07
Suasana rapat di kantor HnB yang semula tenang, seketika berubah ricuh akibat perdebatan Arudra dan Arman. Keduanya saling memelototi sembari bergaya aneh-aneh yang menimbulkan gelakak hadirin.
Bayu Setiawan, Ayah Arman, hanya bisa menggeleng menyaksikan tingkah putra ketiganya yang masih saling meledek dengan Arudra.
Perkelahian pura-pura itu pun usai, setelah Hadrian Danadyaksha dan Linggha Atthaya Pangestu turun tangan mendamaikan kedua belah pihak yang sedang berseteru.
"Sudah, cukup bercandanya," tukas Bayu. "Saya mau ketemu Hilman, kalian lanjutkan rapatnya," ungkapnya sambil berdiri dan merapikan jas biru tua yang dikenakannya.
Farisyasa dan rekan-rekannya serentak berdiri untuk menyalami komisaris 2 HnB Grup. Kemudian mereka duduk kembali dan memandangi Arman yang masih berdiri di ujung kanan meja.
"Fokusku sudah buyar, gara-gara si borokokok eta!" sungut Arman sambil mendelik pada putra sulung Rahmadi Janardana.
"Didinya nu mulai ti heula," sanggah Arudra sembari merapikan rambutnya yang kian memanjang.
"Cicing!"
"Tong marah-marah wae. Rezeki seret. Jodoh pun makin jauh."
"Eta mulut teu tiasa mingkem?"
"Urang keur ngidam berdebat."
"Ngidam yang aneh."
"Aku lupa, Zivara sekarang hamilnya berapa bulan, Ra?" tanya Hadrian, anggota tim 1 PG.
"5 bulan, Kang," terang Arudra yang merupakan ketua tim 7 PC.
"4 bulan lagi sudah bisa gendong bayi," sela Emris Rafardhan, anggota kelompok 4 PC.
"Pasti Arudra jadi malas kerja jauh. Bawaannya pengen meluk anak terus," seloroh Giandra Ardianto, anggota tim 5 PG.
"Betul itu. Saya juga kalau mau dinas seminggu, meluk Dedek lama banget," ungkap Linggha Atthaya Pangestu, ketua tim 5 PG, sekaligus sahabat Giandra.
"Dedek atau bundanya?" desak Hadrian.
"Mas Linggha lebih suka nibanin Bunda Varsa," canda Arudra.
"Tolong, ya, banyak jomlo di sini. Bicara yang sopan!" desis Arman.
"Makanya, buruan nikah!" seru Fairel Atthariz Calief, putra ketiga Hilman Gilbran dan anggota tim 2 PG. Fairel dan Arman sudah bersahabat sejak masih kecil.
"Cariin calonnya, atuhlah," rengek Arman.
"Males. Aku sama istri sudah ngenalin banyak perempuan. Jangankan jadi istri, jadi pacar pun semuanya gagal," cibir Fairel.
"Sama temannya Varsa, mau nggak, Man?" tanya Linggha.
"Yang mana, Mas?" Arman balik bertanya.
"Davina."
Arman mengerutkan dahi. "Aku lupa orangnya yang mana."
"Kamu cek foto pegawai kantor PC."
"Dia kerja di sana?"
"Ya, staf marketing."
"Yang rambutnya panjang sampai pinggang, kan, Gha?" celetuk Giandra.
"Betul. Manis orangnya," papar Linggha.
"Rambutnya sepinggang? Kok, aku jadi ngebayangin sundel bolong," kelakar Arman yang langsung diteriaki rekan-rekannya.
"Kan! Makanya aku nggak mau lagi ngenalin perempuan ke dia. Ada aja celanya!" geram Fairel sambil melempari Arman dengan gumpalan tisu.
"Kayaknya ada satu perempuan yang cocok buat Arman. Orangnya cantik, tapi rada judes dikit," timpal Zein yang seketika menjadi pusat perhatian teman-temannya.
"Siapa, Z?" tanya Hendri. Dia dan teman-teman kuliah memanggil nama anggota kelompok mereka dengan huruf depan. Termasuk Wirya, Farzan Bramanty, Samudera Harjasa dan Harry Abhimana.
"Freya," terang Zein.
Arman mengingat-ingat sosok perempuan yang disebutkan rekannya. "Adik Gwen?"
"Yups," balas Zein.
"Abang pengen aku mati berdiri?"
"Enggak bakal mati. Paling koma, doang."
"Nah! Bener, tuh. Freya galak. Pasti bisa nanganin Arman," usul Fairel.
"Aku setuju. Freya sangat tegas dan mandiri. Bahkan lebih sangar dari Gwen," imbuh Hendri.
"Ngadapin Gwen aja, Arman bakal mengerut. Apalagi berhadapan dengan Freya," cela Farisyasa.
"Langsung jadi kerdil dia," timpal Hadrian, sebelum dia turut terbahak bersama rekan-rekannya.
*** Langit cerah telah menggelap, ketika Farisyasa tiba di rumahnya yang berada dalam satu kompleks dengan kediaman Emris, hanya berbeda blok.Farisyasa duduk menyandar ke sofa ruang tengah. Dia menonton televisi sambil menunggu kopinya diantarkan asisten rumah. Sementara Andi duduk di lantai sambil menyemir sepatu pantofelnya hingga mengilat.
"Pak, sepatunya mau sekalian kusemir?" tanya Andi sambil memandangi sang bos yang sedang menyandarkan kepala ke tumpukan bantal sofa.
"Enggak usah. Masih cling," tolak Farisyasa tanpa menoleh.
"Habis kondangan, aku boleh libur, nggak?"
"Cari penggantimu. Aku repot kalau nyetir sendirian. Mana Senin nanti aku mau ke Garut."
"Aku sudah chat Nuraga, dan dia mau gantiin 3 hari."
"Berarti dari hari apa?"
"Senin sampai Rabu."
"Dia nggak naik jaga?"
"Belum dapat unit kerja dia. Masih jadi cadangan pengawal area Bandung."
"Hmm, coba nanti kutanya ke Dharvan. Kemaren dia sempat bilang butuh asisten, karena asisten yang sekarang, istrinya lagi hamil, harus jadi Bapak siaga."
"Nuraga pasti mau, Pak. Dia sudah ngarep dapat tempat utama. Apalagi dia jadi tulang punggung keluarga sekarang."
"Orang tuanya?"
"Ayahnya pedagang sayur di Cianjur. Ibunya sekarang lagi lumpuh separuh karena kena stroke."
Farisyasa manggut-manggut. Dia berpikir untuk mendesak adiknya supaya mempekerjakan ajudan pribadi. Terutama karena Dharvan harus menggantikan posisinya di Sundanese Grup, yang menyebabkan Dharvan harus sering ke luar kota untuk mengecek proyek.
Sundanese Grup adalah perusahaan baru beranggotakan 25 orang berdarah Sunda. Dua puluh dua orang merupakan anggota PC, sedangkan tiga orang lainnya adalah tim PG.
"Pak, besok kita berangkat jam berapa?" tanya Andi yang sontak memutus lamunan sang bos.
"Ehm, jam 9. Tapi, kita jemput Lilakanti dan Azrina dulu. Baru nyusul konvoi," ungkap Farisyasa sembari mengurut leher belakang.
"Bapak beneran pacaran sama Bu Lila?"
Farisyasa melirik ajudannya. "Enggak. Kamu, kan, sudah tahu status kami."
"Kupikir Bapak beneran suka sama Ibu. Begitu juga beliau."
"Ngayal."
"Serius, Pak."
"Aku nggak berani begitu, karena ... ehm ...."
"Gimana?"
Farisyasa mendengkus pelan. "Kelakuanku dan mantan suaminya, sama. Bisa saja dia masih trauma diselingkuhi dan disakiti hatinya."
Andi mengangguk paham. "Tapi, sepanjang yang kulihat, Bapak nggak seburuk orang itu. Bapak kelihatan sayang sama Azrina. Beda sama papanya."
"Azrina itu lucu. Mengingatkanku akan sosok Elmeira waktu kecil," ungkap Farisyasa seraya tersenyum. "Usiaku dan Meira beda 10 tahun. Aku ikut ngasuh dia dulu, dan tingkah Azrina sama dengan Meira saat TK," bebernya.
"Kupikir, Bapak memang penyayang anak kecil. Sama Kayden, Rhetta dan yang lainnya, Bapak juga dekat."
"Ya, kamu benar. Mungkin itu pancaran dari keinginanku menjadi seorang Bapak, yang sayangnya belum terwujud sampai sekarang."
"Bapak bisa langsung punya anak kalau nikah sama Bu Lila."
Farisyasa melengos. "Ke situ lagi!" sungutnya.
"Bapak sama Ibu itu cocok. Ini bukan omonganku saja, tapi juga kata orang-orang kantor."
"Kalian ngegosipin aku di belakang?"
"Aku cuma dengar gosip itu dari bisik-bisik karyawan. Mereka, kan, ada yang diundang waktu acaranya Pak Nazeem tempo hari. Jadi, mereka lihat langsung Ibu seperti apa."
"Ehm, aku lupa kalau waktu itu ada karyawan yang jadi tamu."
"Bapak tahu? Banyak karyawati yang patah hati karena Bapak punya calon istri."
"Mereka harusnya nggak begitu, karena dari dulu aku punya prinsip, nggak mau jatuh cinta pada karyawan. Mending cari orang luar saja. Biar nggak timbul iri binti dengki karyawan lainnya."
08Pekikan Azrina menyambut kehadiran Farisyasa pagi itu. Pria berkemeja putih pas badan, turun dari mobil dan jalan menuju teras rumah, di mana Azrina telah menunggu. Hati Farisyasa menghangat kala Azrina menyalaminya dengan takzim. Pria berjanggut membiarkan dirinya ditarik gadis kecil yang rambutnya dikuncir dua, memasuki ruang tamu. Farisyasa menyalami Damhuri dan Salma. Mereka berbincang sesaat, sembari menunggu Lilakanti keluar. Ketika perempuan tersebut muncul, Farisyasa spontan mengulaskan senyuman yang dibalas hal serupa oleh Lilakanti. "Kita langsung berangkat. Teman-teman sudah nunggu di kantor PC," tukas Farisyasa. Lilakanti tidak menyahut. Dia langsung menyalami kedua orang tuanya dengan takzim. Farisyasa dan Azrina menyusul berpamitan pada pasangan tua tersebut. Kemudian ketiganya mengayunkan tungkai menuju mobil. Damhuri memerhatikan hingga mobil MPV hitam bergerak menjauh. Dia masih penasaran dengan hubungan sang putri dan Farisyasa, yang diakui Lilakanti sebagai
09Pesta pernikahan Daffin, Adik bungsu Andra Kastara, anggota tim 3 PG, malam itu berlangsung meriah. Ballroom hotel bintang lima di kawasan Jakarta Selatan, terlihat ramai orang dengan berbagai tampilan. Andra dan Elena, istrinya, tampak sibuk berkeliling untuk menyapa semua tamu mereka. Terutama yang berasal dari PG, PC dan PBK. Selain para pengusaha muda, beberapa pebisnis senior juga turut hadir. Sultan Pramudya, Gustavo Baltissen, Frederick Adhitama, Frans Adhitama, Finley Adhitama, Katon Hayaka, Rafael Janitra, Peter Aryeswara, Ahmad Yafiq Latief, Bachtiar Ganendra, Nazran Pangestu, Hilman Gilbran dan Bayu Setiawan, terlihat senang bisa berkumpul di tempat VIP 1.Lilakanti mengamati kumpulan pengusaha senior tersebut dengan penuh kekaguman. Dia tidak menyangka bisa bertemu mereka yang selama itu hanya dilihatnya di layar kaca ataupun media sosial lainnya.Lilakanti deg-degan ketika diajak Mayuree untuk berkenalan dengan Ayah dan ibunya. Lilakanti menyalami Sultan dan Winarti
10Acara wisata yang diikuti puluhan orang, berlangsung meriah. Para pengawal muda PBK mengusulkan diadakannya acara kuis. Semua bos PG dan PC yang berada di bus 1, menyambut hal itu dengan antusias. Jauhari dan Yusuf menjadi pemandu acara. Sedangkan Aditya dan Chairil menjadi juri. Keempatnya yang merupakan pengawal lapis tiga, berdiskusi untuk menentukan pertanyaan, sementara puluhan orang lainnya berbaris saling berhadapan. Tim PG yang dipimpin Baskara, berpose dengan melipat kedua tangan di depan dada, sambil mengangkat dagu tinggi-tinggi. Sedangkan tim PC yang dipimpin Zafran, bergaya bak binaraga, yang justru menimbulkan gelakak penonton. "Kayak biasa, ketua regu adu suit, buat menentukan tim mana yang menjawab pertanyaan pertama," cakap Jauhari. "Silakan, Daddy Baskara dan Bro Zafran untuk maju," pinta Yusuf. Adu suit berlangsung alot, karena kedua ketua sama-sama bersikeras untuk memenangkan pertandingan. Ketika Zafran berhasil mengungguli Baskara, tim PC bersorak. "Oke,
11"Kamu ngapain angkat telepon dari dia?" tanya Calista sambil memelototi pria berkaus merah yang tengah duduk di sofa hitam. "Aku sengaja. Biar dia tahu, kalau kamu sudah nggak cinta lagi sama dia," jawab Jimmy dengan sangat tenang. "Itu urusanku. Kamu jangan ikut campur!" "Aku harus ikut campur, karena aku calon suamimu!" Calista berdecih. "Masih lama. Aku juga harus menyelesaikan hubunganku dengan dia." "Jangan ditunda. Dia harus tahu, anak di dalam kandunganmu adalah anakku." Calista mendelik pada laki-laki yang merupakan mantan pacarnya dulu, sebelum dia menjalin kasih dengan Baron. Calista berbalik dan jalan ke kamarnya. Perempuan berambut panjang merebahkan diri di kasur. Dia menatap nyalang pada langit-langit sembari memikirkan Baron. Perempuan berparas ayu merasa yakin, jika Baron akan mengamuk bila mengetahui hal yang sebenarnya. Namun, Calista tidak memiliki pilihan lain. Dia harus meninggalkan Baron, agar bisa menikahi Jimmy. Calista mengatur rencana dengan rinci
12Hari berganti. Siang itu, Farisyasa tengah berada di salah satu restoran di pusat Kota Bandung, saat sekelompok orang memasuki ruangan luas itu.Farisyasa tertegun sesaat, sebelum melambaikan tangan kanannya. Dia berdiri dan menyunggingkan untuk menyambut kehadiran perempuan, yang belakangan kian dekat dengannya. "Lagi lunch, Mas?" tanya Lilakanti sambil menyalami Farisyasa. Kemudian dia bergeser untuk bersalaman dengan beberapa rekan pria tersebut. "Ya. Kamu, baru mau makan siang?" Farisyasa balas bertanya sembari berjabatan tangan dengan kedua teman Lilakanti. "Iya. Anita ngajak makan di sini." Lilakanti melirik sahabatnya yang tengah mengamati Farisyasa. "Ta, jangan mangap gitu," selorohnya sambil menyenggol lengan kanan Anita. "Ehm, ya. Aku ...." Anita memandangi pria bermata sipit yang terlihat kebingungan diperhatikan seperti itu. "Cakepan aslinya, daripada di foto," pujinya. "Makasih," balas Farisyasa seraya tersenyum. "Silakan dilanjutkan makannya. Kami mau ke sana,"
13Ruang rapat di kantor Janardana Grup tampak ramai. Namun, semua orang tetap diam sambil memfokuskan pandangan pada presiden direktur perusahaan tersebut, yang tengah menerangkan kemajuan di proyek SG atau Sundanese Grup. Kedua puluh enam pria lainnya serentak bertepuk tangan, kala Arudra menuntaskan laporan. Pria berkemeja hijau muda merunduk sedikit, kemudian menegakkan badan seraya mengulum senyuman. "Mantaplah, Arudra, nih," puji Harry Adhitama, anggota tim 2 PG yang merupakan mentor Arudra. "Ini berkat arahan Mas," balas Arudra, sembari duduk di kursinya. "Aku hanya kasih input sedikit, selebihnya, kamu memang sudah jago," ungkap Harry. "Aku jadi salting," seloroh Arudra. "Bhadra dan Casugraha, kalian harus bisa menyamai kemampuan Arudra." Alvaro Gustav Baltissen, komisaris PBK dan beberapa perusahaan lainnya, memandangi kedua pria muda di kursi ujung kiri. "Kak Bhadra sudah separuh, Bang. Aku baru 10%," cakap Casugraha, putra bungsu keluarga Janardana. "Dia merendah,"
14Farisyasa tiba di kediaman orang tuanya, beberapa saat sebelum pukul 7 malam. Dia mendatangi sang ayah dan Ibu untuk menyalami mereka dengan takzim. Kemudian Farisyasa berpindah untuk bersalaman dengan pasangan tua di kursi seberang. Pria berkemeja hijau tua memaksakan senyuman ketika menyalami perempuan berambut panjang, yang menatapnya penuh minat. Farisyasa menghempaskan badan di antara kedua adiknya. Dharvan melirik sang akang yang balas memandanginya sesaat, sebelum mengalihkan pandangan ke depan. Percakapan keempat orang tua tersebut berlanjut dengan berbagai bahasan. Farisyasa menyibukkan diri dengan membaca pesan-pesan di ponselnya. Sudut bibir Farisyasa melengkungkan senyuman, seusai membaca percakapan rekan-rekannya di grup SG. Farisyasa terkekeh, kala pembicaraan itu berubah menjadi acara saling meledek teman-temannya. "Kang, dipandangin para orang tua," bisik Dharvan sembari menepuk pelan lengan kanan akangnya. Farisyasa berusaha menghentikan gelakak sambil berpur
15"Kenapa?" tanya Lilakanti setelah bisa menguasai diri. "Sandra dan orang tuanya datang. Lalu pembahasan tentang perjodohan membuatku kesal. Hingga aku akhirnya kembali menegaskan penolakan, dengan alasan sudah memiliki calon istri," jelas Farisyasa. "Aku dan Sandra bertengkar. Kemudian dia pergi bersama orang tuanya. Ayah marahin aku. Bahkan beliau juga mengungkit aibku di masa lalu." Farisyasa tidak menyebutkan hinaan ayahnya agar Lilakanti tidak tersinggung. "Aku belum cerita, kan?" tanya Farisyasa yang dibalas Lilakanti dengan anggukan. "Saat pernikahan pertama dulu, tingkahku sama brengseknya dengan mantan suamimu," ungkapnya yang mengejutkan perempuan tersebut. "Walaupun beda situasinya. Yaitu, aku sudah punya pacar, saat dipaksa menikahi Naura oleh nenekku," cakap Farisyasa. "Aku masih berhubungan dengan Malinka, pacarku. Padahal aku sudah menikah dengan Naura," sambungnya. "Selama hampir setahun menikah, aku sudah menzalimi Naura. Aku memang nggak pernah KDRT, tapi aku
60Jalinan masa terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu semua umat Islam di seluruh dunia. Farisyasa dan Lilakanti serta yang lainnya berangkat menuju gedung KBRI di pusat kota, dengan menggunakan tiga mobil SUV. Sesampainya di tempat tujuan, mereka turun dan bergabung dengan banyak orang, yang juga hendak menunaikan salat Ied. Azrina mengulaskan senyuman saat bertemu dengan beberapa bocah asal Indonesia, yang ikut bersama orang tua masing-masing. Puluhan menit terlewati, salat Iedul Fitri telah usai. Semua orang beranjak memasuki ruangan luas dan antre di beberapa meja prasmanan. Lilakanti mengambilkan makanan buat anaknya terlebih dahulu, kemudian dia mengambil opor, rendang dan sambal goreng kentang cukup banyak untuknya sendiri. Dia hanya menuangkan sedikit lontong ke piring. Kemudian Lilakanti meraih beberapa tusuk sate dan meletakkannya ke atas lontong. "Ma, yakin habis segitu banyak?" tanya Farisyasa, sesaat setelah Lilakanti menduduki kursi di sebelah kanannya.
59Hari berganti menjadi minggu. Farisyasa telah pulih dan beraktivitas seperti biasa. Namun, dia terpaksa tidak berpuasa, sampai kondisi perutnya benar-benar sembuh. Lilakanti tetap menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya. Dia tidak mau Azrina sendirian jika ditinggal bekerja. Gadis kecil tersebut juga masih cuti sekolah, supaya bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar. Pagi itu, Farisyasa baru selesai mandi ketika Lilakanti menerobos ke toilet. Pria bermata sipit, terkejut melihat istrinya yang tengah mengeluarkan isi perut ke kloset. Dengan sigap, Farisyasa memegangi Lilakanti dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memyambar selang shower kecil dan menyirami kloset hingga bersih. Setelahnya, Farisyasa menuntun Lilakanti ke kamar. Dia membantu menyelimuti perempuan tersebut yang mengeluh kedinginan. Farisyasa meraba dahi Lilakanti dan kaget karena kening istrinya panas. Pria yang hanya mengenakan handuk, mengambil termoteter dari laci untuk mengukur suhu tubuh Lilakanti.
58Jalinan waktu terus berputar. Tibalah saat membahagiakan bagi seluruh umat Islam di dunia. Bulan Ramadhan menjadi waktu yang paling pas untuk memperbanyak ibadah. Sekaligus melatih kesabaran diri. Bagi Farisyasa dan yang lainnya, berpuasa di tempat di mana Islam adalah agama minoritas, menjadi satu tantangan tersendiri. Sebab mereka harus ekstra keras memperluas kesabaran, bila kebetulan menyaksikan orang-orang yang tengah makan ataupun minum di siang hari. Bila bagi orang dewasa, berpuasa di negeri orang sudah berat. Hal itu menjadi ujian paling sulit yang harus dijalani Azrina. Meskipun di sekolahnya, sang kepala sekolah sudah meminta murid-murid lain untuk tidak bersantap di depan Azrina, tetapi masih ada saja yang melakukannya tanpa sengaja. Seperti hari itu, Azrina menggigit bibir bawah saat menyaksikan seorang temannya tengah meminum susu cokelat. Gadis kecil bersweter biru benar-benar haus, hingga akhirnya Azrina menangis. Sang guru yang bernama Michelle, segera membujuk
57Hari kedua di Quebec, Langdon mengajak rekan-rekannya mengunjungi keluarganya. Perjalanan hampir 30 menit itu usai, saat mereka tiba di pekarangan luas depan rumah besar berarsitektur khas Eropa. Lilakanti terperangah. Dia bahkan memegangi dinding dan pintu model klasik yang sangat disukainya, sembari bergumam sendiri. Kala kedua orang tua Langdon keluar untuk menyalami para tamu, Lilakanti langsung menerangkan kekagumannya akan bangunan itu. Percakapan dilanjutkan di ruang tamu yang terkesan hangat. Sekali lagi Lilakanti terpesona, dan dia sibuk mengamati cerobong asap model lama dengan detail batu bata merah ekspos. "Pa, bisa, nggak? Rumah kita dibikin kayak gini?" tanya Lilakanti setelah kembali duduk di sebelah kiri suaminya. "Bandung sudah panas. Nggak perlu bakaran," jawab Farisyasa. "Iya, nggak usah yang itu. Tapi, dindingnya Mama mau kayak gini." Farisyasa mengangkat alisnya. "Kalau renovasi total, nggak jauh dari 1 miliar, Ma." "Enggak perlu semua. Kamar kita, ruang
56Jumat pagi, seunit mobil SUV biru tua melaju di jalan raya menuju bandara Vancouver. Langdon, supervisor proyek yang berada di kursi samping kiri sopir, menerangkan berbagai hal tentang Quebec pada penumpang lainnya. Quebec adalah provinsi di timur laut Kanada, yang merupakan provinsi terbesar dari 10 provinsi di negara itu. Sebagian besar penduduknya tinggal di bagian selatan provinsi tersebut.Sebagai salah satu provinsi pendiri Kanada dan satu-satunya provinsi dengan mayoritas penduduk berbahasa Prancis, pemerintah provinsi Quebec memiliki kendali yang signifikan atas urusan-urusannya.Langdon yang orang tuanya bermukim di pinggir Kota Quebec, begitu antusias menerangkan kota kelahirannya. Sesampainya di bandara, semua orang turun. Andi, Ibrahim dan Maher bergegas menurunkan semua koper dan tas travel dari bagasi, kemudian mereka ikut menyalami sang sopir yang akan kembali ke tempat proyek. Langdon dan Farisyasa jalan berdampingan sambil menyeret koper masing-masing. Lilakant
55Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu merotasi hari hingga berganti ke minggu dan bulan. Musim dingin telah berakhir di Vancouver. Bunga-bunga bermekaran dengan indah untuk menyambut musim semi nan cerah. Lilakanti sudah memiliki teman-teman baru, yakni para penghuni apartemen tempatnya tinggal. Demikian pula dengan Azrina. Bahkan gadis kecil tersebut ikut bersekolah di kindegarten, yang letaknya tidak jauh dari bangunan apartemen. Selain berteman dengan penghuni, Lilakanti juga makin akrab dengan Thalita Pangestu, anak Tanvir Pangestu, sekaligus keponakan Linggha. Thalita dan Devi, sahabatnya, tengah menempuh pendidikan sarjana di tahun terakhir. Selain kuliah, keduanya juga menyambi kerja untuk mengelola kafe milik Falea, istri Benigno, yang dulu sempat menetap di Vancouver selama dua tahun.Lilakanti juga bekerja di kafe itu sebagai staf keuangan sekaligus kasir freelance. Waktu kerjanya dimulai dari jam 9 pagi hingga 3 sore.Lilakanti juga kian dekat dengan Rosemund al
54Penerbangan lebih dari 20 jam telah tuntas. Kelompok pimpinan Ibrahim keluar dari pintu kedatangan bandara Vancouver. Mereka disambut sopir bus sewaan, dan seorang staf dari Janitra Grup. Farisyasa menggendong Azrina yang masih mengantuk, memasuki bus kecil dan menempati kursi terdekat dengan pintu. Lilakanti menduduki kursi di samping kiri Azrina, sedangkan Farisyasa berpindah ke kursi depan. Setelah memastikan semua penumpang masuk dan barang-barang terangkut, Ibrahim menaiki bus dan menempati kursi di sebelah kiri Farisyasa. Sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Sang staf membagikan kotak kue, yang segera dinikmati para penumpang. "Mama, aku mau pegang salju," pinta Azrina sambil menunjuk ke luar kaca. "Nanti, nyampe di apartemen baru bisa pegang," jawab Lilakanti sembari merapikan rambut putrinya yang kusut. "Rambutnya dikepang aja, ya? Biar nggak berantakan," lanjutnya sambil memulai mengepang. "Mau minum susu." "Habis, Kak. Teh dulu, mau?" "Hu um." Azrina
53Sesuai janji, Baron tiba di hotel menjelang jam 9 pagi. Dia datang bersama Deandre, Erfinda dan Nohan, serta membawakan titipan buah tangan dari keluarganya di Bogor. Farisyasa menyambut semua tamunya dengan ramah. Dia menjamu mereka di restoran hotel, supaya lebih bebas berbincang. Kala Baron meminta waktu untuk bermain bersama Azrina, Lilakanti terpaksa mengiakan. Perempuan bermata besar terus mengamati mantan suaminya yang sedang menemani Azrina berenang bersama Erfinda. "Kamu temui Wirya di kantornya, Re. Tanya jelas-jelas tentang tawaran dari para komisaris CRYSTAL," tukas Farisyasa. "Aku, Kasyafani dan yang lainnya cuma nanam saham. Lainnya, HWZ-ZUB yang urus," lanjutnya. "HWZ-ZUB?" tanya Deandre. "Hendri, Wirya, Zein, Zulfi, Ubaid dan Bayu," terang Farisyasa yang menjadikan Deandre tersenyum. "Aku harus banyak menghafal singkatan nama para bos." "Yang penting-penting saja." Farisyasa terdiam sejenak, kemudian dia melanjutkan perkataan. "Aku nggak bisa pegang banyak pe
52Ruang rapat di lantai tiga kantor PG, siang itu terlihat ramai orang. Hampir semua anggota PG, PC dan PCD datang. Demikian pula staf ketiga perkumpulan itu, dan para pengawal muda PBK. Tio yang berdiri di podium, menyampaikan pidato yang cukup panjang mengenai berbagai kemajuan bisnis semua anggota perkumpulan tersebut. Selanjutnya, Tio memanggil belasan orang, yang segera maju ke depan. Para lelaki bersetelan jas hitam itu berdiri dan berbaris dengan rapi. Tatapan mereka arahkan pada khalayak yang juga memandangi mereka dengan saksama. "Teman-teman kita ini, adalah kloter pertama yang akan berangkat ke Kanada. Mereka akan menjadi pegawai beberapa proyek yang akan dimulai pengerjaannya bulan depan. Setelah musim dingin berakhir," ujar Tio. "Ethan yang mengantarkan teman-teman PG dan PC, akan tinggal di sana sampai tiga bulan mendatang. Ethan punya tugas khusus, yakni menghubungkan rekan-rekan kita dengan rekanan bisnis asli Kanada. Sekaligus membantu mereka untuk mempelajari ba