Share

4. Menyerah

“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.

“Berapa yang kau minta?”

Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?

“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”

“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”

Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas kemampuannya untuk bertahan. Ternyata Sean tidak berhenti di situ.

"Dan kamu pikir kamu bisa hidup sendiri, tanpa uang dariku?" Sean melangkah mendekat, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Siapa yang akan mempekerjakanmu setelah perceraian ini? Semua orang tahu kau adalah istriku. Jika kita bercerai, aku pastikan tak ada perusahaan di kota ini yang mau mempekerjakanmu."

Lila terdiam. Ancaman Sean begitu nyata. Dengan pengaruh dan koneksi yang dimilikinya, Sean bisa dengan mudah menghancurkan kariernya bahkan saat dia belum memulainya.

“Apa yang membuatmu ingin mempertahankan pernikahan kita, Sean?" tanya Lila dengan suara bergetar. "Kamu tak pernah mencintaiku. Kamu tak pernah peduli padaku."

“Jangan terlalu banyak bertanya apalagi menuntut, jadilah istri penurut dan patuh seperti biasanya. Aku akan mencukupkan semua kebutuhanmu, aku akan melimpahkan nafkah untukmu.” Dengan sombong dan begitu arigan Sean terus menekan Lila.

“Kamu tidak akan mampu bertahan tanpa aku. Kamu tidak akan punya pekerjaan, tidak punya uang, dan tidak punya tempat tinggal. Lalu siapa yang akan membiayai pengobatan ayahmu?” sambung Sean menjatuhkan mental Lila, agar tetap bertahan dan tidak menuntut perceraian lagi.

Ancaman Sean membuat Lila semakin merasa tersudut. Namun, tampaknya Lila belum akan menyerah.

“Tolong pikirkan perasaan mama! Mama sangat berharap pada pernikahan kita. Tapi karena aku tidak bisa memberikan ….”

“Jadi ini masalah anak?” sergah Sean yang mulai kehabisan kesabaran. “Jawab saja kiita sedang proses, toh itu bukan kebohongan.”

“Tapi caramu menyentuhkan tidak akan membuat kita memiliki anak.” Entah keberania dari mana, Lila meninggikan suara di hadapan Sean. “Aku ini istrimu, bukan sekedar pemuas nafsumu.”

“Cukup!” teriak Sean sambil memukul dinding di belakang Lila.

Deru napas yang memburu dan suara usak tangis Lila memenuhi ruangan. Tubuh Lila bergetar ketakutan dengan sikap kasar yang ditunjukkan Sean.

“Satu hal yang harus kamu ingat? Dunia tidak seindah yang kamu bayangkan, Lila. Di luar sana akan menjadi neraka yang membakarmu hidup-hidup, jika kamu tetap melanjutkan perceraian ini,” ancam Sean sesaat sebelum meninggalkan Lila dalam tangisnya.

***

Lila masih tidak bisa memahami jalan pikiran Sean. Selama ini suaminya tidak pernah menunjukkan sikap peduli atau pun perasaan cintanya. Namun, saat dirinya mengajak bercerai, justru mendapat penolakan. Lila sudah membulatkan tekad untuk mengakhir pernikahannya, meski berbagai ancaman dia dapatkan.

Selama dua tahun pernikahan hanya nestapa yang dirasakan oleh Lila. Entah apa yang diinginkan Sean dari pernikahan mereka. Mungkin karena dia masih bisa mencari kebahagiaan di luar, hingga tidak memikirkan perasaan Lila yang harus menderita selama ini.

Jika pada masa awal pernikahan, Lila masih merasakan sedikit kebahagiaan karena dukungan dari Sekar, tetapi lambat laun berubah seiring keinginan memiliki cucu yang tidak segera terwujud. Bagaimana Lila akan hamil, jika Sean tidak pernah menabur benih di rahimnya.

Dan di sinilah Lila sekarang, di poli kandungan di ruang praktek dokter kandungan yang selama ini direkomendasikan oleh Sekar. Sungguh sebuah kekonyolan, memeriksakan sesuatu yang sudah dia tahu

apa hasilnya. Tetapi inilah langkah awal Lila untuk mendapat kebebasannya

Dokter Arya menyambutnya dengan senyum hangat, seperti biasa. "Apa yang bisa saya bantu, Bu Lila?"

Lila menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Saya hanya ingin melakukan pemeriksaan seperti biasa, Dok."

Dokter Arya mengangguk, tanpa menanyakan lebih lanjut. Sejak satu tahun yang lalu, Lila menjadi pasien Dokter Arya. Tidak ada masalah yang ditemukan pada organ repsoduksi Lila, semua normal, semua sehat, tetapi Lila rutin mengungjungi dokter kandungan atas perintah Sekar.

“Bu Lila tidak mencoba untuk mengajak suami melakukan tes kesuburan?” tanya sang dokter dengan tatap mata yang sendu, merasa jika pasien di hadapannya berjuang sendiri untuk memiliki keturunan.

Lila hanya tersenyum. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya balik Lila untuk mengalihkan pembicaraan.

“Sepertinya memang harus bersabar lagi.” Tetap tersenyum memberi semangat kepada pasiennya.

Lila mengangguk lemah, hasil yang sebenarnya sudah dia prediksi.

“Mungkin memang belum rejekinya, semoga Bu Lila dan suami nanti diberi anak pada waktu yang tepat.”

“Amin,” sahut Lila secara reflek. “Terima kasih, Dok. Bisa tolong buatkan surat keterangan medisnya?”

Dokter Arya tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Tentu saja. Saya akan buatkan surat keterangan bahwa Anda tidak hamil. Apakah ada yang lain yang bisa saya bantu?”

Lila menggelengkan kepala. “Tidak, itu saja. Terima kasih, Dok.”

“Apa Bu Lila sedang ada project baru, yang mengharuskan dalam keadaan tidak hamil?”

“Ya,” jawab lirih Lila.

Bukan hanya membutuhkan surat keterangan itu untuk mendapat dukungan, tetapi Lila harus memastikan tidak dalam keadaan hamil, agar setelah bercerai dengan Sean nanti, tidak ada yang membebani langkahnya.

Setelah mendapatkan surat keterangan tersebut, Lila keluar dari klinik dengan Langkah pasti. Tujuannya sekarang adalah menemui Sekar, ibu mertuanya.

“Oh … ternyata si mandul yang datang.”

Sambutan yang terdengar sangat menyesakkan. Lila tetap menyunggingkan senyum meski kentara dipaksakan. Lila meyakinkan dirinya, ini akan menjadi terakhir kalinya, Sekar menyebutnya dengan julukan yang menyakitkan tersebut.

Sementara itu Sekar yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah, terlihat enggan untuk mentap menantunya.

“Ada apa Lil?”

Setelah duduk tepat di hadapan Sekar, Lila menyodorkan amplop yang berisi surat keterangan medis dari rumah sakit.

“Kamu hamil?” tanya Sekar dengan mata yang berbinar saat membaca nama rumah sakit di amplop yang diberikan oleh Lila.

Lila menggelengkan kepala. “Maafkan saya, Ma. Saya sudah berusaha, tapi ini kenyataannya. Saya belum hamil,” jawab Lila dengan suara bergetar.

“Lalu apa maksudmu datang ke sini dengan membawa berita buruk itu?”

“Saya menyerah … mama bisa mencari perempuan beruntung lainnya yang bisa memberi penerus untuk keluarga Wismoyojati.

“Akhirnya kamu sadar diri juga.”

“Mama pernah memberi pilihan cerai atau poligami, dan saya memilih untuk bercerai.”

“Cerai ya cerai saja.”

Lila menggeleng lemah. “Sean menolak dan mengancam saya, itu sebabnya saya meminta bantuan mama.”

“Secinta itukah Sean kepadamu?” tanya Sekar dengan tatapan sendu, ada ketakutan jika Sean patah hati setelah bercerai dari Lila.

Lila kembali menggelengkan kepala sambil tersenyum sumir penuh kegetiran.

“Baiklah kalau begitu, siapkan semua berkas yang dibutuhkan, selanjutnya biar menjadi urusan mama.” Sekar terlihat sangat antusias. “Adakah syarat tambahan yang kamu ajukan untuk bercerai dengan Sean?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status