Laki-laki itu memandang Audry. Netranya menyorot begitu lekat, seakan ingin mengukur kedalaman mata perempuan itu.“Pak, hanya Bapak yang bisa membantu saya. Bapak adalah harapan terakhir saya.” Audry memohon sekali lagi dengan mata berkaca-kaca.Namun rupanya air mata Audry tidak menggoyahkan hati laki-laki itu. Dia sama sekali tidak merasa tergugah.“Sebelumnya tolong maafkan saya, Bu Audry, saya memang pengacara, namun saya juga harus memegang teguh kode etik profesi saya. Saya tidak mungkin membela orang yang jelas-jelas bersalah.”Apa yang baru saja didengarnya membuat kekecewaan Audry menjadi berlipat-lipat. Harapannya kandas detik itu juga.“Saya setuju dengan pendapat Bapak, tapi Bapak belum mencoba untuk membela saya, Bapak belum melakukan apa-apa, jadi bagaimana mungkin Bapak langsung memvonis saya dengan mutlak?””Saya mengerti perasaan Ibu, saya ikut prihatin. Tapi, Bu, tanpa bermaksud menyinggung saya ingin mengatakan, saya adalah praktisi hukum sementara Ibu adalah orang
Jeff menoleh ke sumber suara dan melempar senyum pada Dypta yang berdiri beberapa meter di belakangnya. Ia menunggu hingga Dypta berjalan mendekat."Om, aku mau bicara sebentar sama Om.""Mau bicara apa? Waktuku tidak banyak," jawab Jeff dingin."Kenapa Om tega memfitnah istri Om sendiri? Aku dan Audry memang bersalah tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau ternyata Om akan sekejam itu. Audry lagi hamil, Om, dan sekarang dia dipenjara.""Wajar saja dia ditahan karena dia memang bersalah. Siapa pun yang terbukti bersalah tidak akan bisa lolos dari jerat hukum.""Tapi Audry tidak bersalah. Ini semua pasti permainan busuk Om. Apa tidak ada sedikit saja rasa kasihan di hati Om? Apa Om tidak punya hati nurani?"Jeff tersenyum asimetris kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Sebaiknya tanyakan itu pada dirimu sendiri. Apa kamu tidak punya hati nurani sehingga dengan tega meniduri istriku, hmm?""Masalah itu sudah lama kita bahas, Om. Semuanya sudah berlalu. Yang aku bicarak
Manajer resto tentu saja terkejut mendengar jawaban Dypta. Tadinya ia pikir Dypta akan menolak. Pria itu kemudian memperbaiki letak kacamatanya yang melorot ke hidung sambil menatap Dypta dengan lebih lekat. Ia heran kenapa Dypta bersedia menerima tawarannya.“Kenapa kamu mau? Kamu tidak merasa gengsi?”“Tidak, Pak.” Dypta menjawab tanpa ragu. “Saya butuh uang, sebentar lagi istri saya akan melahirkan,” sambungnya berbohong.“Baik. Kalau begitu kamu bisa langsung kerja sekarang.”“Sekarang, Pak?””Kamu keberatan?”“Sama sekali tidak, Pak,” jawab Dypta sekali lagi. Ia hanya terkejut karena ternyata semua sekilat itu.Manajer resto kemudian memanggil salah seorang staf dapur dan mengenalkan Dypta padanya. Dypta diberi pakaian ganti dan sebuah apron yang harus dipakai. Pria itu juga mengenalkan area dapur dan menguraikan secara singkat tugas dan tanggung jawab Dypta apa saja. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Dypta sendiri.Dypta memandang nanar pada tumpukan peralatan makan yng menggun
“Mau apa ke sini?” tanya Jeff dingin pada Inggrid yang muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya.“Aku ke sini ingin melihat keadaan kalian. Aku akan mengantar Tania ke sekolah,” jawab Inggrid.“Tania tidak sekolah dulu.” Mengingat kasus yang menimpanya, Jeff yakin jika saat ini apa pun tentangnya akan menjadi sorotan, termasuk anaknya.“Kenapa begitu? Kasihan Tania, dia butuh hiburan. Dia pasti trauma karena kejadian itu. Kalau kamu sibuk dan nggak punya waktu biar aku yang urus dia.” Inggrid menawarkan diri.”Tante Inggrid!” Tania tiba-tiba muncul dari belakang. Anak itu tampak lesu dan lemas.”Hei, anak Tante Inggrid, sini Sayang!” Inggrid tersenyum sambil mengembangkan tangan untuk menyambut Tania.Tania berjalan mendekat dan membiarkan Inggrid memeluk tubuhnya. Ia merasa nyaman dengan kehadiran perempuan itu.“Tante Inggrid ke sini mau jemput Tata. Kita sekolah dan jalan-jalan ya, Nak,” ucap Inggrid lembut sambil mengusap-usap punggung Tania.“Tata nggak mau sekolah dan jalan-jalan,
Lebih kurang tiga jam sebelumnya …Dypta keluar dari kantor polisi setelah mengunjungi Audry kemudian melanjutkan perjalanannya ke resto tempatnya bekerja. Dypta sengaja tidak mengatakan pada Audry tentang pekerjaannya yang sesungguhnya lantaran tidak ingin membuat Audry merasa tertekan. Audry pasti akan merasa sedih seandainya tahu ia bekerja sebagai pencuci piring di restoran itu.Setelah turun dari ojek Dypta langsung masuk ke restoran melalui pintu khusus karyawan.Ia mengganti bajunya, memakai apron, lalu siap-siap bekerja. Tumpukan peralatan makan yang kotor sudah menantinya. Ia bertangggung jawab atas kebersihan peralatan itu. Atasannya sangat keras dan disiplin. Jika sedikit saja mendapati sisa noda atau menurut penilaiannya peralatan itu kurang bersih maka gaji Dypta akan dipotong.Terlebih dahulu Dypta memisahkan peralatan makan tersebut berdasarkan jenis dan fungsinya. Ia juga mengumpulkan sisa-sisa makanan yang terdapat di sana ke dalam plastik khusus. Ia mengingat dengan
"Ibu Audry, ada yang berkunjung."Audry yang sedang berbaring di dalam ruang tahanan segera duduk begitu petugas memberitahunya.Hari ini sudah dua orang yang datang mengunjunginya. Tadi Dypta, setelahnya Audi, dan sekarang entah siapa lagi.Audry melangkah pelan menuju ruang kunjungan. Langkahnya tiba-tiba tertahan beberapa meter sebelum memasuki tempat itu saat melihat siapa yang sedang menanti di sana. Seorang perempuan dewasa serta anak perempuan kecil. Audry hampir saja memutar tubuhnya dan kembali ke belakang ketika perempuan itu keburu melihat dan berseru memanggil namanya."Audry!"Audry membeku di tempat seakan ada yang memaku kakinya. Lalu terdengar ada langkah yang mendekat ke arahnya."Mommy ..."Audry tidak bisa mengelak lagi begitu sepasang tangan kecil melingkarinya dengan erat. Audry membungkukkan badan dan balas memeluk sosok dengan tubuh mungil itu."Tata kangen Mommy. Mommy kenapa nggak pulang-pulang?"Audry tidak sanggup menjawab pertanyaan yang meluncur dari bibi
Dypta sedang bergumul dengan pekerjaannya ketika ponselnya berbunyi. Ia mengeringkan tangannya yang basah kemudian mencaritahu siapa penelepon itu.Ternyata dari Inggrid.Dypta bermaksud mengabaikan panggilan tersebut. Namun Inggrid agaknya belum puas jika Dypta belum menerima telepon darinya.“Ada apa, Rid? Aku lagi kerja,” ucap Dypta to the point setelah terpaksa menjawab panggilan dari perempuan itu.”Dyp, aku lagi di kantor polisi. Tania ada di sini, dia mau ketemu kamu.”“Seharusnya kamu nggak perlu bawa dia ke sana, Rid,” jawab Dypta menyesalkan tindakan Inggrid.“Aku maunya juga gitu, tapi aku nggak kuat ngeliat dia nangis terus. Aku tuh perempuan, Dyp, walau belum punya anak tapi aku ngerti gimana rasanya. Ini Audry yang nyuruh aku buat telfon kamu.”“Sekarang kasih handphone kamu ke Tania, aku mau ngomong sebentar.”Selang dua detik kemudian ponsel beralih dari tangan Inggrid ke Tania.“Halo, Om Dypta.”“Halo, Sayang, anak Om Dypta. Tata lagi di mana?””Tata di kantor polisi,
Dypta menggeliatkan badan bersama kelopak matanya yang terbuka pelan-pelan. Kepalanya terasa berat. Sekujur tubuhnya remuk redam.Ia memegang kepalanya sembari mengumpulkan serpihan ingatan. Ia mencoba keras mengingat apa yang telah terjadi padanya kemarin malam. Rasa marah bergejolak dalam dirinya ketika ia berhasil mengingat. Ajudan Jeff menghajarnya bertubi-tubi. Pria itu juga menyiksanya hingga Dypta terkapar tak berdaya.Tapi siapa gerangan yang membawanya pulang hingga ia berada di kostnya? Siapa orang baik itu? Siapa malaikat penyelamatnya? Dypta tidak tahu apa-apa lantaran setelah Jeff menginjak perutnya ia tidak sadarkan diri.Dengan susah payah Dypta bangkit dari kasur. Ia masuk ke kamar mandi dengan berat di kepalanya. Satu-satunya yang masih ia syukuri di tengah kesulitan hidup adalah Tuhan masih melindungi dan memperpanjang nyawanya.Gula di toples ternyata kosong melompong saat ia keluar dari kamar mandi dan berencana membuat minuman untuk menghangatkan perutnya.Saat m