Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Sean duduk di ruang tamu rumah sederhana itu, tangannya berkeringat meski udara dingin terasa di kulitnya. Di depannya, Waluya Sidig dan Inayah, kedua orang tua Lila, menatapnya dengan raut wajah yang berbeda. Waluya terlihat tenang, berusaha memahami situasi, sementara Inayah tampak marah dan bingung, seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya dari menantunya.“Saya sadar kalau saya salah,” ulang Sean dengan suara bergetar, mencoba menahan emosi yang terus bergejolak di dalam dirinya. “Tapi saya melakukan itu karena marah. Lila berkali-kali meminta cerai tanpa alasan yang jelas, dan saya hanya ingin mempertahankan pernikahan kami.”Inayah mengerutkan dahi, matanya menyorot penuh kekecewaan. "Apa lagi yang diinginkan anak itu? Apakah semua yang dia dapatkan masih kurang? Sampai-sampai minta cerai.” Suara Inayah terdengar meninggi penuh emosi.Sean melihat kesempatan ini. Dia tahu bahwa Inayah sangat menghargai status dan kekayaan yang datang dengan pernikahan putrinya. Kehid
Lila menunduk, berusaha menahan air mata yang mendesak keluar. Hatinya sakit bukan hanya karena luka-luka di wajah dan sekujur tubuhnya, tetapi juga karena kata-kata ibunya yang seolah-olah menyudutkannya. Luka fisik yang dia derita terasa sepele dibandingkan dengan luka emosional yang ditimbulkan oleh sikap ibunya. Inayah, yang seharusnya menjadi pelindung dan tempat curahan hatinya, justru menambah beban di pundaknya.“Punya suami yang tampan dan banyak harta, harusnya membuatmu bersyukur,” ulang Inayah, tanpa sedikit pun nada simpati. “Bukan malah membuat gara-gara seperti ini.”Lila tak kuasa menjawab. Bagaimana bisa dia mengungkapkan betapa hancurnya hatinya ketika orang yang dia harap dapat mendukungnya justru lebih peduli pada harta dan status sosdial? Inayah tak melihat luka-luka di wajahnya sebagai bukti penderitaan, melainkan sebagai tanda ketidakpatuhannya sebagai seorang istri.Waluya, yang berdiri di samping Inayah, hanya bisa menggeleng lemah. Dia mencoba menenangkan ist
Pagi itu, sinar matahari lembut masuk melalui jendela rumah sakit. Mengingat jika ada obat yang harus rutin diminum oleh suaminya, Inayah berpamitan untuk mencari sarapan, agar suaminya bisa segera meminum obat tersebut."Ibu keluar sebentar ya, cari sarapan. Kasihan bapakmu kalau sampai telat minum obat," ucap Inayah sambil bergegas meninggalkan ruang perawatan Lila.Kesunyian menyelimuti ruangan sesaat setelah pintu tertutup. Lila tetap diam, menatap jendela tanpa benar-benar melihat. Waluya duduk di sampingnya, menarik napas dalam-dalam, mencoba menyusun kata-kata. Hatinya begitu terluka kala harus melihat putrinya terbaring dalam kondisi seperti itu. Luka-luka di wajah Lila seperti menamparnya, menyisakan perasaan bersalah yang menggerogoti hatinya.“Lila …” suara Waluya pelan, penuh kebingungan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”Lila menoleh pelan, mata mereka bertemu sejenak sebelum akhirnya Lila kembali mengalihkan tatap matanya menuju ke sembarang arah, asal tidak menatap mata sa
Dengan tubuh ringkihnya, Waluya mendatangi kantor Sean. Melangkah perlahan memasuk ke lobi kantor menemui resepsionis dan mengutarakan maksud kedatangannya untuk bertemu dengan Sean."Maaf, Pak, Pak Sean sedang rapat," ucap resepsionis dengan suara ramah.Waluya mengangguk pelan, tak ingin memaksa. "Tidak apa-apa, saya akan menunggu," jawabnya sambil mengambil tempat di sofa di sudut ruangan.Dia duduk dengan sabar, matanya sesekali melirik ke arah pintu ruang rapat. Pikirannya dipenuhi oleh kekhawatiran tentang pernikahan putrinya, berharap ada jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi.Demi putrinya, dia rela menunggu hingga Sean selesai dengan rapatnya. Di antara para pekerja yang sibuk berlalu-lalang, Waluya mencoba tetap tenang, meski pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang apa yang akan terjadi saat ia akhirnya bertemu menantunya itu.Tak lama kemudian, pintu ruang rapat terbuka. Sean keluar bersama beberapa klien, tampak santai dan penuh senyum. Mungkin ini adalah sikap profe
Waluya terdiam, hatinya bergejolak. Tawaran itu menggoda, tetapi ada sesuatu dalam cara Sean berbicara yang membuatnya ragu. Di balik kepedulian yang ditunjukkan menantunya, dia merasa ada harapan tersembunyi agar dia berpihak pada Sean, bukan pada Lila.Waluya menghela napas panjang, seolah menimbang setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Sean. Matanya yang lelah menatap menantunya dengan pandangan yang sendu, seolah sudah lama memikirkan hal ini. Tawaran yang diberikan Sean mungkin terdengar mulia bagi sebagian orang, namun bagi Waluya, itu adalah sebuah jebakan.“Sean,” ucap Waluya pelan namun tegas, “saya menghargai tawaranmu. Saya tahu kamu punya niat baik untuk membantu, tapi bukan itu yang saya cari saat ini. Yang saya inginkan hanyalah satu, kebahagiaan anak saya.”Sean menatap Waluya dengan ekspresi yang sulit dibaca, sedikit cemas. Dia berharap tawarannya akan melunakkan hati ayah mertuanya, membuatnya berpihak pada dirinya dalam pernikahan ini. Tapi respons Waluya yang t
Sean mengemudi dengan tangan yang mengepal erat di setir, wajahnya tegang dan penuh amarah. Jalanan di depannya tampak kabur oleh kemarahan yang berkecamuk di pikirannya. Setiap detik yang berlalu hanya menambah bara kemarahan dalam hatinya. Dia tidak percaya bahwa ibunya, Sekar, telah berbicara kepada Miranda tentang masalah yang menimpa pernikahannya dengan Lila.“Apa yang dia pikirkan?" gumam Sean dengan suara keras, kemarahan meletup di setiap kata. Miranda tidak seharusnya tahu tentang ini. Masalah pernikahannya sudah cukup rumit tanpa ada orang lain yang ikut campur.Roda mobil melaju cepat menyusuri jalan, dan beberapa kali Sean nyaris melewati batas kecepatan. Ketika akhirnya tiba di depan rumah besar ibunya, dia menginjak rem dengan keras, mobil berhenti mendadak di depan gerbang.Tanpa berpikir panjang, Sean keluar dari mobil dan menghampiri pintu rumah Sekar. Pikirannya masih dipenuhi oleh rasa marah dan kecewa. Dia menggedor pintu dengan keras.Tidak butuh waktu lama bagi
Lila masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit, meskipun fisiknya perlahan pulih, perasaannya tetap hampa. Matanya menatap kosong ke arah jendela, tak banyak yang bisa ia lakukan selain menunggu. Di sampingnya, Inayah sibuk merapikan barang-barangnya. Hari ini, Inayah dan Waluya harus pulang. Waluya harus mempersiapkan diri untuk cuci darah rutin yang tak bisa ditunda.Inayah menghampiri Lila, duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan putrinya yang dingin. “Nak, kami harus pulang. Bapakmu harus siap-siap cuci darah. Tapi sebelum kami pulang, ada yang ingin Ibu bicarakan.”Lila hanya mengangguk lemah, matanya tetap terfokus pada jendela, seolah mencoba menghindari percakapan itu. Inayah menarik napas dalam, mencoba memilih dan memilah kata-kata yang tepat.“Ibu tahu, Sean bukan laki-laki yang sempurna, tapi ... Ibu yakin dia juga tidak sepenuhnya jahat,” ucap Inayah sambil mengusap lembut punggung tangan putrinya. “Luka-lukamu sudah mulai sembuh, Lila. Mungkin sekarang saatnya untuk
Malika duduk di sudut ruangan, memeluk boneka kelinci kesayangannya sambil memperhatikan Brilian dan Renasya. Matanya menyipit sedikit, menunjukkan perasaan yang tidak bisa ia sembunyikan, cemburu.Brilian tampak begitu bersemangat memperkenalkan Renasya kepada Malika. “Ini Renasya! Dia adikku!” ucap Brlian dengan bangga, tangannya menggandeng Renasya seolah ingin melindungi adik sepupunya tersebut.Malika menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang berubah. Selama ini, Brilian selalu dekat dengannya, selalu melindungi dan menjaganya seperti kakak sendiri. Tapi sekarang, perhatian Brilian sepenuhnya tertuju pada Renasya.“Kamu kenapa diam saja, Malika?”Malika menggeleng pelan, tapi matanya masih terpaku pada Brilian dan Renasya. Lalu dengan berat hati akhirnya menerima uluran tangan Renasya.Renasya tersenyum saat Malika menggenggam tangannya. “Namaku Rena, aku adiknya Kak Brili. Kita bisa main bersama.”Suasana hati Malika tampaknya sedang tidak baik. Dia tidak seantusias biasanya s
Suasana duka menyelimuti rumah Andika. Cahaya lampu yang temaram dan lantunan doa-doa menciptakan keheningan yang mencekam. Sekar berdiri di sudut ruangan, memperhatikan Sean dan Ryan, tampak keduanya sama-sama dirundung kesedihan.Dalam hati Sekar bertanya, kebaikan apa yang membuat Andika begitu dicintai oleh kedua anaknya. Meski sebagai seorang ayah, Andika telah melakukan sebuah kesalahan fatal yang meninggalkan luka mendalam, baik itu kepada Sean maupun Ryan.Sean, meskipun wajahnya tidak berhiaskan senyum, tetapi dia tetap terlihat tegar. Ia menyapa tamu yang datang, memberi arahan kepada para pelayan agar memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik. Namun, sesekali, tatapannya melayang ke arah jenazah sang papa, seolah masih berusaha menerima kenyataan pahit ini.Sementara itu, Ryan duduk diam di samping jenazah Andika, wajahnya kaku tanpa ekspresi. Tidak ada air mata yang jatuh, tetapi kesedihan terpancar jelas di matanya. Ryan seperti sedang menunggu sang papa tertidur, be
Sekar menguatkan hatinya melangkah mendekati ranjang perawatan Andika dengan perasaan yang tak menentu. Napas pria itu tersengal, dengan mata yang setengah terbuka, seolah ingin menangkap sosok Sekar untuk terakhir kalinya. Di sekeliling mereka, suara alat medis terus berbunyi, menjadi latar yang tak bisa diabaikan.Sekar menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya. Dengan tangan gemetar, ia menggenggam tangan Andika yang terasa semakin dingin. Perasaan bersalah dan kepedihan bersarang dalam hati perempuan paruh baya itu. Bagaimana mungkin cinta mereka yang pernah menggebu-gebu kini berakhir di sini?Sekar mendekatkan mulutnya tepat di telinga Andika. Dengan suara pelan dan bergetar, perempuan paruh baya itu membisikkan sebuah doa, seperti yang pernah ia ucapkan kala melepas kepergian sang papa beberapa tahun yang lalu.Bayangan kebersamaan mereka yang dulu kembali menghampiri pikirannya, berputar-putar tanpa henti.Andika dengan tatap mata kosong yang menerawang, mencoba
Sekar melangkah keluar dari ruang perawatan Andika dengan gurat wajah penuh kekesalan. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu, karena hanya akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sampai saat ini belum bisa sembuh sepenuhnya.Seandainya bukan untuk memberi kejelasan tentang hubungan mereka, bagi Sekar pertemuan ini hanya membuang waktunya. Andika sudah menjadi bagian dari masa lalu yang tak perlu diungkit lagi.Namun, baru beberapa langkah dari pintu, suara langkah kaki yang tergesa-gesa membuatnya berhenti. Sekar menoleh dan melihat seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk ke ruang perawatan Andika. Wajah mereka tegang, gerakan mereka cepat dan menunjukkan suasana darurat.Hatinya mendadak berdebar kencang. Sekar bisa saja mengabaikan, dan terus berjalan seperti yang ia rencanakan sejak awal. Namun, tanpa sadar, kaki perempuan paruh baya itu justru melangkah kembali ke arah pintu.Sekar berdiri di ambang pintu, menyaksikan dokter dan perawat mengelilingi Andika
Brilian dengan antusias menceritakan pertemuannya dengan Renasya kepada Sekar. Bocah itu duduk di sofa sambil mengayunkan kakinya, wajahnya bersinar penuh semangat.“Oma, ternyata aku sudah punya adik.”Sekar menatap cucunya. Biasanya yang dia sebut adik adalah Malika dan Mikaila anak dari Rangga dan Nadya.“Namanya Renasya, Oma. Dia cantik sekali! Rambutnya panjang wangi, dia juga lucu, suka tertawa. Tidak cengeng seperti Malika,” cerita Brilian dengan penuh semangat.Sekar, yang sedang membaca majalah di sebelahnya, hanya menanggapi dengan anggukan kecil. “Oh ya?”Brilian mengangguk cepat. “Iya! Aku suka main sama dia. Kalau nanti dia main ke sini, aku mau ngajarin dia main basket.”Sekar tersenyum kecil, tapi tak ada antusiasme di matanya. Ia mendengar cerita cucunya, tapi hatinya tetap dingin. Meski dia sadar jika Renasya tidak berdosa, tetapi Sekar belum bisa menerima Renasya ataupun Ryan sepenuhnya.Bagi Sekar, meski Risda sudah tiada, jejak kesalahan wanita itu masih terasa dal
Suasana di ruang perawatan Andika dipenuhi kebahagiaan. Sean dan Ryan datang bersama keluarga mereka, membawa serta anak dan istri masing-masing. Andika tersenyum melihat dua putranya berdiri berdampingan, membawa keluarga kecil mereka ke hadapannya."Papa, ini Renasya," ujar Ryan sambil menggendong putrinya yang masih malu-malu.Andika menatap gadis kecil itu dengan penuh kasih. "Renasya, ke mari, Nak."Renasya menoleh ke Ryan, memastikan bahwa dia boleh mendekat, lalu dengan ragu melangkah ke tempat tidur Andika. Saat Andika mengulurkan tangannya, Renasya tersenyum dan menggenggam jemari rentanya."Opaaaa!" serunya girang.Andika melihat Brilian yang masih berada di samping Sean. Mereka sudah beberapa kali bertemu, pertemuan yang dirahasiakan dari Sekar tentunya.“Brili tidak kangen opa?” tanya Andika sambil mengulurkan tangannya. “Sini dekat dengan adikmu.”“Dia kakakku?” tanya Renasya dengan polosnya.Bocah yang baru berusia tiga tahun kembali melihat ke arah kedua orang tuanya se
Sean setengah berlari menuju ruang perawatan Andika. Napasnya memburu, tapi hatinya penuh harapan. Begitu membuka pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuatnya terdiam sesaat.Andika terbaring di atas brankar dengan mata terbuka, menatap ke arahnya dengan senyum tipis. Di sampingnya, Ryan duduk dengan ekspresi penuh kebahagiaan.“Papa sudah sadar!” seru Ryan, suaranya terdengar lega.Sean nyaris tidak percaya. Ia segera mendekat, meraih tangan sang papa dengan erat. “Papa…” suaranya bergetar. “Akhirnya…”Andika menatap kedua putranya dengan mata berkaca-kaca. “Kalian di sini…” suaranya lemah, tapi penuh kehangatan.Untuk pertama kalinya Andika menyaksikan kedua putranya berada dalam satu tempat dalam keadaan kompak dan rukun.“Papa sudah lama tertidur,” ujar Ryan, mencoba menahan emosinya. “Kami menunggu Papa sadar.”Sean mengangguk cepat. “Kami pikir… Papa tidak akan bangun lagi.”Andika tersenyum samar, menatap mereka satu per satu. “Tuhan masih memberiku waktu… untu
Setelah makan malam selesai, mereka berkumpul di ruang keluarga. Brilian sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan keluarganya secara utuh. Bocah itu tidak ingin jauh dari papanya, tampak ingin bermanja sejenak sebelum dia tidur.Sean menyandarkan punggungnya di sofa, menatap mamanya dengan ekspresi penuh selidik. Lila duduk di sampingnya, perutnya yang sudah mulai terlihat membesar tampak menyulitkan pergerakannya. Mungkin karena hamil kembar, perut Lila terlihat lebih besar dari usia kehamilannya saat ini.Sean menautkan jemarinya tampak ragu untuk mulai berbicara. "Mama, aku ingin tahu sesuatu."Sekar menyesap tehnya dengan tenang. "Apa Sean?""Bagaimana caranya Mama meyakinkan Ryan?" Sean menatapnya tajam. "Beberapa kali aku bertemu dengannya, dia jelas menolak. Tapi tiba-tiba, dia setuju. Apa yang Mama lakukan?"Memang selama ini Ryan sering menyebut nama Sekar sebagai alasan penolakannya. Tetapi ternyata setelah Sekar sendiri yang menemuinya, Ryan justru langsung menyetujui ta
Ryan menunduk, menatap map berisi bukti-bukti yang bisa menghancurkan hidupnya dan keluarganya. Sekar telah memainkan kartunya dengan sempurna. Dia terpojok, tak lagi punya pilihan.Dengan Anggun Sekar membersihkan sisa makanan di mulutnya. Senyum kemenangan merekah di bibirnya, lalu dia berucap dengan suaranya rendah namun tajam, “Jangan sia-siakan kesempatan ini. Bayar kebaikan Sean dan jadilah adik yang berguna untuk kakakmu.”Ryan mengepalkan tangannya, merasakan amarah dan rasa tidak berdaya yang bercampur menjadi satu. Sekar telah menang, dan dia tidak bisa melakukan apa-apa.Saat kita berbuat dosa dan kesalahan, tetapi masih bisa berkeliaran, bukan berarti kita benar-benar bebas. Saat semua diam dan melakukan pembiaran, itu karena tidak ada kepentingan dengan menggungkitnya. Tetapi mereka akan menggunakan kesalahan untuk menekan kita pada waktu yang tepat. Pertemuan dengan Sekar menyadarkan Ryan akan hal itu.Mungkin dia bisa menghadapi Sekar sendiri, tetapi jika itu sudah meny