Setelah mengatakan perintahnya pada anak buah andalannya, Glenn segera menggandeng Clarita masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara sepatah kata pun lagi. Begitu pintu gerbang telah ditutup kembali, Glenn melepas gandengan tangannya dan membiarkan Clarita berjalan di belakang dirinya. Clarita yang merasa tidak enak pada Glenn langsung berkata, "Maaf, Om. Aku tidak bermaksud-""Apa yang kau lakukan di luar sana?" potong Glenn, tanpa menatap gadis itu dan tetap berjalan."Jalan-jalan. Maaf, aku hanya bosan."Glenn seketika berhenti berjalan, memutar badan, "Bosan? Apa kau sudah tidak peduli lagi dengan nyawamu?""Bukan begitu. Aku hanya ... hanya benar-benar merasa kesepian berada di dalam rumah sebesar ini tanpa teman."Glenn benar-benar hampir saja kehilangan kendali diri. Kekesalannya hampir saja membuatnya ingin berteriak marah pada gadis itu tapi entah bagaimana ia berhasil mengontrol diri dan hanya berkata, "Aku paham kau sangat bosan, tapi bukan berarti kau bisa seenak dirimu sen
"Jalan-jalan? Maksudmu jalan-jalan ke luar rumah?" tanya Glenn. "Hm, Om. Mungkin kalau sudah jalan-jalan, aku bisa membaik," jawab Clarita. Glenn menghela napas lelah. Ia sebenarnya tidak ingin menyetujui hal itu. Tapi saat ia melihat tatapan lugu Clarita yang begitu penuh harap itu, ia akhirnya luluh. "Oke, kau boleh jalan-jalan tapi tidak boleh sendirian." Clarita menghapus air matanya dan berkata lagi, "Apa maksudnya Om akan menemani aku?" Glenn menunjuk dirinya, "Om?" "Ya. Kata Om aku nggak boleh sendiri ke luar," ucap Clarita. Glenn cukup terkejut dan sedikit kebingungan. Tapi, saat ia melihat kembali wajah polos Clarita yang terlihat menunggu jawabannya itu pun ia menjadi lemah. Entah apa yang sedang terjadi dengan dirinya, ia tidak tahu. Ia hanya merasa selalu lemah saat berhadapan dengan putri sahabatnya itu. "Hm. Oke. Akan aku temani. Sekarang ganti bajulah!" ucap Glenn. "Kenapa aku harus ganti baju?" tanya Clarita dengan raut wajah bingung. "Kau harus memakai pakaian
Glenn harus menjauhkan ponsel miliknya dari telinganya karena tidak ingin menderita gangguan pendengaran akibat suara lengkingan Alexander. Setelah yakin, sahabat baiknya tidak berbicara dengan nada tinggi lagi, Glenn baru kembali berbicara, "Harus ke sana.""Kenapa harus?" tanya Alexander dengan volume suara yang terdengar normal."Karena dia menyukai negara itu, Barata. Memang kau tidak tahu apa yang disukai anak muda zaman sekarang?" balas Glenn terdengar santai.Alexander mendesah. "Biar aku saja yang pergi dengannya."Mendengar hal itu, Glenn menaikkan alis dan menghentikan kegiatannya semula. "Kau yakin?""Ya. Aku ayahnya. Lagi pula, sudah tidak ada Damar di sini. Kupikir semuanya lebih aman sekarang." Alexander menjelaskannya dengan begitu santai.Tanpa ragu, Glenn menjawab, "Ah, kalau dipikir memang ini kesempatan yang bagus untukmu, Barata. Kau bisa dekat dengan putrimu lewat liburan ini."Di seberang sana, Alexander tersenyum senang. "Oke. Kalau begitu, aku akan segera ke sa
"Sudahlah, kita tidak perlu membahas masalah ini. Aku tidak mau melemah, Dewa." Dewa menghela napas, "Aku hanya tidak mau kau salah sangka dan akan menyesal nanti, Glenn."Glenn berujar, "Tidak akan. Aku tidak akan pernah menyesal. Arnold dan Narendra itu sekutu yang harus aku basmi."Dewa akhirnya mengangkat tangan, tanda dia menyerah. Rasanya tidak mungkin lagi membuat Glenn mengerti sehingga dia tidak lagi berusaha membuka mata sahabatnya itu."Oke, jadi kapan kau akan menampakkan diri?" tanya Dewa."Dalam waktu dekat," ucap Glenn."Apa kau menunggu Alexander Barata kembali?" tanya Dewa lagi.Glenn menggeleng, "Masalahku tidak ada hubungannya dengan dia, Dewa. Dia sudah menyelesaikan bagiannya jadi aku tidak akan mengganggunya.""Wah, kau sungguh berbaik hati sekali," ujar Dewa."Kau baru sadar akan hal itu?" balas Glenn.Dewa tidak menanggapinya dan hanya berujar, "Kalau begitu, apa yang bisa aku lakukan untukmu?""Tidak ada," jawab Glenn."Kau yakin?""Hm. Ini harus aku lakukan
Kata-kata yang Narendra ucapkan itu terdengar begitu berbeda di telinga Arnold. Ia pikir kakaknya telah berubah dan sepertinya hal ini mengarah ke hal yang buruk.Ia mengamati ekspresi kakaknya yang tampak lebih dingin daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Secara pasti ia pun mengerti kakaknya tidak lagi mempercayai dirinya.Maka, ia pun mencoba untuk memikirkan strategi lain dan kemudian mendapatkan jawaban atas apa yang dia cari.Arnold Brawijaya pun berujar, "Kau benar, Mas. Sepertinya aku memang tidak kompeten untuk hal ini jadi lebih baik aku mengundurkan diri saja dari perusahaan ini."Ia perlahan bangkit dari kursinya dan meninggalkan Narendra yang terlihat begitu syok setelah mendengarkan pengakuan adiknya yang akan segera minggat dari perusahaannya itu.Narendra memegang kepalanya, "Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Arnold jelas tidak berpihak kepadaku. Tapi, kalau dia tidak berpihak kepadaku, dia seharusnya tidak mengundurkan diri dan malah tetap di sini."Ah, Narendra b
Arnold mulai merasa terganggu dengan ucapan-ucapan orang asing yang mulai menyebut nama-nama Glenn Brawijaya. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Arnold pada orang yang dengan rambut hitam legamnya itu terlihat begitu rapi.Ia malah mengeluarkan tangannya dan berujar, "Oh, Gosh. Arnold Brawijaya, mari kita berkenalan dulu."Arnold malah heran terlatih lagi pria itu tersenyum aneh kepadanya dan ia sama sekali tidak menyambut uluran tangan pria yang memakai kemeja cokelat tua itu.Melihat uluran tangannya tidak disambut oleh Arnold, sang pria itu tidak tersinggung sama sekali dan malah berkata, "Dewa Airlangga. Salah satu orang yang menjadi kepercayaan dari sepupu tersayangmu."Arnold membeku seketika saat mendengarkan itu tetapi ia masih belum mempercayai perkataan orang itu sepenuhnya. Ia menggelengkan kepalanya lalu menatap ke arah depan, "Maaf, jika kau ingin bermain-main, sama saya tidak berminat untuk meladenimu."Dewa tertawa renyah begitu mendengarnya. Ia sama sek
Dewa tersenyum pongah, "Pertama-tama, aku ingin memberitahumu sesuatu.""Apa?" tanya Arnold masih berusaha bersabar."Glenn masih hidup," jawab Dewa.Arnold menelan ludah, ia hendak berkata entah apapun tapi sayangnya tak sepatah kata pun ke luar dari mulutnya.Dewa yang begitu memahami reaksi Arnold, segera menanggapi, "Aku tahu kau pasti sangat kaget tapi ini fakta. Jadi, yang kakakmu kubur itu tentu saja bukan jasad Glenn. Itu hanya mayat yang telah kami manipulasi agar dianggap sebagai Glenn."Mata Arnold membeliak, menunjukkan kekagetan yang lebih-lebih dari pada sebelumnya. "Ini bukan hanya sebuah candaan kan?""Hah, aku tahu wajahku tidak bisa terlihat serius tapi ini kenyataan. Aku dan Fero yang mengeluarkan Glenn dari sana," jelas Dewa.Arnold tidak lagi bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kau serius? Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Fero? Kau mengenal Fero juga?"Arnold manggut-manggut. Dewa kembali melanjutkan, "Hm. Sayangnya dia itu cukup brengsek hingga hampir membun
Dewa mengangguk dengan begitu bersemangat, "Ah, kau benar-benar sangat pintar. Tentu saja, itu dia."Fakta itu rupanya membuat Arnold semakin tidak bisa menahan rasa penasarannya."Bagaimana caranya dia bisa sampai ke titik itu? Dia ... dia kan tidak memiliki apapun saat dia diusir dari rumah. Bahkan, ketika dia berada di dalam penjara pun dia juga tidak memiliki apapun," ucap Arnold yang sesungguhnya memang tidak berniat untuk menghina Glenn dan hanya mencoba untuk menuntaskan rasa penasarannya mengenai sepupunya tersebut.Dewa tersenyum lebar sebelum mulai menjelaskan, "Aku yang membantunya."Arnold menatap bingung ke arah orang itu tetapi saat ia melihat penampilan Dewa yang terlihat begitu rapi, ia pun tidak meragukan hal itu dan hanya berkata, "Tapi tetap saja dalam waktu beberapa tahun, rasanya sulit untuk bisa sampai hampir menandingi Brawijaya corporation yang telah dibangun selama berpuluh-puluh tahun."Dewa manggut-manggut, mengerti ucapan pria itu, "Oh, kalau untuk soal itu