Di mata pemuda yang tampak tenang timbul riak tipis. Diam-diam Durga mengamati segala perubahan ekspresinya. Dia memang tenang, tetapi raut wajah sekilas agak sulit untuk ditutup-tutupi. Dari sudut pandang Durga, dia bisa menebak bahwa pria ini haruslah memiliki hubungan yang dekat dengan putri yang meninggal.
“Putri Wulan.” Dia berkata dengan pelan.
Putri Wulan? Hatinya terasa tidak nyaman. Dia merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih sedikit, dia sesak. Durga melamun. Dia telah tenggelam di dalam lamunannya untuk waktu yang cukup lama hingga Rohan mengambil alih situasi dan bertanya.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” Rohan mengetuk dagunya berkali-kali, “Apakah Putri Wulan yang kamu maksud adalah putri yang tertangkap berzina?”
Durga segera mengangkat wajahnya. Dia memandang pemuda yang hanya tersenyum sebagai balasan dengan linglung. Pada satu sisi wanita ini terlihat ingin tahu, di sisi lainnya dia terlihat seperti tidak ingin tahu.
“Itu benar. Putri Wulan yang kamu maksud memang yang itu.”
Seketika wajahnya berubah pias. Ketakutan besar menguasai hatinya. Tanpa sadar tangannya berubah dingin dan memucat. Dia jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu.
Saat itu, Durga tiba-tiba diseret ke ruang interogasi. Kaki dan tangannya sama-sama dirantai dan dia didudukkan di sebuah kursi.
Di depannya, seorang pejabat kerajaan berdiri dengan angkuh dan tertawa seperti iblis.
"Jadi kamulah tuan putri yang mati itu," katanya dengan sorot yang keji, "Putri Durga yang mati dua belas tahun lalu kini ada di depan mataku."
Durga terkejut. Dadanya berdebar lebih keras ketika rahasianya diketahui orang lain. Bagaimana bisa mereka tahu bahwa dia adalah Putri Durga yang mati?
Ketika Durga memutar ingatannya, barulah dia menyadari. Orang tua di depannya ini adalah pengawas keadilan berpangkat rendah yang diinjak-injak di masa lalu, Tuan Bhadrawira. Tampaknya setelah dua belas tahun berlalu, orang ini telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi.
"Ya, itu aku." Durga berkata tanpa ragu. Ada jejak ketidakpedulian yang palsu dalam suaranya. Dia memandang Tuan Bhadrawira datar.
"Apa kamu tahu kenapa kamu berada di sini?" Ada kilat jahat di mata hitamnya.
"Tidak." Durga berkata tanpa takut. Jujur saja, dia memang tidak tahu. Tetapi bila menerka alasannya, seharusnya tidak jauh dari permaisuri. Bagaimanapun juga, wanita ini adalah satu-satunya yang selalu membenci dia diam-diam.
Meskipun terlihat bagaikan ibu peri, tetapi untuk beberapa alasan, Durga bisa merasakan bahwa wanita ini tidak memiliki niat baik terhadapnya.
"Itu karena kembaran sialmu itu!" Tuan Bhadrawira tertawa mengejek sambil menunjuk Durga dengan telunjuknya.
Kembaran?
Ketika mendengar ini, Durga menegang. Dia merasa khawatir. Ada apa dengan kembarannya? Apakah mereka menemukan sesuatu yang salah dengan kembarannya?
Tidak seharusnya begitu. Kembarannya adalah seorang gadis lemah yang tidak identik dengannya. Dia adalah seorang gadis patuh yang sakit-sakitan. Apa yang salah dengan gadis seperti ini?
Durga menggertakkan giginya. Dia memandang Tuan Bhadrawira dengan tajam sementara tangannya terkepal. "Ada apa dengan kembaranku?"
"Kembaranmu menyadari kamu masih hidup, mengawasi kamu, dan menginginkan kamu kembali ke istana!"
Durga tertegun. Selama ini rupanya seseorang menyadari bahwa dia masih hidup? Dia pikir keluarganya sudah menganggapnya benar-benar mati.
Untuk sesaat, perasaannya campur aduk. Dia tidak begitu memerhatikan Tuan Bhadrawira. Sebaliknya, dia malah agak melamun.
"Kamu tahu apa yang terjadi dengan kembaranmu?" Tuan Bhadrawira masih memancing. Dia tidak membiarkan Durga merasa nyaman.
Durga hanya memandangnya tanpa berkedip sebagai jawaban.
Tuan Bhadrawira tertawa seperti orang gila. "Dia mati! Dia mati di dalam kolam penuh air! Dia mati tenggelam!"
Lancang! Betapa lancangnya perkataan orang sial ini!
"Bajingan! Tutup mulutmu!" Durga akhirnya kehilangan kontrol emosinya. Darahnya mendidih. Seluruh wajahnya berubah merah, alisnya menukik tajam, dan tubuhnya bergetar hebat. Dia sangat marah.
Setelah keheningan yang tiba-tiba, tawa bengis Tuan Bhadrawira pecah. Seolah-olah menertawakan kemalangan saudara kembar Durga adalah hiburan yang lucu, orang sial ini bahkan memegang perutnya.
Durga terbiasa mengontrol emosinya. Jadi dia segera menghirup udara dalam-dalam dan menenangkan dirinya. Dalam sekejap, dia sudah menguasai dirinya kembali. Dia bertanya dengan tajam, “Apa yang sebenarnya kamu inginkan?”
"Apa yang aku inginkan? Mudah. Kamu cukup mengaku bahwa kamu melakukan pembunuhan terhadap Tuan Araratyan." Ketika mengatakan ini, masih ada jejak tawa yang belum selesai di setiap katanya.
Mata hitam gadis yang terbelenggu rantai menunjukkan keteguhan yang tidak goyah. Dia akhirnya menarik sedikit ujung bibirnya seolah menunjukkan pemikirannya terhadap kalimat yang seperti lelucon itu.
Durga tidak bodoh. Mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya akan membawa permaisuri pada kemenangan. Tetapi tidak mengakui berarti dia siap disiksa hingga merasa ingin mati. Situasi ini agak dilematis.
Durga memiliki keteguhan hati yang tinggi. Dia juga keras kepala. Jadi dia berkata dengan angkuh, “Jangan harap. Kamu tidak akan pernah mendengar pengakuanku atas kejahatan yang tidak aku lakukan. Tuan, jika aku mengambil keputusan seperti ini apa yang akan kamu lakukan?”
Tuan Bhadrawira menggertakkan giginya. Wajahnya sangat merah.
“Keparat sial! Lebih baik kamu menyayangi tubuhmu sendiri!”
Sudut bibir Durga tertarik menampilkan senyum pahit. "Aku katakan, aku tidak akan pernah mengakui sesuatu yang tidak aku lakukan. Aku tidak membunuh Tuan Araratyan dan aku tidak mengenalnya. Sebaliknya kamu—” Durga memandang Tuan Bhadrawira sebentar, "—kamu mengatakan sesuatu mengenai menyayangi tubuh? Apakah kamu bodoh? Bukankah jika mengaku dan tidak mengaku hasilnya sama? Aku tetap akan mati!"
Tuan Bhandrawira berseru dengan marah, “Penjaga! Cambuk dia seratus kali!”
Pada akhirnya Durga terpaksa menjalani cambukan seratus kali itu hingga punggungnya benar-benar cedera parah. Pakaiannya bahkan sobek dan menampilkan luka punggung dalam yang mengerikan. Dia tidak mengingat bagaimana dia menyelesaikan hukuman itu. Ingatannya berhenti pada hitungan kesembilan puluh lima, setelah itu dia bangun dan sudah kembali ke dalam selnya.Sudah lewat seminggu semenjak dia dicambuk, tetapi sampai sekarang dia masih kesulitan menyandarkan punggungnya. Ketika dia meluruskan atau membungkuk, dia akan meringis dan darah merembes ke pakaiannya.Dia tidak tahu seperti apa lukanya, tetapi dia tahu bahwa lukanya sangat parah dan dalam.Sekarang dia kembali memikirkan kembarannya. Saudari kembarnya benar-benar dikatakan telah meninggal. Hatinya terasa amat sakit, tetapi dia menahan diri untuk menunjukkan kepedihannya.Durga tiba-tiba teringat sesuatu. Dia bertanya, “Rohan, kamu bilang kamu sudah lama di penjara dan tidak mengetahui gossip bagus. Bagaimana kamu bisa tahu b
Kenapa dan kenapa? Durga telah memutar otaknya selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Dia bukannya pernah menyinggung permaisuri. Bilapun pernah, maka itu ketika dia masih kecil! Tetapi apakah permaisuri adalah tipikal pendendam bahkan terhadap anak kecil sekalipun?Jika dia membenci saudara kembarnya, itu cukup masuk akal karena mereka masih tinggal dalam lingkungan yang sama. Tetapi dengan dirinya? Betapa tidak masuk akalnya itu!Jadi dia terus berpikir hingga waktu berlalu untuk waktu yang tidak dia tahu. Pada akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa ada rahasia dan saudara perempuannya ketahui. Mengenai rahasia ini…seharusnya hanya ini satu-satunya.Dia tidak pernah berpikir bahwa hal ini berhubungan dengan permaisuri sebelumnya. Tetapi dari sekian banyak hal, hanya hal ini yang paling mungkin.Kecelakaan yang menimpa dirinya, ibunya, dan adik laki-lakinya dua belas tahun lalu. Kecelakaan ini tidak lebih dari mimpi buruk yang menghantui Durga bertahun-tahun. Wajahnya memucat
Bagaimana caranya seseorang berlari tanpa telapak kaki?“Durga, lari dan bawa adikmu pergi.” Suara ibunya bergaung dalam suasana yang luar biasa tenang. Durga tidak mengerti dan dia tidak peduli dengan kekurang pengetahuannya dalam hal ini.“Tidak!”Durga mengubah posisinya. Dengan cepat lengan kurus ibunya berpindah ke bahu Durga. Dengan tubuhnya yang kecil, dia menggantikan kaki kanan ibunya yang hilang. Sayangnya melarikan diri dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah.Menahan bobot tubuh seorang perempuan dewasa dengan tubuh anak kecil berusia delapan tahun bukanlah hal yang umum dilakukan. Napasnya terengah-engah dan keringat mengucur di sela-sela rambutnya yang mengombak. Durga menarik ujung kerah baju adik laki-lakinya dengan tangan kirinya yang bebas. Dalam satu gerakan, anak laki-laki yang masih kecil ini pindah ke dekapannya. Ibu di tangan kanannya dan seorang adik di tangan kirinya, Durga merasa lengannya hampir putus.Akan tetapi keteguhan hati seorang anak perempua
Durga sedang tidur setelah menangis diam-diam hingga matanya bengkak ketika suara jeruji yang digoyang dengan tidak sabar membangunkannya. Kepalanya luar biasa pusing dan dia linglung seperti orang dungu. Sepertinya terlalu lama berada di penjara membuat kebiasaannya sebagai pemimpin bayangan yang waspada dan disiplin semakin terkikis.“Bangun dan dengarkan!”Ketika dia mengangkat wajahnya, dia menemukan kepala penjara ada di sana. Jarang-jarang dia menemukan pria berkumis tebal itu mengunjungi sel seseorang secara langsung. Kecuali jika…“Persidangan akan dijadwalkan dalam tiga hari. Bersiaplah untuk nanti.”…jika memang ada hal-hal yang sangat penting untuk dikatakan.Kepala penjara langsung pergi sementara dia kehilangan rasa kantuknya secara mendadak. Dia bersandar dengan lengannya dan tiba-tiba teringat pada Rajendra.Orang itu…apa yang akan dia lakukan?Apakah dia benar-benar bisa mengeluarkannya dari penjara seperti yang dia katakan sebelumnya?Meskipun dia seorang jenderal te
Tuan Araratyan?Durga tercenung. Perasaannya saat ini agak kacau. Rasanya seperti menghilangkan barang bukti dengan tangannya sendiri meskipun sebenarnya dia tidak melakukan itu.Dia mengernyit ketika menyadari sesuatu. Langkah yang diambil permaisuri terlalu beresiko. Selalu ada beberapa kemungkinan dalam setiap keputusan yang diambil. Dari tindakannya, sepertinya permaisuri ingin melenyapkan semua saksi yang dapat berbicara dalam satu rencana. Tetapi sepertinya dia tidak cukup teliti untuk menyadari bahwa ada tokoh lain bernama Rajendra di sini.“Seseorang memasukkan obat ke dalam minuman Tuan Araratyan dan putri pada malam perjamuan. Keduanya pamit dalam sebelum perjamuan selesai. Ketika pelayan bangun untuk membangunkn putri di pagi hari, mereka berdua ada di sana,” Bhisma menggigit bibirnya, “Di bawah selimut, tanpa pakaian.”Durga berdecak pelan. Ini cerita klise.Perbedaannya, tidak ada yang berakhir bahagia sekarang. Semua tokoh mati dengan mengerikan dan tidak ada yang bisa
Tabib Bhadrawira tiba tidak lama kemudian. Durga tetap diam dan mengamati dengan tenang dari tempatnya. Ketika dia memandang Tabib Bhadrawira, pria itu justru memandangnya balik sambil tersenyum singkat.“Silakan kepada Tuan Bhadrawira untuk membacakan hasil pemeriksaan terhadap mayat Tuan Araratyan.” hakim menitahkan.“Semuanya, saya adalah Tabib Bhadrawira, tabib kerajaan yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap mayat Tuan Araratyan oleh Yang Mulia.” Tabib Bhadrawira mengeluarkan gulungan kertas cokelat dan membuka lipatannya, “Tuan, Nona, di tubuh Tuan Araratyan memang ditemukan luka melintang di sepanjang leher yang memutus arteri karotis,” Tabib mengedarkan pandangannya dan tatapannya berhenti di Durga, “Jika melihat secara sekilas, memang semua orang akan menduga penyebab kematian Tuan Araratyan adalah luka leher ini. Tetapi bagi orang yang tahu kronologis sebetulnya, memang di bagian dada ada luka dalam yang menembus jantung. Berdasarkan hasil pemeriksaan
“Aku Mawar. Pengelola Rumah Bulan Biru yang ditunjuk langsung oleh Tuan Sangkara.”Ketika mereka tiba, ruangan itu telah disulap dan ditata sedemikian rupa hingga terasa nyaman. Di atas meja, dibakar wangi-wangian yang menyebarkan aroma cendana.Durga duduk berhadapan dengan Nona Mawar. Wanita itu menuang teh ke dalam cangkir dan mendorongnya ke Durga.Durga memegang tubuh cangkir dengan kedua tangannya, merasakan hangat yang menjalar di telapak tangannya.“Kamu tentu tahu bagaimana keadaan Sangkara sekarang.”Nona Mawar mengangguk, “Hampir enam bulan Tuan Sangkara tidak sadarkan diri setelah diracun.”“Itu benar,” Durga menyesap tehnya, “Seseorang harus segera mengambil ali
Rajendra mengurut dahinya ketika membaca sepucuk surat yang datang bersama merpati pos.Suasana hatinya tampak buruk, jadi tangan kanannya yang setia, Bayu tidak berani mendekat. Tetapi Rajendra justru memanggilnya, “Pergi ke Rumah Bulan Biru dan bawa Durga kemari!”Satu perintah Rajendra selalu bersifat mutlak. Tetapi Bayu juga tidak bisa tidak terkejut. Dia tahu betul siapa itu Durga. Tuannya telah membuatnya terlibat dalam penyelidikan yang berhubungan dengan gadis itu.Siapa sangka dia malah ada di rumah pelacuran sekarang? Tidak heran tuannya sangat murka.Dia langsung pergi ke rumah pelacuran saat itu juga dan membawa Durga pergi ke rumah tuannya.Ketika mereka tiba, Durga langsung mengambi
Rajendra mengurut dahinya ketika membaca sepucuk surat yang datang bersama merpati pos.Suasana hatinya tampak buruk, jadi tangan kanannya yang setia, Bayu tidak berani mendekat. Tetapi Rajendra justru memanggilnya, “Pergi ke Rumah Bulan Biru dan bawa Durga kemari!”Satu perintah Rajendra selalu bersifat mutlak. Tetapi Bayu juga tidak bisa tidak terkejut. Dia tahu betul siapa itu Durga. Tuannya telah membuatnya terlibat dalam penyelidikan yang berhubungan dengan gadis itu.Siapa sangka dia malah ada di rumah pelacuran sekarang? Tidak heran tuannya sangat murka.Dia langsung pergi ke rumah pelacuran saat itu juga dan membawa Durga pergi ke rumah tuannya.Ketika mereka tiba, Durga langsung mengambi
“Aku Mawar. Pengelola Rumah Bulan Biru yang ditunjuk langsung oleh Tuan Sangkara.”Ketika mereka tiba, ruangan itu telah disulap dan ditata sedemikian rupa hingga terasa nyaman. Di atas meja, dibakar wangi-wangian yang menyebarkan aroma cendana.Durga duduk berhadapan dengan Nona Mawar. Wanita itu menuang teh ke dalam cangkir dan mendorongnya ke Durga.Durga memegang tubuh cangkir dengan kedua tangannya, merasakan hangat yang menjalar di telapak tangannya.“Kamu tentu tahu bagaimana keadaan Sangkara sekarang.”Nona Mawar mengangguk, “Hampir enam bulan Tuan Sangkara tidak sadarkan diri setelah diracun.”“Itu benar,” Durga menyesap tehnya, “Seseorang harus segera mengambil ali
Tabib Bhadrawira tiba tidak lama kemudian. Durga tetap diam dan mengamati dengan tenang dari tempatnya. Ketika dia memandang Tabib Bhadrawira, pria itu justru memandangnya balik sambil tersenyum singkat.“Silakan kepada Tuan Bhadrawira untuk membacakan hasil pemeriksaan terhadap mayat Tuan Araratyan.” hakim menitahkan.“Semuanya, saya adalah Tabib Bhadrawira, tabib kerajaan yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap mayat Tuan Araratyan oleh Yang Mulia.” Tabib Bhadrawira mengeluarkan gulungan kertas cokelat dan membuka lipatannya, “Tuan, Nona, di tubuh Tuan Araratyan memang ditemukan luka melintang di sepanjang leher yang memutus arteri karotis,” Tabib mengedarkan pandangannya dan tatapannya berhenti di Durga, “Jika melihat secara sekilas, memang semua orang akan menduga penyebab kematian Tuan Araratyan adalah luka leher ini. Tetapi bagi orang yang tahu kronologis sebetulnya, memang di bagian dada ada luka dalam yang menembus jantung. Berdasarkan hasil pemeriksaan
Tuan Araratyan?Durga tercenung. Perasaannya saat ini agak kacau. Rasanya seperti menghilangkan barang bukti dengan tangannya sendiri meskipun sebenarnya dia tidak melakukan itu.Dia mengernyit ketika menyadari sesuatu. Langkah yang diambil permaisuri terlalu beresiko. Selalu ada beberapa kemungkinan dalam setiap keputusan yang diambil. Dari tindakannya, sepertinya permaisuri ingin melenyapkan semua saksi yang dapat berbicara dalam satu rencana. Tetapi sepertinya dia tidak cukup teliti untuk menyadari bahwa ada tokoh lain bernama Rajendra di sini.“Seseorang memasukkan obat ke dalam minuman Tuan Araratyan dan putri pada malam perjamuan. Keduanya pamit dalam sebelum perjamuan selesai. Ketika pelayan bangun untuk membangunkn putri di pagi hari, mereka berdua ada di sana,” Bhisma menggigit bibirnya, “Di bawah selimut, tanpa pakaian.”Durga berdecak pelan. Ini cerita klise.Perbedaannya, tidak ada yang berakhir bahagia sekarang. Semua tokoh mati dengan mengerikan dan tidak ada yang bisa
Durga sedang tidur setelah menangis diam-diam hingga matanya bengkak ketika suara jeruji yang digoyang dengan tidak sabar membangunkannya. Kepalanya luar biasa pusing dan dia linglung seperti orang dungu. Sepertinya terlalu lama berada di penjara membuat kebiasaannya sebagai pemimpin bayangan yang waspada dan disiplin semakin terkikis.“Bangun dan dengarkan!”Ketika dia mengangkat wajahnya, dia menemukan kepala penjara ada di sana. Jarang-jarang dia menemukan pria berkumis tebal itu mengunjungi sel seseorang secara langsung. Kecuali jika…“Persidangan akan dijadwalkan dalam tiga hari. Bersiaplah untuk nanti.”…jika memang ada hal-hal yang sangat penting untuk dikatakan.Kepala penjara langsung pergi sementara dia kehilangan rasa kantuknya secara mendadak. Dia bersandar dengan lengannya dan tiba-tiba teringat pada Rajendra.Orang itu…apa yang akan dia lakukan?Apakah dia benar-benar bisa mengeluarkannya dari penjara seperti yang dia katakan sebelumnya?Meskipun dia seorang jenderal te
Bagaimana caranya seseorang berlari tanpa telapak kaki?“Durga, lari dan bawa adikmu pergi.” Suara ibunya bergaung dalam suasana yang luar biasa tenang. Durga tidak mengerti dan dia tidak peduli dengan kekurang pengetahuannya dalam hal ini.“Tidak!”Durga mengubah posisinya. Dengan cepat lengan kurus ibunya berpindah ke bahu Durga. Dengan tubuhnya yang kecil, dia menggantikan kaki kanan ibunya yang hilang. Sayangnya melarikan diri dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah.Menahan bobot tubuh seorang perempuan dewasa dengan tubuh anak kecil berusia delapan tahun bukanlah hal yang umum dilakukan. Napasnya terengah-engah dan keringat mengucur di sela-sela rambutnya yang mengombak. Durga menarik ujung kerah baju adik laki-lakinya dengan tangan kirinya yang bebas. Dalam satu gerakan, anak laki-laki yang masih kecil ini pindah ke dekapannya. Ibu di tangan kanannya dan seorang adik di tangan kirinya, Durga merasa lengannya hampir putus.Akan tetapi keteguhan hati seorang anak perempua
Kenapa dan kenapa? Durga telah memutar otaknya selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Dia bukannya pernah menyinggung permaisuri. Bilapun pernah, maka itu ketika dia masih kecil! Tetapi apakah permaisuri adalah tipikal pendendam bahkan terhadap anak kecil sekalipun?Jika dia membenci saudara kembarnya, itu cukup masuk akal karena mereka masih tinggal dalam lingkungan yang sama. Tetapi dengan dirinya? Betapa tidak masuk akalnya itu!Jadi dia terus berpikir hingga waktu berlalu untuk waktu yang tidak dia tahu. Pada akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa ada rahasia dan saudara perempuannya ketahui. Mengenai rahasia ini…seharusnya hanya ini satu-satunya.Dia tidak pernah berpikir bahwa hal ini berhubungan dengan permaisuri sebelumnya. Tetapi dari sekian banyak hal, hanya hal ini yang paling mungkin.Kecelakaan yang menimpa dirinya, ibunya, dan adik laki-lakinya dua belas tahun lalu. Kecelakaan ini tidak lebih dari mimpi buruk yang menghantui Durga bertahun-tahun. Wajahnya memucat
Pada akhirnya Durga terpaksa menjalani cambukan seratus kali itu hingga punggungnya benar-benar cedera parah. Pakaiannya bahkan sobek dan menampilkan luka punggung dalam yang mengerikan. Dia tidak mengingat bagaimana dia menyelesaikan hukuman itu. Ingatannya berhenti pada hitungan kesembilan puluh lima, setelah itu dia bangun dan sudah kembali ke dalam selnya.Sudah lewat seminggu semenjak dia dicambuk, tetapi sampai sekarang dia masih kesulitan menyandarkan punggungnya. Ketika dia meluruskan atau membungkuk, dia akan meringis dan darah merembes ke pakaiannya.Dia tidak tahu seperti apa lukanya, tetapi dia tahu bahwa lukanya sangat parah dan dalam.Sekarang dia kembali memikirkan kembarannya. Saudari kembarnya benar-benar dikatakan telah meninggal. Hatinya terasa amat sakit, tetapi dia menahan diri untuk menunjukkan kepedihannya.Durga tiba-tiba teringat sesuatu. Dia bertanya, “Rohan, kamu bilang kamu sudah lama di penjara dan tidak mengetahui gossip bagus. Bagaimana kamu bisa tahu b
Di mata pemuda yang tampak tenang timbul riak tipis. Diam-diam Durga mengamati segala perubahan ekspresinya. Dia memang tenang, tetapi raut wajah sekilas agak sulit untuk ditutup-tutupi. Dari sudut pandang Durga, dia bisa menebak bahwa pria ini haruslah memiliki hubungan yang dekat dengan putri yang meninggal.“Putri Wulan.” Dia berkata dengan pelan.Putri Wulan? Hatinya terasa tidak nyaman. Dia merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih sedikit, dia sesak. Durga melamun. Dia telah tenggelam di dalam lamunannya untuk waktu yang cukup lama hingga Rohan mengambil alih situasi dan bertanya.“Sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” Rohan mengetuk dagunya berkali-kali, “Apakah Putri Wulan yang kamu maksud adalah putri yang tertangkap berzina?”Durga segera mengangkat wajahnya. Dia memandang pemuda yang hanya tersenyum sebagai balasan dengan linglung. Pada satu sisi wanita ini terlihat ingin tahu, di sisi lainnya dia terlihat seperti tidak ingin tahu.“Itu benar. Putri Wulan yang kamu m