“Kamu tuh ngomong apa sih, Gat? Sebelum tadi kamu bilang gini dipikir dulu nggak?” ucap Kiera jengkel. Makin ke sini Gatra semakin nggak jelas. Setiap kali Kiera mengajaknya bicara pasti Gatra membalas sekenanya. Dan lihatlah sekarang, ucapan yang meluncur dari mulutnya seakan tidak dipikir dulu.“Aku udah pikirin baik-baik, makanya kubilang sekarang, mumpung masih ada waktu,” jawab Gatra dan kali ini memandang pada Kiera di sebelahnya.Kiera masih menganggap Gatra tidak serius dengan ucapannya. Yang ada di pikiran Kiera adalah jika saat ini Gatra mengalami bridezilla syndrome yang biasanya menyerang calon pengantin wanita atau pun laki-laki.Mereka sama-sama diam beberapa saat. Kiera mencoba memahami Gatra dan menepis emosi yang sempat memuncak jauh-jauh. Ia kemudian menggeser duduk agar lebih rapat dengan Gatra lalu menyandarkan kepalanya ke pundak laki-laki itu.“Gat, kamu nggak usah terlalu cemas mikirin pernikahan kita. Aku jamin semua bakalan lancar. Kamu kan udah lihat sendiri
Kiera termangu sangat lama sementara ponsel Tania tidak henti berbunyi.Gatra mana yang menelepon Tania? Apa itu Gatra kesayangan miliknya? Atau ada Gatra yang lain? Seingat Kiera nama Gatra tidak terlalu pasaran dan hanya dimiliki oleh beberapa orang. Bahkan Kiera belum pernah mengenal atau mendengar nama Gatra selain Gatra kesayangannya. Jika benar yang menelepon Tania adalah calon suaminya, tapi untuk apa? Tangan Kiera sudah terulur untuk menjawab panggilan tersebut. Saking penasarannya ia hampir tidak bisa menahan diri. Namun kemudian Kiera ingat ia akan menjadi orang yang sangat tidak sopan jika sampai menerima panggilan tersebut. Tidak. Itu pasti Gatra yang lain. Mungkin salah satu teman Tania atau saudaranya. Kiera mencoba berpikir positif meski sulit. Itu bukan ponselnya, dan ia tidak berhak melakukan apa pun pada benda yang bukan merupakan miliknya.Kiera urung menjawab panggilan tersebut. Namun ia tetap berdiri di sisi meja hingga panggilan tersebut mati sendiri. Beberapa
Hari ini tepat satu minggu sebelum pernikahan Gatra dan Kiera dilangsungkan. Progress persiapan pernikahan sudah mencapai sembilan puluh sembilan persen. Mereka hanya tinggal melaksanakannya. Saat ini Gatra dan Kiera sudah berada di bridal butik untuk fitting terakhir baju pengantin mereka.“Gimana, Gat?” Kiera berdiri lalu memutar tubuh memeragakan gaun pengantinnya di depan Gatra. Perempuan itu merekahkan senyum sempurna. Binar bahagia sangat kentara di wajahnya yang jelita.“Cantik,” jawab Gatra datar mengomentari ball gown dengan ekor bermeter-meter itu. Kiera tidak sungkan-sungkan merogoh koceknya lebih dalam demi tampil all out di hari bahagianya nanti.“Apanya?”“Bajunya.”“Kalau pengantinnya?”“Apalagi."Senyum di bibir Kiera mengembang semakin lebar. Namun ia merasa ada yang berbeda dari Gatra hari ini. Kiera sudah terbiasa mendengar jawaban-jawaban singkat dari calon suaminya itu. Semakin mendekati hari pernikahan Gatra juga semakin sering membicarakan untuk membatalkan renc
“Tumben jam segini udah pulang,” ucap Lena heran saat melihat Gatra tiba di rumah di saat seharusnya ia berada di rumah sakit.“Ada yang mau kuomongin, Ma,” jawab Gatra to the point.“Nggak bisa lewat telepon aja sampai kamu harus pulang segala?” Keheranan Lena semakin menjadi.“Ini penting, Ma, nggak bisa lewat telepon.”Gatra kemudian menuntun Lena untuk duduk bersamanya.“Ada apa, Gat?” desak Lena ingin tahu.Gatra mengambil napas sesaat sebelum mulai bicara. Tadi saat di mobil ia berpikir keras bagaimana caranya mengatakan semua yang terjadi pada Lena. Gatra khawatir jika sang ibu tidak kuat mendengarnya sehingga mengakibatkan sesuatu yang fatal.“Ada apa, Gat?” Lena mengulangi pertanyaannya yang belum sempat dijawab Gatra. ”Tadi jadi kan fitting baju pengantin?”“Jadi, Ma.”“Mama bisa bayangin pasti Kiera cantik banget pakai baju itu.” Lena tersenyum bahagia. Otaknya mulai merancang bayangan Kiera menggunakan gaun pernikahannya.“Iya, Ma.”“Kamu kok lesu gini sih, Gat? Ada masala
Kiera melangkah cepat menyusuri koridor Mahaka Women and Children Hospital. Beberapa orang yang berpapasan dengannya dan mengenal Kiera sebagai anak pemilik rumah sakit mengangguk hormat dan menyapa Kiera dengan sopan. Namun kali ini Kiera mengabaikannya. Ia bergegas menuju ruangan direktur rumah sakit yang adalah ayahnya.Kiera mendapati ruangan tersebut dalam keadaan kosong. Tidak seorang pun ada di sana. Kiera ke luar dari ruangan tersebut dan bertanya pada seorang pegawai.“Papi saya mana?” tanyanya tanpa senyum.“Bapak lagi di ruang meeting, Dok, sedang ada pertemuan dengan dewan komisaris.”Tanpa membuang waktu Kiera langsung menuju ruangan meeting. Kiera menerobos masuk tanpa izin. Toh ia adalah anak pemilik rumah sakit ini.Seluruh yang berada di ruang tersebut terperanjat oleh kedatangan Kiera dan serempak memandang ke arah pintu.“Kiera!” tegur Putra Mahaka atas sikap tidak sopan anaknya.“Maaf aku langsung masuk tanpa izin, tapi aku ingin bicara dengan Papi,” ucap Kiera yan
“Nanti kalau sudah sampai di sana jangan lupa kabari Mommy atau Papa ya, Kak, dan jangan lupa juga sambal kacangnya langsung dikasih sama Oma.”“Iya, Mommy.” Tania mengangguk patuh lalu tersenyum. Audry menitip banyak makanan tradisional untuk kedua orang tua Dypta, seperti sambal kacang, kering tempe plus teri, bubuk cabe sampai cilok dan cireng frozen. “Adek juga, jangan usilin Kakak mulu, jangan berantem ya!” ucap Audry yang kali ini ditujukan pada Rogen.“Siap, Mommy,” jawab Rogen.Hari itu tepat seminggu sebelum pernikahan Gatra, Tania memutuskan untuk berangkat liburan. Audry dan Dypta mengantarnya sampai ke bandara.“Pokoknya nanti Papa nggak mau dengar Kakak ngadu.” Dypta ikut bicara.“Ih, dasar tukang ngadu.” Rogen mencebik ke arah Tania yang disambut sang kakak dengan dengkusannya.“Adek! Mau ke mana?” Seluruh mata serempak memandang ke arah yang sama. Rogen langsung memasang senyum masam saat melihat Athaya mendekati mereka.“Siang, Om, Tante, Kak Tata,” sapanya satu per
Setelah tidak menemukan Tania di apartemen dan kantornya, satu-satunya kemungkinan Tania berada sekarang adalah di rumah orang tuanya. Tanpa membuang waktu Gatra langsung menuju tempat itu. Setibanya di sana Gatra tidak langsung masuk. Ia memarkir mobilnya di depan pagar sambil mengamati situasi di sekitar.Rumah tersebut tampak sepi. Tidak ada apa pun di sana kecuali sebuah SUV hitam yang terparkir di halaman. Itu adalah mobil Dypta. Gatra mempertimbangkan selama beberapa saat akan turun atau mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Tania. Mengingat pengakuan Tania malam itu mengenai hubungannya dengan Dypta membuat dadanya sesak seketika.Gatra memejamkan mata sambil menghela napas dalam-dalam. Ia menguatkan hati, mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi. Gatra menyadari, kembali pada Tania itu artinya ia harus bisa menerima Tania dengan segala masa lalu dan segenap kekurangannya. Dengan mengikhlaskan membuat hatinya merasa lapang.Gatra kemudian turun dari mobil. Ia melangkah teg
Daun maple yang berguguran dan berserakan di halaman rumah mengingatkan Tania pada masa kecilnya sekitar dua puluh tahun yang lalu. Sudah dua dekade lamanya, siapa sangka ia akan menemukan hal yang sama begitu menginjakkan kaki di Montreal, salah satu kota di Canada yang terletak di provinsi Québec.Tania, Rogen serta Claudia baru saja tiba di sana setelah penerbangan panjang yang melelahkan. Awalnya, Mark, sepupu Tania atau anak Gyara yang merupakan adik perempuan Dypta yang menjemput ke bandara, tapi hingga lebih satu jam mereka menunggu lelaki itu tidak kunjung datang sehingga akhirnya mereka bertiga memutuskan untuk menggunakan taksi. Alhasil mereka kebingungan karena tidak bisa berbahasa Prancis. Sebagai bekas wilayah jajahan Prancis, tujuh koma dua juta jiwa warga Canada menggunakan bahasa tersebut. Bahkan di Provinsi Québec bahasa Prancis merupakan bahasa ibu.Seorang perempuan tujuh puluhan membukakan pintu untuk mereka. Dia adalah Gista, orang tua perempuan Dypta. Senyum mer