereka. Keduanya melakukan itu untuk memberikan contoh yang baik buat semua anak dan cucu keluarga Kagendra. Mobil yang dikemudikan Andi berhenti di tempat parkir paling belakang. Pria berkemeja batik merah keluar dan membukakan pintu buat bosnya. Kemudian Andi memutari mobil untuk membuka pintu sisi kiri. Lilakanti keluar sembari mengucapkan terima kasih pada Andi. Perempuan bergaun biru tua mengilat yang warnanya sama dengan jas Farisyasa, memandangi bangunan besar di hadapannya dengan dada berdebar-debar. "Ayo," ajak Farisyasa. Lilakanti mengangguk, sebelum mengayunkan tungkai menuju anak tangga di dekat teras. Perempuan bermata besar, tertegun kala Farisyasa mengarahkan lengan kirinya agar digamit Lilakan
02Lilakanti sangat menikmati perubahan ekspresi wajah Baron. Pria itu kentara sekali tengah terkejut mendengar penuturan lelaki berjanggut di samping kiri Lilakanti. "Ehm, Kagendra Grup, betul?" tanya Baron setelah bisa menguasai diri. "Ya," jawab Farisyasa. "Apanya Pak Nazeem?" "Saya anak tertua beliau." "Ehm, ya." "Kamu kerja di mana?""DS Grup." "Salam buat Om Ghandi." "Ya, nanti saya sampaikan." Farisyasa menoleh ke kanan. "Sayang, kita ditunggu Koko Dante di ruang VIP," ungkapnya yang dibalas anggukan Lilakanti. Farisyasa kembali mengarahkan pandangan ke depan. "Sorry, saya ada pertemuan dengan keluarga Adhitama. Permisi," cakapnya seraya tersenyum. Baron tidak menyahut dan hanya mengangguk. Dia mengamati pria yang menggandeng lengan kiri Lilakanti sembari bergerak menjauh. "Mas, dia siapa?" tanya Calista sembari memerhatikan pasangan yang tengah melenggang dengan santai. "Tadi dia bilang anak tertua Pak Nazeem. Berarti CEO Kagendra Grup," jelas Baron."Kok, pembant
01Ketukan palu hakim pengadilan agama Bandung yang menandakan bahwa sidang perceraian telah usai, membuat hati Lilakanti Risniar hancur berkeping-keping.Perempuan berambut sebahu itu sekuat tenaga menahan tangisan yang hampir keluar. Dia menggigit bibir bawah sambil mempererat pegangan ke tangan Anita, sahabat karibnya. Lilakanti berdiri dengan kaki yang sedikit goyah. Dia tetap berpegangan pada Anita yang menuntunnya menuju meja hakim dan menyalami pria berkumis tipis yang memandanginya dengan sorot mata prihatin. Kemudian Lilakanti dan Anita menyambangi tim kuasa hukum untuk berbincang sesaat. Sementara pria yang berada tidak jauh dari tempat Lilakanti dan Anita berdiri, menyalami hakim dengan wajah semringah. Sekilas pria tersebut melirik Lilakanti, kemudian membalikkan tubuh dan jalan bersama pengacaranya ke luar ruang sidang. Lilakanti menatap punggung Baron dengan hati yang sangat hancur. Pengabdiannya selama lima tahun lebih pernikahan ternyata tidak berarti apa-apa buat B