Derap kaki bersepatu itu terdengar semakin dekat dan kian jelas. Dua orang pria langsung menyambut dan memberi hormat pada laki-laki itu. “Pagi, Boss,” sapa salah satu dari mereka.Jeff, lelaki yang dipanggil boss merespon seadanya dengan mengangguk pelan. ”Gimana keadaannya?”“Badannya sekarang panas, Boss, tapi tadi dia menggigil kedinginan.””Jangan dikasih obat, biarkan sampai mati,” desis Jeff penuh kebencian yang disambut oleh anggukan patuh kedua anak buahnya.Sementara itu Dypta menegakkan kepala ketika mendengar langkah kaki mendekat. Ia tahu siapa yang datang meskipun matanya ditutup rapat dan tidak ada yang terlihat selain gelap.Setelah penyiksaan oleh Jeff kala itu Dypta beruntung karena Tuhan masih menyelamatkan nyawanya. Namun keadaannya tetap tidak berubah. Ia masih digantung di tiang. Kedua tangannya diborgol sementara matanya ditutup dengan kain.Tidak hanya itu. Sejak awal datang ke sini, bajunya direnggut dari tubuhnya. Badannya menjadi sasaran yang empuk dinginn
Audry menajamkan pendengaran, mencoba untuk mendengar lebih jelas. Ia bahkan sampai mengangkat rambut dan mengikatnya tinggi-tinggi agar bisa menangkap suara itu dengan sejernih mungkin.Tidak ada lagi suara yang menyebut namanya, berganti dengan erangan lirih yang terdengar sayup-sayup.“Sayang, kenapa jongkok di situ? Kamu nggak jadi pipis?” Tanpa Audry duga Jeff tiba-tiba datang lalu menyalakan kran air.Audry sontak menangadah dan memandang Jeff penuh protes. “Pi, matikan dulu krannya!””Kenapa?”“Aku mendengar ada yang memanggil namaku. Dia juga merintih seperti kesakitan, Pi.”Jeff menderaikan tawa mendengar perkataan istrinya. “Jangan bercanda, Sayang, mana ada orang di sini.”Audry lalu berdiri dan mematikan kran air yang tadi menimbulkan suara gemericik dengan cepat karena Jeff tidak melakukan permintaannya. Ia kembali menajamkan pendengaran. Namun suara itu lenyap. Tidak terdengar apa-apa lagi. Tidak ada lagi rintihan atau pun suara yang memanggil namanya. Seakan lenyap dise
“Dokter Endah kebetulan sedang berhalangan, jadi saya yang menggantikannya. Mari, silakan duduk, Bu, Pak.” Perempuan bersnelli putih itu mempersilakan dengan ramah pada pasangan muda di hadapannya.Mereka adalah Audry dan Jeff. Sore itu keduanya sedang berada di ruangan dokter kandungan langganan Audry untuk pemeriksaan rutin kehamilannya.“Kenalkan, saya dokter Amanda.” Dokter obgyn itu mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan keduanya.Jeff dan Audry menyambut jabatan tangan sang dokter sambil menyebutkan nama masing-masing.“Saya Audry.”“Saya Jeff, suaminya Audry.”Dokter Amanda mengangguk-angguk. “Nama ibu persis sama seperti adik saya,” ucapnya kemudian sambil membaca data Audry serta riwayat kesehatannya.”Nama saya memang pasaran sih, Dok.” Audry mencoba bergurau, lalu mereka pun tertawa.“Sejauh ini apa ada keluhan, Bu?” Dokter Amanda mengangkat wajah menanyakan pada Audry.”Nggak ada, Dok. Morning sickness-nya juga udah lama lewat.””Anak baik.” Dokter Amanda tertawa.’Sam
Denting suara jam berbunyi dua kali menandakan saat ini sudah pukul dua malam. Namun sepicing pun Audry tidak bisa memejamkan matanya. Setelah pergi tadi sore hingga saat ini suaminya masih belum kembali.Audry tidak tahu Jeff pergi ke mana karena selama ini ia tidak pernah mau atau ingin ikut campur urusan suaminya. Belakangan Jeff semakin sering menghilang dan pulang setelah larut malam.Perempuan itu lantas turun dari ranjang dan melangkah ke jendela lalu menyingkap gorden ketika suara mobil sayup-sayup terdengar di telinganya.Jeff baru pulang. Ke mana laki-laki itu hingga baru kembali selarut ini?Sepintas Audry lihat muka suaminya yang datar. Begitu kontras dengan supir pribadinya yang tampak tegang. Ah iya, Audry baru menyadari jika akhir-akhir ini wajah Dana selalu tegang dan tampak cemas. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Entahlah. Mungkin dia sedang ada masalah.Jeff tampak berbicara serius dengan Dana. Lalu Dana kembali masuk ke mobil dan pergi meninggalkan rumah.
Senyum tersungging di bibir Audry mendengar berita yang baru saja disampaikan Jeff padanya. Ia betul-betul tidak mampu bagaimana cara menyembunyikan kebahagiaan saat ini.“Pi, gimana kabar Dypta? Dia di mana sekarang? Bisa kan kita ketemu dia?” buru Audry dengan tidak sabar. Ia ingin memeluk laki-laki itu dan menunjukkan foto USG anak mereka.Jeff terdiam melihat reaksi yang ditunjukkan istrinya. Pria itu termenung cukup lama yang membuat Audry semakin penasaran.“Pi! Kenapa kamu diam? Jawab aku, Pi! Dypta baik-baik aja kan, Pi? Dia sehat kan?” Audry mengguncang-guncang tangan Jeff, membangunkan pria itu dari ketermanguan.”Aku juga tidak tahu persis seperti apa detailnya, tapi sebaiknya kita ke sana sekarang.””Ayo, Pi, kita ke sana!” Audry langsung berdiri dan menarik tangan Jeff agar membawanya pergi.Melihat betapa antusiasnya Audry, Jeff menggeram di dalam hati.”Ayo, Pi, tunggu apa lagi?” Audry yang sudah berjalan duluan menoleh ke belakang dan mendapati suaminya melangkah malas
Jeff kemudian keluar dari kamar meninggalkan Audry sendiri. Pria itu menuju ruang belakang menemui asisten rumah tangganya.”Sedang apa, Bi?” tanyanya pada Bi Dira saat melihat perempuan itu sedang menuangkan air ke dalam gelas.”Ini, Pak, saya sedang menyiapkan obat untuk Ibu Audry,” jawab perempuan itu.”Obat apa?”“Obat dari dokter kandungan, Pak.””Sini!” Jeff memberi isyarat dengan tangannya agar si bibi memberikan obat itu padanya.”Kenapa, Pak?” tanya Bi Dira tidak mengerti.”Obatnya salah. Ganti dengan yang ini.” Setelah menerima obat yang diberikan Bi Dira, Jeff merogoh saku. Pria itu mengeluarkan tabung bening dari sana. Ia membuka tabung, mengambil dua butir pil lalu memberikan pada Bi Dira.”Ini obat apa, Pak?””Itu vitamin dari dokter. Kebetulan Ibu Audry dokternya sudah ganti. Jadi obatnya juga menyesuaikan dengan yang baru. Kalau dulu namanya dokter Endah, yang sekarang dokter Amanda. Nggak etis kan kalau pakai jasa dokter Amanda tapi minum obatnya dari dokter Endah?”“
Jeff akhirnya pergi bersama Inggrid, meninggalkan Audry sendiri dalam kesepian yang panjang.Di saat-saat seperti ini Audry butuh seseorang untuk berbagi. Ia perlu pundak untuk menyandarkan bebannya. Seseorang yang benar-benar mengerti dan memahami perasaannya. Bukan seseorang yang hanya bisa mencecar dan menyalahkannya.”Kita mau ke mana, Jeff?” tanya Inggrid saat Jeff mengemudi bukan ke arah Diamond Hotel. “Ke apartemenmu,” jawab Jeff tanpa mengalihkan atensi untuk memandag sang lawan bicara. Pria itu fokus menyetir. Sorot matanya terlihat lurus searah dengan jalan di depannya.“Ngapain ke apartemenku?” Inggrid mengernyit. “Tadi aku nebeng minta diantar balik ke kantor, bukannya pulang.”Jeff bergeming. Tidak peduli pada Inggrid yang terus berceloteh di sebelahnya, memandang pun tidak.”Jeff, aku tuh lagi ngomong sama kamu, dijawab dong! Bukannya diam aja.” Inggrid mulai kesal lantaran Jeff tidak meladeninya.”Kamu mau aku jawab apa memangnya?” Pria itu akhirnya membuka mulut namun
Laki-laki itu tersenyum pada Audry. Ia mengulurkan tangannya dan meminta agar Audry mendekat.“Ke luar, Ry, aku nggak bisa masuk.””Sebentar, Dyp, aku akan ke luar, kamu jangan ke mana-mana, tunggu di situ,” sahut Audry cepat.Audry bergegas ke luar dari kamar. Ia harus melewati pintu samping dulu untuk bisa berada di taman sebelah kamarnya, tempat di mana ia melihat Dypta.”Dyp! Dypta!” Audry memanggil nama Dypta sambil celingukan ketika ia tiba di sana.Tidak ada sahutan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada Dypta. Yang ada hanyalah koleksi tanaman mawar miliknya dalam temaram cahaya.Audry berdiri kebingungan. Ia mengusap mukanya berkali-kali dan tetap menemukan hal yang sama. Tidak ada Dypta. Pria itu lenyap tiba-tiba. Dia menghilang secepat kedatangannya.”Dyp, kamu ke mana? Aku minta tunggu dulu tapi kenapa kamu pergi?” tangis Audry sedih. “Sayang, kamu sedang apa di sana?” Jeff mengetuk-ngetuk kaca jendela saat melihat Audry berdiri di luar sendiri.Audry tidak merespon. P
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama