Arnold memang tidak memiliki kecurigaan sedikitpun dengan ayahnya tersebut pun membalas, "Tentu tidak, Ayah. Kalau pun aku sedang memiliki pekerjaan, kalau untuk berbicara dengan Ayah, aku pasti akan selalu menyempatkan diri."Satria tertawa renyah mendengarnya dan kemudian menjawab, "Ayo, kalau begitu. Ayah ingin makan siang denganmu. Kau mau kan?""Iya, Ayah. Di mana? Ayah yang menentukan restorannya atau aku?" tanya Arnold."Kau saja. Lagi pula, Ayah sudah cukup lama tidak terlalu mengikuti perkembangan restoran di negara ini jadi Ayah tidak mungkin tahu restoran mana yang cukup baik."Arnold tersenyum penuh arti dan kemudian terlihat berpikir sejenak sebelum memberikan tanggapan, "Baiklah, kalau begitu akan aku bawa Ayah ke salah satu restoran yang cukup booming saat ini. Ayah menyukai masakan di sana."Satria mengganggu senang dan kemudian mereka berdua menuju ke sebuah restoran yang dipikirkan oleh Arnold.Meskipun Arnold memang selalu bersandiwara di depan Narendra dan tidak pe
Satria ketika menyadari jika memanglah Sang putra belum benar-benar berada di pihak putra sulungnya.Ia menghela napas panjang dan terlihat begitu putus asa, "Ayah tidak mungkin bisa memaksamu. Ayah tahu maksud dari dulu kau tidak pernah sepaham dengan kakakmu."Arnold terkejut mendengar hal itu. Sungguh, ia tidak pernah memikirkan jika ayahnya akan sepengertian itu terhadapnya.Yang ia tahu ayahnya tersebut tidak pernah bersikap adil kepadanya. Kalau bisa dijabarkan, Arnold begitu sedikit menerima perhatian dari Satria daripada kakaknya. Narendra selalu menjadi putra unggulan Satria dan tidak pernah sekalipun ia bisa mengalahkan kakaknya itu. Ayahnya juga bukan seseorang yang dengan mudah memaafkan kesalahan putranya meskipun itu hanya kesalahan kecil.Arnold kecil begitu kenyang dengan makian-makian dari ayahnya serta begitu banyak ketidakadilan yang ia terima."Ayah, tidak marah jika aku tidak mendukung Narendra?" tanya Arnold.Satria mengangkat wajahnya dan menatap sang putra den
"Bisa jadi, Narendra tidak bisa datang karena benar-benar sibuk," ucap Dewa kemudian yang seolah tidak ingin berpikir lebih keras lagi.Tetapi kemudian Glenn yang sangat mengenal pamannya tersebut pun berujar, "Paman Satria memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Narendra. Setahuku, dari dulu Arnold tidak pernah dekat dengan dia. Atau mungkin ada sebuah perubahan di sini?"Dewa menaikkan sebelah alisnya dan sekali lagi melihat ke arah Satria yang sedang berbincang-bincang dengan putra bungsunya. Ia pun tidak bisa menampik fakta mengenai apa yang baru saja dilihatnya itu. "Yang aku lihat di sini adalah seorang ayah yang sedang berbincang-bincang santai dengan putranya dan mereka terlihat begitu akrab. Aku pikir, tidak mungkin mereka tidak memiliki hubungan yang dekat."Glenn mengangguk setuju mendengar ucapan sahabatnya itu, "Kalau dari sini, kita bisa lihat jika tatapan Satria pada Arnold memang terlihat tulus. Aku bahkan sangat yakin jika saat ini Paman Satria telah menganggap anak
Tidak menyangka kakaknya akan berbicara seperti itu, Arnold pun berusaha untuk menenangkan diri baru kemudian menjawab, "Kesalahan apa, Mas? Aku baru saja makan siang dengan Ayah."Ia lalu kembali menambahkan, "Hm, apakah aku telah membuatmu cemburu dengan makan malam hanya berdua dengan Ayah?"Narendra kemudian tertawa dan Arnold pun juga ikut tertawa. Narendra yang kemudian berhenti tertawa menanggapi ucapan sang adik, "Kenapa aku harus cemburu pada adikku yang saat ini sudah mulai dekat dengan ayah?""Nah, itu dia, Mas. Aku baru saja memperbaiki hubungan dengan Ayah jadi seharusnya kau juga ikut senang kan? Kita bisa jadi keluarga yang utuh nantinya," sahut Arnold.Satria dan Astuti terlihat senang sekali melihat interaksi keduanya. Mereka saling lempar senyum dan seakan benar-benar bahagia atas keutuhan keluarga mereka itu."Andai saja kalian berdua seperti ini sejak dulu, nanti kami berdua tidak akan merasa cemas sedikitpun saat meninggalkan kalian," ucap Astuti.Arnold mengerutk
Clarita pun menjerit meminta pertolongan tapi malah ditertawakan oleh para perampok itu. Dengan ekspresi wajah yang dipenuhi oleh ketakutan itu, gadis yang kini mengenakan jaket hitam itu pun melangkah mundur dan berniat berlari untuk masuk ke dalam rumah Glenn Brawijaya. Tetapi sungguh sial, ia tidak bisa melakukannya karena orang-orang itu telah berhasil mengejar dirinya dan mencegahnya mencari bantuan."Hei, gadis manis. Jangan bermain-main! Lebih baik, kau ikut kami denga suka rela dari pada harus kami paksa," ucap seorang perampok dengan wajah bulat."Ya. Sudah sangat bagus aku tidak langsung menyeretmu agar ikut kita. Bukankah seharusnya kau membalas kebaikan kami dengan ikut kami tanpa memprotes, anak cantik?" tambah teman si Bulat.Sontak, Clarita semakin tidak tahu harus berbuat apa. Namun, tidak disangka-sangka olehnya, bala bantuan datang tidak terkira-kira. Ia hampir-hampir merasa jika ia sedang bermimpi saat melihat Glenn Brawijaya tiba-tiba sudah ada di sana bersama den
Setelah mengatakan perintahnya pada anak buah andalannya, Glenn segera menggandeng Clarita masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara sepatah kata pun lagi. Begitu pintu gerbang telah ditutup kembali, Glenn melepas gandengan tangannya dan membiarkan Clarita berjalan di belakang dirinya. Clarita yang merasa tidak enak pada Glenn langsung berkata, "Maaf, Om. Aku tidak bermaksud-""Apa yang kau lakukan di luar sana?" potong Glenn, tanpa menatap gadis itu dan tetap berjalan."Jalan-jalan. Maaf, aku hanya bosan."Glenn seketika berhenti berjalan, memutar badan, "Bosan? Apa kau sudah tidak peduli lagi dengan nyawamu?""Bukan begitu. Aku hanya ... hanya benar-benar merasa kesepian berada di dalam rumah sebesar ini tanpa teman."Glenn benar-benar hampir saja kehilangan kendali diri. Kekesalannya hampir saja membuatnya ingin berteriak marah pada gadis itu tapi entah bagaimana ia berhasil mengontrol diri dan hanya berkata, "Aku paham kau sangat bosan, tapi bukan berarti kau bisa seenak dirimu sen
"Jalan-jalan? Maksudmu jalan-jalan ke luar rumah?" tanya Glenn. "Hm, Om. Mungkin kalau sudah jalan-jalan, aku bisa membaik," jawab Clarita. Glenn menghela napas lelah. Ia sebenarnya tidak ingin menyetujui hal itu. Tapi saat ia melihat tatapan lugu Clarita yang begitu penuh harap itu, ia akhirnya luluh. "Oke, kau boleh jalan-jalan tapi tidak boleh sendirian." Clarita menghapus air matanya dan berkata lagi, "Apa maksudnya Om akan menemani aku?" Glenn menunjuk dirinya, "Om?" "Ya. Kata Om aku nggak boleh sendiri ke luar," ucap Clarita. Glenn cukup terkejut dan sedikit kebingungan. Tapi, saat ia melihat kembali wajah polos Clarita yang terlihat menunggu jawabannya itu pun ia menjadi lemah. Entah apa yang sedang terjadi dengan dirinya, ia tidak tahu. Ia hanya merasa selalu lemah saat berhadapan dengan putri sahabatnya itu. "Hm. Oke. Akan aku temani. Sekarang ganti bajulah!" ucap Glenn. "Kenapa aku harus ganti baju?" tanya Clarita dengan raut wajah bingung. "Kau harus memakai pakaian
Glenn harus menjauhkan ponsel miliknya dari telinganya karena tidak ingin menderita gangguan pendengaran akibat suara lengkingan Alexander. Setelah yakin, sahabat baiknya tidak berbicara dengan nada tinggi lagi, Glenn baru kembali berbicara, "Harus ke sana.""Kenapa harus?" tanya Alexander dengan volume suara yang terdengar normal."Karena dia menyukai negara itu, Barata. Memang kau tidak tahu apa yang disukai anak muda zaman sekarang?" balas Glenn terdengar santai.Alexander mendesah. "Biar aku saja yang pergi dengannya."Mendengar hal itu, Glenn menaikkan alis dan menghentikan kegiatannya semula. "Kau yakin?""Ya. Aku ayahnya. Lagi pula, sudah tidak ada Damar di sini. Kupikir semuanya lebih aman sekarang." Alexander menjelaskannya dengan begitu santai.Tanpa ragu, Glenn menjawab, "Ah, kalau dipikir memang ini kesempatan yang bagus untukmu, Barata. Kau bisa dekat dengan putrimu lewat liburan ini."Di seberang sana, Alexander tersenyum senang. "Oke. Kalau begitu, aku akan segera ke sa