Pada akhirnya Durga terpaksa menjalani cambukan seratus kali itu hingga punggungnya benar-benar cedera parah. Pakaiannya bahkan sobek dan menampilkan luka punggung dalam yang mengerikan.
Dia tidak mengingat bagaimana dia menyelesaikan hukuman itu. Ingatannya berhenti pada hitungan kesembilan puluh lima, setelah itu dia bangun dan sudah kembali ke dalam selnya.
Sudah lewat seminggu semenjak dia dicambuk, tetapi sampai sekarang dia masih kesulitan menyandarkan punggungnya. Ketika dia meluruskan atau membungkuk, dia akan meringis dan darah merembes ke pakaiannya.
Dia tidak tahu seperti apa lukanya, tetapi dia tahu bahwa lukanya sangat parah dan dalam.
Sekarang dia kembali memikirkan kembarannya. Saudari kembarnya benar-benar dikatakan telah meninggal. Hatinya terasa amat sakit, tetapi dia menahan diri untuk menunjukkan kepedihannya.
Durga tiba-tiba teringat sesuatu. Dia bertanya, “Rohan, kamu bilang kamu sudah lama di penjara dan tidak mengetahui gossip bagus. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa Putri Wulan dihukum karena berzina?”
“Putri Wulan berada di penjara yang sama dengan kita,” Rohan menunjuk sel Durga dengan dagunya, “Dia menempati sel kamu sebelumnya.”
Durga terkejut. Dia menekuri lantai di bawah kakinya agak lama. Dia menekan bibirnya sendiri.
Jika begitu, maka ini adalah lantai hitam yang pernah dipijak oleh kembarannya, dinding yang pernah disandarkan olehnya, dan jeruji besi yang pernah digenggamnya.
Perasaan hangat yang pedih menguasai hatinya. Durga merasa dekat namun terasa jauh. Dia telah kehilangan keluarganya lagi.
“Siapa namamu?” Durga menoleh dan melirik pemuda yang tenang.
“Aku Bhisma,” Bhisma mengangguk sedikit, “Aku tidak menyangka akan memiliki kesempatan langsung untuk menemui Nona.”
Durga meraih jeruji besi dengan tangan kanannya. Dia bergeser sedikit agar lebih dekat dengan Bhisma.
“Aku pikir kamu seharusnya cukup dekat dengan Putri Wulan.”
Durga menyipitkan matanya dengan curiga. Dia memandang Bhisma dari ujung kepala hingga ujung kaki kemudian kembali lagi dari kaki ke kepala. Pria ini memang terlihat agak halus. Jika seseorang mengatakan bahwa dia adalah putra seorang bangsawan, Durga percaya. Tetapi kejahatan macam apa yang dilakukan pria ini?
“Kejahatan apa yang kamu lakukan?”
Bhisma terkejut untuk sesaat. Dia tidak bisa menyembunyikan perubahan mimik wajahnya yang jelas. Durga merasa pria itu lengah, jadi dia memandang Bhisma lamat-lamat dengan senyuman tipis. Tidak ada cara untuk menolak menjawab pertanyaan Durga.
Suaranya agak serak ketika dia berkata, “...aku membantu seseorang melakukan kejahatan.”
Setelahnya Bhisma menunduk. Dia jelas menghindari tatapan Durga. Durga menyerah. Sepertinya pertanyaannya memang agak menyentil perasaan Bhisma. Entah karena dia merasa menyesal karena kejahatannya atau karena hal lain.
“Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan?” Durga melirik Rohan yang sedang menatapnya dan Bhisma dengan penasaran.
Dia merenung sedikit lalu dia menjawab dengan ringan, “Aku? Tuduhan pemberontakan.”
Tuduhan pemberontakan? Mata Durga mengerjap beberapa kali.
“Apakah kamu benar-benar melakukan itu?” Dia bertanya dengan hati-hati seolah takut pertanyaannya akan melukai Rohan.
Tetapi pemuda itu justru tertawa. Dia mengibaskan tangannya berkali-kali, “Itu seharusnya tidak benar. Aku tidak melakukan apa-apa. Tapi orang tuaku mungkin iya.”
Durga manggut-manggut. Dia bertanya lagi, “Di mana orang tuamu? Jika mereka ditangkap, bukankah seharusnya satu penjara dengan kita. Apakah yang di sana?” Dia menunjuk salah satu sel yang berisi pria tua.
Pria tua ini sering batuk di malam hari. Dulu Durga juga merasa terganggu dan diam-diam menumbuhkan perasaan kasihan terhadapnya. Sekarang Durga bahkan sudah tidak terganggu dengan suara batuknya. Dia bisa melanjutkan tidur tanpa terbangun.
“Orang tuaku sudah meninggal. Mereka memang terbukti melakukan pemberontakan dan dieksekusi setelah sebulan ditahan.”
Durga terkejut setengah mati. Dia bingung harus bereaksi apa, jadi dia hanya mengatakan, “Begitu…”
Tetapi bila dia mengamati mimik wajah Rohan, tidak ada perubahan di sana. Dia tetap terlihat tenang dan ceria seolah-olah kematian orang tuanya bukan apa-apa. Yang menjadi masalah adalah dia sendiri. Bagaimana dia harus bersikap sekarang? Durga bertanya-tanya.
Pada akhirnya Durga mundur dan memilih merenung. Dia memikirkan informasi yang baru diperolehnya dan menghubungkannya satu demi satu. Dia terkejut dan maju dengan tergesa, tangannya meraih jeruji besi dan dia menempelkan wajahnya di sana.
“Bhisma,” Durga berbisik, “Apakah sebenarnya Putri Wulan dijebak untuk berzina?”
Pemuda itu tidak menjawab. Tatapannya agak kosong ketika dia mendengar perkataan Durga. Kadang-kadang, tidak menjawab adalah jawaban itu sendiri. Meskipun bisa ditutupi, reaksi tubuh sekilas adalah jawaban yang paling jujur.
Jika begitu, maka mungkin benar bahwa dia dijebak untuk berzina.
Bila memperhitungkan dirinya sendiri yang sama-sama dijebak, maka Durga sampai pada satu kesimpulan. Mungkinkah permaisuri ingin melenyapkan dia dan saudara perempuannya?
Tapi kenapa?
Kenapa dan kenapa? Durga telah memutar otaknya selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Dia bukannya pernah menyinggung permaisuri. Bilapun pernah, maka itu ketika dia masih kecil! Tetapi apakah permaisuri adalah tipikal pendendam bahkan terhadap anak kecil sekalipun?Jika dia membenci saudara kembarnya, itu cukup masuk akal karena mereka masih tinggal dalam lingkungan yang sama. Tetapi dengan dirinya? Betapa tidak masuk akalnya itu!Jadi dia terus berpikir hingga waktu berlalu untuk waktu yang tidak dia tahu. Pada akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa ada rahasia dan saudara perempuannya ketahui. Mengenai rahasia ini…seharusnya hanya ini satu-satunya.Dia tidak pernah berpikir bahwa hal ini berhubungan dengan permaisuri sebelumnya. Tetapi dari sekian banyak hal, hanya hal ini yang paling mungkin.Kecelakaan yang menimpa dirinya, ibunya, dan adik laki-lakinya dua belas tahun lalu. Kecelakaan ini tidak lebih dari mimpi buruk yang menghantui Durga bertahun-tahun. Wajahnya memucat
Bagaimana caranya seseorang berlari tanpa telapak kaki?“Durga, lari dan bawa adikmu pergi.” Suara ibunya bergaung dalam suasana yang luar biasa tenang. Durga tidak mengerti dan dia tidak peduli dengan kekurang pengetahuannya dalam hal ini.“Tidak!”Durga mengubah posisinya. Dengan cepat lengan kurus ibunya berpindah ke bahu Durga. Dengan tubuhnya yang kecil, dia menggantikan kaki kanan ibunya yang hilang. Sayangnya melarikan diri dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah.Menahan bobot tubuh seorang perempuan dewasa dengan tubuh anak kecil berusia delapan tahun bukanlah hal yang umum dilakukan. Napasnya terengah-engah dan keringat mengucur di sela-sela rambutnya yang mengombak. Durga menarik ujung kerah baju adik laki-lakinya dengan tangan kirinya yang bebas. Dalam satu gerakan, anak laki-laki yang masih kecil ini pindah ke dekapannya. Ibu di tangan kanannya dan seorang adik di tangan kirinya, Durga merasa lengannya hampir putus.Akan tetapi keteguhan hati seorang anak perempua
Durga sedang tidur setelah menangis diam-diam hingga matanya bengkak ketika suara jeruji yang digoyang dengan tidak sabar membangunkannya. Kepalanya luar biasa pusing dan dia linglung seperti orang dungu. Sepertinya terlalu lama berada di penjara membuat kebiasaannya sebagai pemimpin bayangan yang waspada dan disiplin semakin terkikis.“Bangun dan dengarkan!”Ketika dia mengangkat wajahnya, dia menemukan kepala penjara ada di sana. Jarang-jarang dia menemukan pria berkumis tebal itu mengunjungi sel seseorang secara langsung. Kecuali jika…“Persidangan akan dijadwalkan dalam tiga hari. Bersiaplah untuk nanti.”…jika memang ada hal-hal yang sangat penting untuk dikatakan.Kepala penjara langsung pergi sementara dia kehilangan rasa kantuknya secara mendadak. Dia bersandar dengan lengannya dan tiba-tiba teringat pada Rajendra.Orang itu…apa yang akan dia lakukan?Apakah dia benar-benar bisa mengeluarkannya dari penjara seperti yang dia katakan sebelumnya?Meskipun dia seorang jenderal te
Tuan Araratyan?Durga tercenung. Perasaannya saat ini agak kacau. Rasanya seperti menghilangkan barang bukti dengan tangannya sendiri meskipun sebenarnya dia tidak melakukan itu.Dia mengernyit ketika menyadari sesuatu. Langkah yang diambil permaisuri terlalu beresiko. Selalu ada beberapa kemungkinan dalam setiap keputusan yang diambil. Dari tindakannya, sepertinya permaisuri ingin melenyapkan semua saksi yang dapat berbicara dalam satu rencana. Tetapi sepertinya dia tidak cukup teliti untuk menyadari bahwa ada tokoh lain bernama Rajendra di sini.“Seseorang memasukkan obat ke dalam minuman Tuan Araratyan dan putri pada malam perjamuan. Keduanya pamit dalam sebelum perjamuan selesai. Ketika pelayan bangun untuk membangunkn putri di pagi hari, mereka berdua ada di sana,” Bhisma menggigit bibirnya, “Di bawah selimut, tanpa pakaian.”Durga berdecak pelan. Ini cerita klise.Perbedaannya, tidak ada yang berakhir bahagia sekarang. Semua tokoh mati dengan mengerikan dan tidak ada yang bisa
Tabib Bhadrawira tiba tidak lama kemudian. Durga tetap diam dan mengamati dengan tenang dari tempatnya. Ketika dia memandang Tabib Bhadrawira, pria itu justru memandangnya balik sambil tersenyum singkat.“Silakan kepada Tuan Bhadrawira untuk membacakan hasil pemeriksaan terhadap mayat Tuan Araratyan.” hakim menitahkan.“Semuanya, saya adalah Tabib Bhadrawira, tabib kerajaan yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap mayat Tuan Araratyan oleh Yang Mulia.” Tabib Bhadrawira mengeluarkan gulungan kertas cokelat dan membuka lipatannya, “Tuan, Nona, di tubuh Tuan Araratyan memang ditemukan luka melintang di sepanjang leher yang memutus arteri karotis,” Tabib mengedarkan pandangannya dan tatapannya berhenti di Durga, “Jika melihat secara sekilas, memang semua orang akan menduga penyebab kematian Tuan Araratyan adalah luka leher ini. Tetapi bagi orang yang tahu kronologis sebetulnya, memang di bagian dada ada luka dalam yang menembus jantung. Berdasarkan hasil pemeriksaan
“Aku Mawar. Pengelola Rumah Bulan Biru yang ditunjuk langsung oleh Tuan Sangkara.”Ketika mereka tiba, ruangan itu telah disulap dan ditata sedemikian rupa hingga terasa nyaman. Di atas meja, dibakar wangi-wangian yang menyebarkan aroma cendana.Durga duduk berhadapan dengan Nona Mawar. Wanita itu menuang teh ke dalam cangkir dan mendorongnya ke Durga.Durga memegang tubuh cangkir dengan kedua tangannya, merasakan hangat yang menjalar di telapak tangannya.“Kamu tentu tahu bagaimana keadaan Sangkara sekarang.”Nona Mawar mengangguk, “Hampir enam bulan Tuan Sangkara tidak sadarkan diri setelah diracun.”“Itu benar,” Durga menyesap tehnya, “Seseorang harus segera mengambil ali
Rajendra mengurut dahinya ketika membaca sepucuk surat yang datang bersama merpati pos.Suasana hatinya tampak buruk, jadi tangan kanannya yang setia, Bayu tidak berani mendekat. Tetapi Rajendra justru memanggilnya, “Pergi ke Rumah Bulan Biru dan bawa Durga kemari!”Satu perintah Rajendra selalu bersifat mutlak. Tetapi Bayu juga tidak bisa tidak terkejut. Dia tahu betul siapa itu Durga. Tuannya telah membuatnya terlibat dalam penyelidikan yang berhubungan dengan gadis itu.Siapa sangka dia malah ada di rumah pelacuran sekarang? Tidak heran tuannya sangat murka.Dia langsung pergi ke rumah pelacuran saat itu juga dan membawa Durga pergi ke rumah tuannya.Ketika mereka tiba, Durga langsung mengambi
Pada periode pemerintahan Raja Askar di Grahana, pembunuhan terhadap sekelompok orang yang bertalian erat dengan keluarga kerajaan sebelumnya dilakukan secara besar-besaran untuk melindungi tahta raja. Semua bawahan dan pelayan sebelumnya juga ditangkap dan disiksa tanpa ampun.Setelah berlangsung dua puluh empat tahun penuh ketakutan, akhirnya Raja Askar melepas semua kecurigaannya dan menarik perintah pemusnahan sisa anggota keluarga kerajaan sebelumnya. Bukan karena Raja Askar merasa tindakannya tidak diperlukan, melainkan karena orang-orang yang dianggap mengancam tahtanya sudah habis dibunuh.Saat itu adalah malam hari di awal bulan kesembilan, angin bertiup dengan lembut dan masuk dari jendela yang terbuka. Durga baru saja menyiapkan dua cangkir kosong di atas meja. Dia mengenakan pakaian yang sangat tipis, jadi dia pergi menutup jendela kamarnya.Ketika pintu kamar tiba-tiba dibuka, dia menemukan suami yang baru dinikahinya pagi tadi di sana. Dia baru saja mandi. Rambutnya yang
Rajendra mengurut dahinya ketika membaca sepucuk surat yang datang bersama merpati pos.Suasana hatinya tampak buruk, jadi tangan kanannya yang setia, Bayu tidak berani mendekat. Tetapi Rajendra justru memanggilnya, “Pergi ke Rumah Bulan Biru dan bawa Durga kemari!”Satu perintah Rajendra selalu bersifat mutlak. Tetapi Bayu juga tidak bisa tidak terkejut. Dia tahu betul siapa itu Durga. Tuannya telah membuatnya terlibat dalam penyelidikan yang berhubungan dengan gadis itu.Siapa sangka dia malah ada di rumah pelacuran sekarang? Tidak heran tuannya sangat murka.Dia langsung pergi ke rumah pelacuran saat itu juga dan membawa Durga pergi ke rumah tuannya.Ketika mereka tiba, Durga langsung mengambi
“Aku Mawar. Pengelola Rumah Bulan Biru yang ditunjuk langsung oleh Tuan Sangkara.”Ketika mereka tiba, ruangan itu telah disulap dan ditata sedemikian rupa hingga terasa nyaman. Di atas meja, dibakar wangi-wangian yang menyebarkan aroma cendana.Durga duduk berhadapan dengan Nona Mawar. Wanita itu menuang teh ke dalam cangkir dan mendorongnya ke Durga.Durga memegang tubuh cangkir dengan kedua tangannya, merasakan hangat yang menjalar di telapak tangannya.“Kamu tentu tahu bagaimana keadaan Sangkara sekarang.”Nona Mawar mengangguk, “Hampir enam bulan Tuan Sangkara tidak sadarkan diri setelah diracun.”“Itu benar,” Durga menyesap tehnya, “Seseorang harus segera mengambil ali
Tabib Bhadrawira tiba tidak lama kemudian. Durga tetap diam dan mengamati dengan tenang dari tempatnya. Ketika dia memandang Tabib Bhadrawira, pria itu justru memandangnya balik sambil tersenyum singkat.“Silakan kepada Tuan Bhadrawira untuk membacakan hasil pemeriksaan terhadap mayat Tuan Araratyan.” hakim menitahkan.“Semuanya, saya adalah Tabib Bhadrawira, tabib kerajaan yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan langsung terhadap mayat Tuan Araratyan oleh Yang Mulia.” Tabib Bhadrawira mengeluarkan gulungan kertas cokelat dan membuka lipatannya, “Tuan, Nona, di tubuh Tuan Araratyan memang ditemukan luka melintang di sepanjang leher yang memutus arteri karotis,” Tabib mengedarkan pandangannya dan tatapannya berhenti di Durga, “Jika melihat secara sekilas, memang semua orang akan menduga penyebab kematian Tuan Araratyan adalah luka leher ini. Tetapi bagi orang yang tahu kronologis sebetulnya, memang di bagian dada ada luka dalam yang menembus jantung. Berdasarkan hasil pemeriksaan
Tuan Araratyan?Durga tercenung. Perasaannya saat ini agak kacau. Rasanya seperti menghilangkan barang bukti dengan tangannya sendiri meskipun sebenarnya dia tidak melakukan itu.Dia mengernyit ketika menyadari sesuatu. Langkah yang diambil permaisuri terlalu beresiko. Selalu ada beberapa kemungkinan dalam setiap keputusan yang diambil. Dari tindakannya, sepertinya permaisuri ingin melenyapkan semua saksi yang dapat berbicara dalam satu rencana. Tetapi sepertinya dia tidak cukup teliti untuk menyadari bahwa ada tokoh lain bernama Rajendra di sini.“Seseorang memasukkan obat ke dalam minuman Tuan Araratyan dan putri pada malam perjamuan. Keduanya pamit dalam sebelum perjamuan selesai. Ketika pelayan bangun untuk membangunkn putri di pagi hari, mereka berdua ada di sana,” Bhisma menggigit bibirnya, “Di bawah selimut, tanpa pakaian.”Durga berdecak pelan. Ini cerita klise.Perbedaannya, tidak ada yang berakhir bahagia sekarang. Semua tokoh mati dengan mengerikan dan tidak ada yang bisa
Durga sedang tidur setelah menangis diam-diam hingga matanya bengkak ketika suara jeruji yang digoyang dengan tidak sabar membangunkannya. Kepalanya luar biasa pusing dan dia linglung seperti orang dungu. Sepertinya terlalu lama berada di penjara membuat kebiasaannya sebagai pemimpin bayangan yang waspada dan disiplin semakin terkikis.“Bangun dan dengarkan!”Ketika dia mengangkat wajahnya, dia menemukan kepala penjara ada di sana. Jarang-jarang dia menemukan pria berkumis tebal itu mengunjungi sel seseorang secara langsung. Kecuali jika…“Persidangan akan dijadwalkan dalam tiga hari. Bersiaplah untuk nanti.”…jika memang ada hal-hal yang sangat penting untuk dikatakan.Kepala penjara langsung pergi sementara dia kehilangan rasa kantuknya secara mendadak. Dia bersandar dengan lengannya dan tiba-tiba teringat pada Rajendra.Orang itu…apa yang akan dia lakukan?Apakah dia benar-benar bisa mengeluarkannya dari penjara seperti yang dia katakan sebelumnya?Meskipun dia seorang jenderal te
Bagaimana caranya seseorang berlari tanpa telapak kaki?“Durga, lari dan bawa adikmu pergi.” Suara ibunya bergaung dalam suasana yang luar biasa tenang. Durga tidak mengerti dan dia tidak peduli dengan kekurang pengetahuannya dalam hal ini.“Tidak!”Durga mengubah posisinya. Dengan cepat lengan kurus ibunya berpindah ke bahu Durga. Dengan tubuhnya yang kecil, dia menggantikan kaki kanan ibunya yang hilang. Sayangnya melarikan diri dalam keadaan seperti ini bukan hal yang mudah.Menahan bobot tubuh seorang perempuan dewasa dengan tubuh anak kecil berusia delapan tahun bukanlah hal yang umum dilakukan. Napasnya terengah-engah dan keringat mengucur di sela-sela rambutnya yang mengombak. Durga menarik ujung kerah baju adik laki-lakinya dengan tangan kirinya yang bebas. Dalam satu gerakan, anak laki-laki yang masih kecil ini pindah ke dekapannya. Ibu di tangan kanannya dan seorang adik di tangan kirinya, Durga merasa lengannya hampir putus.Akan tetapi keteguhan hati seorang anak perempua
Kenapa dan kenapa? Durga telah memutar otaknya selama berhari-hari dan berminggu-minggu. Dia bukannya pernah menyinggung permaisuri. Bilapun pernah, maka itu ketika dia masih kecil! Tetapi apakah permaisuri adalah tipikal pendendam bahkan terhadap anak kecil sekalipun?Jika dia membenci saudara kembarnya, itu cukup masuk akal karena mereka masih tinggal dalam lingkungan yang sama. Tetapi dengan dirinya? Betapa tidak masuk akalnya itu!Jadi dia terus berpikir hingga waktu berlalu untuk waktu yang tidak dia tahu. Pada akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa ada rahasia dan saudara perempuannya ketahui. Mengenai rahasia ini…seharusnya hanya ini satu-satunya.Dia tidak pernah berpikir bahwa hal ini berhubungan dengan permaisuri sebelumnya. Tetapi dari sekian banyak hal, hanya hal ini yang paling mungkin.Kecelakaan yang menimpa dirinya, ibunya, dan adik laki-lakinya dua belas tahun lalu. Kecelakaan ini tidak lebih dari mimpi buruk yang menghantui Durga bertahun-tahun. Wajahnya memucat
Pada akhirnya Durga terpaksa menjalani cambukan seratus kali itu hingga punggungnya benar-benar cedera parah. Pakaiannya bahkan sobek dan menampilkan luka punggung dalam yang mengerikan. Dia tidak mengingat bagaimana dia menyelesaikan hukuman itu. Ingatannya berhenti pada hitungan kesembilan puluh lima, setelah itu dia bangun dan sudah kembali ke dalam selnya.Sudah lewat seminggu semenjak dia dicambuk, tetapi sampai sekarang dia masih kesulitan menyandarkan punggungnya. Ketika dia meluruskan atau membungkuk, dia akan meringis dan darah merembes ke pakaiannya.Dia tidak tahu seperti apa lukanya, tetapi dia tahu bahwa lukanya sangat parah dan dalam.Sekarang dia kembali memikirkan kembarannya. Saudari kembarnya benar-benar dikatakan telah meninggal. Hatinya terasa amat sakit, tetapi dia menahan diri untuk menunjukkan kepedihannya.Durga tiba-tiba teringat sesuatu. Dia bertanya, “Rohan, kamu bilang kamu sudah lama di penjara dan tidak mengetahui gossip bagus. Bagaimana kamu bisa tahu b
Di mata pemuda yang tampak tenang timbul riak tipis. Diam-diam Durga mengamati segala perubahan ekspresinya. Dia memang tenang, tetapi raut wajah sekilas agak sulit untuk ditutup-tutupi. Dari sudut pandang Durga, dia bisa menebak bahwa pria ini haruslah memiliki hubungan yang dekat dengan putri yang meninggal.“Putri Wulan.” Dia berkata dengan pelan.Putri Wulan? Hatinya terasa tidak nyaman. Dia merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih sedikit, dia sesak. Durga melamun. Dia telah tenggelam di dalam lamunannya untuk waktu yang cukup lama hingga Rohan mengambil alih situasi dan bertanya.“Sepertinya aku pernah mendengar nama ini,” Rohan mengetuk dagunya berkali-kali, “Apakah Putri Wulan yang kamu maksud adalah putri yang tertangkap berzina?”Durga segera mengangkat wajahnya. Dia memandang pemuda yang hanya tersenyum sebagai balasan dengan linglung. Pada satu sisi wanita ini terlihat ingin tahu, di sisi lainnya dia terlihat seperti tidak ingin tahu.“Itu benar. Putri Wulan yang kamu m