Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.
Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada. Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya. "Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada temannya, diikuti oleh tawa kecil. “Biasa, orang dari kalangan bawah. Dulu buat makan saja susah, apalagi buat beli baju,” celetuk perempuan yang lainnya, diikuti suara gelak tawa yang sangat merendahkan. “Jadi sekarang, dia punya baju bagus langsung buat andalan. Dipakai di semua acara.” Lila, yang mendengar bisikan-bisikan tersebut, berusaha tenang. Dia menyadari bahwa di dunia yang penuh dengan kemewahan kehidupan kalangan atas, pakaian yang dikenakan adalah sebuah prestise tersendiri. “Dengar-dengar katanya dia mandul.” Terdengar suara lain menimpali, menambah sesak rasa hati Lila. Ingin rasanya mengabaikan suara-suara sumbang itu, tetapi telinganya sudah terlanjur mendengar, dan hatinya terasa tersayat dan berdarah. “Untuk acara perusahaan sepenting ini, bisa-bisanya kamu datang terlambat.” Sekar langsung menyambut kedatangan Lila dengan cibiran. Sekar mengernyitkan dahinya menatap Lila dengan saksama, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dia mendengus kesal melihat penampilan menantunya. Lila tetap cantik, elegan dan berkelas seperti biasanya. satu kesalahannya, dia mengenakan pakaian yang sudah pernah digunakan. “Jangan seperti orang susah! Apa kau tidak punya uang untuk membeli baju baru? Apa uang yang diberikan Sean kepadamu masih kurang?” cecar Sekar dengan suara lirih tetapi penuh penekanan. Dia sadar saat ini mereka sedang menjadi sorotan. “Maaf.” Satu kata lolos dari bibir Lila. Tidak ada pembelaan, bahkan untuk menyalahkan Sean yang memberi tahu secara mendadak pun hanya akan membuat Lila semakin tersudut. “Lady Di dan Kate Middleton sebenarnya pernah menggunakan pakaian yang sama dalam acara yang berbeda, tapi mereka pinter dalam mix and match. Nggak seperti kamu, plek ketiplek jadi kaya pakai pakaian usang. Nggak malu sama IPK?” Lila hanya mendesah pasrah membiarkan ibu mertuanya mengeluarkan segala kata hinaan untuk dirinya. Membantah hanya akan memperparah masalah. Awalnya Lila menganggap salah kostum adalah sebuah kesalahan kecil, tetapi ternyata hal itu membuka lebar pintu hinaan untuk dirinya. Hingga tiba saat acara puncak, dengan gagah dan penuh kharisma Sean naik ke panggung dan memulai pidatonya. Di sana, Sean menjadi pribadi berbeda dengan yang Lila kenal setiap hari, penuh kehangatan dan ramah dengan orang-orang di sekitarnya. “Para hadirin yang terhormat, dengan bangga saya memperkenalkan brand ambassador baru kami, Miranda Manuella,” ucap Sean dengan suara penuh antusiasme. “Sebagai artis berbakat dan penuh talenta, Miranda telah menunjukkan dedikasi dan profesionalisme yang luar biasa di setiap karyanya. Kami yakin, dengan kehadiran Miranda, produk terbaru kami akan semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat luas.” Tepuk tangan riuh mengiringi langkah Miranda saat ia naik ke panggung, senyum cerahnya menyapa seluruh hadirin dengan pesona yang tak terbantahkan. Gemuruh tepuk tangan bersahutan dengan puja-puji untuk Miranda. Pesona ragawi yang sangat memukau, adalah pilihan tepat untuk mempromosikan produk baru perusahaan Wismoyojati. “Kau tahu siapa dia?” tanya Sekar di tengah keriuhan, reflek Lila mengangguk karena Miranda adalah artis yang sedang naik daun. “Miranda Manuella, dia cantik, pinter juga. Lulusan luar negeri, IPK-nya pun nggak kalah sama kamu, summa cumlaude.” Tidak henti Sekar memuji brand ambassador baru perusahaannya. “Ayahnya seorang pengusaha sukses, memiliki perusahaan tambang di beberapa daerah. Selevel dengan keluarga Wismoyojati. Lihatlah perawakannya, dia terlihat begitu subur dan sepertinya tidak mandul. Berbeda dengan anak sopir taksi. Mungkin karena kurang gizi dan stunting, jadinya mandul.” Ternyata hinaan untuk hari ini belum berakhir. Sekar masih memiliki segudang kosakata untuk menghancurkan mental Lila. Dan tampaknya berhasil, menyinggung pekerjaan orang tuanya, adalah penghinaan terdalam yang harus Lila telan. Lila sadar, dahulu dia hanya gadis miskin yang dipungut dan dilambungkan oleh Sekar, dan dia harus bersiap jika sewaktu-waktu dihempaskan begitu saja. Acara malam ini berlangsung dengan sukses. Lila ikut bahagia, melihat rasa bangga dan kelegaan di wajah Sean saat para tamu undangan tampak puas dan antusias dengan produk barunya. Satu per satu tamu mulai pergi termasuk Sekar, tetapi Sean masih berdiri di panggung, berbincang dengan beberapa kolega dan Miranda. Niat hati menghampiri Sean untuk mengajak pulang bersama, tetapi Lila justru disuguhi pemandangan yang menyesakkan dada. Lila yakin ini bukan lagi bagian dari profesionalitas, saat Sean dan Miranda berbincang sambil bercanda dengan romantisnya. Lengan Sean melingkar di pinggang ramping Miranda, saat berbicara dia mendekat dan menempelkan bibirnya di telinga Miranda membisikkan sesuatu. Miranda tertawa lebar sambil mendongakkan kepala, hingga bibir Sean menyentuh leher jenjang artis cantik itu. “Private party?” Suara Miranda merdu mendayu, terdengar manja dan menggoda. “Sepertinya sangat menyenangkan.” Sean hanya mengangguk sambil tersenyum tipis kepada Miranda. Marah? Cemburu? Lila merasa tidak berhak saat menyaksikan kedekatan Sean dan Miranda yang begitu intim. Seakan-akan mereka berdua adalah pasangan yang sesungguhnya, bukan Lila dan Sean. Sean tertawa, suaranya yang berat terdengar akrab dan nyaman. Sebagai seorang istri, Lila tidak pernah merasakan keakraban seperti itu. Sean selalu serius, dingin, dan menjaga jarak. Tetapi bersama Miranda, Sean berubah menjadi sosok yang hangat dan begitu romantis. Lila menghentikan langkahnya. Napasnya terhela panjang dan terasa sesak. Hingga memunculkan praduga, mungkin ini penyebab Sean selalu bersikap dingin dan tidak ingin memiliki anak darinya. Sean sudah memiliki cinta yang lain, dan dia tidak ingin mengkhianati hatinya. Dengan tatap mata nanar, Lila menyaksikan Sean dan Miranda yang semakin menjauh. Pintu lift terbuka, lalu keduanya memasuki dengan langkah seirama dan tangan saling bertautan. Sean dan Miranda membalikkan tubuh hingga menatap pintu lift yang perlahan mulai menutup. Tanpa sengaja tatap mata Lila dan Sean saling beradu. Tidak ada rasa bersalah, Sean justru semakin mengencangkan lengannya yang membelit erat pinggang Miranda. Sebelum pintu tertutup sempurna, dengan senyum lebar Miranda bersandar manja di bahu Sean. Lila terpaku di posisinya berdiri. Setelah berjuang tetap tegar dengan segala hinaan dari Sekar, Lila menutup hari ini dengan tetesan air mata. Pemandangan yang menghancurkan hatinya, kehangatan yang ditunjukkan Sean kepada Miranda adalah sesuatu yang sangat dia rindukan. Namun, Sean memberikan kepada perempuan lain. “Mungkin sudah waktunya untuk mengakhiri semua,” ucap Lila pada dirinya sendiri.Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P