“Pokoknya besok Tata jangan mau nerima apa pun dari om itu. Mommy takut dia itu penculik yang menyamar,” kata Audry menasihati Tania setelah mereka berada di mobil. Tania tidak menjawab. Anak itu asyik mengemil coklat pemberian om ganteng. ”Tata, dengar Mommy kan?” tegur Audry melirik sang putri yang tidak bereaksi apa-apa merespon nasihatnya. “Iya, Mom, Tata dengar kok. Tapi om itu bukan penculik, dia om baik,” jawab Tania menjawab perkataan Audry. ”Tata, dengarkan Mommy bicara,” ucap Audry sambil membagi atensi antara Tania yang duduk di sebelahnya serta jalan raya di depan sana. “Hanya karena om itu ngasih Tata coklat bukan berarti dia orang baik. Mommy kan udah sering cerita kalau banyak penculik berpura-pura baik dengan memberi coklat atau permen. Pokoknya Tata harus hati-hati. Kalau ada orang tidak dikenal yang memanggil, Tata jangan mendekat, Tata jangan mau terima kalau dia memberi sesuatu entah itu coklat, kue atau permen. Lagian di rumah kan banyak coklat, jadi untuk apa
Audry memejamkan mata menahan perasaannya yang mendadak sesak. Ia tahu Jeff sengaja memberi penekanan pada kata ‘almarhum’ adalah agar luka Audry bertambah dalam. Karena kata itu mengingatkan Audry bahwa Dypta benar-benar sudah tiada.“Mommy …” Suara Tania yang memanggilnya membuat Audry kembali membuka mata. Putrinya itu masih berdiri di dekatnya, sedangkan Jeff sudah keluar dari kamar.”Iya, Sayang?” Audry merekahkan senyum, mengusir kesedihannya jauh-jauh. Apa pun yang terjadi pada hidupnya tapi putri kecilnya tidak boleh tahu. Cukup dirinya yang sedih dan menderita, Tania jangan. Tania hanya boleh bahagia.“Kenapa Papi nggak tidur di rumah? Kenapa Papi tidur di apartemen Tante Nora?”Audry membisu mendengar pertanyaan polos anaknya. Ia juga tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Anaknya yang lugu tapi cerdas dan kadang juga kritis kadang menempatkan Audry pada situasi yang sulit.“Mommy?” panggil Tania sekali lagi. Ia membutuhkan jawaban yang membuatnya merasa puas.Audry lalu be
“HAHAHA …” Jeff terkekeh mengejutkan Audry.‘Baru mau mencintaiku sekarang sedangkan aku sudah mencintaimu dari dulu. Perempuan laknat!’“Tolong percaya aku, Pi. Aku nggak lagi main-main,” ucap Audry meyakinkan Jeff untuk ke sekian kali. Ia tidak menghitung entah sudah berapa kali mengucapkan kata yang sama.“Oh, jadi rupanya selama ini kamu tidak mencintaiku dan baru akan belajar?” Jeff menatap Audry dengan miring.Audry menggigit pipi bagian dalam. Ia terjebak oleh kata-katanya sendiri. Tapi Audry melakukan ini semua hanya demi sang putri. Walau Audry tahu bahwa Jeff menyakitinya tapi siapa tahu pria itu juga akan berubah dan memaafkannya jika Audry berubah.”Aku minta maaf sekali lagi. Tapi kita sama-sama tahu masa lalu aku seperti apa. Aku menikah dengan terpaksa. Tapi aku sama sekali nggak pernah lupa sebesar apa jasamu, Pi. Kamu yang mengangkat derajatku. Aku mencoba untuk mencintaimu dari dulu, tapi sikapmu yang kasar dan terus merendahkanku membuatku kehilangan simpati. Tapi s
Audry terperangah mendengar Jeff yang meledak-ledak memuntahkan kemarahannya. Audry memang masih mencintai Dypta, tapi sumpah demi apa pun, waktu sedang bersama Jeff tadi Audry tidak membayangkan Dypta. Sedikit pun tidak.Audry ingin menjelaskan segalanya, namun Jeff sudah keburu keluar dari kamar.Audry mengembuskan napas panjang, kemudian memasang pakaiannya satu demi satu. Ia menyisir rambutnya yang berantakan di depan kaca.Mobil Jeff sudah menghilang dari depan rumah ketika Audry ke luar. Audry tidak tahu laki-laki itu pergi ke mana. Mungkin ke kantornya atau ke tempat lain atau bisa jadi mencari kehangatan di luar sana.Audry masuk ke mobilnya. Ia harus menjemput Tania sekarang. Putrinya itu tidak mau dijemput oleh orang lain kecuali kedua orang tuanya.Sambil menyetir, adegan demi adegan kejadian di rumah tadi terus berkelabat di depan mata Audry seperti kilasan film yang diputar ulang.Jeff semakin gila. Dia menunjukkan terang-terangan perselingkuhannya di depan Audry. Sebaga
Audry menghela napas panjang setelah tiba di rumah. Ia tidak langsung mematikan mesin mobil dan tetap duduk di dalamnya.Selama beberapa saat ia hanya bisa termenung sambil memerhatikan apa pun yang ada di sekelilingnya. Mulai dari bangunan vintage yang berdiri kokoh di hadapannya, jejeran kendaraan yang berbaris di dalam garasi yang terbuka, dan yang terakhir adalah dirinya sendiri begitu mata Audry singgah di spion.Mukanya tampak kuyu dan lesu. Gurat-gurat kelelahan membayang dengan sangat jelas. Bagaimana tidak, hari ini begitu melelahkan bagi Audry. Tidak hanya fisik, namun juga batin dan pikiran.Setelah dari apartemen Enrico tadi, Audry berkeliling sendiri tanpa arah dan tujuan. Petualangannya berakhir di cafe miliknya. Audry mengurung diri di ruangannya dan baru pulang ke rumah malam ini.Audry tersentak oleh batuknya sendiri. Ternyata cukup lama ia melamun di mobil. Audry lantas keluar dari sana.Kamarnya kosong. Jeff ternyata belum pulang. Tadi di depan rumah, Audry juga tid
”Iya, Ric, aku on the way, bentar lagi nyampe di sekolah Tania. Kamu juga? Oke, tunggu aku di sana.” Audry melepas bluetooth handsfree dari telinganya setelah menerima telepon dari Enrico.Kemarin, setelah datang ke apartemen laki-laki itu dan bicara baik-baik dengannya, Enrico tetap menyangkal bahwa dirinya adalah om-om ganteng yang datang ke sekolah Tania. Iko bahkan menantang Audry untuk membuktikan bahwa orang itu bukanlah dirinya. Mereka akhirnya berjanji bertemu di sekolah Tania lalu sama-sama mengintai sang pria misterius dari jauh.“Ric, aku udah di sekolah Tania, kamu di mana?” tanya Audry melalui telepon setelah tiba di sana.“Aku di belakang kamu, Ry.”Audry langsung melihat melalui spion. Ada pick up double cabin parkir tepat di belakang mobilnya.“Kamu yang di pick up hitam itu?””Yap. Sekarang kamu turun dari mobil dan masuk ke mobil aku,” kata Enrico memberi instruksi.Audry menurutinya. Enrico menyambut dengan senyum ketika Audry masuk ke mobilnya. ”Kamu sudah lama?
“Mommy, ini gimana warnanya? Udah pas belum?” Tania menunjukkan buku gambarnya pada Audry.Audry mengamati dengan lekat coretan yang digurat sang putri. “Tata mau bikin gambar apa, Sayang?” tanyanya kemudian.“Gambar awan, tapi awan yang gelap sebelum hujan.””Kalau awannya gelap, bagusnya warna yang ini.” Audry mengangkat crayon berwarna abu-abu pekat dari kotak.Tania kemudian mulai menggambar sedangkan Audry mengamatinya. Tania sangat berbakat dalam menggambar yang Audry tahu persis itu menurun darinya.“Mommy, boneka tadi Mommy simpan di mana?” tanya Tania di sela-sela aktivitasnya.”Mommy simpan di tempat yang aman.””Boneka apa, Ta?”Audry dan Tania sama-sama terkejut lalu memandang ke arah pintu. Jeff berdiri di sana.”Boneka dari om, Pi.”“Om mana?” tanya Jeff menyelidik.”Om yang datang ke sekolah. Om itu kasih Tata coklat, balon dan boneka.”Audry ingin menutup mulut Tania dan memintanya untuk bungkam, namun sudah terlambat. Tania terlanjur berceloteh dan menuturkan segalany
Audry mengerjap sambil menyisipkan rambutnya ke belakang telinga demi mempertajam pendengarannya.Hei, apa tadi dia bilang? Mengisap jarinya? Audry nggak salah dengar kan?Dulu di saat Audry yang meminta sampai mengemis dan merendahkan harga dirinya tapi Enrico menolak. Sekarang malah lelaki itu yang menawarkan diri padanya."Ric, maksud kamu apa?" "Kamu lebih dari tahu apa maksudku, Ry. Lakukan sekarang ..."Tatapan dalam dari sorot mata Enrico yang teduh membuat Audry menepis keraguannya. Audry mengusap dua jari Enrico yang berada di bibirnya lalu pelan-pelan menelusupkan ke dalam mulutnya.Audry mulai mengisap jari tengah dan telunjuk laki-laki itu. Mengemutnya seperti permen, mengulumnya bagaikan es krim. Audry melakukannya dengan penuh perasaan.Enrico yang duduk di sebelah Audry mulai gelisah. Irama napasnya yang tadi teratur kini tak karuan. Desahan halus lantas meluncur dari bibirnya. Desahan yang sudah begitu familier di telinga Audry.Enrico mengerang bersama keperkasaannya
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama