Share

BAB 5

Pada akhirnya Durga terpaksa menjalani cambukan seratus kali itu hingga punggungnya benar-benar cedera parah. Pakaiannya bahkan sobek dan menampilkan luka punggung dalam yang mengerikan. 

Dia tidak mengingat bagaimana dia menyelesaikan hukuman itu. Ingatannya berhenti pada hitungan kesembilan puluh lima, setelah itu dia bangun dan sudah kembali ke dalam selnya.

Sudah lewat seminggu semenjak dia dicambuk, tetapi sampai sekarang dia masih kesulitan menyandarkan punggungnya. Ketika dia meluruskan atau membungkuk, dia akan meringis dan darah merembes ke pakaiannya.

Dia tidak tahu seperti apa lukanya, tetapi dia tahu bahwa lukanya sangat parah dan dalam.

Sekarang dia kembali memikirkan kembarannya. Saudari kembarnya benar-benar dikatakan telah meninggal. Hatinya terasa amat sakit, tetapi dia menahan diri untuk menunjukkan kepedihannya.

Durga tiba-tiba teringat sesuatu. Dia bertanya, “Rohan, kamu bilang kamu sudah lama di penjara dan tidak mengetahui gossip bagus. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa Putri Wulan dihukum karena berzina?”

“Putri Wulan berada di penjara yang sama dengan kita,” Rohan menunjuk sel Durga dengan dagunya, “Dia menempati sel kamu sebelumnya.”

Durga terkejut. Dia menekuri lantai di bawah kakinya agak lama. Dia menekan bibirnya sendiri.

Jika begitu, maka ini adalah lantai hitam yang pernah dipijak oleh kembarannya, dinding yang pernah disandarkan olehnya, dan jeruji besi yang pernah digenggamnya. 

Perasaan hangat yang pedih menguasai hatinya. Durga merasa dekat namun terasa jauh. Dia telah kehilangan keluarganya lagi. 

 “Siapa namamu?” Durga menoleh dan melirik pemuda yang tenang.

“Aku Bhisma,” Bhisma mengangguk sedikit, “Aku tidak menyangka akan memiliki kesempatan langsung untuk menemui Nona.”

Durga meraih jeruji besi dengan tangan kanannya. Dia bergeser sedikit agar lebih dekat dengan Bhisma.

“Aku pikir kamu seharusnya cukup dekat dengan Putri Wulan.”

Durga menyipitkan matanya dengan curiga. Dia memandang Bhisma dari ujung kepala hingga ujung kaki kemudian kembali lagi dari kaki ke kepala. Pria ini memang terlihat agak halus. Jika seseorang mengatakan bahwa dia adalah putra seorang bangsawan, Durga percaya. Tetapi kejahatan macam apa yang dilakukan pria ini?

“Kejahatan apa yang kamu lakukan?”

Bhisma terkejut untuk sesaat. Dia tidak bisa menyembunyikan perubahan mimik wajahnya yang jelas. Durga merasa pria itu lengah, jadi dia memandang Bhisma lamat-lamat dengan senyuman tipis. Tidak ada cara untuk menolak menjawab pertanyaan Durga.

Suaranya agak serak ketika dia berkata, “...aku membantu seseorang melakukan kejahatan.”

Setelahnya Bhisma menunduk. Dia jelas menghindari tatapan Durga. Durga menyerah. Sepertinya pertanyaannya memang agak menyentil perasaan Bhisma. Entah karena dia merasa menyesal karena kejahatannya atau karena hal lain. 

“Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan?” Durga melirik Rohan yang sedang menatapnya dan Bhisma dengan penasaran.

Dia merenung sedikit lalu dia menjawab dengan ringan, “Aku? Tuduhan pemberontakan.”

Tuduhan pemberontakan? Mata Durga mengerjap beberapa kali.

“Apakah kamu benar-benar melakukan itu?” Dia bertanya dengan hati-hati seolah takut pertanyaannya akan melukai Rohan.

Tetapi pemuda itu justru tertawa. Dia mengibaskan tangannya berkali-kali, “Itu seharusnya tidak benar. Aku tidak melakukan apa-apa. Tapi orang tuaku mungkin iya.”

Durga manggut-manggut. Dia bertanya lagi, “Di mana orang tuamu? Jika mereka ditangkap, bukankah seharusnya satu penjara dengan kita. Apakah yang di sana?” Dia menunjuk salah satu sel yang berisi pria tua.

Pria tua ini sering batuk di malam hari. Dulu Durga juga merasa terganggu dan diam-diam menumbuhkan perasaan kasihan terhadapnya. Sekarang Durga bahkan sudah tidak terganggu dengan suara batuknya. Dia bisa melanjutkan tidur tanpa terbangun.

“Orang tuaku sudah meninggal. Mereka memang terbukti melakukan pemberontakan dan dieksekusi setelah sebulan ditahan.”

Durga terkejut setengah mati. Dia bingung harus bereaksi apa, jadi dia hanya mengatakan, “Begitu…”

Tetapi bila dia mengamati mimik wajah Rohan, tidak ada perubahan di sana. Dia tetap terlihat tenang dan ceria seolah-olah kematian orang tuanya bukan apa-apa. Yang menjadi masalah adalah dia sendiri. Bagaimana dia harus bersikap sekarang? Durga bertanya-tanya.

Pada akhirnya Durga mundur dan memilih merenung. Dia memikirkan informasi yang baru diperolehnya dan menghubungkannya satu demi satu. Dia terkejut dan maju dengan tergesa, tangannya meraih jeruji besi dan dia menempelkan wajahnya di sana.

“Bhisma,” Durga berbisik, “Apakah sebenarnya Putri Wulan dijebak untuk berzina?”

Pemuda itu tidak menjawab. Tatapannya agak kosong ketika dia mendengar perkataan Durga. Kadang-kadang, tidak menjawab adalah jawaban itu sendiri. Meskipun bisa ditutupi, reaksi tubuh sekilas adalah jawaban yang paling jujur.

Jika begitu, maka mungkin benar bahwa dia dijebak untuk berzina.

Bila memperhitungkan dirinya sendiri yang sama-sama dijebak, maka Durga sampai pada satu kesimpulan. Mungkinkah permaisuri ingin melenyapkan dia dan saudara perempuannya?

Tapi kenapa? 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status