“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?”
Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki keturunan?” tanya Sekar dengan tatap mata yang tajam. “Keluarga ini butuh penerus, bukan hanya untuk meneruskan trah Wismoyojati, tetapi juga untuk melanjutkan kepemimpinan di perusahaan. Jika kamu tidak bisa memberi keturunan maka pilihanmu hanya dua, cerai atau poligami.” Berulang kali Lila menghela napas dalam-dalam berusaha untuk menenangkan hatinya, menata hatinya yang hancur dan berdarah-darah. Lila hanya bisa diam tidak tahu harus memberi tanggapan apa lagi terhadap ucapan ibu mertuanya. Keheningan merambat membuat suasana terasa sangat mencekam. Hingga suara langkah kaki mengalihkan perhatian pasangan mertua dan menantu tersebut. “Maaf, saya terlambat,” ucap Sean sambil menghampiri Lila, kecupan singkat dia labuhkan ke kening istrinya. “Meetingnya baru selesai.” Sean mengambil posisi duduk tepat di samping Lila, menunjukkan keharmonisan rumah tangganya di hadapan Sekar. “Kalian berdua sibuk kerja, terus kapan mau beri mama cucu?” tanya Sekar dengan nada kesal. Bukan hanya karena banyak temannya yang sudah memiliki cucu, tetapi ada kebutuhan yang mendesak yang berhubungan dengan keberlanjutan perusahaan keluarga Wismoyojati. “Lagi on process, Ma,” sahut Sean sambil mengalihkan pandangan ke arah Lila yang menundukkan kepala, lalu dia meraih tangan Lila dan menggenggamnya dengan erat. Bukan untuk berbagi beban, tetapi untuk menyempurnakan sandiwara. “Prosas-proses, dari dulu proses terus nggak jadi-jadi. Kalau memang ladangnya tidak subur, mungkin bisa mencoba cari ladang lain.” Sean tersenyum tipis mendengar kalimat kiasan dari sang mama, sementara Lila tetap diam, merasa tidak berguna. Sekar bangkit dari duduknya lalu. “Sudah waktunya makan siang,” ucap Sekar sambil melangkah menuju ke ruang makan. Lila dan Sean mengikuti di belakang. Mereka menikmati makan siang dalam suasana yang hening. Lila tampak tidak berselera dengan hidangan di depan matanya. Ucapan Sekar sampai saat ini masih terngiang di benaknya, menyita konsentrasi dan fokus berpikirnya. Setelah selesai makan siang bersama, Lila dan Sean harus kembali ke kantor masing-masing. Kini keduanya sudah berada di dalam mobil Sean, mengisi waktu dengan obrolan ringan. “Tadi ngobrol apa saja sama mama?” tanya Sean dengan nada dingin dan datar. “Biasa,” jawab singkat Lila, terlihat enggan untuk membahasnya. “Masalah cucu lagi?” Sikap diam Lila diartikan ‘ya’ oleh Sean. “Kamu ngomong apa?” tanya Sean Lagi. Lila menggelengkan kepala. “Tidak ada, aku hanya mendengarkan saja.” Sean melirik Lila dan berkata dengan tenang. “Dulu mama memiilih kamu karena kepintaranmu.” Lila mengalihkan pandangan ke samping, melihat bahu jalanan sambil menyeka air matanya. Pujian Sean justru terdengar layaknya hinaan. Lila sadar, keberadaannya di keluarga Wismoyojati karena Sekar yang menginginkan dirinya sebagai menantu, bukan Sean yang ingin memperistri dirinya. Sampai dua tahun usia pernikahan, hubungan mereka tetap kaku tidak ada kemajuan berarti, terlihat hangat dan romantis hanya di depan Sekar dan publik saja. Terdengar suara dering ponsel Sean. Mata Lila sempat menangkap nama Bella tertulis di layar ponsel Sean. Lila tahu, Bella adalah sekretaris Sean, sosok wanita yang lebih banyak membersamai Sean daripada dia, istrinya. “OK, aku jemput kamu,” ucap Sean saat berbicara melalui ponselnya, tanpa mempedulikan perasaan Lila. Sean segera meletakkan ponsel ke tempat semula. Pandangannya langsung teralihkan ke Lila yang duduk di sampingnya. “Setelah ini aku ada meeting dengan klien, jadi tidak bisa mengantarmu kembali ke kantor.” Lila hanya mengangguk lemah, dia hanya bisa menerima semua perbuatan Sean. “Aku bisa pesan taksi.” Tidak ada gunanya bersikap manja di hadapan Sean, karena tidak akan berhasil menarik perhatiannya sama sekali. Seputus asa itu Lila menghadapi Sean dan menjalani pernikahan ini. Sean menghentikan mobilnya di depan sebuah restaurant mewah. Tampak di sana Bella sudah menunggu, sekretaris cantik dan seksi yang selalu menemani suaminya. Tanpa banyak bicara dan pamitan, Lila segera keluar dari mobilnya. “Selamat siang, Bu Lila,” sapa Bella dengan ramah. “Siang,” balas Lila dengan seulas senyum di bibirnya. Bella pun segera memasuki mobil mewah milik Sean, dan duduk di posisi yang sebelumnya diduduki oleh Lila, di samping Sean. Cemburu, marah? Lila hanya bisa menebalkan hatinya, sudah biasa dia merasakan pengabaian dari Sean. Rasa putus asa mulai menyergap dalam hati, mungkin mengakhiri pernikahan ini adalah jalan terbaik untuk masa depannya, untuk kebahagiaannya. *** Malam merangkak semakin larut. Sebelum tidur Lila memeriksa beberapa email yang masuk, sebagai persiapan esok hari. Suara pintu kamar yang ketuk mengalihkan perhatian Lila. Sudah pasti itu Sean, karena mereka tinggal berdua di apartemen, terpisah dari Sekar. Lila terkejut melihat Sean berdiri di depan pintu dengan penampilan yang berantakan dan sorot mata yang tajam. Tampaknya dia baru saja menjalani hari yang berat. “Aku pusing.” Lila meneguk ludah dengan kasar, sudah tahu dan hafal apa yang diinginkan suaminya jika sudah berbicara seperti itu. Lila membuka pintu lebih lebar, memberi jalan kepada Sean untuk memasuki kamarnya. Setelah Sean sudah masuk, dengan perlahan Lila menutup pintu. Dia ingin menenangkan dirinya barang sejenak, sebelum menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Sean membuang jasnya sembarang, lalu pandangan kembali tertuju kepada Lila. Tidak sabar, Sean segera menghampiri istrinya. “Lamban!” Sean mendorong pintu dengan kedua lengan yang mengungkung tubuh Lila. Semilir hangat hembusan napas menyapa leher Lila, membuatnya mendesah gelisah diambang kepasrahan. Suara yang tidak sengaja lolos dari bibir Lila layaknya bensin yang membakar gairah Sean. Sean membalik tubuh Lila. Kini mereka dalam posisi saling berhadapan, hingga membuat Sean dengan mudah meraup rakus bibir ranum Lila. Sungguh tidak sabar, Sean segera mengangkat tubuh Lila menuju ke peraduan mereka. Seperti biasa, Sean bukanlah pria yang egois di atas ranjang, dia akan memberi kesempatan kepada Lila untuk mencari kepuasannya sendiri, dengan bergerak liar di atas tubuhnya. Hingga saat Sean merasa harus kembali mengambil alih kendali, dia mengubah posisi membuat Lila berada dibawahnya. Suara desah dan erangan bersahutan, peluh pun bercucuran. Perburuan kenikmatan itu telah hampir mencapai puncaknya. Kembali Lila harus menelan kekecewaan. Saat pekik kenikmatan itu tidak tertahan lagi, ternyata harus dibarengi dengan lelehan air mata, kala Lila merasakan cairan kental menumbuk dagunya. Jika pada saat awal pernikahan, Lila bisa menerima sikap Sean sebagai upaya untuk menunda memiliki momongan, tentu tidak dengan sekarang. Setelah dua tahun pernikahan, Sean tetap sama. Setiap kali melakukan hubungan suami istri, Sean selalu menggunakan pengaman. Jika dia sampai lupa, maka Sean akan membuangnya di luar seperti yang baru saja dia lakukan. Lila merasa betapa tidak berharga tubuhnya. Sean tidak pernah memperlakukan dirinya selayaknya seorang istri, tetapi hanya sebagai pelampiasan hasrat biologisnya saja.Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob
“Maaf jika tidak sempurna, tapi aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian,” ucap Sean sambil meraih tangan Lila. Suaranya terdengar dalam, serak, penuh penyesalan.Tetapi sepertinya kata-kata itu tidak memadamkan amarah yang menyala di mata Lila.“Aku tidak menuntut kesempurnaan, karena aku tahu kau tidak mungkin bisa memberikannya.” Lila menjeda kalimatnya menatap tajam ke arah mata Sean. “Tapi kau juga harus mengakui jika masalah yang menimpaku akhir-akhir ini justru ada karena kehadiranmu di hidupku.”Sean terkesiap. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Lila terasa seperti tamparan bolak-balik di pipinya.“Bukan seperti itu.” Sean menyanggah ucapan Lila. Dia merasa tidak terima dengan tuduhan tersebut. Hingga suaranya meninggi tanpa sadari. “Aku akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tapi masalah Ryan … itu tidak sesederhana yang kau pikirkan dan sangat rumit.”Nama Ryan. Hanya mendengarnya saja sudah cukup untuk membuat dada Sean terasa sesak. Ia mengepalkan t
“Apa yang terjadi pada Rina, Nad?” tanya Lila untuk menuntaskan rasa penasarannya. Perempuan hamil itu tidak ingin hatinya terus bertanya-tanya.Nadya terdengar ragu, tetapi akhirnya berbicara dengan cepat, seakan takut kehilangan keberanian. “Saat ini Rina ditahan polisi, Lil. Mereka menuduhnya Rina sebagai pelaku insiden jus lemon. Aku tahu kamu marah, tapi aku mohon dengarkan aku dulu.”Lila merasa penjelasn dari Nadya bukan hanya untuk dirinya saja, mengetahui suaminya masih berada di dekatnya dengan sengaja Lila mengeraskan suara ponselnya, agar Sean juga bisa mendengarkan percakapan tersebut, sehingga dia tidak perlu untuk mengulang penjelasan dari Nadya lagi.Dengan terpaksa turut mendengarkan ucapan Nadya. Dia pun segera duduk di samping Lila dan membawakan meraih ponsel untuk diletakkan di nakas. Baginya terlalu berbahaya untuk Lila terus memegang ponsel yang masih dalam keadaan diisi dayanya.Sementara itu, Nadya melanjutkan kalimatnya dengan suara yang bergetar. “Lila, aku
Ratusan komentar memenuhi unggahan terakhir Lila. Konten yang seharusnya mengedukasi Masyarakat pada saat perekonomian tidak pasti, justru menjadi ladang hujatan untuk dirinya. Mata Lila terpaku pada kata-kata penuh amarah dan kebencian.‘Dasar pelakor’‘Kau menghancurkan hidup Miranda’‘Tampang B aja rebut kekasih orang, paling modal selangkangan’Cacian itu datang seperti badai, membanjiri setiap kolom komentar dan pesan langsung. Lila menelan ludah, tangannya gemetar saat ia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.Ia membuka salah satu unggahan akun gosip yang viral. Di sana terpampang foto dirinya dan Sean, disertai narasi yang menyebutkan bahwa Sean adalah tunangan Miranda sebelum menikahi Lila. Komentar-komentar pedas dari netizen menyudutkannya tanpa ampun.Lila merasa dadanya sesak. Air matanya mulai menggenang, jatuh tanpa bisa ia tahan."Ini tidak benar," gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Lila menggulir layar, berharap menemukan sesuatu yang bi