Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.
Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada. Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya. "Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada temannya, diikuti oleh tawa kecil. “Biasa, orang dari kalangan bawah. Dulu buat makan saja susah, apalagi buat beli baju,” celetuk perempuan yang lainnya, diikuti suara gelak tawa yang sangat merendahkan. “Jadi sekarang, dia punya baju bagus langsung buat andalan. Dipakai di semua acara.” Lila, yang mendengar bisikan-bisikan tersebut, berusaha tenang. Dia menyadari bahwa di dunia yang penuh dengan kemewahan kehidupan kalangan atas, pakaian yang dikenakan adalah sebuah prestise tersendiri. “Dengar-dengar katanya dia mandul.” Terdengar suara lain menimpali, menambah sesak rasa hati Lila. Ingin rasanya mengabaikan suara-suara sumbang itu, tetapi telinganya sudah terlanjur mendengar, dan hatinya terasa tersayat dan berdarah. “Untuk acara perusahaan sepenting ini, bisa-bisanya kamu datang terlambat.” Sekar langsung menyambut kedatangan Lila dengan cibiran. Sekar mengernyitkan dahinya menatap Lila dengan saksama, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dia mendengus kesal melihat penampilan menantunya. Lila tetap cantik, elegan dan berkelas seperti biasanya. satu kesalahannya, dia mengenakan pakaian yang sudah pernah digunakan. “Jangan seperti orang susah! Apa kau tidak punya uang untuk membeli baju baru? Apa uang yang diberikan Sean kepadamu masih kurang?” cecar Sekar dengan suara lirih tetapi penuh penekanan. Dia sadar saat ini mereka sedang menjadi sorotan. “Maaf.” Satu kata lolos dari bibir Lila. Tidak ada pembelaan, bahkan untuk menyalahkan Sean yang memberi tahu secara mendadak pun hanya akan membuat Lila semakin tersudut. “Lady Di dan Kate Middleton sebenarnya pernah menggunakan pakaian yang sama dalam acara yang berbeda, tapi mereka pinter dalam mix and match. Nggak seperti kamu, plek ketiplek jadi kaya pakai pakaian usang. Nggak malu sama IPK?” Lila hanya mendesah pasrah membiarkan ibu mertuanya mengeluarkan segala kata hinaan untuk dirinya. Membantah hanya akan memperparah masalah. Awalnya Lila menganggap salah kostum adalah sebuah kesalahan kecil, tetapi ternyata hal itu membuka lebar pintu hinaan untuk dirinya. Hingga tiba saat acara puncak, dengan gagah dan penuh kharisma Sean naik ke panggung dan memulai pidatonya. Di sana, Sean menjadi pribadi berbeda dengan yang Lila kenal setiap hari, penuh kehangatan dan ramah dengan orang-orang di sekitarnya. “Para hadirin yang terhormat, dengan bangga saya memperkenalkan brand ambassador baru kami, Miranda Manuella,” ucap Sean dengan suara penuh antusiasme. “Sebagai artis berbakat dan penuh talenta, Miranda telah menunjukkan dedikasi dan profesionalisme yang luar biasa di setiap karyanya. Kami yakin, dengan kehadiran Miranda, produk terbaru kami akan semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat luas.” Tepuk tangan riuh mengiringi langkah Miranda saat ia naik ke panggung, senyum cerahnya menyapa seluruh hadirin dengan pesona yang tak terbantahkan. Gemuruh tepuk tangan bersahutan dengan puja-puji untuk Miranda. Pesona ragawi yang sangat memukau, adalah pilihan tepat untuk mempromosikan produk baru perusahaan Wismoyojati. “Kau tahu siapa dia?” tanya Sekar di tengah keriuhan, reflek Lila mengangguk karena Miranda adalah artis yang sedang naik daun. “Miranda Manuella, dia cantik, pinter juga. Lulusan luar negeri, IPK-nya pun nggak kalah sama kamu, summa cumlaude.” Tidak henti Sekar memuji brand ambassador baru perusahaannya. “Ayahnya seorang pengusaha sukses, memiliki perusahaan tambang di beberapa daerah. Selevel dengan keluarga Wismoyojati. Lihatlah perawakannya, dia terlihat begitu subur dan sepertinya tidak mandul. Berbeda dengan anak sopir taksi. Mungkin karena kurang gizi dan stunting, jadinya mandul.” Ternyata hinaan untuk hari ini belum berakhir. Sekar masih memiliki segudang kosakata untuk menghancurkan mental Lila. Dan tampaknya berhasil, menyinggung pekerjaan orang tuanya, adalah penghinaan terdalam yang harus Lila telan. Lila sadar, dahulu dia hanya gadis miskin yang dipungut dan dilambungkan oleh Sekar, dan dia harus bersiap jika sewaktu-waktu dihempaskan begitu saja. Acara malam ini berlangsung dengan sukses. Lila ikut bahagia, melihat rasa bangga dan kelegaan di wajah Sean saat para tamu undangan tampak puas dan antusias dengan produk barunya. Satu per satu tamu mulai pergi termasuk Sekar, tetapi Sean masih berdiri di panggung, berbincang dengan beberapa kolega dan Miranda. Niat hati menghampiri Sean untuk mengajak pulang bersama, tetapi Lila justru disuguhi pemandangan yang menyesakkan dada. Lila yakin ini bukan lagi bagian dari profesionalitas, saat Sean dan Miranda berbincang sambil bercanda dengan romantisnya. Lengan Sean melingkar di pinggang ramping Miranda, saat berbicara dia mendekat dan menempelkan bibirnya di telinga Miranda membisikkan sesuatu. Miranda tertawa lebar sambil mendongakkan kepala, hingga bibir Sean menyentuh leher jenjang artis cantik itu. “Private party?” Suara Miranda merdu mendayu, terdengar manja dan menggoda. “Sepertinya sangat menyenangkan.” Sean hanya mengangguk sambil tersenyum tipis kepada Miranda. Marah? Cemburu? Lila merasa tidak berhak saat menyaksikan kedekatan Sean dan Miranda yang begitu intim. Seakan-akan mereka berdua adalah pasangan yang sesungguhnya, bukan Lila dan Sean. Sean tertawa, suaranya yang berat terdengar akrab dan nyaman. Sebagai seorang istri, Lila tidak pernah merasakan keakraban seperti itu. Sean selalu serius, dingin, dan menjaga jarak. Tetapi bersama Miranda, Sean berubah menjadi sosok yang hangat dan begitu romantis. Lila menghentikan langkahnya. Napasnya terhela panjang dan terasa sesak. Hingga memunculkan praduga, mungkin ini penyebab Sean selalu bersikap dingin dan tidak ingin memiliki anak darinya. Sean sudah memiliki cinta yang lain, dan dia tidak ingin mengkhianati hatinya. Dengan tatap mata nanar, Lila menyaksikan Sean dan Miranda yang semakin menjauh. Pintu lift terbuka, lalu keduanya memasuki dengan langkah seirama dan tangan saling bertautan. Sean dan Miranda membalikkan tubuh hingga menatap pintu lift yang perlahan mulai menutup. Tanpa sengaja tatap mata Lila dan Sean saling beradu. Tidak ada rasa bersalah, Sean justru semakin mengencangkan lengannya yang membelit erat pinggang Miranda. Sebelum pintu tertutup sempurna, dengan senyum lebar Miranda bersandar manja di bahu Sean. Lila terpaku di posisinya berdiri. Setelah berjuang tetap tegar dengan segala hinaan dari Sekar, Lila menutup hari ini dengan tetesan air mata. Pemandangan yang menghancurkan hatinya, kehangatan yang ditunjukkan Sean kepada Miranda adalah sesuatu yang sangat dia rindukan. Namun, Sean memberikan kepada perempuan lain. “Mungkin sudah waktunya untuk mengakhiri semua,” ucap Lila pada dirinya sendiri.Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Sean membuka pintu kamar hotel dengan santai, bathrobe putih membalut tubuhnya, rambutnya masih sedikit basah setelah mandi. Dengan senyum hangat, dia menerima trolley yang berisi makan siang mereka dari petugas room service."Terima kasih," ucap Sean sebelum menutup pintu kembali.Lila masih berbaring di atas ranjang, matanya terpejam sejenak, menikmati kenyamanan kasur empuk setelah pergulatan panas yang cukup melelahkan. Kesibukan membuat mereka harus pintar-pintar mencari waktu untuk bisa menjaga keharmonisan rumah tangga.Saat Sean menghampiri dengan meja makan yang telah disiapkan, Lila perlahan mengubah posisinya menjadi duduk. Ada rasa kecewa saat melihat istrinya mulai mengenakan jubah tidur, karena sebenarnya Sean ingin makan sambil menatap tubuh indah istrinya.Sean harus menekan ego dan imajinasi liarnya tersebut, karena baginya kenyamanan Lila lebih penting."Ayo makan," kata Sean sambil menuangkan segelas air putih untuk Lila. Setelah mendapat pelayanan yang sangat memua
Lila berpikir cepat. Dia tidak ingin membuat Sean menunggu lama di hotel, tetapi juga tahu jika menolak permintaan Delisa begitu saja. Adiknya itu pasti akan mengadu pada Ibu mereka, jika keinginannya tidak terpenuhi. Ujung-ujungnya, Lila akan menerima ceramah panjang lebar yang menyakitkan hati dari sang ibu."Sebagai mbak, kamu itu harusnya lebih sayang sama adikmu!" Inayah pasti akan berkata begitu. "Dulu kita sama-sama hidup susah, setelah hidup enak kenapa sekarang lupa pada adikmu?" "Delisa itu adikmu, Lila. Kalau bukan kamu yang memperhatikannya, siapa lagi?" Kalimat-kalimat yang sebenarnya menyakitkan bagi Lila, seolah-olah selama ini dia tidak pernah peduli pada adiknya. Seolah-olah semua yang sudah dia lakukan tidak ada artinya.Lila menarik napas panjang, menahan kesal yang mulai menguasai pikirannya. Dia tidak ingin berdebat dengan Inayah lagi. Lila berusaha berpikir cepat agar bisa menemukan solusi lain.Tanpa ragu, Lila mengeluarkan ponselnya dan segera memesan makana
Ryan menunduk, suaranya nyaris tenggelam dalam riuh rendah restoran. "Ibuku seorang penderita skizofrenia."Rina terkejut. Matanya membulat, menatap Ryan yang kini tampak begitu rapuh di hadapannya. Ia tidak menyangka, di balik sikapnya yang selalu tenang dan terkendali, Ryan menyimpan luka sedalam ini.Rina bertanya dalam hati, apakah ini yang membuatnya selalu terlihat murung?Ryan menghela napas, menatap ke arah lain. "Aku sadar, menikah denganku tidak akan mudah, Rina. Aku tidak bisa menjanjikan hidup yang sempurna. Aku tidak bisa menjanjikan segalanya akan baik-baik saja. Tapi ..." Ia menatap Rina, dalam dan tulus. "Aku bisa menjanjikan ketulusan."Rina masih diam, hatinya berkecamuk. Ia tidak pernah membayangkan beban yang harus ditanggung Ryan. Ia tahu, memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental bukanlah sesuatu yang mudah. Ada tanggung jawab, ada pengorbanan, ada kesedihan yang mungkin tidak bisa dimengerti orang lain.Tanpa sadar, Rina meraih tangan Ryan. Ia menggenggam
Ryan menatap bayangannya di cermin, menyisir rambutnya dengan perlahan. Wajahnya tampak tenang, tapi pikirannya tidak. Rina masih memenuhi benaknya.Sejak perpisahan mereka, ia berusaha mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tetapi bayangan gadis itu selalu muncul, terutama di saat-saat seperti ini, saat ia sendiri, berdiri di depan cermin, menghadapi dirinya sendiri.Dengan helaan napas panjang, Ryan meraih ponselnya dari meja. Jemarinya ragu sejenak sebelum akhirnya mengetik pesan."Rina, bisakah kita bertemu? Mungkin untuk yang terakhir kali."Ia menatap layar, mempertimbangkan apakah ini keputusan yang tepat. Namun sebelum bisa berubah pikiran, ia menekan tombol kirim.Detik-detik berlalu terasa lambat. Ia menunggu dalam diam, berharap, tapi juga takut akan jawaban yang mungkin ia terima. Lalu, ponselnya bergetar."Baiklah, di mana?"Ryan merasakan dadanya sedikit lega, meski di baliknya ada kegelisahan. Ia segera mengetik balasan."Bagaimana kalau di Restor
Setelah makan malam, mereka duduk santai di ruang keluarga. Sekar duduk di sofa dengan nyaman, sementara Lila menyandarkan kepalanya di bahu Sean yang duduk di sampingnya. Brilian sudah tertidur pulas di kamarnya, membuat malam terasa lebih tenang.Sekar menyesap teh hangatnya, lalu melirik ke arah Sean. “Sean, apartemen kamu di Regal Hight itu sampai sekarang masih kosong, ya?” tanya Sekar santai.Sean menoleh ke ibunya, lalu mengangkat bahu. “Iya, Ma. Kenapa?”Sekar menatapnya dengan tajam. “Apa rencanamu dengan apartemen itu?”Sean menghela napas, melirik sekilas ke arah Lila yang tampak mendengarkan obrolan mereka dengan tenang. “Belum ada rencana, Ma,” jawab Sean akhirnya.Sekar langsung bersuara dengan nada tegas, “Kalau begitu lebih baik disewakan saja. Daripada dibiarkan kosong, hanya menghabiskan biaya perawatan.”Sean kembali melirik Lila, kali ini lebih lama. Sebenarnya, dia punya rencana sendiri untuk apartemen itu. Sesekali, dia ingin mengajak istrinya ke sana, menghabisk
Setelah kelahiran Brilian, ada rasa kurang nyaman saat mereka menikmati kebersamaan. Beberapa kali Brilian terbangun di saat yang tidak tepat, hingga membuat Sean dan Lila terpaksa menyelesaikan dengan cepat, bahkan pernah akhirnya tidak dilanjutkan.Tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Sean dan Lila menikmati kesempatan yang diberikan oleh Sekar. Terasa seperti bulan madu saat menikmati kebersamaan penuh gairah tanpa ada gangguan.Tidak harus terburu-buru untuk saling memberikan kenikmatan. Bahkan Sean tidak perlu membekap mulut Lila agar suara desah dan jeritannya membangun Brilian.Setelah berburu kenikmatan bersama dalam berbagai gaya diiringi dengan erangan dan desahan, akhirnya Sean dan Lila bisa mencapai puncak bersama. Sean melabuhkan kecupan lembut di bibir Lila sebelum menjatuhkan tubuhnya tepat di samping Lila dan memeluknya dengan erat. Sementara itu Lila berusaha menormalkan kembali deru napasnya yang tidak beraturan.“Apa motif mama melakukan ini semua?” Lirih suara
Sean mendekati mamanya dengan hati-hati. Ia tahu Sekar tidak suka ditentang, tetapi ia juga tidak bisa diam melihat istrinya terluka.Dengan nada lembut berharap tidak menyinggung perasaan sang mama, Sean melontarkan pertanyaan, “Ma, kenapa Lila menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Sekar menoleh ke arah Sean, dia terlihat santai sambil tetap bermain dengan Brilian.“Ah, cuma masalah kecil, Sean. Aku hanya bilang ingin tidur dengan Brilian malam ini. Sepertinya Lila tidak terima.”Sean menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya. “Ma, aku tahu Mama sangat menyayangi Brili. Tapi Lila sudah seharian di kantor. Dia hanya ingin memeluk anaknya malam ini. Tidak bisakah Mama memberikan waktu untuk Lila dan Brili bersama? Besok, Mama bisa bermain sepuasnya dengan Brili saat kami bekerja.”Sekar menatap tajam ke arah Sean, matanya seolah ingin menembus akal sehat putra semata wayangnya.“Mama tidak ingin mengajakmu hitung-hitungan. Mama tidak pernah meminta imbalan untuk merawat Brili,
Inayah memijit pelipisnya dengan kesal setelah mendengar keluh kesah Delisa melalui telepon. Kata demi kata yang terlontar dari bibir putri bungsunya masih terngiang-ngiang di telinganya."Bu, Mbak Lila sekarang sombong. Dia nggak peduli lagi sama aku setelah jadi bos. Apa dia lupa kalau aku adiknya?" Nada bicara Delisa terdengar penuh keluhan, membuat hati Inayah ingin segera bertindak.Yang ada dalam benak Inayah, saudara itu harus selalu rukun dan saling menolong. Tidak ada salahnya Lila yang sudah memiliki kehidupan yang baik menolong adiknya yang sedang merintis karir.Tanpa berpikir panjang, Inayah meraih ponselnya dan bersiap menghubungi Lila. Namun, sebelum ia sempat menekan nomor, Waluya menghentikannya."Tunggu dulu, Bu. Jangan bertindak gegabah. Masalah Lila dan Lisa kali ini tentang pekerjaan, bukan urusan keluarga," ucap Waluya dengan tenang."Tapi, Pak, masa Lila begitu sama Lisa? Mereka kan saudara! Lila harusnya lebih perhatian sama adiknya," sahut Inayah dengan nada t
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut