Share

BAB 4

Di mata pemuda yang tampak tenang timbul riak tipis. Diam-diam Durga mengamati segala perubahan ekspresinya. Dia memang tenang, tetapi raut wajah sekilas agak sulit untuk ditutup-tutupi. Dari sudut pandang Durga, dia bisa menebak bahwa pria ini haruslah memiliki hubungan yang dekat dengan putri yang meninggal.

“Putri Wulan.” Dia berkata dengan pelan.

Putri Wulan? Hatinya terasa tidak nyaman. Dia merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih sedikit, dia sesak. Durga melamun. Dia telah tenggelam di dalam lamunannya untuk waktu yang cukup lama hingga Rohan mengambil alih situasi dan bertanya.

“Sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” Rohan mengetuk dagunya berkali-kali, “Apakah Putri Wulan yang kamu maksud adalah putri yang tertangkap berzina?”

Durga segera mengangkat wajahnya. Dia memandang pemuda yang hanya tersenyum sebagai balasan dengan linglung. Pada satu sisi wanita ini terlihat ingin tahu, di sisi lainnya dia terlihat seperti tidak ingin tahu.

“Itu benar. Putri Wulan yang kamu maksud memang yang itu.”

Seketika wajahnya berubah pias. Ketakutan besar menguasai hatinya. Tanpa sadar tangannya berubah dingin dan memucat. Dia jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu.

Saat itu, Durga tiba-tiba diseret ke ruang interogasi. Kaki dan tangannya sama-sama dirantai dan dia didudukkan di sebuah kursi. 

Di depannya, seorang pejabat kerajaan berdiri dengan angkuh dan tertawa seperti iblis. 

"Jadi kamulah tuan putri yang mati itu," katanya dengan sorot yang keji, "Putri Durga yang mati dua belas tahun lalu kini ada di depan mataku."

Durga terkejut. Dadanya berdebar lebih keras ketika rahasianya diketahui orang lain. Bagaimana bisa mereka tahu bahwa dia adalah Putri Durga yang mati?

Ketika Durga memutar ingatannya, barulah dia menyadari. Orang tua di depannya ini adalah pengawas keadilan berpangkat rendah yang diinjak-injak di masa lalu, Tuan Bhadrawira. Tampaknya setelah dua belas tahun berlalu, orang ini telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi.

"Ya, itu aku." Durga berkata tanpa ragu. Ada jejak ketidakpedulian yang palsu dalam suaranya. Dia memandang Tuan Bhadrawira datar.

"Apa kamu tahu kenapa kamu berada di sini?" Ada kilat jahat di mata hitamnya.

"Tidak." Durga berkata tanpa takut. Jujur saja, dia memang tidak tahu. Tetapi bila menerka alasannya, seharusnya tidak jauh dari permaisuri. Bagaimanapun juga, wanita ini adalah satu-satunya yang selalu membenci dia diam-diam. 

Meskipun terlihat bagaikan ibu peri, tetapi untuk beberapa alasan, Durga bisa merasakan bahwa wanita ini tidak memiliki niat baik terhadapnya.

"Itu karena kembaran sialmu itu!" Tuan Bhadrawira tertawa mengejek sambil menunjuk Durga dengan telunjuknya.

Kembaran?

Ketika mendengar ini, Durga menegang. Dia merasa khawatir. Ada apa dengan kembarannya? Apakah mereka menemukan sesuatu yang salah dengan kembarannya? 

Tidak seharusnya begitu. Kembarannya adalah seorang gadis lemah yang tidak identik dengannya. Dia adalah seorang gadis patuh yang sakit-sakitan. Apa yang salah dengan gadis seperti ini?

Durga menggertakkan giginya. Dia memandang Tuan Bhadrawira dengan tajam sementara tangannya terkepal. "Ada apa dengan kembaranku?"

"Kembaranmu menyadari kamu masih hidup, mengawasi kamu, dan menginginkan kamu kembali ke istana!"

Durga tertegun. Selama ini rupanya seseorang menyadari bahwa dia masih hidup? Dia pikir keluarganya sudah menganggapnya benar-benar mati.

Untuk sesaat, perasaannya campur aduk. Dia tidak begitu memerhatikan Tuan Bhadrawira. Sebaliknya, dia malah agak melamun.

"Kamu tahu apa yang terjadi dengan kembaranmu?" Tuan Bhadrawira masih memancing. Dia tidak membiarkan Durga merasa nyaman.

Durga hanya memandangnya tanpa berkedip sebagai jawaban.

Tuan Bhadrawira tertawa seperti orang gila. "Dia mati! Dia mati di dalam kolam penuh air! Dia mati tenggelam!"

Lancang! Betapa lancangnya perkataan orang sial ini!

"Bajingan! Tutup mulutmu!" Durga akhirnya kehilangan kontrol emosinya. Darahnya mendidih. Seluruh wajahnya berubah merah, alisnya menukik tajam, dan tubuhnya bergetar hebat. Dia sangat marah. 

Setelah keheningan yang tiba-tiba, tawa bengis Tuan Bhadrawira pecah. Seolah-olah menertawakan kemalangan saudara kembar Durga adalah hiburan yang lucu, orang sial ini bahkan memegang perutnya.

Durga terbiasa mengontrol emosinya. Jadi dia segera menghirup udara dalam-dalam dan menenangkan dirinya. Dalam sekejap, dia sudah menguasai dirinya kembali. Dia bertanya dengan tajam, “Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”

"Apa yang aku inginkan? Mudah. Kamu cukup mengaku bahwa kamu melakukan pembunuhan terhadap Tuan Araratyan." Ketika mengatakan ini, masih ada jejak tawa yang belum selesai di setiap katanya.

Mata hitam gadis yang terbelenggu rantai menunjukkan keteguhan yang tidak goyah. Dia akhirnya menarik sedikit ujung bibirnya seolah menunjukkan pemikirannya terhadap kalimat yang seperti lelucon itu.

Durga tidak bodoh. Mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya akan membawa permaisuri pada kemenangan. Tetapi tidak mengakui berarti dia siap disiksa hingga merasa ingin mati. Situasi ini agak dilematis.

Durga memiliki keteguhan hati yang tinggi. Dia juga keras kepala. Jadi dia berkata dengan angkuh, “Jangan harap. Kamu tidak akan pernah mendengar pengakuanku atas kejahatan yang tidak aku lakukan. Tuan, jika aku mengambil keputusan seperti ini apa yang akan kamu lakukan?”

Tuan Bhadrawira menggertakkan giginya. Wajahnya sangat merah.

“Keparat sial! Lebih baik kamu menyayangi tubuhmu sendiri!”

Sudut bibir Durga tertarik menampilkan senyum pahit. "Aku katakan, aku tidak akan pernah mengakui sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tidak membunuh Tuan Araratyan dan aku tidak mengenalnya. Sebaliknya kamu—” Durga memandang Tuan Bhadrawira sebentar, "—kamu mengatakan sesuatu mengenai menyayangi tubuh? Apakah kamu bodoh? Bukankah jika mengaku dan tidak mengaku hasilnya sama? Aku tetap akan mati!"

Tuan Bhandrawira berseru dengan marah, “Penjaga! Cambuk dia seratus kali!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status