“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.
“Berapa yang kau minta?” Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi? “Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.” “Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.” Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas kemampuannya untuk bertahan. Ternyata Sean tidak berhenti di situ. "Dan kamu pikir kamu bisa hidup sendiri, tanpa uang dariku?" Sean melangkah mendekat, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Siapa yang akan mempekerjakanmu setelah perceraian ini? Semua orang tahu kau adalah istriku. Jika kita bercerai, aku pastikan tak ada perusahaan di kota ini yang mau mempekerjakanmu." Lila terdiam. Ancaman Sean begitu nyata. Dengan pengaruh dan koneksi yang dimilikinya, Sean bisa dengan mudah menghancurkan kariernya bahkan saat dia belum memulainya. “Apa yang membuatmu ingin mempertahankan pernikahan kita, Sean?" tanya Lila dengan suara bergetar. "Kamu tak pernah mencintaiku. Kamu tak pernah peduli padaku." “Jangan terlalu banyak bertanya apalagi menuntut, jadilah istri penurut dan patuh seperti biasanya. Aku akan mencukupkan semua kebutuhanmu, aku akan melimpahkan nafkah untukmu.” Dengan sombong dan begitu arigan Sean terus menekan Lila. “Kamu tidak akan mampu bertahan tanpa aku. Kamu tidak akan punya pekerjaan, tidak punya uang, dan tidak punya tempat tinggal. Lalu siapa yang akan membiayai pengobatan ayahmu?” sambung Sean menjatuhkan mental Lila, agar tetap bertahan dan tidak menuntut perceraian lagi. Ancaman Sean membuat Lila semakin merasa tersudut. Namun, tampaknya Lila belum akan menyerah. “Tolong pikirkan perasaan mama! Mama sangat berharap pada pernikahan kita. Tapi karena aku tidak bisa memberikan ….” “Jadi ini masalah anak?” sergah Sean yang mulai kehabisan kesabaran. “Jawab saja kiita sedang proses, toh itu bukan kebohongan.” “Tapi caramu menyentuhkan tidak akan membuat kita memiliki anak.” Entah keberania dari mana, Lila meninggikan suara di hadapan Sean. “Aku ini istrimu, bukan sekedar pemuas nafsumu.” “Cukup!” teriak Sean sambil memukul dinding di belakang Lila. Deru napas yang memburu dan suara usak tangis Lila memenuhi ruangan. Tubuh Lila bergetar ketakutan dengan sikap kasar yang ditunjukkan Sean. “Satu hal yang harus kamu ingat? Dunia tidak seindah yang kamu bayangkan, Lila. Di luar sana akan menjadi neraka yang membakarmu hidup-hidup, jika kamu tetap melanjutkan perceraian ini,” ancam Sean sesaat sebelum meninggalkan Lila dalam tangisnya. *** Lila masih tidak bisa memahami jalan pikiran Sean. Selama ini suaminya tidak pernah menunjukkan sikap peduli atau pun perasaan cintanya. Namun, saat dirinya mengajak bercerai, justru mendapat penolakan. Lila sudah membulatkan tekad untuk mengakhir pernikahannya, meski berbagai ancaman dia dapatkan. Selama dua tahun pernikahan hanya nestapa yang dirasakan oleh Lila. Entah apa yang diinginkan Sean dari pernikahan mereka. Mungkin karena dia masih bisa mencari kebahagiaan di luar, hingga tidak memikirkan perasaan Lila yang harus menderita selama ini. Jika pada masa awal pernikahan, Lila masih merasakan sedikit kebahagiaan karena dukungan dari Sekar, tetapi lambat laun berubah seiring keinginan memiliki cucu yang tidak segera terwujud. Bagaimana Lila akan hamil, jika Sean tidak pernah menabur benih di rahimnya. Dan di sinilah Lila sekarang, di poli kandungan di ruang praktek dokter kandungan yang selama ini direkomendasikan oleh Sekar. Sungguh sebuah kekonyolan, memeriksakan sesuatu yang sudah dia tahu apa hasilnya. Tetapi inilah langkah awal Lila untuk mendapat kebebasannya Dokter Arya menyambutnya dengan senyum hangat, seperti biasa. "Apa yang bisa saya bantu, Bu Lila?" Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Saya hanya ingin melakukan pemeriksaan seperti biasa, Dok." Dokter Arya mengangguk, tanpa menanyakan lebih lanjut. Sejak satu tahun yang lalu, Lila menjadi pasien Dokter Arya. Tidak ada masalah yang ditemukan pada organ repsoduksi Lila, semua normal, semua sehat, tetapi Lila rutin mengungjungi dokter kandungan atas perintah Sekar. “Bu Lila tidak mencoba untuk mengajak suami melakukan tes kesuburan?” tanya sang dokter dengan tatap mata yang sendu, merasa jika pasien di hadapannya berjuang sendiri untuk memiliki keturunan. Lila hanya tersenyum. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya balik Lila untuk mengalihkan pembicaraan. “Sepertinya memang harus bersabar lagi.” Tetap tersenyum memberi semangat kepada pasiennya. Lila mengangguk lemah, hasil yang sebenarnya sudah dia prediksi. “Mungkin memang belum rejekinya, semoga Bu Lila dan suami nanti diberi anak pada waktu yang tepat.” “Amin,” sahut Lila secara reflek. “Terima kasih, Dok. Bisa tolong buatkan surat keterangan medisnya?” Dokter Arya tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Tentu saja. Saya akan buatkan surat keterangan bahwa Anda tidak hamil. Apakah ada yang lain yang bisa saya bantu?” Lila menggelengkan kepala. “Tidak, itu saja. Terima kasih, Dok.” “Apa Bu Lila sedang ada project baru, yang mengharuskan dalam keadaan tidak hamil?” “Ya,” jawab lirih Lila. Bukan hanya membutuhkan surat keterangan itu untuk mendapat dukungan, tetapi Lila harus memastikan tidak dalam keadaan hamil, agar setelah bercerai dengan Sean nanti, tidak ada yang membebani langkahnya. Setelah mendapatkan surat keterangan tersebut, Lila keluar dari klinik dengan Langkah pasti. Tujuannya sekarang adalah menemui Sekar, ibu mertuanya. “Oh … ternyata si mandul yang datang.” Sambutan yang terdengar sangat menyesakkan. Lila tetap menyunggingkan senyum meski kentara dipaksakan. Lila meyakinkan dirinya, ini akan menjadi terakhir kalinya, Sekar menyebutnya dengan julukan yang menyakitkan tersebut. Sementara itu Sekar yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah, terlihat enggan untuk mentap menantunya. “Ada apa Lil?” Setelah duduk tepat di hadapan Sekar, Lila menyodorkan amplop yang berisi surat keterangan medis dari rumah sakit. “Kamu hamil?” tanya Sekar dengan mata yang berbinar saat membaca nama rumah sakit di amplop yang diberikan oleh Lila. Lila menggelengkan kepala. “Maafkan saya, Ma. Saya sudah berusaha, tapi ini kenyataannya. Saya belum hamil,” jawab Lila dengan suara bergetar. “Lalu apa maksudmu datang ke sini dengan membawa berita buruk itu?” “Saya menyerah … mama bisa mencari perempuan beruntung lainnya yang bisa memberi penerus untuk keluarga Wismoyojati. “Akhirnya kamu sadar diri juga.” “Mama pernah memberi pilihan cerai atau poligami, dan saya memilih untuk bercerai.” “Cerai ya cerai saja.” Lila menggeleng lemah. “Sean menolak dan mengancam saya, itu sebabnya saya meminta bantuan mama.” “Secinta itukah Sean kepadamu?” tanya Sekar dengan tatapan sendu, ada ketakutan jika Sean patah hati setelah bercerai dari Lila. Lila kembali menggelengkan kepala sambil tersenyum sumir penuh kegetiran. “Baiklah kalau begitu, siapkan semua berkas yang dibutuhkan, selanjutnya biar menjadi urusan mama.” Sekar terlihat sangat antusias. “Adakah syarat tambahan yang kamu ajukan untuk bercerai dengan Sean?”Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Sean duduk di ruang tamu rumah sederhana itu, tangannya berkeringat meski udara dingin terasa di kulitnya. Di depannya, Waluya Sidig dan Inayah, kedua orang tua Lila, menatapnya dengan raut wajah yang berbeda. Waluya terlihat tenang, berusaha memahami situasi, sementara Inayah tampak marah dan bingung, seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya dari menantunya.“Saya sadar kalau saya salah,” ulang Sean dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang terus bergejolak di dalam dirinya. “Tapi saya melakukan itu karena marah. Lila berkali-kali meminta cerai tanpa alasan yang jelas, dan saya hanya ingin mempertahankan pernikahan kami.”Inayah mengerutkan dahi, matanya menyorot penuh kekecewaan. "Apa lagi yang diinginkan anak itu? Apakah semua yang dia dapatkan masih kurang? Sampai-sampai minta cerai.” Suara Inayah terdengar meninggi penuh emosi.Sean melihat kesempatan ini. Dia tahu bahwa Inayah sangat menghargai status dan kekayaan yang datang dengan pernikahan putrinya. Kehid
Lila menunduk, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Hatinya sakit bukan hanya karena luka-luka di wajah dan sekujur tubuhnya, tetapi juga karena kata-kata ibunya yang seolah-olah menyudutkannya. Luka fisik yang dia derita terasa sepele dibandingkan dengan luka emosional yang ditimbulkan oleh sikap ibunya. Inayah, yang seharusnya menjadi pelindung dan tempat curahan hatinya, justru menambah beban di pundaknya.“Punya suami yang tampan dan banyak harta, harusnya membuatmu bersyukur,” ulang Inayah, tanpa sedikit pun nada simpati. “Bukan malah membuat gara-gara seperti ini.”Lila tak kuasa menjawab. Bagaimana bisa dia mengungkapkan betapa hancurnya hatinya ketika orang yang dia harap dapat mendukungnya justru lebih peduli pada harta dan status sosdial? Inayah tak melihat luka-luka di wajahnya sebagai bukti penderitaan, melainkan sebagai tanda ketidakpatuhannya sebagai seorang istri.Waluya, yang berdiri di samping Inayah, hanya bisa menggeleng lemah. Dia mencoba menenangkan ist
Pintu rumah terbuka perlahan, dan Sean melangkah masuk dengan langkah berat. Penampilannya jauh dari kesan rapi seperti biasanya. Jas hitamnya terlipat asal di lengan, dasinya sudah dilepas dan tergantung di saku celana, dan kemeja putihnya penuh kerutan.Rambutnya yang biasanya tertata rapi kini berantakan, seolah tangannya terlalu sering meraup kepala dalam frustrasi. Wajahnya kusut, lingkar hitam di bawah matanya semakin dalam, mencerminkan kelelahan yang tidak hanya fisik tetapi juga emosional.Dia menghela napas panjang, membiarkan pintu tertutup di belakangnya. Sean melepaskan sepatu dengan gerakan asal sebelum melangkah ke ruang tengah. Di sana, dia dikejutkan oleh pemandangan yang tidak dia duga."Lila?" Sean setengah tidak percaya melihat.Di sofa ruang tengah, Lila duduk dengan laptop di pangkuannya, matanya terfokus pada layar yang memancarkan cahaya biru samar. Tumpukan buku dan catatan berserakan di sekitarnya.Sean segera menghampiri, raut wajah lelahnya berganti dengan
“Lil, terima kasih banyak karena kamu sudah membebaskan Rina,” ucap Nadya dengan nada penuh rasa syukur. “Dia pasti sangat berterima kasih atas kebaikan kamu.”“Dia baik-baik saja?” tanya Lila, mencoba menyembunyikan rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.“Iya, tadi dia sempat datang ke Mahendra Securitas, tapi hanya untuk menyerahkan surat pengunduran diri,” jawab Nadya.Lila mengernyit. “Rina resign? Kenapa?”Nadya menghela napas. “Aku nggak sempat banyak bicara dengannya. Rina kelihatan sangat terburu-buru. Mungkin dia merasa sudah tidak nyaman punya bos seperti Pak Ryan.”“Dia akan kerja di mana setelah ini?” Lila bertanya lagi, merasa bersalah meskipun dia tahu masalah ini bukan sepenuhnya tanggung jawabnya.“Aku nggak tahu pasti. Tapi dengan skill seperti Rina, dia pasti cepat dapat pekerjaan,” jawab Nadya, mencoba menenangkan Lila.Lila terdiam sejenak. “Aku harap dia baik-baik saja.”“Bagaimana keadaanmu sekarang?” Nadya mengganti topik, mencoba mengalihkan perhatian Lila ya
Pada saat Sean di luar berusaha untuk menyelesaikan semua masalah, Lila di rumah tampak bingung karena tidak memiliki kegiatan sama sekali. Wanita hamil itu hanya mondar-mandir menikmati kemewahan rumah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang.Memiliki rumah dengan halama luas dan taman yang indah adalah Impian Lila sejak kecil. Tetapi saat impian itu terwujud, Lila justru merasa seperti di dalam sangkar emas.Sampai saat ini Sean belum mengizinkan Lila keluar, meski hanya untuk sekedar bersosialisasi dengan para tetangga. Bahkan Lila pun tidak diizinkan untuk menerima tamu. Memang kedatangan teman-temannya yang lalu berakibat sangat fatal, tetapi Lila sungguh merasa suntuk dan kesepian.“Mbak Lila, siang ini mau makan apa? Bibi masakin apa saja Mbak Lila mau, biar anaknya tidak ngeces.”Kehadiran Bi Siti, asisten rumah tangga yang di rumah mewah itu membuyarkan lamunan Lila. Wajah wanita paruh baya itu terlihat lelah setelah membersihkan rumah besar itu sendiri.Bukan bermaksud tidak
“Kau tahu bagaimana pandangan orang-orang di negeri ini,” ucap Sean dengan nada yang lebih lembut namun tetap tegas. “Posisi sebagai orang ketiga dalam hubungan selalu dipandang rendah. Orang-orang tidak akan peduli apa pun alasanmu. Yang mereka lihat hanyalah seorang wanita yang dianggap mencoba merebut kebahagiaan wanita lain.”Miranda mengalihkan pandangannya, mencoba menyembunyikan rasa perih di hatinya. “Tapi dalam kasus ini, Lila yang telah mencuri kebahagiaanku.”“Tetapi fakta bahwa aku rujuk dengan Lila karena dia sedang hamil, itu akan semakin memperkuat simpati publik untuknya. Kau tahu bagaimana netizen di negeri ini, mereka mudah tergerak oleh cerita tentang keluarga yang begitu dramatis, tentang bagaimana seorang ibu yang berjuang untuk anaknya.”Miranda menelan ludah, mencoba menahan amarah dan hatinya yang perih. Tetapi tampaknya Sean tidak memberi ruang kepada Miranda untuk menyangkal.“Aku tidak ingin kamu berada dalam posisi itu, Mira,” ucap Sean dengan suaranya yang
Miranda hampir tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan kala melihat Sean berdiri di depan pintu apartemennya. Dia mengatur nada suaranya agar tetap tenang, meski senyum di wajahnya tidak dapat disembunyikan. "Senang akhirnya kamu datang," ucap Miranda dengan suara lembut sambil melangkah mendekati Sean. "Kupikir, mungkin kita bisa membicarakan segalanya dengan lebih baik. Aku yakin, masih ada peluang untuk kita bersama." Dari wajahnya yang terlihat kusut dan sorot matanya yang penuh beban, Miranda menduga jika Sean sedang memiliki masalah dengan Lila. Dan dia merasa ini adalah peluang untuk bisa masuk hubungan mereka. Miranda memberi jalan agar Sean memasuki apartemennya dan mempersilahkan duduk. Tetapi saat Sean memilih duduk di sofa tunggal, Miranda pun akhirnya mengambil posisi di seberangnya hingga mereka bisa saling berhadapan. "Maaf jika kedatanganku mengganggumu," ucap Sean akhirnya dengan nadanya serius. "Aku ingin meminta bantuanmu untuk sesuatu yang sangat penting."
Sean terbangun pagi itu dengan perasaan berat. Cahaya matahari masuk melalui celah gorden, tapi tidak memberikan kehangatan seperti biasanya. Di sampingnya, Lila terbaring membelakangi, napasnya teratur tapi penuh jarak.Meskipun Sean sudah menyanggupi semua permintaan Lila, tetapi nyatanya istrinya tersebut tetap mendiamkannya. Lila ingin bukti nyata sampai Sean benar-benar membebaskan Rina dan menyelesaikan semua masalah yang berhubungan dengan serangan massif dari netizen.Sean merasa perang dingin ini bukan hal sepele. Ada jarak yang semakin terasa nyata di antara mereka, dan itu menyakitkan. Lila dulu adalah sosok istri yang lembut, penuh pengertian, dan selalu menurut tanpa banyak pertanyaan, tetapi sekarang, dia menjadi pribadi yang berbeda.Sikap tegas Lila, yang muncul sejak beberapa hari terakhir, membuat Sean terhenyak. Dan merasa begitu mudah Lila mematahkan ucapan dan argumennya, bahkan hanya dengan satu dua kalimat saja.Suasana sarapan terasa begitu dingin. Tidak ada ob
“Maaf jika tidak sempurna, tapi aku akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kalian,” ucap Sean sambil meraih tangan Lila. Suaranya terdengar dalam, serak, penuh penyesalan.Tetapi sepertinya kata-kata itu tidak memadamkan amarah yang menyala di mata Lila.“Aku tidak menuntut kesempurnaan, karena aku tahu kau tidak mungkin bisa memberikannya.” Lila menjeda kalimatnya menatap tajam ke arah mata Sean. “Tapi kau juga harus mengakui jika masalah yang menimpaku akhir-akhir ini justru ada karena kehadiranmu di hidupku.”Sean terkesiap. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Lila terasa seperti tamparan bolak-balik di pipinya.“Bukan seperti itu.” Sean menyanggah ucapan Lila. Dia merasa tidak terima dengan tuduhan tersebut. Hingga suaranya meninggi tanpa sadari. “Aku akan menyelesaikan semua masalah yang ada. Tapi masalah Ryan … itu tidak sesederhana yang kau pikirkan dan sangat rumit.”Nama Ryan. Hanya mendengarnya saja sudah cukup untuk membuat dada Sean terasa sesak. Ia mengepalkan t
“Apa yang terjadi pada Rina, Nad?” tanya Lila untuk menuntaskan rasa penasarannya. Perempuan hamil itu tidak ingin hatinya terus bertanya-tanya.Nadya terdengar ragu, tetapi akhirnya berbicara dengan cepat, seakan takut kehilangan keberanian. “Saat ini Rina ditahan polisi, Lil. Mereka menuduhnya Rina sebagai pelaku insiden jus lemon. Aku tahu kamu marah, tapi aku mohon dengarkan aku dulu.”Lila merasa penjelasn dari Nadya bukan hanya untuk dirinya saja, mengetahui suaminya masih berada di dekatnya dengan sengaja Lila mengeraskan suara ponselnya, agar Sean juga bisa mendengarkan percakapan tersebut, sehingga dia tidak perlu untuk mengulang penjelasan dari Nadya lagi.Dengan terpaksa turut mendengarkan ucapan Nadya. Dia pun segera duduk di samping Lila dan membawakan meraih ponsel untuk diletakkan di nakas. Baginya terlalu berbahaya untuk Lila terus memegang ponsel yang masih dalam keadaan diisi dayanya.Sementara itu, Nadya melanjutkan kalimatnya dengan suara yang bergetar. “Lila, aku
Ratusan komentar memenuhi unggahan terakhir Lila. Konten yang seharusnya mengedukasi Masyarakat pada saat perekonomian tidak pasti, justru menjadi ladang hujatan untuk dirinya. Mata Lila terpaku pada kata-kata penuh amarah dan kebencian.‘Dasar pelakor’‘Kau menghancurkan hidup Miranda’‘Tampang B aja rebut kekasih orang, paling modal selangkangan’Cacian itu datang seperti badai, membanjiri setiap kolom komentar dan pesan langsung. Lila menelan ludah, tangannya gemetar saat ia mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.Ia membuka salah satu unggahan akun gosip yang viral. Di sana terpampang foto dirinya dan Sean, disertai narasi yang menyebutkan bahwa Sean adalah tunangan Miranda sebelum menikahi Lila. Komentar-komentar pedas dari netizen menyudutkannya tanpa ampun.Lila merasa dadanya sesak. Air matanya mulai menggenang, jatuh tanpa bisa ia tahan."Ini tidak benar," gumamnya pelan, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri.Lila menggulir layar, berharap menemukan sesuatu yang bi