Setiap kali ada masalah biasanya Tania akan kehilangan kontrol diri. Emosinya yang meledak-ledak membuatnya kerap mengambil keputusan sembarangan tanpa pikir panjang. Keputusan-keputusan impulsif yang efeknya juga bersifat jangka panjang.Namun waktu dan pengalaman di masa lalu begitu mendewasakan Tania. Tania tidak ingin lagi mengulang kebodohannya yang akan merugikan dirinya sendiri.“Udah agak baikan?” tanya Claudia sambil ikut duduk di sebelah Tania.Tania menganggukkan kepala sambil mengaduk coklat panas yang dibuatkan Claudia untuknya.Tania baru saja selesai mandi. Kini ia tampak jauh lebih segar. Tadi di kamar mandi Tania menangis sejadinya di bawah aliran air shower. Tania meluapkan segala perasaan yang menyesaki dada. Dan hasilnya, saat ini ia merasa lebih baik.“Ta, udah lama banget ya kita nggak liburan bareng? Terakhir kapan coba kita liburan?”“Waktu ke Phuket,” jawab Tania. Dan sialnya lagi-lagi hal itu mengingatkannya pada Gatra.“Gue suntuk banget, kepala gue rasanya
Beberapa hari berlalu sejak kejadian itu dan beberapa hari pula Gatra menghubungi Tania. Namun Tania mengabaikannya. Karena tidak mendapat respon Gatra pun berhenti. Setidaknya itu yang ada di pikiran Tania saat ini.Daripada terus-terusan bergumul dengan kegalauan memikirkan Gatra yang sudah memiliki pasangan baru, Tania memilih untuk mempertimbangkan ide Claudia untuk liburan bersama. Meski belum menentukan destinasi mereka, namun keduanya sudah mengajukan cuti selama dua minggu di kantor masing-masing.“Hm, dua minggu ya?” Atasannya bertanya saat membaca surat permohonan cuti yang diajukan Tania.“Iya, Pak, dua minggu,” jawab Tania harap-harap cemas, khawatir tidak akan mendapat izin.“Pekerjaan kamu sudah selesai semua, Ta?”“Sudah, Pak,” jawab Tania lagi.“Rencananya mau liburan ke mana?”“Belum tahu sih, Pak, masih bingung.”“Lho, masa yang mau liburan belum tahu mau ke mana.” Atasannya tertawa.Tania juga tertawa.“Hati-hati ya, jangan lupa oleh-olehnya,” gurau pria itu sambil
“Kamu tuh ngomong apa sih, Gat? Sebelum tadi kamu bilang gini dipikir dulu nggak?” ucap Kiera jengkel. Makin ke sini Gatra semakin nggak jelas. Setiap kali Kiera mengajaknya bicara pasti Gatra membalas sekenanya. Dan lihatlah sekarang, ucapan yang meluncur dari mulutnya seakan tidak dipikir dulu.“Aku udah pikirin baik-baik, makanya kubilang sekarang, mumpung masih ada waktu,” jawab Gatra dan kali ini memandang pada Kiera di sebelahnya.Kiera masih menganggap Gatra tidak serius dengan ucapannya. Yang ada di pikiran Kiera adalah jika saat ini Gatra mengalami bridezilla syndrome yang biasanya menyerang calon pengantin wanita atau pun laki-laki.Mereka sama-sama diam beberapa saat. Kiera mencoba memahami Gatra dan menepis emosi yang sempat memuncak jauh-jauh. Ia kemudian menggeser duduk agar lebih rapat dengan Gatra lalu menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu.“Gat, kamu nggak usah terlalu cemas mikirin pernikahan kita. Aku jamin semua bakalan lancar. Kamu kan udah lihat sendiri
Kiera termangu sangat lama sementara ponsel Tania tidak henti berbunyi.Gatra mana yang menelepon Tania? Apa itu Gatra kesayangan miliknya? Atau ada Gatra yang lain? Seingat Kiera nama Gatra tidak terlalu pasaran dan hanya dimiliki oleh beberapa orang. Bahkan Kiera belum pernah mengenal atau mendengar nama Gatra selain Gatra kesayangannya. Jika benar yang menelepon Tania adalah calon suaminya, tapi untuk apa? Tangan Kiera sudah terulur untuk menjawab panggilan tersebut. Saking penasarannya ia hampir tidak bisa menahan diri. Namun kemudian Kiera ingat ia akan menjadi orang yang sangat tidak sopan jika sampai menerima panggilan tersebut. Tidak. Itu pasti Gatra yang lain. Mungkin salah satu teman Tania atau saudaranya. Kiera mencoba berpikir positif meski sulit. Itu bukan ponselnya, dan ia tidak berhak melakukan apa pun pada benda yang bukan merupakan miliknya.Kiera urung menjawab panggilan tersebut. Namun ia tetap berdiri di sisi meja hingga panggilan tersebut mati sendiri. Beberapa
Hari ini tepat satu minggu sebelum pernikahan Gatra dan Kiera dilangsungkan. Progress persiapan pernikahan sudah mencapai sembilan puluh sembilan persen. Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Saat ini Gatra dan Kiera sudah berada di bridal butik untuk fitting terakhir baju pengantin mereka.“Gimana, Gat?” Kiera berdiri lalu memutar tubuh memeragakan gaun pengantinnya di depan Gatra. Perempuan itu merekahkan senyum sempurna. Binar bahagia sangat kentara di wajahnya yang jelita.“Cantik,” jawab Gatra datar mengomentari ball gown dengan ekor bermeter-meter itu. Kiera tidak sungkan-sungkan merogoh koceknya lebih dalam demi tampil all out di hari bahagianya nanti.“Apanya?”“Bajunya.”“Kalau pengantinnya?”“Apalagi."Senyum di bibir Kiera mengembang semakin lebar. Namun ia merasa ada yang berbeda dari Gatra hari ini. Kiera sudah terbiasa mendengar jawaban-jawaban singkat dari calon suaminya itu. Semakin mendekati hari pernikahan Gatra juga semakin sering membicarakan untuk membatalkan renc
“Tumben jam segini udah pulang,” ucap Lena heran saat melihat Gatra tiba di rumah di saat seharusnya ia berada di rumah sakit.“Ada yang mau kuomongin, Ma,” jawab Gatra to the point.“Nggak bisa lewat telepon aja sampai kamu harus pulang segala?” Keheranan Lena semakin menjadi.“Ini penting, Ma, nggak bisa lewat telepon.”Gatra kemudian menuntun Lena untuk duduk bersamanya.“Ada apa, Gat?” desak Lena ingin tahu.Gatra mengambil napas sesaat sebelum mulai bicara. Tadi saat di mobil ia berpikir keras bagaimana caranya mengatakan semua yang terjadi pada Lena. Gatra khawatir jika sang ibu tidak kuat mendengarnya sehingga mengakibatkan sesuatu yang fatal.“Ada apa, Gat?” Lena mengulangi pertanyaannya yang belum sempat dijawab Gatra. ”Tadi jadi kan fitting baju pengantin?”“Jadi, Ma.”“Mama bisa bayangin pasti Kiera cantik banget pakai baju itu.” Lena tersenyum bahagia. Otaknya mulai merancang bayangan Kiera menggunakan gaun pernikahannya.“Iya, Ma.”“Kamu kok lesu gini sih, Gat? Ada masala
Kiera melangkah cepat menyusuri koridor Mahaka Women and Children Hospital. Beberapa orang yang berpapasan dengannya dan mengenal Kiera sebagai anak pemilik rumah sakit mengangguk hormat dan menyapa Kiera dengan sopan. Namun kali ini Kiera mengabaikannya. Ia bergegas menuju ruangan direktur rumah sakit yang adalah ayahnya.Kiera mendapati ruangan tersebut dalam keadaan kosong. Tidak seorang pun ada di sana. Kiera ke luar dari ruangan tersebut dan bertanya pada seorang pegawai.“Papi saya mana?” tanyanya tanpa senyum.“Bapak lagi di ruang meeting, Dok, sedang ada pertemuan dengan dewan komisaris.”Tanpa membuang waktu Kiera langsung menuju ruangan meeting. Kiera menerobos masuk tanpa izin. Toh ia adalah anak pemilik rumah sakit ini.Seluruh yang berada di ruang tersebut terperanjat oleh kedatangan Kiera dan serempak memandang ke arah pintu.“Kiera!” tegur Putra Mahaka atas sikap tidak sopan anaknya.“Maaf aku langsung masuk tanpa izin, tapi aku ingin bicara dengan Papi,” ucap Kiera yan
“Nanti kalau sudah sampai di sana jangan lupa kabari Mommy atau Papa ya, Kak, dan jangan lupa juga sambal kacangnya langsung dikasih sama Oma.”“Iya, Mommy.” Tania mengangguk patuh lalu tersenyum. Audry menitip banyak makanan tradisional untuk kedua orang tua Dypta, seperti sambal kacang, kering tempe plus teri, bubuk cabe sampai cilok dan cireng frozen. “Adek juga, jangan usilin Kakak mulu, jangan berantem ya!” ucap Audry yang kali ini ditujukan pada Rogen.“Siap, Mommy,” jawab Rogen.Hari itu tepat seminggu sebelum pernikahan Gatra, Tania memutuskan untuk berangkat liburan. Audry dan Dypta mengantarnya sampai ke bandara.“Pokoknya nanti Papa nggak mau dengar Kakak ngadu.” Dypta ikut bicara.“Ih, dasar tukang ngadu.” Rogen mencebik ke arah Tania yang disambut sang kakak dengan dengkusannya.“Adek! Mau ke mana?” Seluruh mata serempak memandang ke arah yang sama. Rogen langsung memasang senyum masam saat melihat Athaya mendekati mereka.“Siang, Om, Tante, Kak Tata,” sapanya satu per