Setelah tidak menemukan Tania di apartemen dan kantornya, satu-satunya kemungkinan Tania berada sekarang adalah di rumah orang tuanya. Tanpa membuang waktu Gatra langsung menuju tempat itu. Setibanya di sana Gatra tidak langsung masuk. Ia memarkir mobilnya di depan pagar sambil mengamati situasi di sekitar.Rumah tersebut tampak sepi. Tidak ada apa pun di sana kecuali sebuah SUV hitam yang terparkir di halaman. Itu adalah mobil Dypta. Gatra mempertimbangkan selama beberapa saat akan turun atau mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Tania. Mengingat pengakuan Tania malam itu mengenai hubungannya dengan Dypta membuat dadanya sesak seketika.Gatra memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam. Ia menguatkan hati, mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi. Gatra menyadari, kembali pada Tania itu artinya ia harus bisa menerima Tania dengan segala masa lalu dan segenap kekurangannya. Dengan mengikhlaskan membuat hatinya merasa lapang.Gatra kemudian turun dari mobil. Ia melangkah teg
Daun maple yang berguguran dan berserakan di halaman rumah mengingatkan Tania pada masa kecilnya sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sudah dua dekade lamanya, siapa sangka ia akan menemukan hal yang sama begitu menginjakkan kaki di Montreal, salah satu kota di Canada yang terletak di provinsi Québec.Tania, Rogen serta Claudia baru saja tiba di sana setelah penerbangan panjang yang melelahkan. Awalnya, Mark, sepupu Tania atau anak Gyara yang merupakan adik perempuan Dypta yang menjemput ke bandara, tapi hingga lebih satu jam mereka menunggu lelaki itu tidak kunjung datang sehingga akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk menggunakan taksi. Alhasil mereka kebingungan karena tidak bisa berbahasa Prancis. Sebagai bekas wilayah jajahan Prancis, tujuh koma dua juta jiwa warga Canada menggunakan bahasa tersebut. Bahkan di Provinsi Québec bahasa Prancis merupakan bahasa ibu.Seorang perempuan tujuh puluhan membukakan pintu untuk mereka. Dia adalah Gista, orang tua perempuan Dypta. Senyum mer
“Gatra ...” Tania bergumam lirih sambil mengelus pipi Gatra. Tangannya merasakan langsung kulit wajah pria itu. Dan ini adalah nyata. Tadinya Tania takut kalau semua hanya mimpi belaka.Gatra tersenyum lagi. Diambilnya tangan Tania yang menempel di pipinya lantas mengecupnya lembut.“Ini bukan mimpi, Ta. Ini nyata. Aku ada di sini.”“Tapi gimana bisa?” tanya Tania tidak mengerti. Bukankah Gatra akan menikah?“Cinta yang membuatku ada di sini,” ucap Gatra puitis sementara tatapannya yang mesra masih bertahan di wajah Tania.Tania terharu mendengarnya. Tapi apa maksudnya ini semua? Apa-apaan Gatra bahas cinta?Tania lalu duduk dan menyandarkan punggungnya ke headboard sementara tangannya berada dalam genggaman Gatra.“Ceritain semuanya, please!” pinta Tania memohon. Sebelum angannya melambung tinggi ia harus tahu apa sebenarnya yang terjadi. Tania tidak ingin kecewa pada akhirnya.“Aku batal menikah dengan Kiera,” uc
Malam semakin menua tapi kebersamaan mereka belum akan berakhir. Setelah putaran terakhir ferris wheel, mereka pun turun.“Dek, Kak Tata nggak pulang ke rumah ya,” kata Gatra pada Rogen.“Mau ke mana, Bang?”“Ikut Abang menginap di hotel.”Rogen garuk-garuk kepala. Bingung tapi juga tidak enak untuk menolak. Masalahnya Tania dan Gatra sudah bercerai.“Tenang aja, Dek, Kak Tata aman kok. Nggak bakal Abang apa-apain,” kata Gatra menjanjikan seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Rogen saat ini.“Hehe ...” Rogen tertawa salah tingkah. “Kalo mau diapa-apain juga nggak apa-apa kok, asal tanggung jawab. Eh!”Gatra tertawa. Adik iparnya memang absurd.“Clau, tolong sampaikan ke Oma dan Opa ya, Tata sama aku. Kalian nggak usah khawatir. Tata nggak bakal aku macem-macemin.” Gatra menjanjikan hal yang sama pada Claudia.“Siap, Gat,” jawab gadis itu sambil tersenyum penuh arti pada Tania.Tania juga melengkungkan bibir. Ia tidak tahu rencana Gatra. Tadi sewaktu di dalam gondola Gatra tidak meng
“Gat, kamu kenapa?” tegur Tania melihat raut tegang Gatra.Gatra mengulas senyum sambil menggaruk tengkuknya. “Udah mau tidur?” tanyanya.“Jadi mau apa lagi?” balas Tania.“Nggak mau makan dulu?”Tania mengerutkan dahi sambil menatap Gatra dengan serius. “Tadi kita kan udah makan. Memangnya kamu masih lapar?”“Bukan lapar yang itu sih, tapi lapar yang lain.”“Lapar yang lain?” Tania semakin tidak paham apa yang Gatra maksudkan. Otaknya berpikir keras, mencoba menganalisa.Gatra tertawa melihat reaksi sang mantan istri. ‘Pura-pura polos aja terus, Ta. Hmmm …'“Ya udah, kalo udah ngantuk langsung tidur aja yuk.” Gatra merengkuh Tania agar berbaring bersamanya.Tania menurut. Ia merebahkan badannya di sebelah Gatra. Selama hitungan menit keduanya larut dalam renungan masing-masing.Dengan Tania berada di dekatnya membuat Gatra semakin lemah. Ia khawatir tidak akan bisa menahan diri. Ia takut akan melanggar tekad yang dibangunnya di dalam hati. Sementara keberadaan Tania hampir saja merun
“Ladies and gentlemen, as we start our descent, please make sure your seat backs and tray tables are in their full upright position. Also, make sure your seat belt is securely fastened and all carry-on luggage is stowed underneath the seat in front of you or in the overhead bins. Thank on behalf of the airlines and the entire crew, I’d like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Thank you and have a nice day!”Gatra mengembuskan napas panjang begitu mendengar pengumuman bahwa pesawat yang membawanya sesaat lagi akan mendarat. Itu artinya ia sudah tiba di Indonesia. Entah mengapa ia merasa berat untuk turun. Namun ia harus melakukannya begitu pesawat mendarat dengan sempurna.Tidak ada sore itu yang menjemput Gatra di bandara. Ia pulang sendiri ke rumahnya dengan menggunakan taksi.Dan begitu tiba di kediamannya Gatra menemukan Lena yang menyambutnya dengan deraian air mata.“Ma …” Gatra memeluk perempuan itu.“
Setiap tengah malam di beberapa hari terakhir sisa liburannya di Canada Tania selalu menelepon Gatra. Termasuk malam ini. Namun sayangnya Gatra tidak menjawab telepon darinya. Tania lantas melihat ke arah jam dinding. Saat ini waktu menunjukkan pukul satu malam. Itu artinya di Indonesia sudah jam dua belas siang.‘Apa Gatra belum bangun ya? Atau lagi kerja?’ pikir Tania di dalam hati.Lantaran telepon darinya tidak kunjung mendapat jawaban pada akhirnya Tania mengirim pesan untuk Gatra.“Gat, kangen nih. Sibuk ya? Kamu lagi banyak pasien ya?” Tania menunggu sampai pesannya terkirim. Hingga beberapa menit kemudian matanya masih bertahan di layar gawai. Namun Gatra belum membaca pesannya alih-alih akan membalas. Tania meletakkan ponselnya dan berharap setelah bangun tidur nanti sudah ada balasan pesan untuknya.“Clau, lo udah tidur? Gue nggak bisa tidur.” Tania mengusap pipi Claudia yang tampak pulas di sebelahnya.Sahabatnya itu tidak merespon. Hanya wajahnya yang melukiskan gurat-gur
“Pokoknya Oma sama Opa wajib datang ke Indonesia kalau Tata nikah nanti,” kata Tania pada Gista dan Devan saat berpamitan. Hari itu Tania, Rogen, serta Claudia akan kembali ke Indonesia.“Oma pasti datang, gimana mungkin Oma nggak datang di hari pernikahan cucu Oma sendiri," jawab Gista menjanjikan.“Opa juga. Opa akan jadi orang paling rugi sedunia kalau sampai nggak datang di hari bersejarah itu,” susul Devan. Dulu saat pernikahan pertama Tania dan Gatra keduanya berhalangan hadir. “Lho, katanya Kak Tata mau nikah di sini,” timpal Rogen menyela percakapan ketiganya.“Tau dari mana kamu?” tatap Tania curiga. Seingat Tania ia dan Gatra hanya membicarakannya berdua tentang rencana pernikahan tersebut.“Pengen tau atau pengen tau banget?” jawab Rogen menggoda Tania sambil nyengir lebar.“Jangan bilang kalo kamu nguping,” ucap Tania lagi sambil mengingat-ingat di mana saja mereka menghabiskan waktu bertiga. Dirinya, Gatra dan Rogen.Rogen tertawa dan tidak mau memberitahu.“Sudah siap
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama