Di tempatnya duduk saat ini Tania membeku setelah tahu Kiera sedang menerima telepon dari Gatra. Tania cemburu mendengar percakapan mesra mereka. Ingin rasanya Tania mengatakan pada Kiera bahwa dirinya adalah mantan istri Gatra. Namun begitu mengingat peringatan dari Claudia tadi, Tania menahan diri. Ini baru awal dan ia tidak boleh merusak segalanya.Kiera meletakkan ponselnya di meja setelah selesai menelepon. Ia kembali memusatkan perhatiannya pada Tania.“Maaf ya, agak lama,” ujarnya pada Tania. Tidak lupa mengembangkan senyum manisnya pada Tania.“Nggak apa-apa, Dok.” Tania balas tersenyum.Selain cantik dan tentu saja smart, Kiera juga wangi. Wangi yang begitu lembut dan menenangkan. Tania hampir saja bertanya apa parfum yang digunakan Kiera. Kiera mulai memeriksa Tania. Ia berdiri tepat di bagian belakang kepala Tania setelah merebahkan kursi sehingga Tania berada dalam posisi berbaring. Perempuan itu menggunakan semacam alat untuk microdermabrasi. Alat itu berbentuk panjang s
Tania dan Claudia akhirnya bernapas dengan normal setelah Gatra dan Kiera meninggalkan klinik. Keduanya kembali duduk di jok masing-masing. Selama puluhan detik mereka hanya termangu dengan pikiran yang tersimpan di kepala masing-masing. “Tunggu apa lagi, Clau?” Suara lirih Tania memecah keheningan.Claudia menoleh ke sebelahnya dan mendapati Tania juga sedang memandang padanya.“Kita pulang sekarang?” tanyanya ingin memastikan.“Bukan, kita ke rumah Tante Lena,” jawab Tania.“Buat apa kita ke sana?”“Gue yakin mereka ke sana sekarang karena tadi gue denger Kiera mau kasih cream malam.”“Terus kita mau ngapain?” tanya Claudia tidak mengerti. Claudia memang memberi saran pada Tania untuk memperjuangkan cintanya pada Gatra, tapi dengan cara berbicara baik-baik, bukan dengan menjadi stalker.“Gue cuma mau ngeliat Gatra. Buruan nyalain mobilnya, atau gue yang nyetir?”“Gue aja,” putus Claudia. Ia tahu saat ini keadaan Tania sedang tidak stabil.***“Aku antar kamu pulang aja ya, Ki?” kat
Claudia terkejut saat melihat Gatra tiba-tiba sudah berada di dekatnya. Gatra juga mengisi bahan bakar yang sama dengannya.Claudia tersenyum gugup sambil menganggukkan kepala sementara matanya mencuri pandang ke arah mobil yang pintunya tertutup tapi kaca bagian kanan terbuka. Sekilas Claudia melihat Tania sedang duduk sambil memeluk lutut dan membenamkan kepalanya ke sana. Helai-helai Rambutnya yang panjang tergerai lepas menutupi wajahnya.“Hai, Gat!” Claudia buru-buru menjawab sapaan Gatra.Gatra balas tersenyum. “Sendiri?” Claudia hampir saja menggelengkan kepalanya jika tidak ingat pada Tania. “Lagi isi bensin juga?” tanya Claudia retoris.“Masa ke sini mau isi air?” Gatra tertawa.Claudia juga tertawa. Dari sini ia tahu jika Gatra tidak berubah. Lelaki itu masih suka bergurau seperti dulu.“Tata mana, Clau?”Pertanyaan itu tidak Claudia duga datang dari mulut Gatra. Dan itu kembali membuat Claudia terserang gugup.“Hm, Tata ya? Dia ... hm, aku nggak tau, Gat. Aku nggak bareng
Pertanyaan Tania akhirnya menemukan jawaban. Kiera berbelok memasuki sebuah supermarket. Tania ikut berbelok ke sana dan memarkir mobilnya agak jauh dari mobil Kiera.Tania menunggu beberapa saat. Setelah Kiera keluar dari mobil, Tania pun ikut keluar. Ia tetap menjaga jarak aman dengan perempuan itu.Ternyata Kiera akan berbelanja. Ketika Kiera mengambil troli, Tania mengambil keranjang. Ia berjalan beberapa langkah di belakang Kiera.Kiera tampak memilih buah-buahan. Tangannya memegang sebuah mangga, mengamatinya begitu lama lalu membandingkan dengan buah mangga lainnya.Tania tidak bisa mencegah pikiran negatifnya muncul.Apa dia hamil, lalu ngidam?Nggak, Gatra nggak gitu. Tania menepis pikiran buruk yang diciptakannya sendiri.Setelah lama mengawasi Kiera dari belakang, Tania akhirnya memberanikan diri untuk muncul. Tania melangkah menuju area buah segar dan ikut memilih-milih mangga. Ketika Kiera akan mengambil sebuah mangga lagi, Tania dengan cepat menyaplok mangga itu. Punggun
Tania terkejut begitu melihat Gatra berdiri di belakangnya. Pun dengan lelaki itu. Mereka saling tatap dengan wajah pucat pasi. Kenapa jadi begini?Kiera tersenyum lalu mengecup pipi Gatra dan bicara padanya. “Gat, aku baru aja nyampe, kamu udah lama? Mobil kamu mana sih, kok nggak kelihatan?” Kiera celingukan mencari keberadaan jeep orange milik Gatra.“Aku nggak bawa mobil, tadi numpang sama dokter Leon, kebetulan dia mau ke Sudirman,” jawab Gatra dengan lidah kelu. Kehadiran Tania yang berada di luar prediksinya nyaris membuatnya salah tingkah.Kiera tersenyum lagi. Ia pikir pasti agar nanti mereka bisa pulang bersama. “Oh ya, Gat, kenalin ini Tara. Tara, ini dokter Gatra calon suami saya,” ujar Kiera mengenalkan keduanya.Tania terpaku. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak siap dengan situasi ini. Begitu pun dengan Gatra. Ia tidak mengerti apa yang terjadi. Bagaimana bisa Tania mengaku bernama Tara? Dan kenapa dia bisa bersama Kiera? Bagaimana mungkin keduanya bisa saling mengenal
Gatra ingin menolak, namun khawatir akan membuat Kiera curiga. Sehingga akhirnya Gatra bersedia mengantar Tania pulang.Gatra menyetir pelan, sedangkan Tania duduk dengan tubuh membeku di sebelahnya. Bermenit-menit lamanya mereka hanya membungkam mulut tanpa berkata apa-apa.“Ta, kita ke rumah Mommy kan?” Gatra memecah sunyi.“Bukan,” bantah Tania.“Jadi aku antar kamu ke mana?” tanya Gatra lagi. Ia pikir Tania tinggal di rumah orang tuanya.“Ke White Residence, aku tinggal di sana,” jawab Tania.“Oh, aku pikir kamu tinggal di rumah Mommy.”“Aku udah lama nggak tinggal di rumah Mommy.”“Kenapa?” tanya Gatra ingin tahu.“Rumah Mommy jauh dari kantor, jadi aku nyewa apartemen.”Gatra mengangguk mengerti. Bagus. Itu artinya Tania jauh dari Dypta. “Kamu masih kerja di Four Construction?”“Masih.” Tania menyahut singkat.“Tamara Latte masih ada?”“Masih juga.” Jawaban Tania masih sesingkat tadi.“Aku pernah lewat beberapa kali di sana, tapi tutup. Kangen banget pengen ngemil éclair sambil
Gatra hampir tidak percaya jika Tania akhirnya bersedia. Satu hal yang Gatra sesali adalah kenapa tidak dari dulu saja. Ia juga menyesali cara penyampaiannya yang tidak tepat. Dulu Gatra mengatakannya pada waktu dan keadaan yang salah. Jika saja dulu ia bisa sedikit bijaksana tentu kejadiannya tidak akan seperti sekarang.“Jadi kapan bisa kita mulai, Ta?”“Terserah, kapan pun kamu ada waktu dan lagi nggak sibuk,” jawab Tania.“Kalo hari ini gimana?” Gatra bersemangat.“Hari ini?”“Makin cepat makin baik, Ta. Oh ya, aku baru ingat, kamu nggak kerja hari ini?” Gatra memandang arloji.“Aku izin, tadi lagi nggak enak badan.”“Kamu sakit?” Gatra terlihat khawatir, dan itu membuat Tania bahagia. Namun sebelum pikirannya berkelana semakin jauh, Tania buru-buru menghentikannya.“Cuma nggak enak badan dikit, maagku kambuh, mungkin karena telat makan.” Tania memberi alasan yang sama seperti pada Ruly tadi.“Memangnya sesibuk apa sih sampai nggak sempat makan? Nggak bisa apa luangin waktu kamu s
Tania akhirnya keluar dari ruangan dokter lebih dari satu jam kemudian. Sedangkan Gatra setia menunggu sejak tadi.Begitu matanya bertemu dengan Tania, Gatra langsung berdiri dan berjalan menghampirinya.“Sudah, Ta?”Tania mengangguk pelan.“Tadi di dalam ngapain aja?”“Disuruh cerita, terus disuruh nulis di kertas semua perasaan aku. Setelahnya aku disuruh merobek kertas itu,” jelas Tania.“Jadi perasaan kamu rasanya gimana sekarang?” tanya Gatra lagi.“Agak lega,” jawab Tania.Dengan menuliskan perasaannya yang mengganggunya lalu merobek kertas tersebut, Tania seakan membuang segala kegundahannya.Gatra tersenyum kecil. Ia tidak sabar ingin tahu apa yang tadi disampaikan Tania di dalam sana. Gatra ingin menanyakannya padaTania, namun ia yakin Tania tidak akan mau mengatakannya.Tania diam saja selagi menunggu petugas apotik menyiapkan obat untuknya. Begitu pun dengan Gatra yang duduk di sebelahnya.Saat nama Tania dipanggil Gatra mewakilinya mengambil obat. Tania menyimak dengan bai
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama