Manajer resto tentu saja terkejut mendengar jawaban Dypta. Tadinya ia pikir Dypta akan menolak. Pria itu kemudian memperbaiki letak kacamatanya yang melorot ke hidung sambil menatap Dypta dengan lebih lekat. Ia heran kenapa Dypta bersedia menerima tawarannya.“Kenapa kamu mau? Kamu tidak merasa gengsi?”“Tidak, Pak.” Dypta menjawab tanpa ragu. “Saya butuh uang, sebentar lagi istri saya akan melahirkan,” sambungnya berbohong.“Baik. Kalau begitu kamu bisa langsung kerja sekarang.”“Sekarang, Pak?””Kamu keberatan?”“Sama sekali tidak, Pak,” jawab Dypta sekali lagi. Ia hanya terkejut karena ternyata semua sekilat itu.Manajer resto kemudian memanggil salah seorang staf dapur dan mengenalkan Dypta padanya. Dypta diberi pakaian ganti dan sebuah apron yang harus dipakai. Pria itu juga mengenalkan area dapur dan menguraikan secara singkat tugas dan tanggung jawab Dypta apa saja. Lalu lelaki itu pergi meninggalkan Dypta sendiri.Dypta memandang nanar pada tumpukan peralatan makan yng menggun
“Mau apa ke sini?” tanya Jeff dingin pada Inggrid yang muncul tanpa pemberitahuan sebelumnya.“Aku ke sini ingin melihat keadaan kalian. Aku akan mengantar Tania ke sekolah,” jawab Inggrid.“Tania tidak sekolah dulu.” Mengingat kasus yang menimpanya, Jeff yakin jika saat ini apa pun tentangnya akan menjadi sorotan, termasuk anaknya.“Kenapa begitu? Kasihan Tania, dia butuh hiburan. Dia pasti trauma karena kejadian itu. Kalau kamu sibuk dan nggak punya waktu biar aku yang urus dia.” Inggrid menawarkan diri.”Tante Inggrid!” Tania tiba-tiba muncul dari belakang. Anak itu tampak lesu dan lemas.”Hei, anak Tante Inggrid, sini Sayang!” Inggrid tersenyum sambil mengembangkan tangan untuk menyambut Tania.Tania berjalan mendekat dan membiarkan Inggrid memeluk tubuhnya. Ia merasa nyaman dengan kehadiran perempuan itu.“Tante Inggrid ke sini mau jemput Tata. Kita sekolah dan jalan-jalan ya, Nak,” ucap Inggrid lembut sambil mengusap-usap punggung Tania.“Tata nggak mau sekolah dan jalan-jalan,
Lebih kurang tiga jam sebelumnya …Dypta keluar dari kantor polisi setelah mengunjungi Audry kemudian melanjutkan perjalanannya ke resto tempatnya bekerja. Dypta sengaja tidak mengatakan pada Audry tentang pekerjaannya yang sesungguhnya lantaran tidak ingin membuat Audry merasa tertekan. Audry pasti akan merasa sedih seandainya tahu ia bekerja sebagai pencuci piring di restoran itu.Setelah turun dari ojek Dypta langsung masuk ke restoran melalui pintu khusus karyawan.Ia mengganti bajunya, memakai apron, lalu siap-siap bekerja. Tumpukan peralatan makan yang kotor sudah menantinya. Ia bertangggung jawab atas kebersihan peralatan itu. Atasannya sangat keras dan disiplin. Jika sedikit saja mendapati sisa noda atau menurut penilaiannya peralatan itu kurang bersih maka gaji Dypta akan dipotong.Terlebih dahulu Dypta memisahkan peralatan makan tersebut berdasarkan jenis dan fungsinya. Ia juga mengumpulkan sisa-sisa makanan yang terdapat di sana ke dalam plastik khusus. Ia mengingat dengan
"Ibu Audry, ada yang berkunjung."Audry yang sedang berbaring di dalam ruang tahanan segera duduk begitu petugas memberitahunya.Hari ini sudah dua orang yang datang mengunjunginya. Tadi Dypta, setelahnya Audi, dan sekarang entah siapa lagi.Audry melangkah pelan menuju ruang kunjungan. Langkahnya tiba-tiba tertahan beberapa meter sebelum memasuki tempat itu saat melihat siapa yang sedang menanti di sana. Seorang perempuan dewasa serta anak perempuan kecil. Audry hampir saja memutar tubuhnya dan kembali ke belakang ketika perempuan itu keburu melihat dan berseru memanggil namanya."Audry!"Audry membeku di tempat seakan ada yang memaku kakinya. Lalu terdengar ada langkah yang mendekat ke arahnya."Mommy ..."Audry tidak bisa mengelak lagi begitu sepasang tangan kecil melingkarinya dengan erat. Audry membungkukkan badan dan balas memeluk sosok dengan tubuh mungil itu."Tata kangen Mommy. Mommy kenapa nggak pulang-pulang?"Audry tidak sanggup menjawab pertanyaan yang meluncur dari bibi
Dypta sedang bergumul dengan pekerjaannya ketika ponselnya berbunyi. Ia mengeringkan tangannya yang basah kemudian mencaritahu siapa penelepon itu.Ternyata dari Inggrid.Dypta bermaksud mengabaikan panggilan tersebut. Namun Inggrid agaknya belum puas jika Dypta belum menerima telepon darinya.“Ada apa, Rid? Aku lagi kerja,” ucap Dypta to the point setelah terpaksa menjawab panggilan dari perempuan itu.”Dyp, aku lagi di kantor polisi. Tania ada di sini, dia mau ketemu kamu.”“Seharusnya kamu nggak perlu bawa dia ke sana, Rid,” jawab Dypta menyesalkan tindakan Inggrid.“Aku maunya juga gitu, tapi aku nggak kuat ngeliat dia nangis terus. Aku tuh perempuan, Dyp, walau belum punya anak tapi aku ngerti gimana rasanya. Ini Audry yang nyuruh aku buat telfon kamu.”“Sekarang kasih handphone kamu ke Tania, aku mau ngomong sebentar.”Selang dua detik kemudian ponsel beralih dari tangan Inggrid ke Tania.“Halo, Om Dypta.”“Halo, Sayang, anak Om Dypta. Tata lagi di mana?””Tata di kantor polisi,
Dypta menggeliatkan badan bersama kelopak matanya yang terbuka pelan-pelan. Kepalanya terasa berat. Sekujur tubuhnya remuk redam.Ia memegang kepalanya sembari mengumpulkan serpihan ingatan. Ia mencoba keras mengingat apa yang telah terjadi padanya kemarin malam. Rasa marah bergejolak dalam dirinya ketika ia berhasil mengingat. Ajudan Jeff menghajarnya bertubi-tubi. Pria itu juga menyiksanya hingga Dypta terkapar tak berdaya.Tapi siapa gerangan yang membawanya pulang hingga ia berada di kostnya? Siapa orang baik itu? Siapa malaikat penyelamatnya? Dypta tidak tahu apa-apa lantaran setelah Jeff menginjak perutnya ia tidak sadarkan diri.Dengan susah payah Dypta bangkit dari kasur. Ia masuk ke kamar mandi dengan berat di kepalanya. Satu-satunya yang masih ia syukuri di tengah kesulitan hidup adalah Tuhan masih melindungi dan memperpanjang nyawanya.Gula di toples ternyata kosong melompong saat ia keluar dari kamar mandi dan berencana membuat minuman untuk menghangatkan perutnya.Saat m
Audry tak berhenti merintih. Rasa sakit itu semakin menyerangnya. Ia ingin memanggil petugas dan berteriak keras-keras. Namun yang berhasil keluar dari mulutnya hanyalah erangan lirih kesakitan.Darah keluar semakin deras bersamaan dengan gelombang besar yang berasal dari perutnya. Sesuatu terasa mendorong dan mendesak ingin keluar. Dorongan itu tidak terbendung lagi. Bagaikan sebuah kendaraan yang melaju dengan mulus di jalan bebas hambatan.“Sakit … tolong saya …” Audry merintih lagi sambil berjuang melawan gelombang hebat yang menghantamnya. Namun tidak seorang pun mendengar alih-alih mengetahui keadaannya.Bulir-bulir keringat menyembul di mana-mana membuat Audry semakin basah. Ia sudah kehabisan tenaga. Yang bisa dilakukannya hanya pasrah. Audry rela jika ternyata Tuhan ingin mengambil nyawanya saat ini juga.Di detik-detik terakhir ia membuka mata, muka polos Tania serta raut gagah Dypta melintas di depannya. Lalu yang tersisa hanya gelap.***Audry melihat dirinya mengenakan ga
Hari ini menurut jadwal sidang perdana kasus Audry akan digelar. Hampir setiap hari Dypta mengunjungi Audry kecuali kemarin. Dari pagi hingga malam ia sibuk dengan pekerjaannya di resto.Dypta terkejut ketika pagi ini mendatangi kantor polisi dan menerima kabar bahwa Audry sudah melahirkan.Tanpa membuang waktu ia segera menuju rumah sakit. Namun semua tidaklah semudah yang ada di pikirannya. Pada mulanya ia tidak diizinkan bertemu dengan Audry. Dypta sampai harus berdebat dengan petugas yang menjaga Audry.Akhirnya Dypta pun diizinkan masuk setelah mereka mengenali bahwa ia adalah lelaki yang mengunjungi Audry selama di tahanan.Audry berbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sorot matanya terlihat kosong. Bagai tersadar dari lamunan Audry tersenyum ketika melihat Dypta datang.Dypta langsung memeluk Audry dan mengecup lembut keningnya."Maaf aku baru datang, aku baru tahu sekarang. Kemarin aku nggak sempat ngunjungin kamu jadinya nggak tahu apa-apa." Perasaan bersalah tercetak denga
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama