Tania mengeluarkan little black dress yang kemarin dibelinya dari paper bag, lalu mengenakannya. Tania mematut dirinya di depan cermin, mengamati penampilannya dari puncak kepala hingga ujung kaki. Ia tampak cantik. “Lo yakin mau pake baju itu, Ta?” tegur Claudia. Sudah sejak tadi ia memerhatikan pola Tania.“Kenapa? Nggak bagus ya?” tanya Tania balik sambil memandang Claudia melalui kaca di hadapannya.“Bagus sih, tapi lo kayak orang mau ke pemakaman.”Tania tersenyum mendengar gurauan Claudia sambil mengoles lipstick ke bibirnya. “Biar apa sih, Ta, lo pake hitam gitu? Lo mau nunjukin ke Gatra kalo lo lagi sedih?”“Gue nggak sedih. Gue ikut bahagia kalo dia juga bahagia.”“Bohong,” tukas Cladia tak percaya.“Terserah lo kalo nggak percaya," jawab Tania sambil mengambil clutch bag."Lo yakin mau pergi?" tanya Claudia sekali lagi. "Lo tau kan apa itu pertunangan? Nanti bakal ada adegan pasang-pasangan cincin, kissing sama pelukan. Apa lo siap? Jantung lo kuat?""Kalo gue udah mutusin
Tania terus berjalan sambil membawa kesedihan dan air mata. Tania tidak ingat kapan terakhir ia merasa sesedih ini. Mungkin saat perasaannya pada Dypta tidak berbalas. Atau saat kesalahpahamannya dengan Gatra dulu terjadi.Mungkin Claudia benar. Tidak seharusnya ia datang kemari demi menyaksikan kebahagiaan Gatra dan membuktikan bahwa ia sanggup menghadapinya. Ia tidak perlu membuktikan apa-apa. Yang ada ia malah menarik perhatian orang-orang agar memandang padanya.Langkah Tania terhenti ketika melihat mantan mertuanya dari jauh. Lena berdiri di dekat pintu ballroom yang merupakan satu-satunya akses keluar masuk.Mau tidak mau Tania terpaksa menghadapinya. ‘Kenapa aku harus takut?’ pikir Tania. Bukankah ia datang agar Lena tahu bahwa ia baik-baik saja?Tania mengambil tisu dari dalam clutch bag. Disapukannya pelan-pelan mulai dari mata hingga bagian wajahnya yang lain. Thanks to DIOR Diorshow Iconic Overcurl Waterproof Mascara yang tadi iseng diaplikasikannya demi mempercantik bulu
Setiap kali ada masalah biasanya Tania akan kehilangan kontrol diri. Emosinya yang meledak-ledak membuatnya kerap mengambil keputusan sembarangan tanpa pikir panjang. Keputusan-keputusan impulsif yang efeknya juga bersifat jangka panjang.Namun waktu dan pengalaman di masa lalu begitu mendewasakan Tania. Tania tidak ingin lagi mengulang kebodohannya yang akan merugikan dirinya sendiri.“Udah agak baikan?” tanya Claudia sambil ikut duduk di sebelah Tania.Tania menganggukkan kepala sambil mengaduk coklat panas yang dibuatkan Claudia untuknya.Tania baru saja selesai mandi. Kini ia tampak jauh lebih segar. Tadi di kamar mandi Tania menangis sejadinya di bawah aliran air shower. Tania meluapkan segala perasaan yang menyesaki dada. Dan hasilnya, saat ini ia merasa lebih baik.“Ta, udah lama banget ya kita nggak liburan bareng? Terakhir kapan coba kita liburan?”“Waktu ke Phuket,” jawab Tania. Dan sialnya lagi-lagi hal itu mengingatkannya pada Gatra.“Gue suntuk banget, kepala gue rasanya
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu dan beberapa hari pula Gatra menghubungi Tania. Namun Tania mengabaikannya. Karena tidak mendapat respon Gatra pun berhenti. Setidaknya itu yang ada di pikiran Tania saat ini.Daripada terus-terusan bergumul dengan kegalauan memikirkan Gatra yang sudah memiliki pasangan baru, Tania memilih untuk mempertimbangkan ide Claudia untuk liburan bersama. Meski belum menentukan destinasi mereka, namun keduanya sudah mengajukan cuti selama dua minggu di kantor masing-masing.“Hm, dua minggu ya?” Atasannya bertanya saat membaca surat permohonan cuti yang diajukan Tania.“Iya, Pak, dua minggu,” jawab Tania harap-harap cemas, khawatir tidak akan mendapat izin.“Pekerjaan kamu sudah selesai semua, Ta?”“Sudah, Pak,” jawab Tania lagi.“Rencananya mau liburan ke mana?”“Belum tahu sih, Pak, masih bingung.”“Lho, masa yang mau liburan belum tahu mau ke mana.” Atasannya tertawa.Tania juga tertawa.“Hati-hati ya, jangan lupa oleh-olehnya,” gurau pria itu sambil
“Kamu tuh ngomong apa sih, Gat? Sebelum tadi kamu bilang gini dipikir dulu nggak?” ucap Kiera jengkel. Makin ke sini Gatra semakin nggak jelas. Setiap kali Kiera mengajaknya bicara pasti Gatra membalas sekenanya. Dan lihatlah sekarang, ucapan yang meluncur dari mulutnya seakan tidak dipikir dulu.“Aku udah pikirin baik-baik, makanya kubilang sekarang, mumpung masih ada waktu,” jawab Gatra dan kali ini memandang pada Kiera di sebelahnya.Kiera masih menganggap Gatra tidak serius dengan ucapannya. Yang ada di pikiran Kiera adalah jika saat ini Gatra mengalami bridezilla syndrome yang biasanya menyerang calon pengantin wanita atau pun laki-laki.Mereka sama-sama diam beberapa saat. Kiera mencoba memahami Gatra dan menepis emosi yang sempat memuncak jauh-jauh. Ia kemudian menggeser duduk agar lebih rapat dengan Gatra lalu menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu.“Gat, kamu nggak usah terlalu cemas mikirin pernikahan kita. Aku jamin semua bakalan lancar. Kamu kan udah lihat sendiri
Kiera termangu sangat lama sementara ponsel Tania tidak henti berbunyi.Gatra mana yang menelepon Tania? Apa itu Gatra kesayangan miliknya? Atau ada Gatra yang lain? Seingat Kiera nama Gatra tidak terlalu pasaran dan hanya dimiliki oleh beberapa orang. Bahkan Kiera belum pernah mengenal atau mendengar nama Gatra selain Gatra kesayangannya. Jika benar yang menelepon Tania adalah calon suaminya, tapi untuk apa? Tangan Kiera sudah terulur untuk menjawab panggilan tersebut. Saking penasarannya ia hampir tidak bisa menahan diri. Namun kemudian Kiera ingat ia akan menjadi orang yang sangat tidak sopan jika sampai menerima panggilan tersebut. Tidak. Itu pasti Gatra yang lain. Mungkin salah satu teman Tania atau saudaranya. Kiera mencoba berpikir positif meski sulit. Itu bukan ponselnya, dan ia tidak berhak melakukan apa pun pada benda yang bukan merupakan miliknya.Kiera urung menjawab panggilan tersebut. Namun ia tetap berdiri di sisi meja hingga panggilan tersebut mati sendiri. Beberapa
Hari ini tepat satu minggu sebelum pernikahan Gatra dan Kiera dilangsungkan. Progress persiapan pernikahan sudah mencapai sembilan puluh sembilan persen. Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Saat ini Gatra dan Kiera sudah berada di bridal butik untuk fitting terakhir baju pengantin mereka.“Gimana, Gat?” Kiera berdiri lalu memutar tubuh memeragakan gaun pengantinnya di depan Gatra. Perempuan itu merekahkan senyum sempurna. Binar bahagia sangat kentara di wajahnya yang jelita.“Cantik,” jawab Gatra datar mengomentari ball gown dengan ekor bermeter-meter itu. Kiera tidak sungkan-sungkan merogoh koceknya lebih dalam demi tampil all out di hari bahagianya nanti.“Apanya?”“Bajunya.”“Kalau pengantinnya?”“Apalagi."Senyum di bibir Kiera mengembang semakin lebar. Namun ia merasa ada yang berbeda dari Gatra hari ini. Kiera sudah terbiasa mendengar jawaban-jawaban singkat dari calon suaminya itu. Semakin mendekati hari pernikahan Gatra juga semakin sering membicarakan untuk membatalkan renc
“Tumben jam segini udah pulang,” ucap Lena heran saat melihat Gatra tiba di rumah di saat seharusnya ia berada di rumah sakit.“Ada yang mau kuomongin, Ma,” jawab Gatra to the point.“Nggak bisa lewat telepon aja sampai kamu harus pulang segala?” Keheranan Lena semakin menjadi.“Ini penting, Ma, nggak bisa lewat telepon.”Gatra kemudian menuntun Lena untuk duduk bersamanya.“Ada apa, Gat?” desak Lena ingin tahu.Gatra mengambil napas sesaat sebelum mulai bicara. Tadi saat di mobil ia berpikir keras bagaimana caranya mengatakan semua yang terjadi pada Lena. Gatra khawatir jika sang ibu tidak kuat mendengarnya sehingga mengakibatkan sesuatu yang fatal.“Ada apa, Gat?” Lena mengulangi pertanyaannya yang belum sempat dijawab Gatra. ”Tadi jadi kan fitting baju pengantin?”“Jadi, Ma.”“Mama bisa bayangin pasti Kiera cantik banget pakai baju itu.” Lena tersenyum bahagia. Otaknya mulai merancang bayangan Kiera menggunakan gaun pernikahannya.“Iya, Ma.”“Kamu kok lesu gini sih, Gat? Ada masala
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama