Share

Kembalinya Putri Yang Telah Mati
Kembalinya Putri Yang Telah Mati
Penulis: L. Kirana

BAB 1

Pada periode pemerintahan Raja Askar di Grahana, pembunuhan terhadap sekelompok orang yang bertalian erat dengan keluarga kerajaan sebelumnya dilakukan secara besar-besaran untuk melindungi tahta raja. Semua bawahan dan pelayan sebelumnya juga ditangkap dan disiksa tanpa ampun.

Setelah berlangsung dua puluh empat tahun penuh ketakutan, akhirnya Raja Askar melepas semua kecurigaannya dan menarik perintah pemusnahan sisa anggota keluarga kerajaan sebelumnya. Bukan karena Raja Askar merasa tindakannya tidak diperlukan, melainkan karena orang-orang yang dianggap mengancam tahtanya sudah habis dibunuh.

Saat itu adalah malam hari di awal bulan kesembilan, angin bertiup dengan lembut dan masuk dari jendela yang terbuka. Durga baru saja menyiapkan dua cangkir kosong di atas meja. Dia mengenakan pakaian yang sangat tipis, jadi dia pergi menutup jendela kamarnya.

Ketika pintu kamar tiba-tiba dibuka, dia menemukan suami yang baru dinikahinya pagi tadi di sana. Dia baru saja mandi. Rambutnya yang gelap agak basah dan pakaiannya tidak terkancing sempurna membuat tubuhnya sedikit terekspos.

Dari penglihatan gadis normal manapun, Rajendra luar biasa tampan. Durga adalah gadis yang normal. Dia merasa agak gugup.

“Rajendra,” panggilnya lembut.

Mata gelap Rajendra memandangnya dengan lembut dan dia berkata, “Maaf menunggu terlalu lama,” Rajendra meraih tubuh Durga, “Mari tidur.”

Durga merasa gugup. Apa yang dimaksud suaminya bukan tidur dalam artian yang sebenarnya, Durga mengerti.

Mereka baru saja menikah dan seharusnya malam ini adalah malam pertama mereka.

Durga mencengkeram tangan Rajendra dengan lembut, “Apakah kamu tidak ingin minum teh? Kamu baru saja kembali dan langsung mandi. Kamu bahkan belum makan atau minum.”

Rajendra memandang Durga agak lama sebelum dia berkata, “Baiklah. Mari minum teh dulu.”

Durga segera menuang teh ke dalam cangkir kosong. Pertama untuknya, lalu untuk suaminya. Durga segera menghabiskan tehnya dalam sekali minum. Tetapi ketika dia selesai, Rajendra belum menyentuh tehnya dan hanya memandang dirinya.

“Ada apa? Kenapa kamu belum minum? Apakah kamu tidak suka teh?”

“Tidak. Aku suka.”

Durga merasa heran. Jika dia suka, kenapa dia tidak minum tehnya?

Rajendra menarik sudut bibirnya, “Hanya saja…” 

Durga memandangnya lamat-lamat. Dia menunggu jawaban pria itu dengan penasaran.

“Hanya saja apa?” Dia tidak sabar.

Tetapi yang diperolehnya bukan jawaban. Rajendra mencondongkan tubuhnya melewati meja dengan tubuhnya yang tinggi. Dalam satu gerakan, dia sudah memeluk Durga.

“Aku ingin meminumnya dengan cara yang berbeda.” Rajendra berbisik di telinganya.

Durga terkejut. Dia menahan pekikan ketika merasakan sapuan lembut di lehernya. Tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih.

Durga menahan dirinya untuk menarik kepala pria itu dari sana. Tetapi keinginan itu langsung hilang ketika dia merasakan kepala Rajendra jatuh ke bahunya bersamaan dengan bunyi ‘prang’ dari cangkir tanah liat yang pecah.

Durga menepuk punggung Rajendra berkali-kali, tetapi Rajendra bahkan tidak bergeming. Kemudian dia melirik cangkir yang pecah. Tidak basah. Rajendra telah menghabiskan tehnya.

Apakah berarti racunnya sudah mulai bekerja?

Durga menarik kepala Rajendra dan menyandarkannya di atas meja. Rajendra terpejam dan terlihat damai. Tetapi dari sudut bibirnya ada aliran darah pekat yang perlahan menetes ke bajunya.

Durga mengecek napasnya. Tidak ada. Seharusnya benar bahwa Rajendra sudah mati. Tetapi Durga selalu berhati-hati.

Dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh dada Rajendra. Tepat ketika dia hampir menempelkan tangannya, di luar seseorang berteriak dengan tidak sabar.

“Jenderal! Jenderal! Ada penyusup!”

Durga menarik tangannya dan buru-buru melarikan diri.

Sekarang ketika mengingat kembali kejadian lima tahun lalu, Durga jadi mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia tidak menusuk Rajendra dan hanya memercayakan niat jahatnya pada satu racun yang dioles ke gelas?

“Lama tidak bertemu.” 

Seseorang bersandar di pintu dengan seringai tipis di wajahnya. Dia mengejek,  “Lima tahun berlalu, kemana perginya pemimpin bayangan yang percaya diri?”

Orang ini mendecakkan lidah, “Pembunuh, tidakkah kamu tahu betapa menyedihkannya kamu saat ini?” 

Durga gemetar.

Suami yang dibunuhnya pada malam pernikahan sekarang berdiri di depannya yang sedang duduk dengan tangan dirantai besi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status