Senyum tersungging di bibir Audry mendengar berita yang baru saja disampaikan Jeff padanya. Ia betul-betul tidak mampu bagaimana cara menyembunyikan kebahagiaan saat ini.“Pi, gimana kabar Dypta? Dia di mana sekarang? Bisa kan kita ketemu dia?” buru Audry dengan tidak sabar. Ia ingin memeluk laki-laki itu dan menunjukkan foto USG anak mereka.Jeff terdiam melihat reaksi yang ditunjukkan istrinya. Pria itu termenung cukup lama yang membuat Audry semakin penasaran.“Pi! Kenapa kamu diam? Jawab aku, Pi! Dypta baik-baik aja kan, Pi? Dia sehat kan?” Audry mengguncang-guncang tangan Jeff, membangunkan pria itu dari ketermanguan.”Aku juga tidak tahu persis seperti apa detailnya, tapi sebaiknya kita ke sana sekarang.””Ayo, Pi, kita ke sana!” Audry langsung berdiri dan menarik tangan Jeff agar membawanya pergi.Melihat betapa antusiasnya Audry, Jeff menggeram di dalam hati.”Ayo, Pi, tunggu apa lagi?” Audry yang sudah berjalan duluan menoleh ke belakang dan mendapati suaminya melangkah malas
Jeff kemudian keluar dari kamar meninggalkan Audry sendiri. Pria itu menuju ruang belakang menemui asisten rumah tangganya.”Sedang apa, Bi?” tanyanya pada Bi Dira saat melihat perempuan itu sedang menuangkan air ke dalam gelas.”Ini, Pak, saya sedang menyiapkan obat untuk Ibu Audry,” jawab perempuan itu.”Obat apa?”“Obat dari dokter kandungan, Pak.””Sini!” Jeff memberi isyarat dengan tangannya agar si bibi memberikan obat itu padanya.”Kenapa, Pak?” tanya Bi Dira tidak mengerti.”Obatnya salah. Ganti dengan yang ini.” Setelah menerima obat yang diberikan Bi Dira, Jeff merogoh saku. Pria itu mengeluarkan tabung bening dari sana. Ia membuka tabung, mengambil dua butir pil lalu memberikan pada Bi Dira.”Ini obat apa, Pak?””Itu vitamin dari dokter. Kebetulan Ibu Audry dokternya sudah ganti. Jadi obatnya juga menyesuaikan dengan yang baru. Kalau dulu namanya dokter Endah, yang sekarang dokter Amanda. Nggak etis kan kalau pakai jasa dokter Amanda tapi minum obatnya dari dokter Endah?”“
Jeff akhirnya pergi bersama Inggrid, meninggalkan Audry sendiri dalam kesepian yang panjang.Di saat-saat seperti ini Audry butuh seseorang untuk berbagi. Ia perlu pundak untuk menyandarkan bebannya. Seseorang yang benar-benar mengerti dan memahami perasaannya. Bukan seseorang yang hanya bisa mencecar dan menyalahkannya.”Kita mau ke mana, Jeff?” tanya Inggrid saat Jeff mengemudi bukan ke arah Diamond Hotel. “Ke apartemenmu,” jawab Jeff tanpa mengalihkan atensi untuk memandag sang lawan bicara. Pria itu fokus menyetir. Sorot matanya terlihat lurus searah dengan jalan di depannya.“Ngapain ke apartemenku?” Inggrid mengernyit. “Tadi aku nebeng minta diantar balik ke kantor, bukannya pulang.”Jeff bergeming. Tidak peduli pada Inggrid yang terus berceloteh di sebelahnya, memandang pun tidak.”Jeff, aku tuh lagi ngomong sama kamu, dijawab dong! Bukannya diam aja.” Inggrid mulai kesal lantaran Jeff tidak meladeninya.”Kamu mau aku jawab apa memangnya?” Pria itu akhirnya membuka mulut namun
Laki-laki itu tersenyum pada Audry. Ia mengulurkan tangannya dan meminta agar Audry mendekat.“Ke luar, Ry, aku nggak bisa masuk.””Sebentar, Dyp, aku akan ke luar, kamu jangan ke mana-mana, tunggu di situ,” sahut Audry cepat.Audry bergegas ke luar dari kamar. Ia harus melewati pintu samping dulu untuk bisa berada di taman sebelah kamarnya, tempat di mana ia melihat Dypta.”Dyp! Dypta!” Audry memanggil nama Dypta sambil celingukan ketika ia tiba di sana.Tidak ada sahutan. Tidak ada siapa-siapa di sana. Tidak ada Dypta. Yang ada hanyalah koleksi tanaman mawar miliknya dalam temaram cahaya.Audry berdiri kebingungan. Ia mengusap mukanya berkali-kali dan tetap menemukan hal yang sama. Tidak ada Dypta. Pria itu lenyap tiba-tiba. Dia menghilang secepat kedatangannya.”Dyp, kamu ke mana? Aku minta tunggu dulu tapi kenapa kamu pergi?” tangis Audry sedih. “Sayang, kamu sedang apa di sana?” Jeff mengetuk-ngetuk kaca jendela saat melihat Audry berdiri di luar sendiri.Audry tidak merespon. P
Sejak datang tadi muka Jeff terlihat masam. Membuat para karyawannya merasa sungkan untuk menyapa. Lelaki itu masuk ke dalam ruangannya setelah membuka pintu dengan gerakan kasar. Masih sepagi ini tapi ia merasa malas untuk melanjutkan hari. Audry membuat mood-nya memburuk dengan khayalan-khayalan bodohnya.”Selamat pagi, Pak, ini saya bawakan kopi.” Nora masuk ke ruangan Jeff lantas meletakkan secangkir kopi hangat di atas meja.Jeff memandang sekilas tanpa selera. “Bapak kenapa? Muka Bapak kusut, Bapak lagi ada masalah?” Perempuan itu menunjukkan perhatiannya.Jeff menggeleng menidakkan.“Bapak pasti bohong,” tukas Nora tak percaya. “Memangnya apa yang Bapak pikirkan? Coba lihat ini, kumis dan jenggot Bapak juga sudah panjang.” Nora mengulurkan tangan menjangkau pipi Jeff yang duduk tepat di seberangnya. Perempuan itu mengusap dengan lembut.Jeff balas dengan mengecup tangan Nora yang menyentuh pipinya. Nora mengulum senyum, menatap Jeff dengan penuh goda. “Saya bantu cukurkan ya
Audry merenung panjang setelah mereka pulang dari tempat ahli jiwa tadi. Ia harap setelah meminum obat dari psikiater tersebut keadaannya menjadi jauh lebih baik. Namun kemudian Audry teringat sesuatu."Rid, gue lupa nanya," cetusnya tiba-tiba."Apaan?" Inggrid yang sedang menyetir menoleh ke arah Audry."Gue kan lagi hamil, kira-kira obatnya aman nggak ya? Orang hamil kan nggak boleh minum obat sembarangan.""Oh iya.""Kita balik lagi yuk, Rid," ajak Audry. "Gue nggak tenang nih." Untung saja Audry segera ingat mumpung mereka belum terlalu jauh meninggalkan tempat praktik dokter."Macet kali, Ry! Gue males nunggu berjam-jam kalo kita balik lagi. Sebentar lagi kan jam pulang kerja.""Terus gimana dong? Gue nggak berani minum obat ini kalo belum tau ini aman apa enggak buat bumil.""Hm, bener juga. Ntar, gue telfon dia."Setelah mengambil ponsel Inggrid men-dial nomor seluler dokter Keke. Begitu tersambung diberikannya ponsel pada Audry."Nih, lo sendiri yang ngomong."Ponsel Inggrid k
Audry menyesap teh hangat yang disodorkan Jeff padanya pelan-pelan. Perempuan itu kemudian memijit pelipisnya.Sementara sang suami memandanginya dengan lekat bersama ekspresi menuntut penjelasan.”Sudah agak baikan?” tanya Jeff setelah menerima cangkir teh kosong dari tangan Audry dan meletakkannya di atas nakas.Audry mengangguk pelan meski kepalanya masih terasa sedikit berat.”Sudah bisa cerita sekarang?” Pertanyaan kedua menyusul dari suaminya.“Aku harus mulai dari mana?””Dari tadi malam, setelah aku tidur kamu ke mana?”Pandangan Jeff yang tajam menyelidik membuat Audry tidak tahan. Perempuan itu lantas memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat lagi apa yang terjadi dengan pelan-pelan.”Audry, jawab, buka matamu!”Audry memberanikan diri membuka matanya yang tertutup. Tidak berbeda dengan tadi, ia masih menemukan sorot yang sama. Tajam dan menyelidik.”Kemarin waktu kita lagi tidur tiba-tiba aku terbangun karena ada yang memanggil namaku.”“Dan seperti biasa kamu melihatnya di
Audry masih bertahan di lantai sedangkan lelaki itu masih mengulurkan tangan padanya agar Audry segera berdiri.Audry memindai sekitarnya. Beberapa orang lalu lalang di sekitar mereka yang membut keyakinan perempuan itu semakin menguat bahwa yang terjadi saat ini adalah kenyataan dan bukan hanya ilusi semata. Berbeda dengan malam itu saat dirinya menemui Dypta di sebelah jendela. Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua.Audry menyambut uluran tangan lelaki yang sejak tadi terulur padanya ingin memberi bantuan.Pria itu tersenyum padanya. “Lain kali hati-hati ya, Audry. Sorry, maksud saya Ibu Audry.”“Dyp, ini kamu kan? Kenapa memanggilku Ibu?” tanya Audry tidak mengerti.“Nggak sopan kalau saya memanggil anda langsung dengan sebutan nama,” jawabnya yang membuat Audry terheran-heran.“Anda? Ini aku, Dyp, Audry! Kamu jangan pura-pura lupa atau nggak tahu. Kamu ke mana saja selama ini, Dyp? Orang-orang bilang kamu sudah meninggal karena dibunuh. Kamu dirampok, wajahmu rusak disir
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama