Tidak menyangka kakaknya akan berbicara seperti itu, Arnold pun berusaha untuk menenangkan diri baru kemudian menjawab, "Kesalahan apa, Mas? Aku baru saja makan siang dengan Ayah."Ia lalu kembali menambahkan, "Hm, apakah aku telah membuatmu cemburu dengan makan malam hanya berdua dengan Ayah?"Narendra kemudian tertawa dan Arnold pun juga ikut tertawa. Narendra yang kemudian berhenti tertawa menanggapi ucapan sang adik, "Kenapa aku harus cemburu pada adikku yang saat ini sudah mulai dekat dengan ayah?""Nah, itu dia, Mas. Aku baru saja memperbaiki hubungan dengan Ayah jadi seharusnya kau juga ikut senang kan? Kita bisa jadi keluarga yang utuh nantinya," sahut Arnold.Satria dan Astuti terlihat senang sekali melihat interaksi keduanya. Mereka saling lempar senyum dan seakan benar-benar bahagia atas keutuhan keluarga mereka itu."Andai saja kalian berdua seperti ini sejak dulu, nanti kami berdua tidak akan merasa cemas sedikitpun saat meninggalkan kalian," ucap Astuti.Arnold mengerutk
Clarita pun menjerit meminta pertolongan tapi malah ditertawakan oleh para perampok itu. Dengan ekspresi wajah yang dipenuhi oleh ketakutan itu, gadis yang kini mengenakan jaket hitam itu pun melangkah mundur dan berniat berlari untuk masuk ke dalam rumah Glenn Brawijaya. Tetapi sungguh sial, ia tidak bisa melakukannya karena orang-orang itu telah berhasil mengejar dirinya dan mencegahnya mencari bantuan."Hei, gadis manis. Jangan bermain-main! Lebih baik, kau ikut kami denga suka rela dari pada harus kami paksa," ucap seorang perampok dengan wajah bulat."Ya. Sudah sangat bagus aku tidak langsung menyeretmu agar ikut kita. Bukankah seharusnya kau membalas kebaikan kami dengan ikut kami tanpa memprotes, anak cantik?" tambah teman si Bulat.Sontak, Clarita semakin tidak tahu harus berbuat apa. Namun, tidak disangka-sangka olehnya, bala bantuan datang tidak terkira-kira. Ia hampir-hampir merasa jika ia sedang bermimpi saat melihat Glenn Brawijaya tiba-tiba sudah ada di sana bersama den
Setelah mengatakan perintahnya pada anak buah andalannya, Glenn segera menggandeng Clarita masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara sepatah kata pun lagi. Begitu pintu gerbang telah ditutup kembali, Glenn melepas gandengan tangannya dan membiarkan Clarita berjalan di belakang dirinya. Clarita yang merasa tidak enak pada Glenn langsung berkata, "Maaf, Om. Aku tidak bermaksud-""Apa yang kau lakukan di luar sana?" potong Glenn, tanpa menatap gadis itu dan tetap berjalan."Jalan-jalan. Maaf, aku hanya bosan."Glenn seketika berhenti berjalan, memutar badan, "Bosan? Apa kau sudah tidak peduli lagi dengan nyawamu?""Bukan begitu. Aku hanya ... hanya benar-benar merasa kesepian berada di dalam rumah sebesar ini tanpa teman."Glenn benar-benar hampir saja kehilangan kendali diri. Kekesalannya hampir saja membuatnya ingin berteriak marah pada gadis itu tapi entah bagaimana ia berhasil mengontrol diri dan hanya berkata, "Aku paham kau sangat bosan, tapi bukan berarti kau bisa seenak dirimu sen
"Jalan-jalan? Maksudmu jalan-jalan ke luar rumah?" tanya Glenn. "Hm, Om. Mungkin kalau sudah jalan-jalan, aku bisa membaik," jawab Clarita. Glenn menghela napas lelah. Ia sebenarnya tidak ingin menyetujui hal itu. Tapi saat ia melihat tatapan lugu Clarita yang begitu penuh harap itu, ia akhirnya luluh. "Oke, kau boleh jalan-jalan tapi tidak boleh sendirian." Clarita menghapus air matanya dan berkata lagi, "Apa maksudnya Om akan menemani aku?" Glenn menunjuk dirinya, "Om?" "Ya. Kata Om aku nggak boleh sendiri ke luar," ucap Clarita. Glenn cukup terkejut dan sedikit kebingungan. Tapi, saat ia melihat kembali wajah polos Clarita yang terlihat menunggu jawabannya itu pun ia menjadi lemah. Entah apa yang sedang terjadi dengan dirinya, ia tidak tahu. Ia hanya merasa selalu lemah saat berhadapan dengan putri sahabatnya itu. "Hm. Oke. Akan aku temani. Sekarang ganti bajulah!" ucap Glenn. "Kenapa aku harus ganti baju?" tanya Clarita dengan raut wajah bingung. "Kau harus memakai pakaian
Glenn harus menjauhkan ponsel miliknya dari telinganya karena tidak ingin menderita gangguan pendengaran akibat suara lengkingan Alexander. Setelah yakin, sahabat baiknya tidak berbicara dengan nada tinggi lagi, Glenn baru kembali berbicara, "Harus ke sana.""Kenapa harus?" tanya Alexander dengan volume suara yang terdengar normal."Karena dia menyukai negara itu, Barata. Memang kau tidak tahu apa yang disukai anak muda zaman sekarang?" balas Glenn terdengar santai.Alexander mendesah. "Biar aku saja yang pergi dengannya."Mendengar hal itu, Glenn menaikkan alis dan menghentikan kegiatannya semula. "Kau yakin?""Ya. Aku ayahnya. Lagi pula, sudah tidak ada Damar di sini. Kupikir semuanya lebih aman sekarang." Alexander menjelaskannya dengan begitu santai.Tanpa ragu, Glenn menjawab, "Ah, kalau dipikir memang ini kesempatan yang bagus untukmu, Barata. Kau bisa dekat dengan putrimu lewat liburan ini."Di seberang sana, Alexander tersenyum senang. "Oke. Kalau begitu, aku akan segera ke sa
"Sudahlah, kita tidak perlu membahas masalah ini. Aku tidak mau melemah, Dewa." Dewa menghela napas, "Aku hanya tidak mau kau salah sangka dan akan menyesal nanti, Glenn."Glenn berujar, "Tidak akan. Aku tidak akan pernah menyesal. Arnold dan Narendra itu sekutu yang harus aku basmi."Dewa akhirnya mengangkat tangan, tanda dia menyerah. Rasanya tidak mungkin lagi membuat Glenn mengerti sehingga dia tidak lagi berusaha membuka mata sahabatnya itu."Oke, jadi kapan kau akan menampakkan diri?" tanya Dewa."Dalam waktu dekat," ucap Glenn."Apa kau menunggu Alexander Barata kembali?" tanya Dewa lagi.Glenn menggeleng, "Masalahku tidak ada hubungannya dengan dia, Dewa. Dia sudah menyelesaikan bagiannya jadi aku tidak akan mengganggunya.""Wah, kau sungguh berbaik hati sekali," ujar Dewa."Kau baru sadar akan hal itu?" balas Glenn.Dewa tidak menanggapinya dan hanya berujar, "Kalau begitu, apa yang bisa aku lakukan untukmu?""Tidak ada," jawab Glenn."Kau yakin?""Hm. Ini harus aku lakukan
Kata-kata yang Narendra ucapkan itu terdengar begitu berbeda di telinga Arnold. Ia pikir kakaknya telah berubah dan sepertinya hal ini mengarah ke hal yang buruk.Ia mengamati ekspresi kakaknya yang tampak lebih dingin daripada yang pernah ia lihat sebelumnya. Secara pasti ia pun mengerti kakaknya tidak lagi mempercayai dirinya.Maka, ia pun mencoba untuk memikirkan strategi lain dan kemudian mendapatkan jawaban atas apa yang dia cari.Arnold Brawijaya pun berujar, "Kau benar, Mas. Sepertinya aku memang tidak kompeten untuk hal ini jadi lebih baik aku mengundurkan diri saja dari perusahaan ini."Ia perlahan bangkit dari kursinya dan meninggalkan Narendra yang terlihat begitu syok setelah mendengarkan pengakuan adiknya yang akan segera minggat dari perusahaannya itu.Narendra memegang kepalanya, "Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Arnold jelas tidak berpihak kepadaku. Tapi, kalau dia tidak berpihak kepadaku, dia seharusnya tidak mengundurkan diri dan malah tetap di sini."Ah, Narendra b
Arnold mulai merasa terganggu dengan ucapan-ucapan orang asing yang mulai menyebut nama-nama Glenn Brawijaya. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanya Arnold pada orang yang dengan rambut hitam legamnya itu terlihat begitu rapi.Ia malah mengeluarkan tangannya dan berujar, "Oh, Gosh. Arnold Brawijaya, mari kita berkenalan dulu."Arnold malah heran terlatih lagi pria itu tersenyum aneh kepadanya dan ia sama sekali tidak menyambut uluran tangan pria yang memakai kemeja cokelat tua itu.Melihat uluran tangannya tidak disambut oleh Arnold, sang pria itu tidak tersinggung sama sekali dan malah berkata, "Dewa Airlangga. Salah satu orang yang menjadi kepercayaan dari sepupu tersayangmu."Arnold membeku seketika saat mendengarkan itu tetapi ia masih belum mempercayai perkataan orang itu sepenuhnya. Ia menggelengkan kepalanya lalu menatap ke arah depan, "Maaf, jika kau ingin bermain-main, sama saya tidak berminat untuk meladenimu."Dewa tertawa renyah begitu mendengarnya. Ia sama sek