Meninggalkan ruangan Audry, Dypta kembali ke area utama cafe. Di sana Audi duduk menunggu. Piring di atas mejanya sudah kosong, begitu pun matcha latte-nya sudah tandas karena kelamaan menunggu Dypta.Audi memberengut ketika melihat Dypta muncul. “Udah kayak di toilet umum aja antrinya sampai setengah jam,” ocehnya setelah Dypta duduk.Dypta memandang arlojinya guna memastikan kebenaran perkataan Audi. “Apanya yang setengah jam, baru juga sepuluh menit. Tadi kan udah kubilang kalau di sana lagi antri.”Audi mengesahkan napas tidak ingin berdebat dan memutuskan untuk percaya. Lagi pula apa alasannya tidak memercayai Dypta? Dypta adalah laki-laki baik dan tidak akan aneh-aneh. Audi kemudian memerhatikan Dypta menyesap teh dari cangkir. Ia tidak mengerti kenapa laki-laki itu minumnya itu-itu saja, seakan tidak ada minuman lain di dunia ini.”Yuk, Di!”Audi yang serius memerhatikan Dypta tanpa kedip pun mengerjap. Dypta telah berdiri dan mengajaknya pergi.“Sekarang aku antar kamu ke man
Audry tiba di North Apartment. Ia tidak langsung turun dari mobil. Berkaca di spion dalam, Audry memerhatikan wajahnya.Mukanya polos tanpa riasan apa-apa. Tadi saking terburu-buru, ia tidak sempat berdandan.Audry baru saja akan turun dari mobil ketika sebuah pick up double cabin melintas di depannya dan parkir tak jauh di depan mobilnya. Audry tahu persis itu mobil siapa. Audry sudah menghafal nomor polisi, ciri-ciri dan detail kendaraan tersebut. Kendaraan dengan bak belakang terbuka tersebut adalah mobil Dypta.Dugaan Audry pun terbukti kebenarannya ketika sesaat kemudian Dypta keluar dari sana. Lagi-lagi dia tidak sendiri melainkan dengan Audi.Audry membeku dan lagi-lagi rasa insecure melingkupinya ketika melihat penampilan perempuan itu. Mengenakan hot pants dan crochet top berwarna kuning, Audi terlihat cantik dan seksi. Perut dan pusarnya terekspos dengan jelas. Kulit putihnya nampak bertambah terang sebagai efek dari warna baju yang dikenakannya. Audry kembali membandingkan
Audry memandang Dypta tidak mengerti. Puluhan detik lamanya ia kehilangan kata-kata dan hanya bisa memandangi Dypta dengan penuh tanda tanya."Membunuh gimana maksudmu, Dyp?" Audry ingin diperjelas."Aku akan jelasin semua tapi nggak di sini. Kita ke apartemenku sekarang."Audry menurut. Ia masuk ke mobilnya setelah Dypta menyuruh. Audry memutar arah kembali ke North Apartment. Dypta mengiringinya dari belakang.Begitu tiba di sana Dypta keluar dari mobil dan langsung memeluk Audry dan menciumi kepalanya.Audry diam saja sampai Dypta melepaskannya dari dekapan. Laki-laki itu kemudian merangkulnya membawa naik ke unit apartemennya.Setelah membuka pintu Dypta membawa Audry ke kamar."Minum dulu, Ry." Dypta memberi segelas air putih. Ia tahu setelah pengakuan mengejutkannya tadi Audry pasti sangat syok.Audry tidak menolak. Setelah meneguk air itu hingga tandas ia langsung mengejar penjelasan Dypta."Gimana, Dyp? Aku beneran nggak ngerti maksudmu apa."Dypta memosisikan dirinya di sebel
Pertama kali yang Dypta rasakan saat pertama membuka mata kala itu adalah kepalanya yang berat. Sekujur tubuhnya juga remuk redam. Sakit. Tidak hanya fisik, namun juga batin.Audry ... Mana dia? Dia baik-baik saja kan?Audry adalah orang pertama yang Dypta ingat.Lalu Dypta memindai ruangan tempatnya berada sekarang dengan tatapannya yang redup. Warna putih yang mendominasi serta aroma obat-obatan khas rumah sakit memberinya informasi tentang eksistensinya saat ini.Lamat-lamat ingatannya pun terkumpul sedikit demi sedikit. Adegan demi adegan mengerikan itu saling tumpang tindih di kepalanya, silih berganti berkelabat di depan matanya. Namun di ujung semua itu Dypta sangat bersyukur karena ternyata ia masih bernyawa.Seorang laki-laki bersnelli putih kemudian masuk ke ruangan ditemani dua orang perempuan tenaga medis lainnya.“Bagaimana keadaan anda?” tanya laki-laki itu.Dypta diam saja. Tidak sepatah kata pun meluncur dari bibirnya. Sementara pikirannya bekerja keras. Ia tidak mun
“Jadi begitu ceritanya, Yang …” Dypta mengakhiri penuturan panjangnya sambil mengusap punggung Audry yang berada di sebelahnya.Sedangkan Audry diam saja. Tidak sepatah kata pun lolos keluar dari mulutnya. Semua ini tidak hanya membuatnya syok, namun juga sedih.“Ry, Yang, kamu kenapa?” tanya Dypta melihat Audry membisu.“Aku nggak nyangka akan begini jadinya. Jadi ini semua sampai kapan, Dyp? Sampai kapan kamu harus berpura-pura dan mengaku sebagai orang lain?””Sampai Om Jeff nerima pembalasan atas perbuatannya. Sampai dia ngerasain apa yang kurasain dulu.””Dan selama itu kamu harus menyamar jadi orang lain lalu pura-pura jadi tunangan Audi?”Dypta menganggukkan pelan kepalanya.“Aku nggak setuju,” kata Audry tidak terima sambil melipat kedua tangannya di depan dada.”Kenapa nggak setuju? Om Jeff udah bikin kita menderita, Ry. Nggak hanya aku, tapi kamu juga.”“Tapi bukan begini caranya kalau kamu mau balas perbuatan Jeff. Kamu lapor ke polisi, serahkan semua pada pihak yang berwaj
Malam semakin menua saat Audry melintasi jalan raya. Tadi Dypta ingin mengawalnya dari belakang, namun Audry menolak. Audry tidak ingin mengambil risiko. Bisa saja Jeff mengendus keberadaannya. Jadi tidak salah kalau mereka berjaga-jaga.Semakin mendekati rumah, Audry bertambah galau. Kalau saja Dypta tidak memintanya untuk bertahan Audry sudah kabur dari rumah itu."Cuma sebentar, Yang. Kamu harus tetap di sana sampai aku berhasil. Kalau kamu pergi misi kita akan gagal. Kamu nggak usah ngelawan sama Om Jeff. Kamu bersikap biasa aja kayak dulu." Itu yang dikatakan Dypta tadi saat mengantar Audry ke parkiran apartemen. "Ingat kan image kamu tuh gimana?""Gimana?" tanya Audry."Kamu tuh istri yang lugu, patuh dan sedikit bodoh."Audry langsung mencubit lengan Dypta mendengar kata-kata terakhir laki-laki itu.Dypta lalu tertawa melihat ekspresi Audry. "Sorry, aku becanda," bisiknya sambil mengecup pipi Audry.Audry tersenyum sendiri mengingat kejadian tadi. Cara Dypta mencumbunya membuat
Audry menghempaskan badannya ke ranjang. Jeff benar-benar membuatnya marah.Selagi Audry bergumul dengan rasa frustasi, Jeff sudah meninggalkan kamar.Jeff menuju kamar Tania. Melalui celah pintu laki-laki itu melambaikan tangan memanggil Nora yang masih berada di sana."Pak, saya nggak enak sama Ibu Audry," kata Nora pada Jeff. "Ibu Audry pasti marah saya ada di sini. Saya pulang saja ya, Pak." Ia merasa tidak enak hati, terlebih ketika mengingat tadi Audry menyaksikan adegan kissing mereka."Kamu kerja untuk saya atau Ibu Audry?""Untuk Bapak," jawab Nora pelan."Kalau begitu kamu dengarkan saya. Patuhi semua perintah saya. Malam ini saya memerintahkan kamu untuk menginap di sini!" ucap Jeff tegas. Ia tidak ingin perkataannya dibantah.Nora mengekor ketika Jeff menggiringnya ke kamar tamu. Pria itu sengaja tidak mengunci pintu kamar.Jeff menarik Nora ke atas tubuhnya setelah lebih dulu merebahkan diri di ranjang."Pak Jeff mau apa?" tanya Nora."Mau gigit telinga kamu." Dan detik i
Pagi ini Audry bangun lebih lambat dari hari-hari sebelumnya. Semalam tidurnya cukup nyenyak meskipun aura di rumahnya semakin panas.Bahkan tadi kalau bukan Tania yang membangunkannya mungkin hingga saat ini Audry belum akan membuka mata.Audry mengurus Tania, mulai dari memandikan, menyiapkan pakaian sekolah, membantu merapikannya serta menyisir rambut anak itu. Setelah semua siap mereka langsung menuju ruang makan.Audry tidak perlu merasa terkejut karena begitu tiba di sana Nora sudah duduk manis bersama Jeff.“Selamat pagi, Bu Audry.” Nora menyapa Audry dengan ramah.“Pagi, Nora. Gimana tidurnya semalam? Nyenyak?” Audry tak kalah ramah membalas sapaan itu seakan tidak terjadi apa-apa.Nora tampak kikuk. Sikap yang ditunjukkan Audry membuatnya merasa berdosa. Bagaimana mungkin tidurnya bisa nyenyak setelah mendapatkan siksaan dari Jeff?Tadi malam setelah selesai bercinta, Jeff melepaskan Nora dari ikatannya. Begitu Jeff membuka lakban dari mulutnya, Nora langsung menceracau, meng
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama