Audry dan Dypta tidak langsung turun. Mereka masih berada di dalam taksi dengan tangan saling menggenggam, menguatkan satu sama lain.“Dyp …,” gumam Audry dengan ketukan jantung yang semakin menghentak. Meski sudah mencoba menguatkan nyali, namun Audry tidak akan mengingkari jika ketakutannya lebih mendominasi.“Nggak usah takut, Yang, ada aku. Apa pun yang terjadi setelah ini nggak akan berpengaruh apa-apa pada hubungan kita. Walaupun dunia meninggalkanmu aku akan tetap mencintaimu,” ucap Dypta lembut dengan mata teduhnya.Audry menatap Dypta dengan perasaan terharu, matanya hampir saja berkabut.Keduanya kemudian turun dari taksi setelah menguatkan diri. Dypta berjalan sambil merangkul Audry. Langkah mereka diiringi puluhan pasang mata. Audry memberi senyum pada mereka semua seakan tidak terjadi apa-apa karena memang ia tidak melakukan apa pun. Audry tidak bersalah. Ia yakin sepenuhnya malam itu tidur di kamar dengan Tania sampai pagi.Jeff menyongsong ketika melihat Audry datang de
Laki-laki itu memandang Audry. Netranya menyorot begitu lekat, seakan ingin mengukur kedalaman mata perempuan itu.“Pak, hanya Bapak yang bisa membantu saya. Bapak adalah harapan terakhir saya.” Audry memohon sekali lagi dengan mata berkaca-kaca.Namun rupanya air mata Audry tidak menggoyahkan hati laki-laki itu. Dia sama sekali tidak merasa tergugah.“Sebelumnya tolong maafkan saya, Bu Audry, saya memang pengacara, namun saya juga harus memegang teguh kode etik profesi saya. Saya tidak mungkin membela orang yang jelas-jelas bersalah.”Apa yang baru saja didengarnya membuat kekecewaan Audry menjadi berlipat-lipat. Harapannya kandas detik itu juga.“Saya setuju dengan pendapat Bapak, tapi Bapak belum mencoba untuk membela saya, Bapak belum melakukan apa-apa, jadi bagaimana mungkin Bapak langsung memvonis saya dengan mutlak?””Saya mengerti perasaan Ibu, saya ikut prihatin. Tapi, Bu, tanpa bermaksud menyinggung saya ingin mengatakan, saya adalah praktisi hukum sementara Ibu adalah orang
Jeff menoleh ke sumber suara dan melempar senyum pada Dypta yang berdiri beberapa meter di belakangnya. Ia menunggu hingga Dypta berjalan mendekat."Om, aku mau bicara sebentar sama Om.""Mau bicara apa? Waktuku tidak banyak," jawab Jeff dingin."Kenapa Om tega memfitnah istri Om sendiri? Aku dan Audry memang bersalah tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau ternyata Om akan sekejam itu. Audry lagi hamil, Om, dan sekarang dia dipenjara.""Wajar saja dia ditahan karena dia memang bersalah. Siapa pun yang terbukti bersalah tidak akan bisa lolos dari jerat hukum.""Tapi Audry tidak bersalah. Ini semua pasti permainan busuk Om. Apa tidak ada sedikit saja rasa kasihan di hati Om? Apa Om tidak punya hati nurani?"Jeff tersenyum asimetris kemudian memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Sebaiknya tanyakan itu pada dirimu sendiri. Apa kamu tidak punya hati nurani sehingga dengan tega meniduri istriku, hmm?""Masalah itu sudah lama kita bahas, Om. Semuanya sudah berlalu. Yang aku bicarak
Manajer resto tentu saja terkejut mendengar jawaban Dypta. Tadinya ia pikir Dypta akan menolak. Pria itu kemudian memperbaiki letak kacamatanya yang melorot ke hidung sambil menatap Dypta dengan lebih lekat. Ia heran kenapa Dypta bersedia menerima tawarannya.“Kenapa kamu mau? Kamu tidak merasa gengsi?”“Tidak, Pak.” Dypta menjawab tanpa ragu. “Saya butuh uang, sebentar lagi istri saya akan melahirkan,” sambungnya berbohong.“Baik. Kalau begitu kamu bisa langsung kerja sekarang.”“Sekarang, Pak?””Kamu keberatan?”“Sama sekali tidak, Pak,” jawab Dypta sekali lagi. Ia hanya terkejut karena ternyata semua sekilat itu.Manajer resto kemudian memanggil salah seorang staf dapur dan mengenalkan Dypta padanya. Dypta diberi pakaian ganti dan sebuah apron yang harus dipakai. Pria itu juga mengenalkan area dapur dan menguraikan secara singkat tugas dan tanggung jawab Dypta apa saja. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Dypta sendiri.Dypta memandang nanar pada tumpukan peralatan makan yng menggun
“Mau apa ke sini?” tanya Jeff dingin pada Inggrid yang muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya.“Aku ke sini ingin melihat keadaan kalian. Aku akan mengantar Tania ke sekolah,” jawab Inggrid.“Tania tidak sekolah dulu.” Mengingat kasus yang menimpanya, Jeff yakin jika saat ini apa pun tentangnya akan menjadi sorotan, termasuk anaknya.“Kenapa begitu? Kasihan Tania, dia butuh hiburan. Dia pasti trauma karena kejadian itu. Kalau kamu sibuk dan nggak punya waktu biar aku yang urus dia.” Inggrid menawarkan diri.”Tante Inggrid!” Tania tiba-tiba muncul dari belakang. Anak itu tampak lesu dan lemas.”Hei, anak Tante Inggrid, sini Sayang!” Inggrid tersenyum sambil mengembangkan tangan untuk menyambut Tania.Tania berjalan mendekat dan membiarkan Inggrid memeluk tubuhnya. Ia merasa nyaman dengan kehadiran perempuan itu.“Tante Inggrid ke sini mau jemput Tata. Kita sekolah dan jalan-jalan ya, Nak,” ucap Inggrid lembut sambil mengusap-usap punggung Tania.“Tata nggak mau sekolah dan jalan-jalan,
Lebih kurang tiga jam sebelumnya …Dypta keluar dari kantor polisi setelah mengunjungi Audry kemudian melanjutkan perjalanannya ke resto tempatnya bekerja. Dypta sengaja tidak mengatakan pada Audry tentang pekerjaannya yang sesungguhnya lantaran tidak ingin membuat Audry merasa tertekan. Audry pasti akan merasa sedih seandainya tahu ia bekerja sebagai pencuci piring di restoran itu.Setelah turun dari ojek Dypta langsung masuk ke restoran melalui pintu khusus karyawan.Ia mengganti bajunya, memakai apron, lalu siap-siap bekerja. Tumpukan peralatan makan yang kotor sudah menantinya. Ia bertangggung jawab atas kebersihan peralatan itu. Atasannya sangat keras dan disiplin. Jika sedikit saja mendapati sisa noda atau menurut penilaiannya peralatan itu kurang bersih maka gaji Dypta akan dipotong.Terlebih dahulu Dypta memisahkan peralatan makan tersebut berdasarkan jenis dan fungsinya. Ia juga mengumpulkan sisa-sisa makanan yang terdapat di sana ke dalam plastik khusus. Ia mengingat dengan
"Ibu Audry, ada yang berkunjung."Audry yang sedang berbaring di dalam ruang tahanan segera duduk begitu petugas memberitahunya.Hari ini sudah dua orang yang datang mengunjunginya. Tadi Dypta, setelahnya Audi, dan sekarang entah siapa lagi.Audry melangkah pelan menuju ruang kunjungan. Langkahnya tiba-tiba tertahan beberapa meter sebelum memasuki tempat itu saat melihat siapa yang sedang menanti di sana. Seorang perempuan dewasa serta anak perempuan kecil. Audry hampir saja memutar tubuhnya dan kembali ke belakang ketika perempuan itu keburu melihat dan berseru memanggil namanya."Audry!"Audry membeku di tempat seakan ada yang memaku kakinya. Lalu terdengar ada langkah yang mendekat ke arahnya."Mommy ..."Audry tidak bisa mengelak lagi begitu sepasang tangan kecil melingkarinya dengan erat. Audry membungkukkan badan dan balas memeluk sosok dengan tubuh mungil itu."Tata kangen Mommy. Mommy kenapa nggak pulang-pulang?"Audry tidak sanggup menjawab pertanyaan yang meluncur dari bibi
Dypta sedang bergumul dengan pekerjaannya ketika ponselnya berbunyi. Ia mengeringkan tangannya yang basah kemudian mencaritahu siapa penelepon itu.Ternyata dari Inggrid.Dypta bermaksud mengabaikan panggilan tersebut. Namun Inggrid agaknya belum puas jika Dypta belum menerima telepon darinya.“Ada apa, Rid? Aku lagi kerja,” ucap Dypta to the point setelah terpaksa menjawab panggilan dari perempuan itu.”Dyp, aku lagi di kantor polisi. Tania ada di sini, dia mau ketemu kamu.”“Seharusnya kamu nggak perlu bawa dia ke sana, Rid,” jawab Dypta menyesalkan tindakan Inggrid.“Aku maunya juga gitu, tapi aku nggak kuat ngeliat dia nangis terus. Aku tuh perempuan, Dyp, walau belum punya anak tapi aku ngerti gimana rasanya. Ini Audry yang nyuruh aku buat telfon kamu.”“Sekarang kasih handphone kamu ke Tania, aku mau ngomong sebentar.”Selang dua detik kemudian ponsel beralih dari tangan Inggrid ke Tania.“Halo, Om Dypta.”“Halo, Sayang, anak Om Dypta. Tata lagi di mana?””Tata di kantor polisi,
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama