Share

BAB 6

Kenapa dan kenapa? 

Durga telah memutar otaknya selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Dia bukannya pernah menyinggung permaisuri. Bilapun pernah, maka itu ketika dia masih kecil! Tetapi apakah permaisuri adalah tipikal pendendam bahkan terhadap anak kecil sekalipun?

Jika dia membenci saudara kembarnya, itu cukup masuk akal karena mereka masih tinggal dalam lingkungan yang sama. Tetapi dengan dirinya? Betapa tidak masuk akalnya itu!

Jadi dia terus berpikir hingga waktu berlalu untuk waktu yang tidak dia tahu. Pada akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa ada rahasia dan saudara perempuannya ketahui. Mengenai rahasia ini…seharusnya hanya ini satu-satunya.

Dia tidak pernah berpikir bahwa hal ini berhubungan dengan permaisuri sebelumnya. Tetapi dari sekian banyak hal, hanya hal ini yang paling mungkin.

Kecelakaan yang menimpa dirinya, ibunya, dan adik laki-lakinya dua belas tahun lalu. 

Kecelakaan ini tidak lebih dari mimpi buruk yang menghantui Durga bertahun-tahun. Wajahnya memucat seolah-olah darahnya dikuras habis dan tangannya dingin ketika dia mengingat kejadian ini.

Waktu itu adalah malam hari di hutan belantara di Kota Emas Biru ketika badai kabut membuat jarak pandang pendek dan hampir membutakan mata.

Di atas tanah berlumpur setelah hampir seharian penuh dihujam derasnya air hujan, seorang wanita dan seorang gadis kecil terus mempercepat langkahnya. Langkah yang cepat ini menimbulkan suara becek dan cipratan lumpur yang menodai kulit-kulit yang halus dan pakaian yang mahal. Pakaian mahal ini tidak ada artinya di bawah lolongan sekelompok singa yang kelaparan.

“Durga, terus lari! Jangan lihat ke belakang!” Ibunya berseru. Nada bicaranya histeris dan  terburu-buru sesuai dengan wajah yang ditampakannya pada malam itu.

Sesuai dengan perintah yang diterima, Durga itu meneruskan langkahnya yang semakin melambat. Bulir-bulir keringat jatuh dari dahinya yang sempit. Dia tidak mengatakan apapun, tetapi napasnya yang terengah-engah mengatakan segalanya.

Tidak jauh berbeda darinya, ibunya juga mengalami hal yang sama. Bahkan lebih buruk dengan seorang anak kecil dalam gendongannya.

Malam itu cuacanya sangat dingin membekukan seluruh indra manusia. Akan tetapi singa yang lapar di belakang mereka tidak bisa menunggu. Pada awalnya singa itu berjarak dua puluh kaki dari mereka, sayangnya sekarang jarak mereka hanya dipisahkan oleh beberapa langkah besar manusia dewasa.

Berbeda dengan manusia, singa memiliki cara sendiri untuk menentukan arah. Mereka tidak terpengaruh oleh tebalnya kabut sekalipun kabut ini memblokade indra penglihatan mereka. Belum lagi medan yang ditempuh selain berlumpur juga berbatu, membuat ujung lilitan rok ibunya terbuka jadi terinjak sehingga dia terjerembap di atas lumpur berbatu.

Tubuhnya yang kurus jatuh sepenuhnya sementara anak laki-laki di dekapannya juga jatuh terlempar beberapa kaki ke depan.

“IBU!” Durga berteriak. Tubuhnya kaku dan bimbang sesaat. Mana dulu yang harus ditolongnya, apakah adik laki-lakinya atau ibunya, dia bertanya dalam benaknya.

Pada akhirnya, Durga berlari menuju ibunya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, lengannya yang kurus menarik tangan ibunya. Akan tetapi kawanan singa itu tidak mau berkompromi, mereka terus mendekat membuat air matanya perlahan jatuh dari sudut matanya yang ketakutan.

Ibunya bertubuh kurus, meskipun demikian, tubuh Durga juga kecil. Ketika menarik ibunya, dia hampir limbung. Apalagi dengan tanah berlumpur sebagai pijakannya membuat kakinya terasa berat.

Ibunya menoleh ke belakang. Saat itu singa hampir mencapai kakinya. Kaki ibunya selalu sehalus kelopak mawar. Sepasang kaki ini selalu lembut dan lembap. Seringkali Durga menemukan ibunya sedang mengoleskan krim pelembap di kakinya. Kaki ini juga tidak pernah lepas dari sepatu ungu bermotif bunga lavender yang timbul.

Sepasang sepatu ini adalah hadiah yang diterima ibu dari ayahnya pada hari pernikahan. Sepatu ini selalu digunakannya hampir setiap hari. Tidak berlebihan jika Durga menganggap kedua orang tuanya sangat mencintai satu sama lain.

Pada saat ini, sepasang sepatu itu terlepas dan terjebak di lumpur yang dangkal. Warnanya berubah cokelat. Ibunya mendesis ketika menoleh dan menemukan sepatu itu di bawah tubuh pemimpin singa. Dan pada saat itu juga, Durga tiba-tiba berteriak histeris ketika pemimpin singa berhasil menggigit kaki ibunya.

Air matanya menyeruak turun tanpa berhasil ditahan. Dadanya luar biasa sesak dan hatinya luar biasa ketakutan. Ketakutan yang luar biasa ini menabuhkan genderang perang di dalam dadanya memberi suplai energi besar secara tiba-tiba. Di tengah tangisan itu, Durga tetap menarik ibunya yang menyerang pemimpin singa dengan kakinya yang bebas. 

Durga tidak mengatakan apa-apa. Dia menggeretakkan gigi dan menahan tangisannya. Tubuh ibunya terasa lebih ringan. Durga bisa merasakan ibunya kembali mendapatkan pijakannya. Akan tetapi ketika dia berujar, “Ibu, lari!” dia menyadari bahwa langkah ibunya amat lambat seolah ada sesuatu yang membuatnya kesulitan.

Durga tidak sabar tetapi tetap menoleh. Wajahnya membeku dan sorot matanya berhenti pada satu tempat. Hatinya yang membara disiram es. Bagaimana caranya seseorang berlari tanpa telapak kaki?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status