Share

BAB 7

Bagaimana caranya seseorang berlari tanpa telapak kaki?

“Durga, lari dan bawa adikmu pergi.” Suara ibunya bergaung dalam suasana yang luar biasa tenang. Durga tidak mengerti dan dia tidak peduli dengan kekurang pengetahuannya dalam hal ini.

“Tidak!”

Durga mengubah posisinya. Dengan cepat lengan kurus ibunya berpindah ke bahu Durga. Dengan tubuhnya yang kecil, dia menggantikan kaki kanan ibunya yang hilang. Sayangnya melarikan diri dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah.

Menahan bobot tubuh seorang perempuan dewasa dengan tubuh anak kecil berusia delapan tahun bukanlah hal yang umum dilakukan. Napasnya terengah-engah dan keringat mengucur di sela-sela rambutnya yang mengombak. 

Durga menarik ujung kerah baju adik laki-lakinya dengan tangan kirinya yang bebas. Dalam satu gerakan, anak laki-laki yang masih kecil ini pindah ke dekapannya. Ibu di tangan kanannya dan seorang adik di tangan kirinya, Durga merasa lengannya hampir putus.

Akan tetapi keteguhan hati seorang anak perempuan yang luar biasa membakar bara di dadanya. Durga yakin mereka pasti selamat jika saja ibunya tidak berkata, “Durga, tinggalkan ibu dan bawa adik pergi!”

Durga menggeleng keras. Dengan marah dia berkata, “Tidak. Ibu tidak boleh tinggal.”

Sekali lagi ibunya membujuk, “Dengarkan ibu, bawa adik pergi. Ibu bisa menyelamatkan diri sendiri. Sebaliknya kamu–”

Ibu menelan ludah. Mengabaikan perih yang membakar tungkai kanannya, ternyata berlari dengan satu kaki terlalu sulit. Medan yang berbatu ditambah kabut yang membuat mata yang sehat sekalipun tidak ada gunanya. “–kamu menyulitkan ibu.”

Telinga Durga berdenging. Omong kosong. Mengapa orang dewasa selalu merasa anak-anak bodoh? Tidakkah mereka tahu bahwa mengatakan omongan tidak masuk akal kepala anak-anak adalah tindakan yang luar biasa bodoh? Apakah mereka pikir anak-anak tidak punya otak?

Durga luar biasa marah. Dia telah menahan tangisnya dan dia harus menelan amarahnya juga. Durga tidak mengatakan apapun. Sebaliknya, energi kemarahan ini membawa langkah mereka lebih cepat.

Tidak peduli apakah itu batu yang membuatnya atau ibunya hampir tersandung atau lumpur hisap yang menjerat kakinya, Durga bisa menahan dan mempertahankan kecepatan langkahnya seolah-olah rintangan ini tidak pernah ada.

Pada malam ini, Durga menemukan kepribadiannya yang lain. Dia adalah gadis yang kuat dan pemberani. Semangat di hatinya meletup-letup. Tetapi sekali lagi ibu berkata dengan suara yang lebih lemah, “Durga, tinggalkan Ibu. Ibu–dengan satu kaki ini hanya akan menyulitkan kamu. Dari kita bertiga, Ibu berharap setidaknya kamu dan adik selamat.”

Perkataan ini seperti angin meniup bara di hatinya tanpa ampun. Hati Durga menjadi lemah, air mata hampir merembes dari matanya yang bulat. Seolah-olah takut ketahuan, Durga menggigit bibirnya kuat-kuat.

Durga tidak peduli. Dengan sekuat hatinya, dia mencoba mengabaikan perkataan penuh putus asa itu. Akan tetapi tubuhnya tidak bisa. Energi yang besar itu tiba-tiba lenyap entah ke mana.

Tiba-tiba Durga merasakan beban yang ditanggung kedua lengannya yang tipis menjadi sangat besar. Rasa takut merayap di hatinya. Jantungnya berdebar lebih keras. Ke mana perginya gadis yang kuat dan pemberani ini?

Tetapi waktu menjadi semakin sempit. Tanpa peringatan, Durga merasakan tubuhnya didorong dengan keras oleh sepasang tangan yang ringkih. Secara alamiah, dia berteriak keras dan dekapannya lebih erat. 

Itu adalah waktu ketika dia berpisah dengan ibunya. Dia berusaha naik dan merangkak seperti anjing. Tetapi apa yang dia temukan?

Dia hanya menemukan pakaian ibunya, tulang belulang dengan darah yang tersisa di seluruh bagian, dan singa yang berjalan menjauh ketika sampai di atas.

Malam itu menjadi mimpi buruknya. Dia selalu terbangun di malam hari dengan keringat sebesar biji jagung sambil berteriak atau menangis.

Sekarang ketika harus kembali berurusan dengan kejadian lama itu, dia merasa marah dan ingin menangis. Tenggorokannya terasa pahit hingga terasa asam. Dia menahan air mata yang hampir luruh.

Tangannya mengepal dengan erat hingga bergetar.

Jika…jika memang permaisuri berhubungan dengan urusan ini, dia pasti melakukannya untuk melenyapkan Durga yang dia pikir sudah mati. Dia ketakutan ketika Putri Wulan menyadari bahwa Durga masih hidup. Dia takut jika Durga tiba-tiba kembali dan membongkar seluruh rahasianya.

Pada akhirnya, air matanya luruh. Durga menahan isakannya. Dia tidak akan memaafkannya. Dia akan membuat wanita itu merasakan hal yang serupa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status