Audry menyesap teh hangat yang disodorkan Jeff padanya pelan-pelan. Perempuan itu kemudian memijit pelipisnya.Sementara sang suami memandanginya dengan lekat bersama ekspresi menuntut penjelasan.”Sudah agak baikan?” tanya Jeff setelah menerima cangkir teh kosong dari tangan Audry dan meletakkannya di atas nakas.Audry mengangguk pelan meski kepalanya masih terasa sedikit berat.”Sudah bisa cerita sekarang?” Pertanyaan kedua menyusul dari suaminya.“Aku harus mulai dari mana?””Dari tadi malam, setelah aku tidur kamu ke mana?”Pandangan Jeff yang tajam menyelidik membuat Audry tidak tahan. Perempuan itu lantas memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat lagi apa yang terjadi dengan pelan-pelan.”Audry, jawab, buka matamu!”Audry memberanikan diri membuka matanya yang tertutup. Tidak berbeda dengan tadi, ia masih menemukan sorot yang sama. Tajam dan menyelidik.”Kemarin waktu kita lagi tidur tiba-tiba aku terbangun karena ada yang memanggil namaku.”“Dan seperti biasa kamu melihatnya di
Audry masih bertahan di lantai sedangkan lelaki itu masih mengulurkan tangan padanya agar Audry segera berdiri.Audry memindai sekitarnya. Beberapa orang lalu lalang di sekitar mereka yang membut keyakinan perempuan itu semakin menguat bahwa yang terjadi saat ini adalah kenyataan dan bukan hanya ilusi semata. Berbeda dengan malam itu saat dirinya menemui Dypta di sebelah jendela. Tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua.Audry menyambut uluran tangan lelaki yang sejak tadi terulur padanya ingin memberi bantuan.Pria itu tersenyum padanya. “Lain kali hati-hati ya, Audry. Sorry, maksud saya Ibu Audry.”“Dyp, ini kamu kan? Kenapa memanggilku Ibu?” tanya Audry tidak mengerti.“Nggak sopan kalau saya memanggil anda langsung dengan sebutan nama,” jawabnya yang membuat Audry terheran-heran.“Anda? Ini aku, Dyp, Audry! Kamu jangan pura-pura lupa atau nggak tahu. Kamu ke mana saja selama ini, Dyp? Orang-orang bilang kamu sudah meninggal karena dibunuh. Kamu dirampok, wajahmu rusak disir
Audry terhempas ke ranjang ketika Jeff mendorongnya dengan sangat kuat.“Pi, jangan kasar-kasar, aku lagi hamil,” rintih Audry sambil memegang pinggangnya. Tadi saat jatuh di hotel ia tidak memedulikan dirinya karena seseorang yang mirip dengan Dypta mendistraksinya.”Bagaimana aku tidak kasar? Kamu yang membuatku jadi begini. Kamu selalu membuat malu!” sergah lelaki itu memuntahkan kemarahan.Keributan kecil di hotel tadi memancing perhatian orang-orang yang berada di sekitar sana. Mereka terheran-heran melihat Audry menarik-narik baju seorang lelaki muda dan marah-marah padanya. Lalu berita itu pun sampai pada Jeff. Jeff keluar dari lounge setelah lelaki yang menurut Audry mirip dengan Dypta serta tunangannya pergi.”Maafin aku, Pi, aku tidak ingin membuatmu malu, tapi tadi aku melihat Dypta. Dia masih hidup, Pi. Dia ada dan nyata!”Jeff menatap Audry dengan tatapan bosan. Ia sudah lelah menghadapi istrinya yang kerap kali mengada-ngada, mengkhayal dan mengarang cerita.”Sudah berap
Meninggalkan rumah dokter Amanda, Audry langsung pulang ke rumahnya. Audry pikir ia harus menyelesaikannya langsung tanpa perlu menunggu besok.Setiba di rumah Audry langsung masuk ke kamar. Ia mengambil dengan cepat obat yang diberi psikiater untuknya. Begitu mendapatkannya langsung memasukkan ke dalam tas.Audry akan kembali pergi ketika ingat dokter Amanda juga memintanya untuk membawa vitamin. “Bi, vitamin yang biasa Bibi kasih sama saya mana, Bi?” tanyanya pada Bi Dira.”Ada, Bu.””Tolong ambilkan, Bi.””Ibu mau minum obat itu sekarang?””Bukan, Bi, tapi biar saya yang pegang.””Baik, Bu Audry, saya ambilkan dulu.”“Cepat ya, Bi, antar langsung ke kamar saya.””Baik, Bu.”Karena ingin berkemih Audry meninggalkan ruang belakang lalu masuk ke kamarnya.Sementara itu asisten rumah tangga mereka yang sangat Audry percaya juga masuk ke kamarnya. Cepat diteleponnya Jeff.“Halo, Pak Jeff, ini saya, Bi Dira.””Ada apa, Bi? Kenapa menelepon?””Bu Audry meminta obat itu, Pak.”“Untuk apa?
Lelaki itu melirik ke sebelahnya saat mendengar dengan samar suara seseorang. Ia melihat seorang perempuan di pintu mobil sebelahnya. Ia mengernyit tapi sesaat. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengingat siapa perempuan itu.Perempuan itu kan yang kemarin, yang menyangka Enrico adalah kekasihnya dan memaksa untuk membuka baju. Hanya untuk membuktikan bahwa Enrico adalah kekasihnya.Kenapa perempuan itu ada di sini?Audry berdiri di tempat dengan tubuh kaku. Diurungkannya niat untuk membuka pintu mobil. Selama beberapa saat ia dilanda keimbangan. Ingin rasanya Audry mendekati laki-laki itu dan mengajaknya mengobrol. Namun kala ingat betapa galaknya sang tunangan, keinginan itu hanya menjadi sebatas angan-angan yang tertahan di dasar hatinya. “Hei, Bu Audry kan?”Audry jelas terkejut. Lelaki itu menyapa dan tersenyum padanya. Audry baru akan berpikir akan bersikap bagaimana ketika tiba-tiba pria itu berjalan mendekatinya. Dia datang menghampiri Audry yang membuat perempuan itu sema
Audry menyetir pulang ke rumah dengan hati teraduk-aduk. Perasaan sedih, bingung, tak mengerti, semua berpadu menjadi satu mengaduk hatinya bagai adonan kue.Pertemuan dengan lelaki tadi membuatnya terguncang jauh lebih dahsyat. Sikap hangat laki-laki itu, senyum lembutnya, serta sorot matanya yang teduh merupakan tiga komponen tak terpisahkan dari Dypta. Siapa pun namanya, tak peduli orang memanggil dengan sebutan apa, bagi Audry dia adalah Pradypta Syailendra.Setelah memasuki halaman rumahnya, Audry tidak langsung turun dari mobil. Ia menelungkupkaan muka ke setir, menetralisir perasaannya, berusaha keras agar tidak terbawa suasana setelah pertemuan kedua tadi dengan lelaki yang mirip Dypta.Ketukan di kaca mobil membuat Audry mengangkat muka dan menoleh ke sisi kanan. Audry sontak terkejut ketika mengetahui sosok sang pengetuk. Jeff berdiri di luar."Kamu sedang apa di dalam? Kenapa tidak turun?" tanya Jeff padanya.Audry cepat membuka pintu dan keluar dari mobil."Aku baru mau tu
Pria itu berkaca di cermin wastafel sambil menyikat gigi. Sementara matanya menyoroti Mulutnya yang dipenuhi pasta.Ia baru saja bangun sekitar satu jam yang lalu. Menit-menit pertama membuka mata pikirannya sudah dipenuhi oleh perempuan itu. Perempuan yang dipertemukan dengannya dengan cara yang tak terduga. Perempuan yang mengusik sisi lain dalam dirinya. Membuatnya bingung dan hampir mati terbunuh penasaran.Enrico membasuh mulutnya hingga bersih setelah selesai menyikat gigi. Lantas pria itu melepaskan pakaiannya satu demi satu, membuat tubuhnya polos sempurna. Tetes-tetes air di bawah shower mulai membasahi tubuhnya, menelusup jauh hingga pori-porinya.Gerakan membilas badan tertahan ketika tangannya tiba di perutnya. Ia memutar tubuh yang disambut oleh refleksi dirinya dari cermin di belakangnya.Ia terdiam dengan mata terpaku di perutnya.Rasa itu kembali mengusik.***Audry terburu-buru keluar dari cafe mengejar seseorang yang berjalan cepat di depannya.”Pak, tunggu dulu!” A
“Selingkuhan?” Enrico mengulang kata-kata Audry. Tadinya ia pikir Audry adalah tipe perempuan setia. Buktinya kematian Dypta membuatnya hampir gila.Audry menganggukkan kepala mengiakan. Audry tidak tahu apa penilaian Iko padanya nanti. Ia hanya ingin bercerita agar Iko tahu sebesar apa cintanya pada Dypta.“Next,” pinta laki-laki itu agar Audry melanjutkan ceritanya.“Sekali pun di dalam hidup aku nggak pernah membayangkan akan mengkhianati suami sendiri. Aku ingin menjadi istri yang setia, berbakti dan mengabdi seumur hidup pada suami. Tapi dia datang begitu saja. Dia muncul tiba-tiba dalam kehidupanku. Aku dan dia ketemu nggak sengaja dengan cara yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Kami sama-sama mabuk, one night stand, dan keesokan paginya sama-sama terkejut ketika mengetahui kesalahan yang kami lakukan ternyata tidak sesederhana itu. Ternyata Dypta adalah keponakan Jeff, suamiku.”Audry menjeda kata untuk mengambil lebih banyak lagi udara baru. Sementara ingatannya ditarik kemba
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama