“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.
“Berapa yang kau minta?” Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi? “Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.” “Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.” Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas kemampuannya untuk bertahan. Ternyata Sean tidak berhenti di situ. "Dan kamu pikir kamu bisa hidup sendiri, tanpa uang dariku?" Sean melangkah mendekat, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Siapa yang akan mempekerjakanmu setelah perceraian ini? Semua orang tahu kau adalah istriku. Jika kita bercerai, aku pastikan tak ada perusahaan di kota ini yang mau mempekerjakanmu." Lila terdiam. Ancaman Sean begitu nyata. Dengan pengaruh dan koneksi yang dimilikinya, Sean bisa dengan mudah menghancurkan kariernya bahkan saat dia belum memulainya. “Apa yang membuatmu ingin mempertahankan pernikahan kita, Sean?" tanya Lila dengan suara bergetar. "Kamu tak pernah mencintaiku. Kamu tak pernah peduli padaku." “Jangan terlalu banyak bertanya apalagi menuntut, jadilah istri penurut dan patuh seperti biasanya. Aku akan mencukupkan semua kebutuhanmu, aku akan melimpahkan nafkah untukmu.” Dengan sombong dan begitu arigan Sean terus menekan Lila. “Kamu tidak akan mampu bertahan tanpa aku. Kamu tidak akan punya pekerjaan, tidak punya uang, dan tidak punya tempat tinggal. Lalu siapa yang akan membiayai pengobatan ayahmu?” sambung Sean menjatuhkan mental Lila, agar tetap bertahan dan tidak menuntut perceraian lagi. Ancaman Sean membuat Lila semakin merasa tersudut. Namun, tampaknya Lila belum akan menyerah. “Tolong pikirkan perasaan mama! Mama sangat berharap pada pernikahan kita. Tapi karena aku tidak bisa memberikan ….” “Jadi ini masalah anak?” sergah Sean yang mulai kehabisan kesabaran. “Jawab saja kiita sedang proses, toh itu bukan kebohongan.” “Tapi caramu menyentuhkan tidak akan membuat kita memiliki anak.” Entah keberania dari mana, Lila meninggikan suara di hadapan Sean. “Aku ini istrimu, bukan sekedar pemuas nafsumu.” “Cukup!” teriak Sean sambil memukul dinding di belakang Lila. Deru napas yang memburu dan suara usak tangis Lila memenuhi ruangan. Tubuh Lila bergetar ketakutan dengan sikap kasar yang ditunjukkan Sean. “Satu hal yang harus kamu ingat? Dunia tidak seindah yang kamu bayangkan, Lila. Di luar sana akan menjadi neraka yang membakarmu hidup-hidup, jika kamu tetap melanjutkan perceraian ini,” ancam Sean sesaat sebelum meninggalkan Lila dalam tangisnya. *** Lila masih tidak bisa memahami jalan pikiran Sean. Selama ini suaminya tidak pernah menunjukkan sikap peduli atau pun perasaan cintanya. Namun, saat dirinya mengajak bercerai, justru mendapat penolakan. Lila sudah membulatkan tekad untuk mengakhir pernikahannya, meski berbagai ancaman dia dapatkan. Selama dua tahun pernikahan hanya nestapa yang dirasakan oleh Lila. Entah apa yang diinginkan Sean dari pernikahan mereka. Mungkin karena dia masih bisa mencari kebahagiaan di luar, hingga tidak memikirkan perasaan Lila yang harus menderita selama ini. Jika pada masa awal pernikahan, Lila masih merasakan sedikit kebahagiaan karena dukungan dari Sekar, tetapi lambat laun berubah seiring keinginan memiliki cucu yang tidak segera terwujud. Bagaimana Lila akan hamil, jika Sean tidak pernah menabur benih di rahimnya. Dan di sinilah Lila sekarang, di poli kandungan di ruang praktek dokter kandungan yang selama ini direkomendasikan oleh Sekar. Sungguh sebuah kekonyolan, memeriksakan sesuatu yang sudah dia tahu apa hasilnya. Tetapi inilah langkah awal Lila untuk mendapat kebebasannya Dokter Arya menyambutnya dengan senyum hangat, seperti biasa. "Apa yang bisa saya bantu, Bu Lila?" Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Saya hanya ingin melakukan pemeriksaan seperti biasa, Dok." Dokter Arya mengangguk, tanpa menanyakan lebih lanjut. Sejak satu tahun yang lalu, Lila menjadi pasien Dokter Arya. Tidak ada masalah yang ditemukan pada organ repsoduksi Lila, semua normal, semua sehat, tetapi Lila rutin mengungjungi dokter kandungan atas perintah Sekar. “Bu Lila tidak mencoba untuk mengajak suami melakukan tes kesuburan?” tanya sang dokter dengan tatap mata yang sendu, merasa jika pasien di hadapannya berjuang sendiri untuk memiliki keturunan. Lila hanya tersenyum. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya balik Lila untuk mengalihkan pembicaraan. “Sepertinya memang harus bersabar lagi.” Tetap tersenyum memberi semangat kepada pasiennya. Lila mengangguk lemah, hasil yang sebenarnya sudah dia prediksi. “Mungkin memang belum rejekinya, semoga Bu Lila dan suami nanti diberi anak pada waktu yang tepat.” “Amin,” sahut Lila secara reflek. “Terima kasih, Dok. Bisa tolong buatkan surat keterangan medisnya?” Dokter Arya tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Tentu saja. Saya akan buatkan surat keterangan bahwa Anda tidak hamil. Apakah ada yang lain yang bisa saya bantu?” Lila menggelengkan kepala. “Tidak, itu saja. Terima kasih, Dok.” “Apa Bu Lila sedang ada project baru, yang mengharuskan dalam keadaan tidak hamil?” “Ya,” jawab lirih Lila. Bukan hanya membutuhkan surat keterangan itu untuk mendapat dukungan, tetapi Lila harus memastikan tidak dalam keadaan hamil, agar setelah bercerai dengan Sean nanti, tidak ada yang membebani langkahnya. Setelah mendapatkan surat keterangan tersebut, Lila keluar dari klinik dengan Langkah pasti. Tujuannya sekarang adalah menemui Sekar, ibu mertuanya. “Oh … ternyata si mandul yang datang.” Sambutan yang terdengar sangat menyesakkan. Lila tetap menyunggingkan senyum meski kentara dipaksakan. Lila meyakinkan dirinya, ini akan menjadi terakhir kalinya, Sekar menyebutnya dengan julukan yang menyakitkan tersebut. Sementara itu Sekar yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah, terlihat enggan untuk mentap menantunya. “Ada apa Lil?” Setelah duduk tepat di hadapan Sekar, Lila menyodorkan amplop yang berisi surat keterangan medis dari rumah sakit. “Kamu hamil?” tanya Sekar dengan mata yang berbinar saat membaca nama rumah sakit di amplop yang diberikan oleh Lila. Lila menggelengkan kepala. “Maafkan saya, Ma. Saya sudah berusaha, tapi ini kenyataannya. Saya belum hamil,” jawab Lila dengan suara bergetar. “Lalu apa maksudmu datang ke sini dengan membawa berita buruk itu?” “Saya menyerah … mama bisa mencari perempuan beruntung lainnya yang bisa memberi penerus untuk keluarga Wismoyojati. “Akhirnya kamu sadar diri juga.” “Mama pernah memberi pilihan cerai atau poligami, dan saya memilih untuk bercerai.” “Cerai ya cerai saja.” Lila menggeleng lemah. “Sean menolak dan mengancam saya, itu sebabnya saya meminta bantuan mama.” “Secinta itukah Sean kepadamu?” tanya Sekar dengan tatapan sendu, ada ketakutan jika Sean patah hati setelah bercerai dari Lila. Lila kembali menggelengkan kepala sambil tersenyum sumir penuh kegetiran. “Baiklah kalau begitu, siapkan semua berkas yang dibutuhkan, selanjutnya biar menjadi urusan mama.” Sekar terlihat sangat antusias. “Adakah syarat tambahan yang kamu ajukan untuk bercerai dengan Sean?”Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Sean duduk di ruang tamu rumah sederhana itu, tangannya berkeringat meski udara dingin terasa di kulitnya. Di depannya, Waluya Sidig dan Inayah, kedua orang tua Lila, menatapnya dengan raut wajah yang berbeda. Waluya terlihat tenang, berusaha memahami situasi, sementara Inayah tampak marah dan bingung, seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya dari menantunya.“Saya sadar kalau saya salah,” ulang Sean dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang terus bergejolak di dalam dirinya. “Tapi saya melakukan itu karena marah. Lila berkali-kali meminta cerai tanpa alasan yang jelas, dan saya hanya ingin mempertahankan pernikahan kami.”Inayah mengerutkan dahi, matanya menyorot penuh kekecewaan. "Apa lagi yang diinginkan anak itu? Apakah semua yang dia dapatkan masih kurang? Sampai-sampai minta cerai.” Suara Inayah terdengar meninggi penuh emosi.Sean melihat kesempatan ini. Dia tahu bahwa Inayah sangat menghargai status dan kekayaan yang datang dengan pernikahan putrinya. Kehid
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?”Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya.“Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang bagi keluarga Wismoyojati.”Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya.“Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?”Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan.“Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki keturunan?” tanya Se