Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.
“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila. Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah. “Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum. “Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari. “Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang. “Tidak perlu,” tolak Lila dengan halus, berusaha tegar meskipun hatinya bergetar. “Baiklah kalau begitu, saya tidak bisa memaksa. Ini kartu nama saya, Anda bisa menghubungi saya, kapan pun Anda butuh.” Pria itu mengeluarkan sebuah kartu nama dari saku jasnya dan menyerahkannya kepada Lila. Ragu-ragu Lila menerima kartu nama tersebut, matanya bertemu dengan tatapan pria itu sejenak. Ada sesuatu yang meyakinkan dalam sorot matanya, tapi Lila tetap waspada. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya Wismoyojati,” ucapnya dengan senyum tipis yang menawan. Pria itu segera melangkah meninggalkan Lila. Setelah pria itu benar-benar lenyap dari pandangannya, Lila baru membaca kartu nama yang berada di tangannya. Nama yang tertera di sana, Ryan Aditya Mahendra, tidak dikenalnya, tapi dari posisi dan nama perusahaan miliknya, Lila tahu pria itu adalah pesaing bisnis dari keluarga Wismoyojati. Lila merasa semakin bingung dan putus asa. Ia menghela napas panjang, berharap ada keajaiban yang datang malam ini. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah dia bisa terus bertahan dalam pernikahan yng menurutnya tidak memiliki masa depan. Tiba-tiba, Lila mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat. Dia menoleh lalu tersenyum tipis penuh kegetiran menertawakan dirinya sendiri yang sempat berharap Sean akan mendatanginya. Mungkin saat ini suaminya itu sedang berbagi peluh dengan Miranda. “Bu Lila!” panggil Ranga, orang kepercayaan Sean. Dia berjalan cepat ke arah Lila, ekspresinya serius tetapi sedikit lega saat bertemu Lila. “Saya diutus untuk mengantar Anda pulang,” ucap Rangga dengan sopan, membungkuk sedikit. Lila mengangguk lemah, merasakan sedikit kelegaan meskipun hatinya masih kecewa. “Terima kasih, Pak Rangga. Mari kita pergi sekarang.” Rangga membuka pintu mobil dan membantu Lila masuk. Sepanjang perjalanan, Lila duduk diam, memandang keluar jendela, pikirannya melayang-layang memikirkan kejadian malam ini. Rangga, yang sudah lama bekerja dengan keluarga Wismoyojati, hanya melirik sekilas, mengetahui bahwa Lila butuh waktu untuk sendiri. Mobil, sudah berhenti di depan gedung apartemen yang selama ini menjadi tempat tinggal Lila dan Sean. Rangga keluar dari mobil, membukakan pintu dan mengantar Lila sampai ke unit apartemen, memberikan dukungan dalam diam. “Terima kasih.” Lila terlihat ingin segera mengakhiri interaksi dan secepatnya memasuki apartemen untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya. “Jika Bu Lila butuh sesuatu, jangan sungkan untuk menghubungi saya.” Ucap Rangga dengan tatap mata penuh kekhawatiran. Lila terdiam sejenak, memberanikan diri menatap pria yang berdiri di hadapannya. “Tolong katakan kepada Pak Sean, ada urusan penting yang ingin saya bicarakan dengannya, secepatnya!” Lila sudah membulatkan tekadnya, dia akan segera mengakhiri penderitaan ini. “Baik, Bu!” Rangga pun bergegas pergi meninggalkan Lila. *** Bertemu pagi dengan kondisi tubuh yang kurang fit, semalam Lila tidak bisa tidur dengan tenang. Bukan hanya memikirkan apa yang dilakukan Sean bersama Miranda malam ini, tetapi juga mencoba merangkai kata yang akan dia ucapkan saat bertemu dengan Sean nanti. Lila membuka cluctch bag yang dibawa ke acara semalam. Sejak tiba di apartemen dia tidak menyentuh lagi ponselnya. Saat mengambilnya tanpa sadar kartu nama Ryan Mahendra turut tertarik keluar. Sejenak Lila menggulir layar ponselnya, setelah memastikan tidak ada pesan penting untuknya, dia kembali meletakkan ponsel di atas nakas. Dengan secangkir teh hangat, Lila menikmati pagi yang tenang dengan duduk di balkon apartemennya. Udara pagi yang masih minim polusi membawa ketenangan sejenak, meskipun hatinya masih penuh kekacauan. Lila menatap langit, mencoba menemukan kedamaian di tengah badai perasaannya. Terdengar suara pintu yang dibuka secara perlahan. Lila menoleh, melihat Sean berdiri di ambang pintu dengan penampilan berantakan, rambutnya kusut, dasinya longgar. Lila mendekat untuk menyambut kedatangan suaminya, tetapi semakin dekat semakin pekat aroma parfum yang begitu feminin menyelubunginya. Wajah Sean terlihat lelah, tapi ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Lila semakin yakin bahwa malam sebelumnya bukan sekadar pekerjaan. "Aku mendengar dari Rangga kalau kamu ingin bicara." Sean memulai dengan nada datar dan ekspresi yang dingin, tidak mempedulikan perasaan Lila. Lila meletakkan cangkir tehnya dengan tenang, berdiri, dan menghadapi suaminya. Kata-kata yang sebelum sudah tersusun rapi raib seketika, meninggalkan rasa gugup dan ketakutan. Sementara itu Sean tetap menunggu sambil menatap dingin ke arah Lila. Namun karena istrinya tidak kunjung mengatakan apapun, dia kemudian membalikkan tubuh hendak pergi. "Sean, ceraikan aku," lirih Lila, tetapi cukup jelas untuk didengar. Kalimat Lila berhasil membuat Sean menghentikan langkah. Dia segera kembali membalikkan badan dan berhadapan dengan Lila. Melangkah berlahan dengan tatap mata tajam semakin mendekati Lila. "Bisa diulang?" tanya Sean meski sebenarnya telah mendengar dengan jelas. "Ceraikan aku," ucap Lila sekali lagi, suaranya semakin bergetar. “Jika ini karena Miranda, aku tegaskan tidak ada yang terjadi antara aku dengan dia.” Sean terlihat tenang tanpa rasa bersalah. “Keputusanku ini tidak ada hubungannya dengan Miranda.” Miranda memang bukan alasan utama, tetapi kehadirannya mampu meyakinkan hati Lila untuk mengambil keputusan penting ini. Mata Sean menyipit, wajahnya berubah menjadi lebih keras. "Apa yang kau inginkan dari perceraian kita, Lila? Harta gono-gini?" cecar Sean dengan nada merendahkan. Lila menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Aku hanya ingin ...." "Apa yang telah aku berikan selama ini masih kurang?" Sean memotong, tidak memberi kesempatan kepada Lila untuk berbicara. "Aku kira nafkah yang aku berikan sudah lebih dari cukup, bahkan aku juga menanggung kehidupan keluargamu. Masih kurang? Apa kau juga menginginkan separuh harta keluarga Wismoyojati?" "Aku tidak sepicik itu," sanggah Lila, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku hanya menginginkan pernikahan yang normal, membentuk keluarga bersama. Ayah, ibu, dan anak-anak di dalamnya, tapi sepertinya aku tidak bisa mendapatkan itu dari pernikahan kita.” “Jangan serakah!” ucap Sean dengan begitu entengnya. “Dari pernikahan ini, kau sudah mendapat harta, kemewahan dan juga kehormatan sebagai seorang Wismoyojati. Jika ada yang masih belum bisa kamu gapai, anggap saja itu sebagai ujian hidup.” “Apa kau bahagia dengan pernikahan kita?” Dengan sorot mata yang tajam Sean menatap Lila. Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, hingga suasana menjadi hening mencekam. “Bahagia atau tidak bahagia, kamu sendiri yang dengan suka rela memasuki keluarga Wismoyojati. Terima konsekuensinya, kita nikmati bersama, apa pun rasanya.” Tegas dan penuh penekanan saat Sean berucap. “Dengan perceraian kita, kau bisa bahagia dengan perempuan pilihan hatimu.” “Aku lebih tahu apa yang aku rasakan. Jangan mengaturku!” Sean membuang pandangannya, menunduk sambil menggelengkan kepala. Tiba-tiba tatap matanya menangkap kertas kecil yang jatuh di lantai. Segera Sean memungut dan membacanya. “Apa karena ini kau meminta cerai?” tanya Sean dengan aura yang menyeramkan. “Jika karena orang ini kau ingin bercerai denganku, aku pastikan kau tidak akan pernah mendapatkan akta cerai dariku."“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Sean duduk di ruang tamu rumah sederhana itu, tangannya berkeringat meski udara dingin terasa di kulitnya. Di depannya, Waluya Sidig dan Inayah, kedua orang tua Lila, menatapnya dengan raut wajah yang berbeda. Waluya terlihat tenang, berusaha memahami situasi, sementara Inayah tampak marah dan bingung, seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya dari menantunya.“Saya sadar kalau saya salah,” ulang Sean dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang terus bergejolak di dalam dirinya. “Tapi saya melakukan itu karena marah. Lila berkali-kali meminta cerai tanpa alasan yang jelas, dan saya hanya ingin mempertahankan pernikahan kami.”Inayah mengerutkan dahi, matanya menyorot penuh kekecewaan. "Apa lagi yang diinginkan anak itu? Apakah semua yang dia dapatkan masih kurang? Sampai-sampai minta cerai.” Suara Inayah terdengar meninggi penuh emosi.Sean melihat kesempatan ini. Dia tahu bahwa Inayah sangat menghargai status dan kekayaan yang datang dengan pernikahan putrinya. Kehid
Jika sebelumnya Rangga mengatakan kepada Sean takut khilaf jika menemui Nadya di malam hari, tetapi pada kenyataannya malam itu juga Rangga mencari alamat tempat tinggal Nadya.Sudah tentu hal ini dia lakukan bukan semata-mata karena perintah dari sang bos, tetapi karena dia memiliki misi sendiri untuk bertemu dengan Nadya.Tidak bisa dipungkiri, jika Sejak pertemuan pertama dengan sahabat Lila itu Rangga merasakan getaran di dalam hatinya.Memang sebelumnya Rangga ingin mengejar cinta Lila, tetapi dengan kehamilan dan rujuknya Lila dengan Sean, Rangga sadar jika dia harus mundur dan mengikhlaskan Lila untuk bahagia bersama bosnya tersebut. Mengabaikan rasa lelah setelah seharian bekerja, Rangga menyusuri jalanan kota dengan fokus pada alamat yang dia dapatkan. Lampu-lampu jalanan yang temaram menemaninya menuju sebuah tempat kost tiga lantai yang sederhana.Mobil Rangga berhenti di depan bangunan dengan cat yang mulai memudar. Rangga memandangi sekeliling, memastikan tempat itu cuku
Sean mengira segalanya akan berjalan mulus, tetapi pesan dari Rangga memutarbalikkan segalanya. Rina dan Nadya, dua sahabat yang selama ini menjadi tempat Lila berbagi cerita, ternyata sudah mengundurkan diri dari Mahendra Securitas.Sean menatap layar ponselnya lama, mengulang membaca pesan dari Rangga seolah-olah ada sesuatu yang terlewatkan.“Ada apa?” tanya Lila saat melihat perubahan drastis ekspresi wajah suaminya.Sean tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatian istrinya. Ia mencondongkan tubuh dan mengecup pipi Lila yang chubby dengan lembut."Sebentar, ya," ucap Sean lalu bangkit dari sofa.Sean mencoba menjaga sikap agar Lila tidak menyadari kegelisahannya. Dengan langkah pelan, dia menjauh ke sudut ruangan yang lebih tenang dan segera menelepon Rangga.Ponselnya segera ditempelkan ke telinga, panggilan cepat dilayangkan kepada Rangga. "Halo, Rangga," ucapnya dengan nada rendah namun tegas. "Kamu yakin mereka sudah resign?""Ya, Mas. Katanya tidak lama setelah Mbak Lila r
Sean memasuki apartemen dengan langkah ringan, tangannya membawa kotak tripod yang masih tersegel rapi. Hari ini terasa lebih tenang baginya. Setelah hari yang melelahkan di kantor, dia lega karena telah memenuhi salah satu kebutuhan kecil Lila.Tetapi tampaknya Sean belum puas, rasanya dia ingin memukul kepalanya sendiri. Seharusnya tadi dia meminta salah satu stafnya untuk mengemas tripod itu lebih menarik. Dan mungkin dia bisa membeli bunga agar terlihat lebih romantis. Sean menggelengkan kepala, seolah bertanya pada dirinya sendiri, mengapa hal-hal manis seperti itu tidak pernah terlintas di kepalanya?Sesampainya di ruang keluarga, Sean mendapati istrinya sedang duduk di sofa dengan laptop di hadapannya. Wajah Lila tampak serius, jemari lentiknya sibuk mengetik, mungkin tengah menyelesaikan naskah untuk konten berikutnya.Saking fokusnya, membuat Lila tidak menyadari kehadiran Sean. Hingga sampai tubuh gagah itu berdiri tegap di hadapannya."Hei," sapa Sean dengan lembut, mencoba
Sean duduk di ruang kerjanya, layar laptopnya menampilkan video terbaru yang diunggah Lila. Kali ini, istrinya memaparkan tentang pentingnya dana darurat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan nada bicara yang tenang namun tegas, Lila menjelaskan konsep tersebut menggunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami.“Dana darurat itu seperti payung di tengah hujan,” ucap Lila dalam video, wajahnya terlihat bersinar dengan senyum yang membuat pesan itu terasa lebih meyakinkan. “Kita tidak pernah tahu kapan badai akan datang, tapi dengan dana darurat, kita punya perlindungan.”Sean tidak hanya fokus pada kata-katanya. Ia memperhatikan setiap detail. Gaya bicara Lila sangat natural, seolah-olah dia sedang berbicara langsung dengan orang-orang yang menonton. Ada sesuatu dalam caranya berkomunikasi yang membuat Sean tidak bisa mengalihkan perhatian.Namun, bukan hanya itu yang membuatnya terpaku. Sean juga memperhatikan latar belakang video. Sean tahu itu adalah apartemen yang beberapa waktu Lalu
Andika melangkah masuk ke ruang perawatan dengan raut wajah tenang, tapi ada bayangan cemas yang tidak bisa disembunyikan. Pandangannya langsung tertuju pada Risda yang masih terlelap, wajahnya pucat tapi tampak lebih damai dibanding sebelumnya.Ryan duduk di samping tempat tidur ibunya, menggenggam tangannya erat. Saat melihat Andika, tatapan Ryan berubah dingin, penuh dengan kebencian yang tidak disembunyikan.Andika menghela napas sebelum mendekat. “Bagaimana keadaan mamamu?” tanyanya dengan suara pelan, mencoba membuka pembicaraan.Ryan hanya melirik sekilas, lalu menjawab singkat. “Seperti yang Papa lihat.” Nada suaranya datar, tanpa emosi.Andika mendekat sedikit, tapi Ryan tidak memberikan ruang untuk kehangatan apa pun. “Aku dengar dia sempat histeris lagi. Apa penyebabnya?”Ryan mengangkat bahu tanpa melepaskan pandangannya dari Risda. “Apa bedanya Papa tahu atau tidak? Ini bukan kali pertama Papa bersikap seolah peduli.” Kata-katanya tajam, hampir berbisik, berusaha meredam
Ryan berdiri di sudut ruangan, tangan mengepal di sisi tubuhnya, menyaksikan dokter dan tim medis bekerja menangani Risda yang kembali histeris. Napasnya tertahan, matanya memerah, tetapi ia berusaha keras menahan air matanya. Suara jeritan ibunya beberapa saat lalu masih terngiang, membuat hatinya perih. Setelah beberapa waktu, obat yang diberikan mulai bekerja. Risda yang tadinya terus meronta perlahan menjadi tenang. Napasnya lebih teratur, dan akhirnya dia terlelap di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya yang penuh kelelahan menyiratkan pergulatan batin yang begitu berat. Dokter menghampiri Ryan, melepas sarung tangan medisnya dengan ekspresi serius namun penuh empati. "Kondisi seperti ini memang biasa terjadi, Ryan," ujar dokter, suaranya lembut tetapi tegas. "Ibumu mengalami trauma yang cukup mendalam. Kita harus sangat berhati-hati untuk menghindarkan dia dari hal-hal yang bisa memicu ingatan masa lalunya." Ryan mengangguk pelan, meskipun hatinya terasa berat. "Apa yang harus
Andika menatap Sekar dengan tenang, meskipun jelas terlihat dia sedikit gugup. "Saya tidak mengerti maksud Anda, Bu Sekar.” Jika boleh jujur sebenarnya Andika ingin sekali memanggil sayang kepada perempuan di hadapannya. “Penurunan yang terjadi diakibat oleh banyak faktor eksternal, salah satunya adalah perekonomian global yang sedang memburuk." Sekar mendengus, wajahnya memerah oleh amarah yang tertahan. "Jangan beri saya alasan klise seperti itu! Beberapa bulan lalu, saat kondisi ekonomi global juga tidak stabil, perusahaan ini masih menunjukkan kinerja yang sangat baik. Lalu apa yang terjadi setelah itu?” Sekar menunggu jawaban, tetapi Andika hanya terdiam. Dia tahu, apa pun yang dia katakan saat ini hanya akan menjadi bahan amunisi untuk Sekar menyerangnya lebih keras. “Apakah ini rencanamu untuk memberikan perusahaan yang tidak sehat kepada Sean?" tanya Sekar lagi, setelah Andika tidak juga memberi jawaban. Andika menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Sekar, say
Seperti biasa, setiap awal bulan Sekar akan menerima laporan keuangan dari Mahendra Securitas. Perempuan paruh baya itu duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop dengan ekspresi serius. Laporan keuangan dan kinerja Mahendra Securitas terpampang jelas di depan matanya. Semua grafik menunjukkan penurunan, dari laba bersih hingga pertumbuhan investasi klien. Angka-angka itu berbicara dengan keras, seolah memberikan pesan yang jelas, ada sesuatu yang salah. Sekar mengambil laporan cetak yang berada di meja, membacanya sekali lagi dengan alis berkerut. Tidak ada alasan signifikan yang menjelaskan semua penurunan ini, setidaknya bukan yang tercantum dalam laporan. Sekar merasa ada yang disembunyikan atau mungkin sesuatu yang tidak diawasi dengan baik. Sekar menghela napas panjang, lalu mengambil ponselnya. Dengan sangat terpaksa, Sekar harus menekan nama kontak yang paling dia hindari ‘Andika’. “Saya perlu bicara dengan Anda sekarang,” ucap Sekar sesaat setelah panggilan terhubung,
Di ruang kerja yang terorganisir rapi, Rangga duduk di hadapan Sean, menyerahkan laporan proyek luar kota yang baru saja dia selesaikan. “Semua sudah selesai dengan baik, Mas. Tim lokal sangat kooperatif, dan masalah teknis sudah ditangani,” lapor Rangga dengan nada penuh percaya diri. Sean hanya mengangguk pelan sambil menatap dokumen di tangannya. “Baik. Bagus sekali,” jawabnya singkat, tanpa mengangkat pandangannya dari laporan. Rangga menunggu reaksi lebih, mungkin pujian sedikit pujian atau mungkin perintah untuk tugas yang lain. Meski raga Sean berada di ruang kerjanya, tetapi tampaknya hati dan pikirannya sedang berada di tempat yang lain Rangga memiringkan kepalanya sedikit, mencoba membaca ekspresi bosnya. Biasanya, Sean akan memberikan komentar detail atau setidaknya terlihat puas dengan hasil kerja tim. Namun, hari ini berbeda. Wajah Sean tampak lebih muram, seolah ada beban yang mengganggu pikirannya. “Ada masalah, Mas? Mbak Lila? Atau … Miranda?” cecar Rangga seolah